Tampilkan postingan dengan label energi terbarukan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label energi terbarukan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 November 2015

Perbankan Tak Punya Komitmen Investasi Berkelanjutan


Ilustrasi. ANTARA FOTO
Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat jadi US$ 119 miliar, dari lima tahun sebelumnya sebesar US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, naik hampir 10 kali lipat. Ini merupakan angka akumulasi pengeluaran dana seluruh negara di dunia.

“Bank tidak punya komitmen untuk mendorong investasi berkelanjutan. Bahkan investasi untuk energi terbarukan tidak melebihi 10%,” kata Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan penelitian Fair Finance Guide International (FFGI) terhadap 10 lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia seperti Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA dan Bank Panin. Dari 10 lembaga keuangan, 8 di antaranya membiayai bahan bakar fosil di atas 90%.

“Pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling polutif seperti batu bara dan minyak bumi jauh lebih tinggi. CIMB Niaga dan Bank Panin misalnya, mereka masih 100% investasi di bahan bakar fosil. Sedangkan Bank Mandiri 99% dan BRI serta BCA masih 98% untuk investasi energi fosil,” ujar Rotua.

Untuk energi terbarukan, lanjut dia, hanya UFJ Mitsubishi yang memiliki pembiayaan lebih dari 1 miliar dolar. Sedangkan, HSBC sebagai lembaga keuangan terbesar untuk sektor bahan bakar fosil, hanya memiliki investasi tahunan sebesar 99 juta dolar di sektor energi terbarukan, kata Rotua.

Pius Ginting, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, penggunaan bahan bakar fosil sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat semasa pemerintahan Barack Obama telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Bahkan ke depan, uang publik tidak boleh digunakan untuk pembiayaan PLTU. Ini kebijakan yang bagus.

Tiongkok juga demikian, sudah melarang pembangunan PLTU baru. Hal ini menyebabkan Indonesia sebagai incaran penjual teknologi batubara. Padahal, teknologinya adalah teknologi kotor.

“Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dalam dan luar negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batu bara,” kata Pius.

Karena itu, Walhi berharap lembaga keuangan jangan hanya membuat komitmen tanpa makna. Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi hijau dan produk berkelanjutan kepada konsumen. Namun, di sisi lain mereka juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. “Its’ green washing!” tegas Pius.[*]


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/perbankan-tak-punya-komitmen-investasi-berkelanjutan/

Jumat, 11 September 2015

Mengatasi krisis listrik dengan proyek 35.000 MW


Pemerintah Indonesia diminta transparan soal perhitungan kebutuhan energi nasional yang sebenarnya.

Pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt akan terus berjalan, namun pengamat mengatakan ada hal yang harus dicermati di balik sekadar perdebatan soal angka.

Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik baru di Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun ke depan.

Tetapi, pada Senin (07/09) lalu, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000 MW untuk lima tahun ke depan.

Kebijakan tersebut diambil Rizal usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir.

Rizal mengatakan, "35.000 MW itu tidak mungkin dicapai dalam lima tahun, 10 tahun bisa lah. Kalau dibangun semuanya pun, dalam lima tahun, terjadi sampai 35.000 MW, PLN akan mengalami kapasitas lebih."

Kapasitas lebih ini nantinya, menurut dia, akan membebani PLN karena sesuai perjanjian dengan pihak swasta maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Rabu (09/09) malam bersama Menteri BUMN Rini Soemarno menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 megawatt tersebut.

Rencananya, PLN akan memasok sekitar 10.000 megawatt untuk proyek ini, dan sisanya, 25.000 akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta.


Energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan.
Pius Ginting


Perhitungan


Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Hindun Mulaika pada BBC Indonesia mengatakan bahwa mereka belum melihat bagaimana perhitungan angka 35.000 megawatt itu keluar.

"Apakah kemudian 16.000 (megawatt) itu angka yang lebih pas? Ya harus dibuka ke publik juga perhitungannya. Dan, baik itu 16.000 atau 35.000 (megawatt), harus dibuka juga, dengan PLTU-kah, dengan PLTA-kah, atau dengan mendorong energi terbarukan," kata Hindun.

Hampir 63% dari 35.000 megawatt tersebut rencananya akan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap yang kebanyakan dibangun di Pulau Jawa.

Artinya, menurut Hindun, sebagian besar dari target tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Jawa dan Bali yang sebenarnya sudah hampir 90% mendapat listrik.

Dia melihat langkah ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk industri, tapi bukan untuk masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan aliran listrik.

Jika target pemenuhan kebutuhan listrik diturunkan jadi 16.000 megawatt, maka, Hindun melihat, penurunan tersebut membuat angka lebih realistis dari sisi pencapaian proyek.

Meski begitu dia meminta pemerintah transparan soal keterbutuhan listrik sebenarnya yang disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan, dan apakah pemenuhan tersebut harus menggunakan PLTU.


Luar Jawa



Presiden Jokowi meresmikan pembangunan PLTU Batang pada akhir Agustus 2015 lalu meski ada penolakan warga soal pembebasan lahan.

Menurut Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Walhi, di tengah ekonomi Indonesia yang sebenarnya mengalami perlambatan, maka permintaan listrik mungkin tak sebesar seperti yang direncanakan sebelumnya sehingga revisi angka sebenarnya mungkin terjadi.

Namun yang terpenting, Pulau Jawa mengalami surplus listrik 31%, sementara wilayah seperti Sumatera Utara dan Aceh sebenarnya mengalami minus listrik 9,3%.

Padahal, menurut penelitiannya, rencana PLTU yang akan dan tengah dibangun berlokasi di Cilacap, Batang, Jepara, dan Cirebon, yang semuanya berada di Pulau Jawa. Sehingga Pius belum melihat bagaimana rencana ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga di luar Pulau Jawa.

"Kalau pemerintah mau melibatkan swasta, swasta harus didorong untuk masuk ke energi terbarukan dan diprioritaskan untuk ke luar Pulau Jawa. Revisi angka itu masih cukup penting. Tapi energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan."

Seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya, Eva, mengatakan pada BBC Indonesia bahwa dalam sebulan, dia bisa mengalami setidaknya lima belas kali mati listrik. "Dalam seminggu ada tiga kali, empat kali, tapi kadang tidak juga," katanya.

Warga Banda Aceh, Bakhtiar, juga menggambarkan kondisi layanan listrik di kotanya.

"Kondisi normal tanpa gangguan, kayak mati digilir. Sebulan, bisa 10-15 kali. Paling sedikit 30 menit mati lampu, ada yang sampai 6 jam atau 8 jam. Kawan-kawan di Lhokseumawe, malah lebih parah, bisa seharian mati lampunya, dari pagi sampai jam 8 malam baru hidup lagi."



Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150910_indonesia_listrik_35ribumw

Jumat, 06 Februari 2015

NASIB ENERGI TERBARUKAN DI BAWAH PEMERINTAHAN JOKOWI

UNTUK pertama kalinya sejak tahun 1997, pada tahun 2014 Indonesia alami penurunan produksi batubara. Setelah kenaikan produksi rata-rata 14% per tahun dalam rentang tahun tersebut, produksi tahun lalu turun 39 juta ton, atau 8% dibanding tahun 2013. Penurunan ini signifikan, setara dengan berhentinya kegiatan operasi perusahaan tambang terbesar ketiga di Indonesia.

Pengurangan penggunaan batubara sebagai sumber energi telah dilakukan di Amerika Serikat dan China karena pertimbangan kualitas lingkungan hidup. China mulai mengurangi impor batubara, dan sejak tahun 2014, melarang pembangunan PLTU Batubara di sekitar tiga kawasan ekonomi penting, Beijing, Shanghai dan Guangzhou karena alasan pencemaran udara. Sepuluh dari 34 provinsi China membuat komitmen akan mengurangi penggunaan batubara pada tahun 2017, dan melarang pembangunan PLTU batubara di kawasan tersebut (Greenpeace).

Daerah tambang batubara Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Bengkulu telah melaporkan tingginya penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Disayangkan tidak adanya laporan teratur dampak kesehatan akibat debu batubara. Laporan WHO menyebutkan, terjadi 7 juta kematian setiap tahun karena pencemaran udara. Umumnya di negeri berkembang.

Dr Carlos Dora, Kordinator Kesehatan Publik, Lingkungan dan Faktor Sosial Kesehatan WHO menyatakan, pencemaran udara berlebih seringsebagai hasil sampingan kebijakan tak berkelanjutan, termasuk sektor energi. Dalam sebagian besar kasus, strategi lebih sehat akan lebih ekonomis dalam waktu jangka panjang karena berkurangnya ongkos kesehatan dan tercapainya perbaikan iklim.” Penelitian Dewan Nasional Perubahan Iklim ungkapkan emisi gas rumah kaca sektor energi di Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar, akan melebihi emisi sektor kehutanan pada tahun 2030.

Momentum penurunan harga batubara sebaiknya dipakai Pemerintahan Jokowi mengurangi produksi batubara demi perbaikan lingkungan hidup dan kesehatan warga di sekitar tambang dan pembangkit listrik batubara. Kendati 85% batubara Indonesia saat ini diekspor, peningkatan batubara untuk kebutuhan dalam negeri dalam situasi global saat ini bukanlah kebijakan progresif. Saat teknologi pembangkit batubara kini mulai ditinggalkan negara lain, khususnya di Asia Timur, maka akan jadi pasar teknologi disertai fasilitas pinjaman.

Program pembangkit listrik 35.000 MW dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dengan 65% berasal dari pembangkit listrik batubara memperlambat Indonesia menuju pengembangan energi terbarukan. Untuk mencapai target tersebut, PLN perlu dana sebesar 545 trilyun rupiah selama empat tahun ke depan. Pada tahun 2015 pemerintah masih mensubsidi PLN sebesar 68,6 trilyun rupiah.

Adalah ironis bila pencabutan subsidi bahan bakar minyak yang dilanjutkan Pemerintahan Jokowi lalu dialihkan untuk pembangunan pembangkit dan infrastruktur batubara, seperti pembangunan rel kereta api batubara Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan.

Peningkatan sumbangan batubara bagi bahan bakar pembangkit listrik dari 54% pada tahun 2014 menjadi 64% pada tahun 2019, menciptakan kebutuhan tambahan 200 juta ton batubara setiap tahunnya membuat Indonesia kian tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya; seperti Filipina, pada tahun 2012 telah mencapai 41% energi dari sumber terbarukan.

Secercah harapan didapatkan dari langkah KPK dalam program Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara selama tahun 2014. Program penertiban perizinan, pembayaran pendapatan negara dari tambang tersebut telah berdampak bagi pencabutan izin tambang batubara disejumlah provinsi. Di antaranya 34 di Kalimantan Timur, 58 di Sumatera Selatan. Penertiban perusahaan tambang batubara, pengapalan ilegal dapat menjadi langkah awal pengurangan produksi batubara, menuju pengembangan ekonomi berkelanjutan dan energi terbarukan. [***]

Pius Ginting
Kepala Unit Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Kamis, 04 November 2010

Govt told to develop renewable energy

Adianto P. Simamora, The Jakarta Post, Jakarta | National

Environmental activists have renewed calls for the government to expedite what they call the “energy revolution”, by increasing the use of renewable energy and phasing out fossil fuels.

The calls were made by Greenpeace, the Indonesian Environmental Forum (Walhi) and the Mining Advocacy Network (Jatam) on Wednesday.

The environmental groups conducted a joint study on the impact of coal-fired power plants in Cilacap in Central Java and Cirebon in West Java, and found that coal’s “footprint” was destructive in many ways, from the mining process to power plants that left local residents mired in poverty with poor access to electricity.

The report, titled Coal Kills, was published last month in Cirebon, when the government was banning Greenpeace’s flagship, the Rainbow Warrior, from entering Indonesian waters.

“Around 80 percent of the 462 people in Cilacap who underwent health checks had respiratory problems ranging from infections to bronchitis caused by coal dust,” Greenpeace climate and energy campaigner Arief Fiyanto said.

The report says local farmers and fisherman in Cirebon also suffered financial losses from coal pollution.

“The government never calculates the external impacts of coal, such as environmental damage or forest loss caused by coal mining,” he said.

Walhi energy campaigner Pius Ginting said the government should phase out the use of coal as an energy source if Indonesia wants to cut emissions and prevent climate change.

“Coal is no longer suitable as an energy source given the damage it causes,” he said.

Indonesia, one of the biggest global producers of coal, has coal deposits of up to 109,940 billion tons in South Sumatra, East Kalimantan and South Kalimantan.

In 2009, Indonesia produced about 263 million tons of coal, of which 230 million tons was exported, making Indonesia the biggest coal exporter after Australia.

Climate experts have blamed the burning of coal-based fuels as the main contributor to global warming.

Greenpeace renewable energy affairs campaigner, Hindun Mulaika, said the government should revolutionize its energy policy by shifting the country to renewable energy sources.

Hindun said Indonesia had abundant sources of renewable energy such as water, wind and solar power, but those sources remained untapped because of a lack of relevant government policy.

“There must be a breakthrough on regulations to promote renewable energy resources, such as eliminating subsidies given to coal-based fuels. Otherwise, Indonesia will never move to use renewable energy,” she said.

The Energy and Mineral Resources Ministry has set up a new directorate general on new and renewable energy and energy conservation.

Indonesia currently produces about 4.1 million kiloliters of bioethanol and 120,000 kiloliters of biodiesel per year.

The government also expects to boost geothermal energy in its power sector.

Indonesia’s geothermal capacity is estimated to be around 28,000 megawatts, but only 5 percent of this capacity has been developed.

http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/04/govt-told-develop-renewable-energy.html