Tampilkan postingan dengan label migas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label migas. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Desember 2015

OECD TIDAK FAIR DALAM PENGHAPUSAN SUBSIDI BAHAN BAKAR FOSIL DI INDONESIA

Oleh: PIUS GINTING
ORGANISASI negara maju (OECD) bersikap ganda dan tak jujur dalam kebijakan mengenai subsidi bahan bakar fosil. Khususnya kebijakan dan praktek negara maju tersebut di Indonesia.

Dalam rangkaian pertemuan Perubahan Iklim di Paris, Prancis, organisasi negara maju (OECD) bersama organisasi Friends of Fossil Fuel Reform pada 30 November 2015 mengeluarkan komunike agar pemimpin negara dunia melakukan penghapusan subsidi terhadap bahan bakar fosil.

Dalam komunike tersebut Sekretaris Jenderal Angel Gurria menyatakan, "Negara-negara perlu menunjukkan aksi dan kebijakan konkret bahwa mereka serius mengatasi perubahan iklim, mereformasi dukungan bagi bahan bakar fosil adalah tempat yang bagus untuk memulai."

Dalam kenyataannya, negara maju tersebut di Indonesia menikmati keuntungan bisnis berkat subsidi dan dukungan dari pemerintah terhadap bahan bakar fosil. Khususnya dalam pembangkit listrik tenaga batubara. Proyek-proyek besar pembangkit listrik batubara milik negara maju (OECD) di Indonesia tidak akan berjalan tanpa dukungan dan subsidi dari pemerintah Indonesia.

Di antaranya adalah proyek listrik tenaga batubara Batang, di Jawa Tengah dengan kapasitas 2x1000 MW. Proyek tenaga listrik terbesar di Asia Tenggara ini dimiliki oleh Itochu, J Power dan didukung pendanaan oleh JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Proyek ini disubdisi pemerintah Indonesia lewat dana pembebasan lahan menggunakan dana publik, juga pengerahan langsung tenaga keamanan negara.

Juga proyek listrik batubara untuk ekspansi di Indramayu dan Cirebon yang didanai oleh negara OECD. Pembebasan lahan proyek ini juga disertai dengan pemaksaaan, kekerasan dan pemenjaraan terhadap warga. Saat ini warga Batang melakukan upaya perlawanan hukum dengan menggugat di Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya, pada pada 16 November 2015 organisasi negara maju OECD mengeluarkan kebijakan mendukung investasi teknologi batubara di luar negeri dengan jenis teknologi ultra super critical. Kebijakan ini ditentang oleh aktivis dan warga yang terdampak pembangkit listrik di Indonesia dengan mengadakan aksi protes ke Kantor Kedutaan besar pada 12 November 2015.

Pada akhirnya, emisi yang dihasilkan oleh investasi negara maju tersebut di Indonesia akan dihitung sebagai emisi gas rumah kaca dari Indonesia.

Indonesia seharusnya membuat pembangkit batubara sebagai daftar negatif investasi asing, khususnya dari negara maju (OECD).

Jalan keluar alternatif, Indonesia perlu berjuang dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris bersama dengan negara berkembang lainnya agar negara maju memberikan dukungan pendanaan dan transfer teknologi bagi negara berkembang, sebagai wujud pelaksanaan dari prinsip tanggung jawab bersama dengan tingkat yang berbeda (common but differentiated responsibilities).

Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim.

RMOL: 226645 OECD Tidak Fair dalam Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Fosil di Indonesia

Jumat, 06 November 2015

Perbankan Tak Punya Komitmen Investasi Berkelanjutan


Ilustrasi. ANTARA FOTO
Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat jadi US$ 119 miliar, dari lima tahun sebelumnya sebesar US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, naik hampir 10 kali lipat. Ini merupakan angka akumulasi pengeluaran dana seluruh negara di dunia.

“Bank tidak punya komitmen untuk mendorong investasi berkelanjutan. Bahkan investasi untuk energi terbarukan tidak melebihi 10%,” kata Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan penelitian Fair Finance Guide International (FFGI) terhadap 10 lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia seperti Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA dan Bank Panin. Dari 10 lembaga keuangan, 8 di antaranya membiayai bahan bakar fosil di atas 90%.

“Pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling polutif seperti batu bara dan minyak bumi jauh lebih tinggi. CIMB Niaga dan Bank Panin misalnya, mereka masih 100% investasi di bahan bakar fosil. Sedangkan Bank Mandiri 99% dan BRI serta BCA masih 98% untuk investasi energi fosil,” ujar Rotua.

Untuk energi terbarukan, lanjut dia, hanya UFJ Mitsubishi yang memiliki pembiayaan lebih dari 1 miliar dolar. Sedangkan, HSBC sebagai lembaga keuangan terbesar untuk sektor bahan bakar fosil, hanya memiliki investasi tahunan sebesar 99 juta dolar di sektor energi terbarukan, kata Rotua.

Pius Ginting, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, penggunaan bahan bakar fosil sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat semasa pemerintahan Barack Obama telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Bahkan ke depan, uang publik tidak boleh digunakan untuk pembiayaan PLTU. Ini kebijakan yang bagus.

Tiongkok juga demikian, sudah melarang pembangunan PLTU baru. Hal ini menyebabkan Indonesia sebagai incaran penjual teknologi batubara. Padahal, teknologinya adalah teknologi kotor.

“Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dalam dan luar negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batu bara,” kata Pius.

Karena itu, Walhi berharap lembaga keuangan jangan hanya membuat komitmen tanpa makna. Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi hijau dan produk berkelanjutan kepada konsumen. Namun, di sisi lain mereka juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. “Its’ green washing!” tegas Pius.[*]


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/perbankan-tak-punya-komitmen-investasi-berkelanjutan/

Kamis, 06 Agustus 2015

Buku: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara


(Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha, editor: Maryati Abdullah, Chistina Hill)
Penulis : Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha
Penyunting : Maryati Abdullah, Chistina Hill
Penerbit : Publish What You Pay Indonesia (IGJ)
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : iv, 38 halaman
ISBN : ---

Tulisan ini mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus dari pengalaman masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, tulisan ini juga memaparkan pembelajaran Internasional, yaitu dari Australia dan Norwegia.

Rabu, 26 September 2012

Ketika Warga Richmond Berhadapan dengan Chevron, Pelajaran Bagi Kepala Daerah Kita

Dia seorang perempuan, jadi Wali Kota Richmond, di negara bagian California, Amerika Serikat. Satu-satunya wali kota dari Partai Hijau di kota besar. Di Richmond terdapat kilang minyak besar milik Chevron. Minyak dari berbagai negara dunia dibawa ke kilang ini untuk didistribusikan ke Amerika Serikat, khususnya bagian Pantai Pasifik.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Dalam politik, sebelumnya Richmond selalu menjadi kota milik perusahaan. Seperti Timika bagi Freeport. Namun sejak tahun 2006, warga menolak kandidat yang didukung Chevron. Mereka memilih Gayle McLaughin dari Partai Hijau. Dia berkampanye menaikkan pajak korporasi besar. Juga berjanji mempekerjakan kembali pekerja yang di-PHK, dan penyediaan pekerjaan ramah lingkungan bagi pemuda lokal.

Karena kekritisannya terhadap korporasi besar, pesaing Gayle McLaughin dalam pemilihan menyatakan, “Dia [Gayle] benci Chevron. Dan kebencian itu membuat dia menolak bernegosiasi dengan entitas penting dalam komunitas [Chevron] atau bahkan menerima cek dari mereka untuk kepentingan komunitas.”

Untuk mendanai pemilihannya, Gayle McLaughin menerima uang dari serikat buruh, kelompok lingkungan, dan donor individual. “Aku tidak menerima sepeser pun dari korporat. Khususnya di Richmond, yang telah beberapa dekade dibawah telunjuk korporasi,” tegasnya.

Mengapa menerima dana dari serikat buruh? Jawabnya, “Saya melihat serikat buruh pada dasarnya bertentangan dengan korporasi. Serikat buruh adalah orang yang bersama-sama memperjuangkan hak mereka, orang biasa. Hal berbeda dengan korporasi yang tujuannya adalah mendapatkan keuntungan.”

Gayle McLaughin menyatakan, perjuangan dirinya bertarung berhadapan Chevron dimulai saat dia terpilih. Mereka punya sebuah gerakan progresif di Kota Richmond, bernama Richmond Progresive Alliance. Berkat gerakan ini dan anggota dewan kota progresif, Chevron tak lagi mendominasi pemerintahan kota Richmond.

Gayle menyatakan, pemerintahannya akan dapat mendudukkan Chevron bertanggung jawab dengan meregulasi mereka, tak memberikan izin bagi rencana-rencana baru jika tidak mendapatkan jaminan keselamatan paling tinggi.

Chevron tak dapat mengilang minyak mentah kotor, heavy crude yang dapat menimbulkan lagi ledakan dan mencederai komunitas kota Richmond dan sekitarnya, tegasnya dalam sebuah wawancaranya dengan www.democracy.now. Namun tragis, kesehatan warga terusik kesekian kalinya oleh kilang minyak Chevron yang mengalami kebakaran besar pada 6 Agustus 2012. Sebanyak 900 lebih orang mencari pertolongan ke rumah sakit.

Komunitas berpenghasilan rendahlah yang tinggal di sekitar kilang minyak Chevron. Mayoritas penduduk Richmond bukan berkulit putih. Sebanyak 40 persen berasal dari Amerika Latin, 30 persen Afrika-Amerika, Asia, dan penduduk asli Amerika.

Antonia Juhaz, penulis buku Tyranny of Oil sekaligus aktivis menyebutkan lebih 25.000 penduduk hanya terletak tiga mil dari kilang Chevron dan hampir 85% penduduk ini hidup di bawah garis kemiskinan standar Amerika Serikat.

Warga Richmond secara terbuka mengungkapkan protesnya terhadap Chevron. Bahkan mendatangi dan menghadiri setiap pertemuan tahunan pemegang saham Chevron. Tahun 2011, penulis menyaksikan seorang pendeta tua namun bersemangat bernama Davis, berbicara tentang dampak lingkungan kilang Chevron langsung ke Direktur Utama Chevron, Watson, dalam acara pertemuan pemegang saham.

Dia katakan, umatnya banyak sakit. Dia harus selalu pergi mengantar orang ke kuburan, sementara Chevron pergi ke bank. Chevron mengambil minyak dari banyak negara lain, menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan di banyak tempat, lalu membawanya ke Richmond. Dan di Richmond menimbulkan persoalan lingkungan dengan masyarakat sekitar.

Waktu dua menit yang disediakan bagi setiap orang yang bertanya dalam pertemuan pemegang saham adalah terlalu singkat. Watson mengancam menyudahi bagian tanya jawab bila pendeta itu tidak duduk.

Kembali ke Wali Kota Richmond, dia selalu berjuang bersama warganya, di jalanan maupun dalam ruangan, menuntut pertanggungjawaban Chevron.

Pada Hari Bumi 21 April 2012, di depan aksi massa diorganisir oleh Occupy Richmond, Gayle McLaughin menyatakan, “Ratusan tahun sudah, komunitas kalian dihujani polusi. Pada hari bumi ini, kita perlu fokus terhadap perusahaan-perusahaan besar. Mengagumkan melihat begitu banyak orang bangkit melawan Chevron. Ini adalah soal pemberdayaan.”

Pada “Aksi Jaga-jaga untuk Gelandangan”, Mei 2012, untuk menunjukkan perhatian bagi gelandangan, Gayle McLaughlin mendatangi kerumunan kecil orang-orang berjaket dan berselimut. Dia katakan, ketimpangan distribusi kekayaan tak menolong orang keluar dari jalanan.

“Bukan karena tidak cukup [uang] di dunia ini. Kita tahu bahwa korporasi besar seperti Chevron ciptakan miliaran dolar keuntungan, tapi kita malah mengalami jumlah gelandangan terbanyak di sekitar Teluk San Fransisko, yakni di Richmond. Ini adalah kenyataan memalukan, bahwa kita punya kesenjangan seperti itu di komunitas kita,” seperti dimuat dalam richmondconfidential.org.


Pertarungan di Pengadilan

Gayle McLaughlin juga menghadapi Chevron di persidangan. Chevron menggugat Pemerintah Daerah Contra Costa, ketika Richmond termasuk di dalamnya. Chevron menggugat klaim kelebihan pajak senilai 73 juta dollar.

Bagi Chevron, gugatan ini hanya sebesar 0,26 % keuntungannya tahun 2011. Bagi Gayle McLaughlin dan komunitas Contra Costa itu berarti besar. Jika kalah, pengembalian uang kepada Chevron akan berarti pemangkasan anggaran perpustakaan, sekolah, jasa pemadam kebakaran, perbaikan lingkungan dan anggaran sosial lainnya.

Chevron menuduh penilai pajak Pemerintah Daerah Contra Costa sengaja mengelambungkan nilai aset terkena pajak Chevron tahun 2007-2009.

Namun, alih-alih mendapatkan pengurangan pajak, pengadilan tingkat banding pada April 2012 menyatakan bahwa penilai pajak justru membuat nilai aset Chevron lebih rendah 10 hingga 23% dari seharusnya.

Pengadilan berpandangan nilai pasar kilang Chevron sebesar 3,7 miliar, 4,4 miliar dan 3,8 miliar dolar AS pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Karenanya, Chevron harus membayar pajak tambahan senilai 26,7 juta dolar AS. Gayle McLaughlin bersama pemerintahan daerah Contra Costa dan kota Richmond pun bernapas lega.

Perjuangan warga kelas bawah Richmond untuk dapatkan lingkungan yang sehat tentunya masih panjang karena keberadaan kilang minyak Chevron yang beberapa kali alami kebakaran. Tapi dibandingkan warga Indonesia yang tinggal di Kabupaten Bengkalis, Riau di sekitar ladang minyak Chevron, keadaan warga Richmond masih lebih baik. Mereka beruntung memiliki kepala daerah yang berjuang untuk kepentingan warga yang “tak masuk angin” berhadapan dengan korporasi besar bahan di negeri pusat kapital global. Khususnya menyangkut perjuangan hak warga atas lingkungan yang sehat.

Perjuangan warga dan pemerintah kota Richmond bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah agar tidak tunduk kepada pengaruh korporasi perusak lingkungan. Pemerintah daerah di Indonesia pun bisa!

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1903-ketika-warga-richmond-berhadapan-dengan-chevron

Selasa, 31 Mei 2011

Rabu, 25 Mei 2011

True Cost of Chevron Around the Globe

IMG_7334

5/24/11 press event in San Francisco, where community leaders from Nigeria, Angola, Ecuador, Indonesia, Alaska, Texas, across California, and other communities that are negatively impacted by Chevron's operations gathered at a Chevron gas station to expose the harms Chevron causes in the communities where they and their members live, work and play.

https://www.flickr.com/photos/justiceinnigerianow/albums/72157626798205140


Days before oil giant’s annual shareholder meeting, local and international community leaders from Nigeria to Ecuador to Richmond reveal firsthand reality of Chevron’s operations are not what is seen on TV.
- Interview Available Now -

WHAT: Press Conference, Report Release, and Chevron Toxic Tour
WHEN: Tuesday, May 24 at 10am
WHERE:
Starts at Chevron Gas Station
1298 Howard Street (9th & Howard)
San Francisco, CA 94103-2712

WHY: On May 25, dozens of local, national, and international community leaders and advocates from and for communities harmed by Chevron’s operations from Angola, Ecuador, Indonesia, Nigeria, Alaska, Texas, and more will attend the company’s annual shareholder meeting in San Ramon, California while supporters rally outside to demand that Chevron agree to change its ways.

As oil and gasoline prices -- and public outrage at the generous government subsidies handed out daily to the oil industry – are on the rise, Fortune Magazine announced that for the fourth year in a row, Chevron -- California’s largest company -- is the nation’s third largest corporation and the world’s sixth largest. Chevron brought in nearly $20 billion in profits last year. What did it do with its vast wealth? According to its Annual Report and the actors in its “We Agree” Ad campaign, Chevron supported human rights, alternative energy, the environment, and local economies.

The reality is much different and the people who know best will expose the true cost of Chevron in three ways:

  1. With the release of The True Cost of Chevron: An Alternative Annual Report.

  2. Embargoed until May 24, the report includes accounts by more than 40 authors – led by those on the front lines of Chevron’s operations -- recording egregious corporate behavior in locations as diverse as California, Burma, Colombia, Ecuador, Kazakhstan, Nigeria, the Philippines and the U.S. Gulf Coast, including new sections detailing Chevron’s pursuit of ever-riskier and ever-deeper offshore projects in the South China Sea, the North Sea, and the Canadian Arctic and its role in the Deepwater Horizon disaster. The report also profiles the historic victory and ongoingbattle over Chevron's crimes in Ecuador.


  3. Many report authors have traveled to the Bay Area to be available to speak at the Press Conference, including:

  4. Humberto Piaguaje, Amazon Defense Coalition, Ecuador
    Emem Okon, Kebetkache Women Development and Resource Centre, Nigeria
    Elias Isaac, Open Society Initiative, Angola
    Jessica Tovar, Communities for a Better Environment, Oakland, CA
    Mardan Pius Ginting, WALHI - Friends of the Earth Indonesia, Indonesia
    Gitz Crazyboy (Ryan Deranger), First Nation Dene/Pikini (Blackfoot), Alberta, Canada
    Antonia Juhasz, Global Exchange, San Francisco, CA, co-editor of the True Cost of Chevron report.


  5. Following the press conference, a Toxic Tour of Chevron’s operations in Richmond will be led by local activists for the press and our national and international allies.

Extra info:
Contact: Antonia Juhasz True Cost of Chevron antonia@globalexchange.org 415-846-5447


http://www.globalexchange.org/news/truth-behind-big-oil-exposed

www.TrueCostofChevron.com

Minggu, 01 Mei 2011

Chevron in Indonesia - An Alternative 2010 Annual Report

Pius Ginting, WALHI - Friends of the Earth Indonesia

“Let me die here. There is no use for me to stay alive. Chevron does not care about my land. The company is very cruel.”
- Words yelled by Mr Darmiadi in an attempted suicide from a Chevron electricity tower, September 14, 2009.[345]



The majority of Chevron’s oil production has, and continues to, take place in the Riau province in the center of the Sumatra Island, where it operates four onshore blocks, the largest of which, the Duri field, is one of the world’s giant oilfields and one of the largest steamflood operations.[347]

Today, Chevron, through its Chevron Pacific Indonesia (CPI) subsidiary (formerly Caltex Pacific Indonesia), is Indonesia’s largest oil producer, with total daily production averaging 477,000 barrels of oil and 611 million cubic feet of natural gas in 2010.[348] Chevron’s Indonesian operations include oil, natural gas and geothermal power-generation.


Chevron Gets an Award in 2010! 

TATA HAIRA
Spilled oil resulting from an October 2010 oil pipeline
explosion in Manggala Jonson Village.
Two local girls suffered burn wounds in the explosion.
In November 2010, Chevron received an impressive award from Indonesia’s Ministry of the Environment. In its environmental performance rating program (PROPER), the Ministry ranked Chevron in its RED category. This designation means that Chevron Pacific Indonesia-Sumatra Light North, Chevron Pacific Indonesia-Sumatra Light South and Chevron Pacific Indonesia-Heavy Oil failed to properly manage the environment based on standard regulations. Chevron has devastated the environment and, as a result, the company is facing sanctions from the government.[354]

Chevron's Oil Pipeline: A Time-Bomb for Local People

On October 28 2010, CPI’s oil pipeline exploded in Manggala Jonson Village, Tanah Putih Sub District, District Rokan Hilir, Riau Province. Two girls, six-year old Wanda and 16-year old Rini, suffered burn wounds.

Local community member Mr. Yunus said that both girls suffered burn wounds because they were covered with hot crude oil from the exploded pipe. Mr. Yunus added that the incident initially sounded like a bomb blast. After recovering from their initial shock, the local community realized that the pipe had exploded and was spurting oil 10 meters high. When the incident happened, a motorbike owned by a local community member was thrown a distance of 15 meters.[355]

TATA HAIRA
Spilled oil resulting from the 2010 pipeline explosion
in Manggala Jonson Village.
Because of the incident, local community members from Manggala Jonson Village suffered from asphyxiation and sore throats. According to one source, who requested to remain anonymous, it is believed that the oil spill contained hazardous waste, which was inhaled by the community. However, the community was somewhat reluctant to speak openly to the media about their health impacts.[356]

According to Mr. Yunus, Chevron and its heavy equipment team came two hours after the explosion to repair the pipe.[357]

A Waste Ditch Overflowed, Local Community Houses Flooded

Also in 2010, local communities in the Rumbai Coastal area complained that their houses were continually flooded due to the overflow of a Chevron waste ditch. The coordinator of the Rumbai Community and Rumbai Coastal area reported this to the police on February 27, 2010. The community has suffered from serious skin problems, but Chevron has not paid any attention.

The Head of the Local Parliament Commission, Aswendi, said that Chevron had promised to clean the ditch. “Obviously, this is Chevron’s responsibility. When we called them (to the Local Parliament House), they promised to undertake dredging to avoid flooding into the community neighborhood. If flooding happens, we will call them again,” said Aswendi.[358]

Mr. Hanafi Kadir, Communications Manager of Chevron Pacific Indonesia said, “this (the flood) is not merely caused by shallowed drainage, but also because of the development impact. There is no more water catchment area. We admit that probably the drainage got shallowed but we have done dredging.”[359]

Land Seizure

On October 25, 2010, seventy-five community members joined the Rantau Bais Terpadu peasant group for a demonstration at the gate to Batang Field, owned by Chevron Pacific Indonesia. For two days, the demonstrators cut off the gate to the oil field on land the company had seized for exploration and exploitation. They hung a banner urging Chevron Pacific Indonesia to leave immediately and they set up a tent in the middle of the road, stopping all vehicles that attempted to go into the location. The demonstration was conducted peacefully, although hundreds of police were equipped with rifles and hand guns.

“Chevron has seized 130 hectares of our land since 2003, even though there are 65 claimants’ letters for the land,” said Masran Djasid, coordinator of community. “There are still 130 out of 600 hectares for which the company has not yet provided compensation. But Chevron has built dozens of oil pumps. Since 2005 Chevron has not displayed any goodwill. In fact, the community conducted a demonstration in February 2010, and sent a complaint to the Head of the District, the Governor, and even the National Parliament. But there has been no solution and the company has been violating its own map.”[360]

Currently, the state-owned Executive Agency for Upstream Oil and Gas (BPMIGAS) is investigating the land conflict between the villagers of Rantau Bais and Chevron. “The legal department of BPMIGAS is studying the conflict. And, in fact, we suspect that there is some land that has not been paid for yet,” said Elan Biantoro, Head of Public Relations for BPMIGAS.[361]

According to the company, Chevron has paid 8.6 billion rupiah (approximately US$ 1 million) for compensation for an area of 457.19 hectares, which consisted of 296 claimants. The company rejected 65 claimants because they were not included the 457.19 hectares.[362] This statement has been criticized by the community, which maintains that the company uses 600 hectares of land. Chevron is violating its own map, says the community.

Since Chevron has not responded to the community’s concerns, the community organized another blockade on November 25, 2010. Arifin Ahmad, Secretary of the Peasant Group Rantau Bais Terpadu, said, “We are forced to blockade the road again because so far Chevron has not been willing to pay compensation for our land.”[363] He added that the community will stay there to maintain the blockade until there is significant change in Chevron Pacific Indonesia’s position. Arifin stated, “If there is no change in Chevron’s position, we will stay here.”[364]

WALHI, together with other networks and the local communities, will continue to end the environmental, social and economic destruction in Riau, and in other provinces in Indonesia.



345 Chevron in Indonesia - An Alternative 2009 Annual Report.
347 Mezlul Arfie, Eduard Marika, Elwin S. Purbodiningrat and Herbert A. Woodard, “Implementation of Slurry Fracture Injection Technology for E&P Wastes at Duri Oilfield,” Society of Petroleum Engineers 96543-PP (2005).
348 Chevron Corp., Indonesia Business Portfolio (Mar. 2011).
354 Alamsyah Pua Sabah, “KPC Dari Hijau Ke Merah,” TAMBANG Magazine, 26 Nov. 2010.
355 Bagus Himawan, “Pipa Minyak Chevron Meledak, Dua Warga Luka Bakar,” Media Indonesia, 28 Oct. 2010.
356 “Akibat Tumpahan Minyak Chevron, Warga Alami Sesak,” Metro Terkini, 28 Oct. 2010.
357 Ibid.
358 Syahrul Mukhlis and Henny Elyati, “Parit Meluap, Warga Lapor Polisi,” Riau Pos, 28 May 2010.
359 Ibid.
360 “Warga Blokir Ladang Minyak Chevron”, Kompas.com, 25 Oct. 2010.
361 “BP Migas Selidiki Kasus Sengketa Lahan Chevron,” Antara News, 26 Oct. 2010.
362 Ibid.
363 “Tuntut Ganti Rugi, Ladang Minyak CPI Kembali Diblokir Warga,” Riau Terkini, 25 Nov. 2010.
364 Ibid.

Minggu, 23 Mei 2010

Dilema Minyak

Mengamati sejarah perkembangan sumber energi manusia, maka terdapat urutan dari kayu, beralih ke batu bara, selanjutnya minyak dan gas menjadi sumber energi. Peralihan tersebut karena rangakaian energi yang terakhir lebih tidak merusak lingkungan. Penggunaan kayu sebagai sumber energi utama dan massal akan lebih buruk dari penggunaan batu-bara, dan batu bara lebih buruk dari minyak dan seterusnya.

Kini mayoritas dunia mengandalkan minyak sebagai sumber energi utama. Perebutan minyak telah menjadi sumber peperangan (yang terbaru di antaranya adalah invasi Amerika terhadap Irak dan Afganistan). Juga kerusakan lingkungan terjadi akibat eksploitasi minyak. Banyak kasus kerusakan lingkungan berkaitan dengan eksploitasi minyak ini, seperti pencemaran laut di daerah Balikpapan, Indramayu Jawa Barat. Dampak buruk ini juga terjadi di negara lain tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez sebanyak 40 juta liter pada tahun 1989 ke laut Alaska. Dan bila eksploitasi minyak berada di bawah pemerintahan militeristik dan otoriter, sebagaimana Pertamina pada masa pemerintahan Orde Baru, dia menjadi lahan korupsi bagi segelintir elite penguasa negeri.

Karena dampak energi fosil telah melampaui daya dukung alam, maka dewasa ini beberapa negara telah mau beranjak meninggalkan energi fosil (di antaranya minyak) sebagai sumber energi. Salah satu di antaranya, tawaran dari Pemerintahan Ekuador yang memilih tidak mengeksploitasi minyak mereka yang terdapat di kawasan hutan Yanusi, dengan pertimbangan resiko kerusakan lingkungan, pengusiran masyarakat adat/lokal.


Minyak dan Kerusakan Lingkungan


Minyak sebagai salah satu energi fosil juga berkontribusi mengeluarkan gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak tersebut mulai terasa saat ini, seperti peningkatan suhu hingga mencairnya es di daerah kutub, musim kemarau dan hujan yang makin ekstrem, energi badai dan puting beliung yang makin meningkat, dan lain-lain.

Konsensus para ilmuwan menyatakan emisi gas rumah kaca harus dikurangi 60-80 persen dari tingkat emisi tahun 1990 dalam beberapa dekade singkat ke depan. Sementara itu, Protokol Kyoto hanya membuat target pengurangan emisi sebanyak 5,2 persen di bawah tahun 1990 untuk masa tahun 2008-2012. Sebuah pengurangan sebenarnya tidak berarti, namun masih juga negera penghasil gas rumah kaca terbesar seperti AS menolak mengikuti Protokol Kyoto ini pada masa pemerintahan Bush.

Mengatasi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi konsumsi minyak melalui mekanisme penaikan harga (pencabutan subsidi) bukan jalan keluar yang adil. Akses rakyat, khususnya mayoritas kelompok miskin terhadap energi, secara moral dan prinsip keadilan dan demokrasi atas akses energi, tidak boleh dipersulit.


Privatisasi Minyak: Menguntungkan Korporasi, Merugikan Rakyat Miskin


Untuk itu, keluar dari energi fosil (salah satunya minyak) harus melalui jalan yang adil, tidak mengorbankan mayoritas rakyat miskin.

Perusahaan-perusahaan besar dan negara maju seperti Amerika Serikat mendorong agar negeri berkembang melakukan privatisasi (swastanisasi) pengelolaan minyak dan gas. Privatisasi perusahaan minyak dan gas juga bukan jalan keluar ketergantungan terhadap minyak. Hal tersebut hanya menyebabkan harga minyak semakin mahal dan menjadi konsumsi kalangan segelitir elite. Sebagaimana rekomendasi sebuah studi yang disponsori oleh James Baker III Institute for Public Policy of Rice University dan Council on Foreign Relation (sebuah lembaga kajian hubungan luar negeri di Amerika Serikat yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah AS) pada tahun 2001 menyatakan bahwa minyak mengalami ”pasokan yang sedikit” karena ”kurangnya investasi” dalam produksi baru dan ”negara-negara [penghasil minyak sering mengalami] goncangan [politik]”. Kelebihan kapasitas telah lenyap dan hampir tidak ada lagi karena negara produsen minyak sebagian memperuntukkan minyaknya untuk proyek-proyek sosial daripada investasi pengembangan produksi kapasitas baru. Dengan demikian pandangan lembaga studi yang dekat dengan kepentingan perusahaan minyak internasional ini bahwa keuntungan minyak tidak boleh digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, sebagaimana saat ini dilakukan negara seperti Venezuela.

Untuk itu, lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasinya pada tahun 2007 ”agar semua perusahaan minyak nasional [yang dimiliki negara] diprivatisasi, investor asing diperlakukan setara dengan perusahaan minyak lokal, dan OPEC sebaiknya dibubarkan, yang akan memungkinkan terwujudnya perdagangan bebas dan pasar yang kompetitif untuk menyediakan energi yang dibutuhkan dunia dengan harga yang ditentukan oleh pasar.”

Celakanya, kemauan kepentingan korporasi besar dari negeri maju untuk memprivatisasi/meliberalisasi minyak telah beresonansi di Indonesia. Hal tersebut tampak dengan dikeluarkannya UU Minyak dan Gas pada tahun 2001. UU Migas No. 22/2001 mendorong penghapusan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Proses pembuatan undang-undang tersebut dikendalikan oleh kekuatan yang berkaitan erat dengan kepentingan korporasi, yakni USAID (United States Agency for International Development), sebagaimana pengakuan mereka “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000”.


Solusi: Energi Terbarukan Berbasiskan Komunitas


Pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, geothermal skala kecil, mikro hidro adalah beberapa di antaranya yang mendorong pengelolaan energi menjadi lebih terdesentralisasi ke komunitas, dan tidak merusak lingkungan dan tidak terjadi penyingkiran terhadap masyarakat yang berada di sekitar sumber energi, sebagaimana terjadi dengan pertambangan minyak.

Beberapa inisiatif untuk pengembangan energi terbarukan telah ada ada di Indonesia, seperti mikro hidro di Lampung dan Kalimantan Timur di antaranya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Gunung Kidul. Kebijakan tersebut harus didukung dan dipermudah oleh pemerintah Indonesia. Dan negara maju sepantasnya memberikan hibah teknologi untuk pengembangan energi terbarukan ke negara dunia berkembang (bukan dalam bentuk pengalihan pembayaran hutang negara dunia). Hibah tersebut sebagai wujud pembayaran utang ekologi negara maju yang telah berkontribusi lebih besar dalam pengerusakan kerusakan lingkungan hidup dunia, juga kerusakan lingkungan negara berkembang. Tugas kita mendesak pemerintah mengembangkan energi terbarukan, dan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil dengan cara adil, tidak memberatkan negara miskin dan rakyat miskin. Privatisasi adalah kepentingan korporasi.

(tulisan ini dibuat untuk buku pengantar pementasan teater Ladang Perminus)
Agustus 2009

Sabtu, 01 Mei 2010

Chevron in Indonesia - An Alternative 2009 Annual Report

Hariansyah Usman and Pius Ginting, WALHI - Friends of the Earth Indonesia


“Let me die here. There is no use for me to stay alive. Chevron does not care about my land. The company is very cruel.”

- Words yelled by Mr Darmiadi in an attempted suicide
from a Chevron electricity tower, September 14, 2009.[333]


ON SEPTEMBER 14TH, 2009, MR. DARMIADI climbed atop a Chevron high voltage electricity tower in Pematang Pudu. Darmiadi, age 37, is a local sand miner and father of two. He was unable to work on his land because, he contended, it had been contaminated by Chevron’s oil. Two months earlier, Darmiadi sent a letter to Chevron asking the company to take responsibility. The company denied his request, denied responsibility, and further argued that because Chevron owned part of his land, Darmiadi should not be sand mining on the land anyway.[334] Twenty-one days later, Darmiadi sought to commit suicide from atop Chevron’s tower. Only the supportive words of neighbors brought him down safely.

Chevron has been in Indonesia for more than 85 years. It began exploring for oil here in 1924 as Standard Oil of California. Its oil production began in 1952. Chevron remained active in Indonesia throughout the infamously brutal and repressive decades of the Suharto dictatorship (1965-1998). The majority of Chevron’s oil production has, and continues to, take place in the Riau province in the center of the Sumatra Island, where it operates four onshore blocks, the largest of which, the Duri field, is one of the largest energy sources in the world.[335]

Today, Chevron, through its Chevron Pacific Indonesia (CPI) subsidiary (formerly Caltex Pacific Indonesia), is Indonesia’s largest oil producer, with daily oil production averaging around 243,000 barrels of oil a day, about half of Indonesia’s total oil output. Chevron’s Indonesian operations include oil, natural gas and geothermal power-generation.


History of Repression and Resistance


If the average price of the crude oil from 1952-2008 were $20 per barrel, it would mean that Chevron’s Riau production has yielded some $220 billion. The Riau Economic Observer has found that, “If oil and gas companies indeed brought a good impact on the economy for local inhabitants, it should have affected Riau inhabitants 30 years ago. However, statistical data show that Riau was categorized the second most disadvantaged province in Indonesia in the 1980s.”[336]

Instead of wealth generation, Chevron’s Riau production has been plagued by economic injustice, environmental destruction, and the dislocation and disenfranchisement of indigenous populations. As a result, citizen resistance to Chevron has been a constant of life in Riau, often taking the form of massive protests against the company, with protestors at times numbering in the tens of thousands.

Chevron has employed brutal measures to quiet protests, including utilizing Indonesia’s notorious security services, bringing charges of human rights abuse, violence and intimidation.[337] For example, on January 27, 2000, Chevron paid the special Indonesia security force BRIMOB to overcome a series of actions and protests over land disputes and employment.[338] The BRIMOB are well-known for extreme human rights violations, including kidnapping, rape, torture, indiscriminate violence and murder.[339] As a result of the brutality of BRIMOB, 15 people involved in the protests against Chevron were wounded and five were hospitalized.[340]


Sakai Tribe and Its River


Ditch to the Batang Pudu river. The surrounding land
is contaminated, but Chevron covered it with sand
so the land looks good.
“Our last fort defense is the Batang Pudu river. It is like a war, if our last fort defense is ruined, then it will become the end of the world for us. The remaining option is only death or never ending misery that we shall take.” - Bathin Musa, the head of Sakai Tribe at Petani Village, Bengkalis.[341]

The Sakai people are one of several Indigenous peoples in the Riau province. Other Indigenous communities include the Bonai, Talang Mamak, Laut, Akit and Hutan. The community life of the Sakai includes living on products of the forest, keeping livestock, fishing and planting gardens.[342]

The Sakai tribe was the original owner of the land on which Chevron’s oil and gas was found.[343] The Sakai owned the Minas, Belutu, Tingaran, Sinangan, Semunai, Panaso and Borumban areas of land. “Almost all the land at CPI was indeed our ulayat (customary) land, where we went for hunting and farming... The land acquisition by Caltex came from some Sakai people who sold their land, or came from land grabbing with very low compensation or even no compensation at all. From hundreds of thousands of hectare acres, we now only have five thousand hectare acres left.”[344]


Water and Land Contamination


The inhabitants of Riau have been plagued by contamination of their land and water by Chevron’s oil, making traditional methods of subsistence impossible and causing dire health effects.

In 1993, the villagers of Sungai Limau together with WALHI-Riau charged Chevron with contaminating the Siak and Limau Rivers. In a letter to the government and Caltex, they wrote:
The Sungai Limau villagers reported problems almost identical to those cited by the Mempura villagers. Oil is often visible in and around the rivers, and the rivers’ fish population has declined so much that they can no longer fish in them. A number of villagers have contracted rashes, diarrhea and other sicknesses as a result of the oil pollution.[345]
The abuse was so great that the citizens were willing to face the enormous risk of raising such complaints during the Suharto dictatorship, a time when protest, or resistance of any kind against the government or a corporation, brought substantial repression, even death. While Chevron ultimately agreed to give compensation to villagers, it was far below the villagers’ demands.[346]

Chevron's hazardous and poisonous waste disposal.
The study shown revealed destruction of the ecosystem
caused by ongoing contamination.
In 2007, people in Batang Pudu village found hidden pipes around Chevron’s Central Mud Treating Facility (CMTF) at Arak Field. They witnessesed and smelled black water coming out from the pipe to Batang Pudu river. At the upper edge of the river, there was also black mud sediment from Chevron’s oil drilling. In January 2008, Mr. Atin, a fisherman from the Sakai tribe in Bengkalis Riau died after coughing blood for several months. He was the second fisherman to die in the village with these symptoms. The suspicion grew at the community that the death was caused by the polluted river where the fishermen work everyday, a river they believe to be contaminated by toxic waste from Chevron.

In response, the Sakai people at Pematang Pudu, together with WALHI, called on the local government to fix the situation, cite Chevron for the environmental damage, and investigate the site. The subsequent investigation identified four illegal toxic waste disposals.[347] Based on the sample of waste tested by an expert from the Agriculture University in Bogor West Java (IPB), there was evidence of environmental pollution at Pematang Pudu, Mandau sub district. The concentration of chemical material in the ditch was above the acceptable levels, especially for the chlorine and sulfate.[348]

The agency of environmental impact analysis (Bapedal Riau) found Chevron guilty.[349] Furthermore, the environmental impact analysis report released by BPK RI (The Audit Board of The Republic Indonesia) also found and highlighted violations of the environmental quality standard stipulated by government.[350] However, no action has been taken by either the government or Chevron to right this situation.


What Chevron Says


Chevron has rejected the accusations from the Sakai community. It claims to be the most progressive company in terms of preserving the environment and public health. The Manager of Communications and Media Relations, Hanafi Kadir, says that Chevron handles its waste very carefully, contracting its waste management to another company (PT Karya Lestari Perkasa). Regarding the skin diseases suffered by the local community at Tonggak Delapan village, Hanafi Kadir also refuses the community’s allegation that the disease is caused by polluted air from Chevron.[351]

In 2009, the Indonesian government issued a new environmental protection and management regulation. Rather than comply with the regulation, Chevron fought back. Chevron Senior Vice President of Sumatra Operations Support, A. Hamid Batubara, expressed particular concern over the new regulation’s air and water pollution controls, saying that implementation would have a deleterious effect on Chevron’s production totals.”[352] In response to Chevron’s protests, the Minister of Energy and Mineral resources, Darwin Zahedy Saleh, seems prepared to weaken the law.[353] The government also proposed delaying the new law.[354]


The Struggle Continues


Chevron’s great influence over the Indonesian government continues to this day. Even including forcing it to “overlook” its own regulations, to the great detriment of local communities, and even local governments.

The Sakai tribe’s demand is simple. They want environmental restoration and compensation for their loss of income from the polluted river. They do not want money, they want land on which to earn their own living. But, to date, there has been no significant response by Chevron to the peoples’ demands.

WALHI, together with other networks and the local communities, will continue to end the environment, social and economic destruction in Riau, and in other provinces in Indonesia.


333 “Darmiadi Nekad Panjat Tower Listrik Chevron,” Tribun Pekanbaru, 14 Sept. 2009.
334 Ibid.
335 Chevron Corp., “Indonesia Fact Sheet,” Mar. 2010.
336 Umi Kalsum, “Chevron Produces 11 Billion Barrels of Oil,” RABU, February 18, 2009, VIVAnews.
337 Oil Watch. Chevron: the right hand of empire (2006) 80–81.
338 Ibid. at 81.
339 East Timor and Indonesian Action Network, “Background on Kopassus and Brimob,” 2008; Human Rights Watch, Indonesia: Out of Sight: Endemic Abuse and Impunity in Papua’s Central Highlands, Vol. 19, No. 10(C), July 2007.
340 Oil Watch (2006) at 80–81.
341 Derita Anak Sakai Interview with Bathin Musa, head of Sakai tribe.
342 Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia, (Yayasan Obor, 1995) 93.
343 Moszkowski, 1911.
344 Ahmad Arif and Agnes Rita Sulistywati, “Sayap Patah Para Sakai,” Kompas, 24 Apr. 2007.
345 Robert Weissman, “Caltex Corporate Colony: How an oil consortium pollutes Indonesia,” Multinational Monitor 1993, 15(11).
346 Ibid.
347 Riau Mandiri, “PT KLP Terbukti Cemari Lingkungan,” Posted on “Dari Atas” atau “Dari Bawah”: How an Oil Consortium Pollutes Indonesia Blog, 29 June 2007.
348 Ibid.
349 Radio Nederland Wereldomroep. “Chevron Dituduh Cemari Sungai di Riau,” 28 Feb. 2008.
350 BPK RI (The Audit Board of The Republic Indonesia). “The environmental impact analysis report”. August 2008.
351 “Chevron sangat komit dengan pencemaran lingkungan,” Riau Online, 3 June 2007.
352 Rudy Ariffianto, “UU lingkungan tekan produksi Chevron,” Bisnis Indonesia, 27 Feb. 2010.
353 Ibid.
354 “Government requests delay on new environment law,” Tempo Interaktif, 25 Feb. 2010.
***