Tampilkan postingan dengan label kebun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebun. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 April 2016

Konferensi Pers JATAM-WALHI-Greenpeace pernyataan presiden tentang moratorium pertambangan dan sawit

--Konperensi Pers JATAM-WALHI-Greenpeace Terkait "Pernyataan Presiden terkait moratorium pertambangan dan sawit".

Dikirim oleh Debby Chinta Goodwin Manalu pada 19 April 2016

Sabtu, 09 April 2016

Sarasehan cegah kebakaran gambut

Suasana pertemuan. Sarasehan mencegah kebakaran gambut. Problem pencegahan kebakaran terkait dengan status land ownership. Munadi Kilkoda Riko Kurniawan Advokat Indra Jaya Boy Jerry Even Sembiring

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 9 April 2016


Sabtu sore yang menyenangkan. Dengan Ketua Badan Restorasi Gambut RI Bang Nazir Foead dan partner hidup Delima Saragih. Sambil makan sore, diskusi tentang perjuangan organisasi non pemerintah, tentang fund raising bagi ornop, dll. Selamat akhir pekan teman teman ditengah suasana duka Bang Balubun meninggal di Ambon. Kebaikan alam semesta menyertai kita semua.

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 9 April 2016


Dengan Wibi, Muammar Vebry (Uni Eropa). Bagaimana kebakaran gambut tak terjadi lagi. Riko Kurniawan Made Ali Boy Jerry Even Sembiring Advokat Indra Jaya

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 8 April 2016

Senin, 01 Februari 2016

INI MEDAN BUNG: PREMANISME, KORUPSI, KESENJANGAN, DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN?

PIUS GINTING/WALHI
PERSOALAN preman kembali mencuat di Sumatera Utara. Bentrokan antara IPK dan PP pada 30 Januari 2016 memakan korban jiwa dan menimbulkan keresahan masyarakat. Preman ini adalah sekumpulan orang yang tidak terserap ke dalam lapangan kerja formal. Mereka disebut lumpen proletariat. Dan dalam konteks Sumatera Utara, premanisme memiliki sejarah panjang terkait dengan politik, sosial, ekonomi. Kelompok preman digunakan menghilangkan gerakan rakyat secara sadis pada tahun 1965-1966, seperti kita lihat dalam film The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer, keduanya dinominasikan mendapatkan Oscar. Banyak para korban adalah penduduk desa yang disingkirkan sebelum investasi perkebunan meluas di Sumatera Utara.

Organisasi preman ini terus dipakai pemerintah dan perusahaan menghadapi upaya perlawanan rakyat. Seperti kehadiran PP disekitar lokasi tambang G Resources, Batangtoru, merespon perlawanan kuat rakyat atas pembuangan limbah tambang ke sungai (2012-2013).

Hidup sebagai preman tampaknya akan terus terjadi bagi sebagian kelompok masyarakat Sumatera Utara dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Antara tahun 2012-2013, pengangguran meningkat 32 ribu orang (menjadi 412 ribu orang). Antara tahun 2014 dan 2015, pengangguran bertambah lagi 30 ribu orang, sehingga menjadi 421 ribu orang.

Berlawanan dengan anggapan banyak pembuat kebijakan, kenyataannya peningkatan pengangguran Sumatera Utara berbarengan dengan peningkatan investasi. Pada tahun 2015, Pemerintah Sumatera Utara menargetkan realisasi penanaman modal di Sumatera Utara (Sumut) mencapai Rp11 triliun. Naik sekitar 10 persen dibanding target 2014.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) Sumut, Purnama Dewi menyatakan, dalam beberapa tahun belakangan, realisasi investasi di Sumut selalu melampaui target.

Sektor terbesar investasi bagi perusahaan asing di Sumatera Utara adalah kimia dan farmasi, lalu pertambangan serta tanaman pangan dan perkebunan (BPMP). Untuk modal dalam negeri adalah tanaman pangan dan perkebunan serta industri logam dasar.

Saya menyorot dua sektor, yakni pertambangan dan perkebunan, yang selama ini korbannya banyak diadvokasi oleh organisasi lingkungan hidup, seperti WALHI. Kedua sektor ini memiliki jejak kerusakan lingkungan yang luas. Berupa pembukaan kawasan hutan negara dan ruang hidup rakyat. Sering jenis investasi ini menimbulkan konflik dengan warga. Seperti dialami oleh Sanmas Sitorus, diadili di PN Balige karena membela masyarakat adat mendapatkan hak ulayat dari PT. Toba Pulp Lestari.

Dengan begitu, investasi di Sumatera Utara menimbulkan konflik dan tak sanggup menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga timbul premanisme. Parahnya lagi, di tengah situasi ini, korupsi melanda lembaga pemerintahan Sumatera Utara (eksekutif, yudikatif, legislatif).

Agar premanisme, korupsi dan kerusakan sumber daya alam tidak kian parah, maka Sumatera Utara perlu model pembangunan lain. Harus berubah dari yang sudah dibangun selama ini sejak masa pemerintahan Orde Baru, yang dikawal dengan jalan premanisme.

Jalan keluar tersebut di antaranya dengan pemerataan kesejahteraan. Sumatera Utara memiliki tingkat kesenjangan kesejahteraan di atas rata-rata nasional. Hal ini dapat diatasi di antaranya dengan pengakuan wilayah kelola rakyat di dalam kawasan hutan, peningkatan upah buruh, dan peningkatan pajak rumah mewah. Gedung rumah mewah di tengah kemiskinan yang meluas menciptakan ketidakharmonisan sosial. Dalam perjalanan ke Medan awal Januari ini, saya melihat gedung mewah para anggota DPRD di daerah Padang Bulan yang hampir jadi namun terhenti karena tersangkut korupsi.

Korupsi dapat diatasi dengan meningkatnya tingkat partisipasi rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pengawasan tersebut tidak dapat diserahkan kepada ormas dan segelintir LSM. Karena lembaga-lembaga ini justru mendapatkan aliran dana "bansos" yang kini kenyataannya jadi bagian dana yang dikorupsi di Sumatera Utara. Pengawasan dan partisipasi harus melibatkan rakyat yang terdampak langsung oleh proyek pembangunan.

Rakyat Sumatera Utara memerlukan Ini Medan Bung memiliki makna transformatif: pemerataan kesejahteraan, pemerintah yang dikawal secara demokrasi partisipatif rakyat luas, dan pembangunan yang tak merusak lingkungan.

Syarat tranformasi ini adalah sinergi yang intens, dan saling memperkuat antara organisasi masyarakat sipil. Bila di sisi lain, seburuk-buruknya premanisme, dia tetap dipertahankan oleh sistem ekonomi politik saat ini, maka sebaik-baiknya perjuangan organisasi masyarakat sipil di Medan dan Sumatera Utara secara luas, bila organisasi masyarakat sipil tersebut bisa saling memperkuat kekuatan alternatif dari masyarakat sipil. Adalah tantangan yang dapat berkontribusi positif bila keberadaan beberapa tokoh organisasi masyarakat sipil yang kini berada di dalam pemerintahan (ada yang menjadi Bupati, menjadi anggota DPRD) dapat saling memperkuat organisasi dengan masyarakat sipil untuk melakukan tranformasi tersebut tanpa terjebak kepada patronase sempit dan hilangnya daya kritis dari organisasi masyarakat sipil.

Mari kita upayakan terus penguatan gerakan masyarakat sipil Sumatera Utara yang pro-kemanusiaan, ekologi, dan pemerataan kesejahteraan rakyat mengatasi 4 persoalan besar ini.


*Penulis adalah Kandidat Direktur Eksekutif Nasional WALHI 2016-2020

http://politik.rmol.co/read/2016/02/01/234197/Ini-Medan-Bung:-Premanisme,-Korupsi,-Kesenjangan-dan-Kerusakan-Lingkungan-

Senin, 04 Januari 2016

Pembakar Hutan Divonis Bebas, Pius: Sinar Mas Sponsornya TNI, Pegang Kendalilah...

Palembang, Lensaberita.Net - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palembang yang menolak gugatan pemerintah terhadap anak perusahaan Group Sinar Mas, yakni, PT Bumi Mekar Hijau sebagai pelaku pembakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan bencana asap masal di beberapa wilayah Sumatra dinilai telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat.


meme Ketua Pengadilan Negeri Palembang


Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting mengatakan, pernyataan Ketua majelis hakim, Parlas Nababan yang menyatakan bahwa kebakaran tak merusak lahan karena masih bisa ditumbuhi tanaman akasia adalah suatu pemikiran yang sesat. Karena, Hakim Parlas Nababan mengabaikan dampak yang dirasakan masyarakat korban asap kebakaran lahan dan hutan.

"Ini hakimnya gelap mata. Jelas-jelas ini adalah kejahatan lingkungan hidup. Ada 500 ribu orang jadi korban asap. Lalu, puluhan orang sudah meninggal. Lagipula Undang Undang mengamanahkan hak atas lingkungan hidup bagi masyarakat," ujar Pius saat dihubungi Rimanews, Senin (4/01/2016).

Kemenangan anak perusahaan Group Sinar Mas tersebut, menurut Pius, semakin memperjelas bahwa kedaulatan hukum telah dikangkangi oleh korporasi. Bahkan, negara-pun semakin tidak berdaya melawan kekuasaan pemilik modal.

"Sinar Mas kekuasaannya sungguh besar. Karena, pejabat di negeri ini terlalu banyak kompromi dan mau saja menerima bantuan apa-pun dari Sinar Mas. Misalnya, perayaan ulang tahun TNI diakomodir oleh Sinar Mas. Kalau sudah begitu kan, Sinar Mas bisa pegang kendali semuanya. Jadi, kalau soal masalah hukum saja hal yang terkecil, karena kekuasaan sudah dipegang," sesal Pius.

Sebagaimana diketahui, Pengadilan Negeri Palembang telah mengeluarkan keputusan sidang gugatan perdata terkait kasus Kebakatan Hutan dan Lahan (Karhutla) yang diduga dilakukan oleh PT Bumi Mekar Hijau (BMH), pada Rabu (30/12/2015). Hasilnya majelis hakim memenangkan tergugat dalam kasus tersebut.

Dengan demikian, gugatan perdata yang diajukan pemerintah sebesar Rp2,6 triliun untuk ganti rugi dan Rp5,2 triliun terhadap PT BMH sebagai biaya pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar gugur dengan sendirinya.

Ketua majelis hakim, Parlas Nababan menilai penggugat tak dapat membuktikan unsur kerugian negara yang dilayangkan. "Kehilangan keanekaragaman hayati tidak dapat dibuktikan," kata Parlas.

Para majelis hakim mempertimbangkan, lahan bekas terbakar masih bisa ditanami dan ditumbuhi kayu akasia. Majelis hakim bahkan menunjuk pihak ketiga, untuk melakukan penanaman.

Pertimbangan majelis hakim tersebut dibuktikan atau dikuatkan dengan hasil uji laboratorium yang diajukan PT BMH. Bukan hanya itu saja, anak perusahaan PT Sinar Mas itu juga dinyatakan tidak terlibat langsung dalam kasus kebakaran tersebut.

Majelis hakim beralasan bahwa ada pihak ketiga yang harus bertanggungjawab. Dengan demikian, tak ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian akibat kebakaran hutan.

Terkait vonis itu, pihak KLHK mengaku kecewa. Padahal KLHK menilai PT BMH telah lalai dalam mengelola izin yang diberikan pemerintah, untuk mengelola lahan sebesar 20 ribu hektar di areal perkebunan.

Atas penolakan gugatan perdata itu, KLHK langsung mengajukan banding. Izin perusahaan pun sudah dibekukan.

SRC|TRC|SUMBER

http://www.lensaberita.net/2016/01/pembakar-hutan-divonis-bebas-pius-sinar.html

Minggu, 20 September 2015

Pengusaha Tuding Pemerintah Tak Mampu Atasi Kebakaran Hutan

Reni Lestari 
Jurnalis

JAKARTA - Pemerintah dan pengusaha saling lempar tanggung jawab penyelesaian bencana kebakaran hutan dan kabut asap. Pemerintah mengklaim sebagian besar lahan yang terbakar berada di kawasan korporasi dan akhir menangkap pengusaha. Sedangkan pihak pengusaha merasa dijadikan kambing hitam atas persoalan ini.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, sikap mengkambinghitamkan pengusaha sebagai penyebab kebakaran hutan adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah menanggulangi masalah ini. Dia berdalih, kebakaran yang terjadi di lahan-lahan perusahaan sumber apinya berasal dari luar lahan.

"Inti persoalan bukan di situ. Jadi ini cerminan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah ini. Buktinya tidak saja terbakar lahan milik masyarakat, hutan lindung dan konservasi pun terbakar, padahal itu tanggung jawab pemerintah," kata Fadhil dalam diskusi bertajuk ‘Republik Dibekap Asap’ di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menuding korporasi sebagai pihak yang harusnya bertanggungjawab. Sebelum diberikan izin pengelolaan hutan, korporasi diberikan syarat menyiapkan sarana prasarana untuk mengatasi kebakaran hutan.

Hal tersebut yang dinilai Pius menjadi kesalahan terbesar korporasi. Pemerintah juga melakukan kelalaian dengan mengobral izin pengelolaan hutan.

"Kami telah melakukan overlay antara titik api di Sumatera dan Kalimantan, mayoritas titik api berada di wilayah perkebunan dan konsesi,” ujar Pius.

Menurutnya, setidaknya 50 persen titik-titik api berada di lahan konsensi. Ini bukan sesuatu yang tanpa diketahui dan konsekuensi yang tidak bisa dihindari korporasi sehingga perusahaan tidak siap manakala kebakaran hutan terjadi.

“Di undang-undang perkebunan pun disebutkan perusahaan wajib tandatangan tanggung jawab mereka mengatasi kebakaran," kata Pius.

Padahal, lanjut Pius, berdasarkan audit kesiapan dalam menghadapi kebakaran hutan tahun 2014, hampir semua perusahaan di Riau tak memiliki prasarana untuk mengatasinya. Sebaliknya, tak ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk menindaklanjuti temuan tersebut.

"Ketiaktegasan berada di pemerintah setelah melakukan audit dan seharusnya ada tindakan serius, sehingga kebakaran tetap terjadi di kawasan perusahaan," kata dia.

Pius menyayangkan antisipasi pihak pemerintah yang sangat kurang sehingga peristiwa yang merugikan masyarakat banyak ini terus terulang.

"Antispasi yang tidak jelas dari Kementerian Kehutanan dan hampir semua perusahaan tidak siap. BMKG sudah mengingatkan akan terjadi kemarau panjang dan sejak Februari sudah kita dengar. Antisipasi itu yang tidak ada dari pemerintah," tukas Pius.

(MSR)

http://news.okezone.com/read/2015/09/20/337/1217648/pengusaha-tuding-pemerintah-tak-mampu-atasi-kebakaran-hutan

Foto: Republik Dibekap Asap



Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyampaikan pandangan di Forum Senator untuk Rakyat bertema "Republik Dibekap Asap" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (20/9). Forum kali ini dihadiri juga anggota DPR RI dari Riau Abdul Gafar Usman, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi.
Febiyana/RMOL

Jumat, 01 Mei 2015

Hadapi Eksploitasi Lingkungan, Pemerintah Masih Mandul



KBR, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai Pemerintahan Joko Widodo belum mampu mengatasi persoalan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Direktur Kajian WALHI, Pius Ginting memaparkan, hingga enam bulan masa pemerintahannya, pemerintah belum juga mampu menurunkan eksploitasi berlebihan yang kerap dilakukan perusahaan. Ia mencontohkan alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan lahan perkebunan sawit.

"Salah satu persoalan lingkungan hidup di Indonesia adalah akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dan ini masih menjadi persoalan hingga kini dan masih belum teratasi dengan baik. Misalnya fenomena mengenai beras impor. Itu tidak terlepas lantaran banyaknya lahan kita yang dialokasikan untuk perkebunan monokultur, semisal perkebunan sawit. Sehingga tidak terjadi diversifikasi pangan," katanya.

Ia menambahkan, selain di sektor hutan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan juga terjadi di sektor pertambangan. Hal ini mengakibatkan lahan milik masyarakat terdegradasi dengan kepentingan pengusaha di sektor tersebut. Sementara itu ia meyakini, semakin banyak lahan yang dieksploitasi bakal mengancam kehidupan masyarakat dan menimbulkan bencana lingkungan.

http://portalkbr.com/nusantara/05-2015/hadapi_eksploitasi_lingkungan__pemerintah_masih_mandul___/71578.html

https://soundcloud.com/audiokbr/hadapi-eksploitasi-lingkungan-pemerintah-masih-mandul