Sabtu, 26 April 2008

NO VOLVERAN: Tayangan Pendakian Seperempat Menuju Puncak

Proses sosial politik di Venezuela, semenjak pemerintahan Chavez (tahun 1999), sudah cukup sering di muat dalam pemberitaan-pemberitaan media internasional, juga di Indonesia. Di samping berita tentang perang Irak, nuklir Iran, pengisolasian rakyat Palestina, kejadian-kejadian dalam panggung politik Venezuela sering mengetengahkan adegan yang bernilai penting secara politik, tidak hanya bagi negerinya, juga bagi dunia internasional. Kudeta pemerintahan terhadap Chavez (April 2002), pemogokan perusahaan minyak nasional, konflik Chavez dengan media swasta (khususnya RCTV), kegagalan referendum konstitusi (akhir 2007), pertarungan lewat arbritrase dengan salah satu perusahaan minyak internasional, adalah beberapa peristiwa yang mendapat sorotan secara internasional. Kejadian-kejadian tersebut tidak bisa dipungkiri akibat kebijakannya pemerintahan Chavez yang bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang berlaku umum saat ini.

Perkembangan yang terjadi di Venezuela adalah perkembangan yang makin progresif, kendati referendum konstitusi kedua kalinya pada akhir tahun 2007 yang diusulkan oleh kekuatan Chavez mengalami kekalahan. Terbukti dengan makin banyaknya perusahaan dan sektor usahanya dimana kepemilikan negara makin besar.

Sebuah film dokumenter berjudul “No Volveran”, dibuat menjelang dan saat pemilihan presiden Venezuela tahun 2006, dimana Chavez kemudian terpilih kembali sebagai presiden, menampilkan perkembangan gerakan rakyat yang telah beranjak lebih maju dibanding dari periode sebelumnya. Bila Chavez sebelumnya, sebagaimana diungkapkan dalam buku Martha Harnecker “Memahami Revolusi Venezuela”, harus berupaya kuat dan kesulitan dalam mengorganisir rakyat, maka film ini menyuguhkan kita sebuah bentuk kegigihan rakyat mengorganisir diri, dan memperjuangkan tuntutannya ke pemerintah. Jika pada tahun 2004, manajemen buruh, manajemen sendiri, ko-manajemen, dan produksi oleh asosiasi produser masih sebatas tuntutan dan impian, maka sejak tahun 2005 telah menjadi kenyataan.

Salah satunya, yang menjadi sentral dalam film ini, adalah perjuangan buruh Sanitarios Maracay, produksinya berupa jamban keramik. Jangan bandingkan dengan perjuangan/aspirasi buruh di pabrik tersebut dengan Indonesia. Bahkan di antara gerakan buruh lainnya di Venezuela, gerakan buruh tersebut merupakan paling maju. Mereka menuntut nasionalisasi 100% terhadap pabrik tempat mereka bekerja, yakni negara menguasai penuh namun operasional/manajemen di bawah kontrol buruh. Sementara itu bentuk kepemilikan lainnya atas perusahaan-perusahaan yang diambil alih masih pada tahap separuh dimiliki oleh buruh dan separuhnya oleh negara, seperti Invepal (kertas). Dalam bentuk kedua ini, maka peningkatan keuntungan usaha sebagian akan menjadi milik buruh yang bekerja di pabrik tersebut. Belajar dari sistem manajemen buruh Yugoslavia (Michael Lebowitz, 2006) bentuk seperti yang terakhir ini juga masih mengandung persoalan, ketika terjadi persaingan antar pabrik, atau masih berpeluangnya terjadi kontradiksi antara pencari pekerjaan, komunitas yang lebih luas dengan buruh yang langsung bekerja di pabrik tersebut. Bentuk manajemen/kepemilikan lainnya yang ditampilkan adalah kepemilikan saham antara koperasi dan pemerintah. Tentu, bentuk ini lebih mundur dibanding dengan dua bentuk yang di atas, terlebih lagi koperasi tersebut masih memperkerjakan buruh yang bukan menjadi pemilik/anggota koperasi.

Membandingkannya dengan Indonesia

Membandingkan dengan Indonesia, tentu akan banyak perbedaan. Selain perbedaan lokasi geografis dan demografisnya, perbedaan yang paling penting adalah perbedaan kemajuan/konteks gerakan dan karakter pemerintahan yang ada di Venezuela dan Indonesia. Sejak terjadi gerakan protes rakyat mengguncang struktur kelas mapan namun direpresi oleh pemerintah pada tahun 1989, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak, yang dikenal dengan peristiwa Caracazo, gerakan rakyat makin masuk ke tengah panggung politik, terutama setelah kemenangan Chavez sebagai presiden pada tahun 1998. Pemerintahan Chavez telah berhasil menulis ulang/memenangkan referendum konstitusi yang lebih pro-manusia (rakyat) tahun 1999, melaksanakan program-program ambisius yang meningkatkan indeks kualitas sumber daya manusia lewat bebagai misi, seperti Misi Barrio Adentro (kesehatan), Misi Robinson (melek huruf), perumahan, dan lain-lain.

Sementara di Indonesia, gerakan rakyat masih menjadi figuran dalam panggung politik nasional. Di luar keberhasilannya membukakan ruang yang lebih demokratis, membukakan panggung politik bagi para pemain baru untuk bersimbiosis-mutualisme dengan pemain sebelumnya, tidak banyak yang bisa dicatat atas prestasi gerakan rakyat di Indonesia, kalau tidak boleh dibilang mengalami kemunduran semenjak pemerintahan Megawati.

Apa yang disuguhkan dalam film No Volveran layaknya sebuah tayangan apa yang terjadi dalam jarak seperempat menuju pucak dalam sebuah pendakian. Di sisi lain, kita baru seperempat pendakian dari bawah kaki gunung. Tentunya, vegetasi gerakan, kesegaran cuaca bagi pemikiran rakyatnya dan keindahan yang tertampil akan mengalami perbedaan kualitas dari kedua ketinggian tersebut.

Kembali ke Realitas Kita

Dengan kondisi gerakan di Indonesia yang masih figuran dan lemah, maka tentu menjadi tugas adalah memperbesarnya. Saat ini, tentu gerakan di Indonesia tidak terilusi akan tercapainya kemenangan dengan segera. Sebagaimana dikatakan oleh Meyer (nama samaran seorang progresif Rusia), kita tidak terilusi kemenangan, kita tidak akan menang saat ini. Pekerjaan sekarang adalah menjatuhkan otokrasi. Tidak menjatuhkan otokrasi karena prospek kemenangan masih jauh adalah tindakan yang salah dan bukan karakter organisasi progresif (David Shubb). Kendati pendapat tersebut dia ungkapkan pada tahun 1905, relatif memiliki ketepatan dengan Indonesia saat ini.

Kelompok yang tidak terilusi jelas melihat bahwa Pemerintahan SBY-Kalla tidak saja bukanlah pemerintahan populis (yang melandaskan kekuasaannya dengan memberi sogokan-sogokan kepada rakyat tanpa upaya serius meningkatkan kapasitas rakyatnya), namun lebih ekstrim dari itu dia adalah pemerintahan pro-investor. Hal tersebut tampak di antaranya dalam kasus Lapindo dimana dana APBN diporot untuk membayar apa yang seharusnya menjadi tanggungan Lapindo Brantas Inc, atau pelajaran dari dihentikannya kasus BLBI.

Isu nasionalisasi bagus untuk diketahui, dan perlu untuk dipahami. Namun memprioritaskan isu nasionalisasi dengan konteks pemerintahan yang ada sekarang, bukanlah tindakan yang efektif, sesuai dengan ketinggian pendakian kita saat ini. Prioritas utama adalah memblejeti pemerintahan yang tidak pro rakyat, dan menarik rakyat luas untuk masuk dan mendukung kelompok gerakan. Dengan membesarnya kekuatan rakyat, (dan menghasilkan pemerintahan yang progresif), barulah tuntutan nasionalisasi menjadi realistis dan memiliki pijakan.

Apa yang disungguhkan oleh film No Volveran adalah gambaran gerakan yang akan terjadi di depan, jika saja kita berhasil melanjutkan pendakian, dengan keberhasilan membangun kekuatan yang lebih besar, dengan kerja-kerja yang terukur kemajuannya sepanjang rute pendakian.

Ditulis oleh: Pius Tumangger, anggota Aliansi Muda Progresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesan dan pesan