Tampilkan postingan dengan label mongabay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mongabay. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Maret 2016

Walhi Lagi Cari Pimpinan Baru, Inilah Para Kandidat Itu


Tiga kandidat Direktur Eksekutif Walhi usai debat kandidat. Mereka adalah Nur Hidayati, Arie Rompas dan Pius Ginting. Foto: Indra Nugraha

Pucuk pimpinan Walhi segera berganti. Organisasi lingkungan hidup itu tengah menjaring kandidat pemegang nahkoda baru organisasi yang berdiri sejak 1980 ini. Ada tiga nama muncul yang bakal menggantikan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. Yakni, Nur Hidayati, Pius Ginting dan Arie Rompas. Ketiganya pegiat lingkungan di Walhi.

Pada Jumat (4/3/16), memasuki sesi debat kandidat. Masing-masing menyampaikan gagasan apa yang akan dilakukan jika duduk pada posisi itu. Debat dipandu Direktur Eksekutif Walhi periode lalu, Chalid Muhammad dan Muhammad Ridha Saleh.

Sebuah handycam siap siaga merekam yang diutarakan para kandidat. Video akan disebar hingga para pemegang suara bisa melihat pandangan para kandidat. Pemilihan Direktur Eksekutif Walhi akan diselenggarakan di Palembang, 22-27 April 2016.

Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan moderator kepada para kandidat. Ada soal peran dan posisi Walhi dalam situasi global, inovasi para kandidat kala menjadi direktur, sistem ekonomi politik yang tak adil, teknologi, sampai persoalan-persoalan lingkungan seperti limbah dan lain-lain. Mereka punya lima menit memaparkan jawaban. Ketiganya duduk di depan, bersisian.

“Indonesia masih terjadi sistem ekonomi menghisap ruang sosial seperti diterapkan ekonomi kapitalistik. Pengerukan berimplikasi pada problem-problem lingkungan juga sosial. Walhi harus hadir dan terus berjuang terhadap sistem ekonomi dan politik seperti itu,” kata Arie Rompas, sekarang Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah. Sisi lain, sistem politik dan ekonomi global terus menerus mencari komoditas baru.

Rio, panggilan akrab Rompas mengatakan, sistem ekononi hijau merupakan model alternatif tawaran kapitalisme justru memperkuat penguasaan lahan di negara-negara berkembang, salah satu Indonesia.

Walhi, katanya, mesti harus hadir menjawab problem-problem ini. “Bahwa proses ekonomi politik harusnya disandarkan relasi produksi adil. Bersama rakyat menjadi konstituen terpenting. Bagaimana bisa bersama rakyat mengorganisir dan menciptakan kesadaran melawan perilaku buruk sistem ekonomi politik menindas ini,” katanya.

“Teng.. teng.. teng…” suara Khalisah Khalid, mengingatkan tanda waktu habis. Tepuk tangan seketika bergemuruh.

“Salam adil dan lestari!” pekik Yaya, sapaan akrab, Hidayati.

“Walhi!!!” teriak hadirin.

“Situasi global saat ini saya pikir kita semua sudah tahu kini Indonesia pada situasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Berada pada pertentangan poros utama dunia dari sisi AS (Amerika Serikat) dan China,” katanya.

Sejak pemerintahan lalu, katanya, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menjadi cerminan bagaimana Indonesia sebagai factory Asia. Dengan mengeruk sumber daya alam, manufaktur dan 250 juta jadi pasar potensial.

“Walhi harus menjadi antitesis dari itu. Dari globalisasi, kita harus mendorong lokalisasi. Kita harus membangun daya kritis komunitas-komunitas warga dan komunitas lain di seluruh Indonesia. Baik desa maupun kota. Kota penting bagi mobilisasi opini, proses pencerdasan masyarakat dan mendorong kebijakan-kebijakan negara lebih progresif.”

Walhi harus mendorong kedaulatan komunitas-komunitas desa, baik mandiri energi, ekonomi dan pangan. “Melihat demokrasi liberal ini, harus dilakukan pendidikan politik warga negara terutama generasi muda. Juga generasi tua. Kita akan masuk ke sekolah-sekolah, universitas, kelompok pemuda untuk pencerdasan dan pengkritisan politik,” katanya.

“Walhi harus bisa membangun gerakan dari kelompok-kelompok petani,nelayan, perempuan, pemuda dan lain-lain. Bagaimana kita bisa menunggangi teknologi informasi untuk mendorong proses pengkritisan warga.”

Dia juga berkomitmen membangun kemandirian. Sumberdaya organsiasi dan memajukan konsolidasi dengan berbagai gerakan di Indoensia. Hingga, katanya, gerakan yang terpecah-pecah bisa berkonsolidasi menjadi masif dan kuat.

Pius Ginting, memandang persoalan yang dihadapi Indonesia sejak dulu tak berubah. Indonesia, katanya, jadi pasar sumber bahan mentah baik sawit, tambang maupun kayu. Sisi lain berhadapan dengan pendidikan masyarakat masih rendah.

“Perlu ada perubahan sistematis oleh Walhi. Kontribusi Walhi bersama kelompok masyarakat lain dengan meningkatkan kesadaran akan hal ini,” ujar dia.

Walhi, katanya, harus berhenti mengganggap kelompok lain kompetitor tetapi harus bersinergi agar terjadi perubahan. Walhi harus bersinergi dengan kelompok buruh, tani, nelayan, perempuan, dan lintas generasi. Generasi muda perlu dididik mengenai kesadaran kritis terkait lingkungan hidup.

“Soal inovasi, Walhi perlu mengembangkan teknologi pembebasan. Tak boleh lagi mengandalkan “Amdal kaki telanjang.” Harus menggunakan teknologi, misal drone untuk pemetaan, atau teknologi mengukur kadar limbah. Itu bisa untuk alat advokasi Walhi,” katanya.

Walhi, kata Pius, harus memposisikan diri sebagai pemberdaya. “Tak boleh lagi ada orang selama 10 tahun bekerja di Walhi terus jadi office boy. Harus dibina agar jadi aktivis lingkungan.”

Berbagai pertanyaan terus mengalir termasuk dari para aktivis yang hadir dalam debat itu.


Dewan nasional


Selain direktur eksekutif, Walhi juga akan pergantian Dewan Nasional. Para kandidat Dewan Nasional menyampaikan visi misi. Banyak kandidat maju, antara lain, Azmi Sirajuddin, Manajer Program Yayasan Merah Putih sekaligus Ketua Dewan Daerah Walhi Sulawesi Tengah, Kusnadi, Ketua Serikat Tolong Menolong dan juga Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara. Lalu, Mualimin Pardi Dahlan, advokat Public Lawyers Interest Network, Samaratul Fuad, aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Walhi Sumatera Barat. Risma Risma Umar, satu-satunya kandidat perempuan. Dia pernah menjadi anggota peneliti Women’s Empowerment and Leadership Development for Democratisation program. Saat ini Ketua Dewan Pengawas Nasional Solidaritas Perempuan juga Dewan Nasional Walhi.

Ada Bambang Catur Nusantara, Badan Pengawas Yayasan Klub Indonesia Hijau, Badan Pengurus Jatam serta Dewan Daerah Walhi Jawa Timur.

Abetnego Tarigan, kini Direktur Eksekutif Walhi Nasional juga salah satu kandidat. Kandidat lain, I Wayan Suardana aktivis ForBali pernah menjadi Direktur Eksekutif Walhi Bali.

Indra Nugraha, Jakarta 

http://www.mongabay.co.id/2016/03/06/walhi-lagi-cari-pimpinan-baru-inilah-para-kandidat-itu/

Senin, 22 Februari 2016

Kajian Koalisi Perlihatkan Kinerja Pemda Jalankan Korsup Minerba Masih Rendah


Danau tambang timah yang ditinggal begitu saja tanpa reklamasi di Bangka Belitung. Foto: Sapariah Saturi


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan selama dua tahun terakhir ada 721 izin pertambangan dicabut atau tidak diperpanjang. Sekitar 70% izin pertambangan batubara luas sekitar 2 juta hektar. Pencabutan ini bagian koordinasi dan supervisi mineral dan batubara (Korsup Minerba) KPK. Koalisi Anti Mafia Tambang, yang terdiri dari Walhi, Yayasan Auriga, Jatam, YLBHI, SAINS dan lain-lain, menilai kinerja pmerintah daerah dalam melaksanakan Korsup Minerba belum apa-apa karena perbaikan tata kelola pertambangan belum berjalan signifikan.

“Izin dicabut atau tidak dilanjutkan hanya 20% dari total yang direkomendasikan untuk ditutup. Beberapa di kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai bahkan daerah konservasi,” kata Timer Manurung, aktivis Auriga, di Jakarta, pekan lalu.

Pada 2014, KPK menginisasi Korsup Minerba. Upaya itu untuk mencegah korupsi di 12 provinsi yakni, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Lalu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Pada 12 provinsi ini ada 10.918 izin usaha pertambangan (69%) dari total seluruh Indonesia.

Koalisi menilai kinerja pemda dari beberapa aspek seperti penataan IUP, kewajiban keuangan pelaku usaha, pengawasan produksi, kewajiban pengelolaan, serta pengawasan penjualan.

“Jambi paling baik dalam indikator mengurangi tambang yang non clear and clean. Paling buruk Kalsel,” kata Pius Ginting, aktivis Walhi Nasional.

Menurut catatan, pengurangan IUP Jambi non CnC 98 atau 49%, Kalsel tak ada sama sekali, Sulawesi Tenggara (74 IUP, 40%), Sumsel (32 IUP, 39%), Sulteng (65 IUP, 33%), Kepulauan Riau (15 IUP, 32%), Kaltim (94 IUP, 21%), Kalbar (20 IUP, 6%), Maluku Utara (lima IUP, 5%), Kalteng (13 IUP, 4%), Sulsel (enam IUP, 2%). Lalu, Bangka Belitung mengurangi IUP 117 (17% ).

“Sebenarnya gak bagus-bagus amat. Hampir tak ada setengahnya. Meskipun Jambi provinsi terbaikpun itu tak ada setengahnya mengurangi izin-izin bermasalah dalam administratif juga tumpang tindih wilayah izin tambang lain. Ditambang kewajiban keuangan masih ada, belum dibayarkan,” katanya.

Kalsel, katanya, belum menunjukkan respon baik dalam mengurus izin pertambangan non CnC. Padahal periode menindaklanjuti IUP non CnC sudah delapan gelombang.

“Ini hanya melihat tumpang tindih antara satu perizinan dengan perizinan lain. Belum tumpang tindih dengan kawasan konservasi,” katanya.


Beginilah penampakan pasca-pengurasan timah. Tinggallah limbah, kawasan itu menjadi gersang. Pepohonan seakan enggan tumbuh. Foto: Sapariah Saturi

Dia mendesak, pemerintah mencabut seluruh IUP non CnC. Pencabutan IUP, seharusnya tak sekaligus membuat kewajiban perusahaan hilang. Misal perusahaan masuk tahap produksi dan kerusakan lingkungan, harus membayar atau reklamasi di bekas tambang. Begitu juga perusahaan masuk tahap eksplorasi, harus membayar dana landrent.

Perusahaan tambang bermasalah, katanya erat kaitan dengan praktik korupsi karena diduga kuat bermasalah dalam pemberian izin.

Manurung mengatakan, seharusnya pemerintah mengeluarkan daftar perusahaan-perusahaan IUP non CnC agar dinyatakan sebagai pelaku usaha buruk pertambangan. Sejauh ini, pemerintah belum melakukan.

“Agar perusahaan-perusahaan itu tak mendapatkan izin pertambangan di tempat baru. Bahkan nama-nama orang juga grup harus dibuka.”

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berjanji menyelesaikan permasalahan 3.966 IUP bermasalah Mei tahun ini.

Dari tumpang tindih dengan kawasan konservasi, kinerja terbaik Sulteng. IUP di konservasi Sulteng 98,1%, kini tersisa 5.697,08 hektar, sebelumnya 299.666 hektar.

Provinsi lain, Sulsel 17.159,11 menjadi 5.146,5 hektar, Jambi (7.401,17 menjadi 6.300,22 hektar), Kalteng (8.987,70 menjadi 8.315,28), Kalsel (12.422,60 menjadi 12.336,79), Maluku Utara (8.110,60 menjadi 8.055,79), Bangka Belitung (3.268,49 menjadi 3.246,65 hektar).

Beberapa provinsi justru IUP bertambah di kawasan konservasi seperti Kepri (dari nol menjadi 133,60 hektar), Sumsel (932,64 menjadi 6.292,67 hektar) ,Kalbar (101,31 menjadi 2.531,74), Kaltim (4.299,96 menjadi 97.756,13),dan Sultra (2.224,39 menjadi 2.227,67 hektar).

Dari kewajiban pembayaran keuangan (royality), kinerja terbaik dengan piutang terendah Kalsel (Rp231 juta), Kepri Rp4,6 miliar dan Babel Rp11,1 miliar. Provinsi piutang royality terbanyak Kaltim Rp82,6 miliar.

“Kami mendesak pemerintah verifikasi data dan menguji kebenaran kewajiban keuangan. Tagih seluruh tunggakan piutang. Juga harus penghentian produksi sebelum piutang dibayarkan,” katanya.

Dari pengawasan produksi, penilaian Koalisi memperlihatkan Kalteng terbaik dengan indeks 35,7%. Dari 15 kabupaten, 9 tak melaporkan pengawasan produksi. Terburuk Jambi 0%. Jambi dinilai sama sekali tak melakukan pengawasan. Delapan kabupaten di Jambi tak lapor.“Dapat diasumsikan sebagian besar produksi hasil tambang IUP tidak pernah verifikasi pemerintah.”

Provinsi lain, Babel enam tidak ada laporan, Kepri (7), Sulteng (2), Kaltim (9), Sultra (9), Maluku utara (6), Kalsel (6), Sumsel (11), Kalbar (11), Kalsel (13).

Aspek pengawasan pengolahan, Sulteng terbaik dengan indeks 20%, terburuk Babel, Jambi, dan Kalsel dengan indeks 0%. Sisi pengawasan penjualan terbaik Kepri dengan indeks 30% dan terburuk Jambi 0%.

“Pemerintah tak memiliki instrumen andal memverifikasi validitas laporan produksi dan pajak perusahaan.”

Selama periode pengawasan, katanya, penerimaan negara sektor batubara mineral naik Rp10 triliun. “Walau angka besar, tidak cukup, kerugian negara tinggi. Kita perlu meningkatkan pengawasan sektor pertambangan,” kata Manurung.




Lubang tambang maut milik PT. Cakra yang berada di di Dusun Serbaya, Desa Sebulu Modern, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, ini yang telah merenggut nyawa Rian. Lubang tambang ditunggal begitu saja tanpa reklamasi. Mana pengawasan pemerintah? Foto: Jatam Kaltim
Indra Nugraha, Jakarta

Rabu, 13 Mei 2015

Pemerintah Dikritik Masih Gunakan Energi Kotor Dalam Proyek Listrik 35.000 MW. Kenapa?

Pemerintah secara resmi telah meluncurkan program pembangunan pembangkitan listrik 35.000 megawatt (MW) sebagai pelaksanaan program unggulan nawacita untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis khususnya kedaulatan energi.

Peluncuran program dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo dengan peletakan baru pertama Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Samas, Yogyakarta, menandai pembangunan pembangkit listrik yang lain, yaitu PLTB Sidrap, Sulawesi Selatan; PLTA (pembangkit listrik tenaga air) Kendari, Sulawesi Tenggara; PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) Grati, Pasuruan, Jawa Timur; PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat; PLTU Takalar Sulawesi Selatan; dan PLTU Pangkalan Susu, Sumatera Utara.


Kincir angin menyuplai energi untuk kebutuhan energi listrik di daerah pesisir Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando
Total ada 109 proyek pembangunan pembangkit listrik baru tersebar di 59 lokasi di Sumatera, 34 lokasi di Jawa, 49 lokasi di Sulawesi, 34 lokasi di Kalimantan dan 34 lokasi di Indonesia Timur.

Dari 109 proyek listrik 35.000 MW yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2024, PLN hanya mampu mengerjakan 35 proyek berkapasitas 10.000 MW, dan 74 proyek lainnya berkapasitas 25.000 MW akan dikerjakan pihak swasta.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dalam 5 tahun mendatang, Indonesia butuh penambahan energi listrik sebesar 35.000 MW, berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi realistis sekitar 5-6 persen per tahun dengan pertumbuhan membutuhkan listrik sekitar 7.000 MW per tahun.

Sudirman mengatakan proyek listrik 35.000 MW ini akan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, surya, biomassa dan juga angin.

Energi terbarukan menjadi pilihan utama karena sumber energi fosil seperti minyak, gas dan batubara perlahan tapi pasti akan menemui batas akhirnya. “Oleh karena itu memilih membangun energi terbarukan bukan suatu pilihan, namun suatu keharusan yang harus kita jalankan bersama,” katanya.

Pekerjaan Berat


Pengamat energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia memang harus segera membangun pembangkit listrik dengan jumlah dan kapasitas besar, karena telah mengalami defisit energi listrik sekitar 15-18.000 MW dalam 10 tahun terakhir.

“Untuk mengejar kebutuhan energi sesuai RPJMN 2015-1019, konsumsi listrik diharapkan naik dari 700 kwh menjadi 1200 kwh per kapita per tahun. Ada kenaikan konsumsi listrik sekitar 50 persen dari saat ini, sehingga harus ada pembangunan pembangkitan listrik sekitar 50 persen dari kapasitas sekarang. Tapi apakah mungkin membangun itu dalam waktu 5 tahun ke depan,” tanya Fabby.

Ini menjadi tantangan berat pemerintah, karena dari pengalaman pembangunan pembangkis listrik dalam lima tahun terakhir hanya berkapasitas 12.000 MW.

“Sedangkan proyek listrik ini 35.000 MW, berarti dua kali lipat kapasitasnya. Ini tugas berat. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi yang penting, dalam lima tahun ke depan adalah menyelesaikan berbagai PR yang selama ini mengganjal, seperti penyediaan lahan untuk pembangkitan dan transmisi. Karena lahan menjadi ganjalan utama dalam pembangunan infrastruktur,” kata Fabby yang juga Pemerhati Isu Energi Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Mengenai komitmen pemerintah untuk menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, dia menegaskan pengembangan energi terbarukan menjadi keniscayaan, meski dalam RPJMN, target peningkatan bauran energi hanya 5 persen.

Hal ini juga terkait dengan pendanaan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan bahan bakar batubara. Pembiayaan pembangkit listrik dengan bahan bakar dari minyak dan batubara akan sulit didapatkan dari pendanaan internasional , karena beberapa negara maju telah berkomitmen untuk tidak berinvestasi pada bahan bakar berbasis fosil.

“Beberapa minggu lalu, pemerintah Amerika memutuskan tidak lagi memperbolehkan investasi untuk batubara. Perusahaan Norwegia juga menyatakan tidak berinvestasi di batubara,” katanya.

Penggunaan bahan bakar berbasis fosil untuk pembangkitan listrik juga bakal menimbulkan dampak lingkungan termasuk emisi gas rumah kaca (GRK) yang mempengaruhi komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi.

Sedangkan Greenpeace Indonesia menyayangkan pemerintahan Jokowi-JK yang masih mendasarkan bahan bakar fosil untk pembangkitan listrik, terlihat dari 60 persen proyek listrik 35.000 MW masih berupa PLTU berbasis batubara.

Arif Fiyanto Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia harus belajar dari pengalaman dimana PLTU yang beroperasi menimbulkan dampak buruk lingkungan dan hilangnya mata pencaharian petani serta nelayan, seperti di Cilacap, Jepara dan Cirebon.

“PLTU batubara juga bertanggung jawab terhadap meningkatnya masalah penyakit yang terkait pernapasan, seperti yang dialami warga sekitar PLTU Cilacap dan Jepara,” kata Arif.

Target kedaulatan energi pemerintah Jokowi harus diterjemahkan dengan langkah kongkrit mendorong pengembangan energi terbarukan. “Langkah Jokowi meluncurkan proyek 35.000 MW di daerah rencana pembangunan PLTB di Pantai Samas, Bantul seharusnya jadi simbol, bahwa Jokowi akan memimpin revolusi energi di Indonesia. Menghentikan ketergantungan terhadap batubara dan beralih ke energi terbarukan,” tambahnya.

Sedangkan Walhi mendorong pemerintah untuk mengurangi porsi PLTU dalam proyek listrik 35.000 MW karena membahayakan kesehatan masyarakat. PLTU sendiri sudah tidak populer di Amerika, Jerman, China dan Jepang.

Keberadaan PLTU juga berdampak bagi daerah penghasil batubara seperti Sumatera dan Kalimantan, karena akan memperbesar produksi batubara sehingga lebih jauh merusak lingkungan.

“Di Kalimantan dan Sumatera dimana Batubara disuplai dari daerah tersebut namun mereka sendiri kekurangan energi. Padahal energi berbasis lokal dan kondisi alam di daerah tersebut bisa dikembangkan untuk memberikan pasokan energi untuk masyarakat di pelosok sekalipun,” kata Manajer Kajian Walhi Nasional, Pius Ginting.

Padahal banyak sumber energi terbarukan seperti air dan angin yang bisa dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan. Dan sebagai negara kepulauan dengan panjang pesisir kedua di dunia, menjadi potensi energi terbarukan yaitu angin yang cocok dikembangkan di daerah terpencil.


Jay Fajar dan Tommy Apriando

http://www.mongabay.co.id/2015/05/13/pemerintah-dikritik-masih-gunakan-energi-kotor-dalam-proyek-listrik-35-000-mw-kenapa/