Tampilkan postingan dengan label hutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hutan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 April 2016

Sarasehan cegah kebakaran gambut

Suasana pertemuan. Sarasehan mencegah kebakaran gambut. Problem pencegahan kebakaran terkait dengan status land ownership. Munadi Kilkoda Riko Kurniawan Advokat Indra Jaya Boy Jerry Even Sembiring

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 9 April 2016


Sabtu sore yang menyenangkan. Dengan Ketua Badan Restorasi Gambut RI Bang Nazir Foead dan partner hidup Delima Saragih. Sambil makan sore, diskusi tentang perjuangan organisasi non pemerintah, tentang fund raising bagi ornop, dll. Selamat akhir pekan teman teman ditengah suasana duka Bang Balubun meninggal di Ambon. Kebaikan alam semesta menyertai kita semua.

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 9 April 2016


Dengan Wibi, Muammar Vebry (Uni Eropa). Bagaimana kebakaran gambut tak terjadi lagi. Riko Kurniawan Made Ali Boy Jerry Even Sembiring Advokat Indra Jaya

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 8 April 2016

Senin, 04 Januari 2016

Pembakar Hutan Divonis Bebas, Pius: Sinar Mas Sponsornya TNI, Pegang Kendalilah...

Palembang, Lensaberita.Net - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palembang yang menolak gugatan pemerintah terhadap anak perusahaan Group Sinar Mas, yakni, PT Bumi Mekar Hijau sebagai pelaku pembakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan bencana asap masal di beberapa wilayah Sumatra dinilai telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat.


meme Ketua Pengadilan Negeri Palembang


Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting mengatakan, pernyataan Ketua majelis hakim, Parlas Nababan yang menyatakan bahwa kebakaran tak merusak lahan karena masih bisa ditumbuhi tanaman akasia adalah suatu pemikiran yang sesat. Karena, Hakim Parlas Nababan mengabaikan dampak yang dirasakan masyarakat korban asap kebakaran lahan dan hutan.

"Ini hakimnya gelap mata. Jelas-jelas ini adalah kejahatan lingkungan hidup. Ada 500 ribu orang jadi korban asap. Lalu, puluhan orang sudah meninggal. Lagipula Undang Undang mengamanahkan hak atas lingkungan hidup bagi masyarakat," ujar Pius saat dihubungi Rimanews, Senin (4/01/2016).

Kemenangan anak perusahaan Group Sinar Mas tersebut, menurut Pius, semakin memperjelas bahwa kedaulatan hukum telah dikangkangi oleh korporasi. Bahkan, negara-pun semakin tidak berdaya melawan kekuasaan pemilik modal.

"Sinar Mas kekuasaannya sungguh besar. Karena, pejabat di negeri ini terlalu banyak kompromi dan mau saja menerima bantuan apa-pun dari Sinar Mas. Misalnya, perayaan ulang tahun TNI diakomodir oleh Sinar Mas. Kalau sudah begitu kan, Sinar Mas bisa pegang kendali semuanya. Jadi, kalau soal masalah hukum saja hal yang terkecil, karena kekuasaan sudah dipegang," sesal Pius.

Sebagaimana diketahui, Pengadilan Negeri Palembang telah mengeluarkan keputusan sidang gugatan perdata terkait kasus Kebakatan Hutan dan Lahan (Karhutla) yang diduga dilakukan oleh PT Bumi Mekar Hijau (BMH), pada Rabu (30/12/2015). Hasilnya majelis hakim memenangkan tergugat dalam kasus tersebut.

Dengan demikian, gugatan perdata yang diajukan pemerintah sebesar Rp2,6 triliun untuk ganti rugi dan Rp5,2 triliun terhadap PT BMH sebagai biaya pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar gugur dengan sendirinya.

Ketua majelis hakim, Parlas Nababan menilai penggugat tak dapat membuktikan unsur kerugian negara yang dilayangkan. "Kehilangan keanekaragaman hayati tidak dapat dibuktikan," kata Parlas.

Para majelis hakim mempertimbangkan, lahan bekas terbakar masih bisa ditanami dan ditumbuhi kayu akasia. Majelis hakim bahkan menunjuk pihak ketiga, untuk melakukan penanaman.

Pertimbangan majelis hakim tersebut dibuktikan atau dikuatkan dengan hasil uji laboratorium yang diajukan PT BMH. Bukan hanya itu saja, anak perusahaan PT Sinar Mas itu juga dinyatakan tidak terlibat langsung dalam kasus kebakaran tersebut.

Majelis hakim beralasan bahwa ada pihak ketiga yang harus bertanggungjawab. Dengan demikian, tak ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian akibat kebakaran hutan.

Terkait vonis itu, pihak KLHK mengaku kecewa. Padahal KLHK menilai PT BMH telah lalai dalam mengelola izin yang diberikan pemerintah, untuk mengelola lahan sebesar 20 ribu hektar di areal perkebunan.

Atas penolakan gugatan perdata itu, KLHK langsung mengajukan banding. Izin perusahaan pun sudah dibekukan.

SRC|TRC|SUMBER

http://www.lensaberita.net/2016/01/pembakar-hutan-divonis-bebas-pius-sinar.html

Selasa, 29 Desember 2015

TAK PUAS dengan KEMENHUT tangani KEBAKARAN Lahan dan Hutan, WALHI tak yakin RESHUFFLE akan selesaikan masalah…

NRMnews.com – JAKARTA, Terkait penanganan kebakaran lahan dan hutan beberapa waktu lalu, Walhi menilai kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak memuaskan.

Ketika disinggung apakah Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, layak dicopot? Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting mengatakan ia pun tak yakin penggantinya punya kinerja lebih baik.

Apalagi saat ini wacana perombakan kabinet (reshuffle) terus bergulir. Presiden Joko Widodo telah mengisyaratkan akan mencopot menteri yang lamban dalam bekerja. Dari aspek lingkungan,

“…Kalau reshuffle kan politis. Kalau diganti kita tidak yakin ada pengganti yang lebih baik, namun kita tidak puas. Semoga ada perubahan. Kita punya pengalaman menteri dari parpol sebelumnya banyak yang melakukan izin pakai kawasan hutan. Jadi belum menggembirakan…”, kata Pius Ginting, pada hari Selasa (29/12/2015).

Alasan belum maksimalnya kinerja dari kalangan partai politik, karena selama ini di Indonesia belum ada parpol hijau atau yang berbasis lingkungan hidup. Partai pro lingkungan memiliki platform yang kuat untuk kepentingan lingkungan hidup, tidak memberikan izin untuk pembukaan lahan gambut.

Oleh karena itu, upaya penegakan hukum yang keras sebagai jera merupakan solusi yang baik ketimbang gonta ganti menteri tetapi tidak ada perubahan.

Mengenai potensi kebakaran lahan dan hutan, Walhi memprediksi titik api akan dijumpai di lokasi yang pernah terbakar. “…Tahun 2016, masih di kawasan yang sama. Titik api masih ada di sekitar OKI dan Kalimantan Tengah…”, tuturnya.

( Oleh : NRMnews.com / Lola C – Editor : A. Dody R. )

https://nrmnews.com/2015/12/29/tak-puas-dengan-kemenhut-tangani-kebakaran-lahan-dan-hutan-walhi-tak-yakin-reshuffle-akan-selesaikan-masalah/

Sabtu, 05 Desember 2015

Aktivis Walhi berunjukrasa di arena COP Paris

Pewarta: Helti Marini Sipayung


ilustrasi KTT Perubahan Iklim Antrean delegasi Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 dari berbagai negara di konter tiket transportasi gratis di area Paris Le Borguet, Paris, Prancis, Minggu (29/11). (Antara Foto/Virna Puspa Setyorini)

Paris (ANTARA News) - Sejumlah aktivis Walhi bersama aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia yang bergabung dalam "Friends of the Earth" (FoE) berunjuk rasa mendesak di arena Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC/COP) di Le Bourget, Paris, Prancis.

"Kami mendesak pemerintah menuntaskan persoalan kebakaran hutan yang masih belum tuntas hingga tahun 2015 dan mendesak penegakan hukum terhadap pembakar lahan," kata Pius di Le Bourget Paris, Jumat siang, waktu setempat.

Eksekutif Nasional Walhi, Pius Ginting kepada pers mengatakan bahwa aksi tersebut untuk mendesak pemerintah menuntaskan kasus hukum bagi perusahaan yang terindikasi membakar lahan yang menimbulkan asap dan menyengsarakan masyarakat.

Menurut Pius, keseriusan pemerintah untuk menghukum perusahaan yang membakar lahan masih dipertanyakan. Terutama di wilayah Provinsi Riau, dari 50 perusahaan yang terindikasi membakar hutan dan lahan, baru tiga perusahaan yang diproses.

Di sisi lain, dalam pelaksanaan KTT Iklim di Paris, ada persoalan yang memunculkan tanda tanya yakni kehadiran sejumlah perusahaan yang terindikasi membakar lahan, justru menjadi pendukung Anjungan atau Paviliun Indonesia.

"Seharusnya pemerintah memahami situasi dan psikologi masyarakat yang baru saja terpapar racun karena asap dari perusahaan pembakar hutan, ini sangat memprihatinkan," ucapnya.

Lebih tegas, Pius mengatakan bahwa kehadiran dua grup perusahaan bubur kertas dan kertas yakni APRIL dan APP di arena KTT Iklim dan menjadi pendukung kegiatan di paviliun adalah ajang "green wash" atau pembersihan diri.

Kondisi tersebut menurut dia dapat dibaca sebagai gejala pengabaian penegakan hukum. Pemerintah menurutnya harus tegas dan tidak terpengaruh dengan bujukan pihak perusahaan dan asosiasi perusahaan di mana mereka bernaung.

Aksi yang diikuti belasan aktivis itu berlangsung selama 15 menit dan sempat menjadi perhatian para peserta konferensi. Setelah menyampaikan aspirasi mereka, para aktivis tersebut membubarkan diri dengan tertib.

Kebakaran hutan Indonesia yang terjadi pada 2015 mengakibatkan seluas 2 juta hektare hutan dan lahan terbakar dan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah. Tidak hanya kerugian materi, kebakaran yang menimbulkan asap tersebut juga membuat masyarakat menghirup udara beracun.

Sebelumnya perwakilan grup perusahaan bubur kertas, APRIL di paviliun Indonesia menyampaikan komitmen dana sebesar 100 juta dolar Amerika untuk program restorasi ekosistem selama 10 tahun.

"Luasan restorasi gambut yang kami programkan meningkat dua kali lipat menjadi 150 ribu hektare sebagai dukungan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Managing Director APRIL Grup Indonesia Operations, Tony Wenas.

Selain itu, pihaknya juga meningkatkan luas area konservasi menjadi 400 ribu hektare melalui pengelolaan program Restorasi Ekosistem Gambut (RER) di Semenanjung Kampar Provinsi Riau.

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015

Ikuti berita dalam topik # Konferensi Perubahan Iklim ( COP21 )


http://www.antaranews.com/berita/533428/aktivis-walhi-berunjukrasa-di-arena-cop-paris

Kamis, 01 Oktober 2015

JOKOWI, SEGERALAH TETAPKAN ASAP SEBAGAI BENCANA NASIONAL NON ALAM

ASAP dari kebakaran hutan dan lahan masih meliputi kawasan Sumatera dan Kalimantan. Upaya pemadaman tak berhasil sepenuhnya sejauh ini mengurangi asap. ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) masih berada pada tingkat berbahaya di beberapa kota. Menghindari korban berjatuhan dalam jangka pendek dan panjang, maka perlu segera Pemerintah Jokowi menetapkan daerah yang berlarut-laut tingkat ISPU dalam tingkat berbahaya sebagai kawasan bencana non alam.

Karena kejadian asap ini sudah lintasprovinsi bahkan lintasnegara, maka Pemerintah Jokowi perlu menetapkan keadaan ini sebagai bencana alam nasional non alam. Berbeda dengan kejadian tsunami, letusan gunung, kejadian pencemaran asap yang secara luas telah mengganggu kehidupan ini adalah bencana non alam.

Selanjutnya, jika diperlukan, pemerintah harus melakukan evakuasi terhadap kelompok rentan dari daerah yang memiliki ISPU berstatus bahaya. Pengungsi dari daerah yang terdampak buruk dari bencana non alam ini harus mendapatkan pemenuhan hak masyarakat dan standar pelayanan minumum sebagaimana dikenal di dalam aturan yang mengatur tentang bencana.

Selanjutnya agar bencana non alam ini tak terulang, pemerintah perlu melakukan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang yang konsisten. Wilayah gambut berdasarkan aturan tata ruang adalah kawasan lindung nasional yang tidak diperkenankan/dibatasi pemanfatan ruangnya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Karenanya, pemerintah perlu mencabut semua perizinan perkebunan dan hutan tanam industri di daerah gambut.

Becermin dari kejadian banjir di Jakarta, pemerintah melakukan penegakan tata ruang di kawasan Puncak dengan membongkar vila-vila. Maka, agar kejadian asap tak berulang, semua izin di kawasan gambut perlu dicabut, rehabilitasi lingkungan gambut perlu dilakukan.

Penetapan pencemaran asap antar provinsi ini sebagai bencana non alam nasional tidak menghapuskan tanggung jawab korporasi. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) menerapkan aturan pidana bagi korporasi yang lalai sehingga terjadi bencana non alam. Selain denda dan hukuman penjara, UU PB menyatakan korporasi dapat dikenakan saksi tambahan berupa pencabutan izin usaha atau pencabutan status hukum.

Denda yang dikenakan kepada korporasi akan dijadikan oleh negara sebagai sumber pendanaan untuk menanggulangi bencana non alam dan rehabilitasi.

Tentang betapa mengerikannya polusi udara ini, studi terbaru menyatakan terdapat 3,3 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun karena pencemaran udara di luar ruangan. Umumnya terdapat di kawasan Asia (Nature, 17 September 2015, Vol 525). Umumnya kematian ini karena partikel super halus (ultra fine particle, PM2.5, dan PM10). Karena ukurannya yang sangat halus (sepersepuluh ukuran rambut manusia) partikel ini masuk ke dalam paru-paru, dan dapat mengganggu sistem peredaran darah ke kepala dan jantung.

Pemerintah Jokowi diharapkan segera menetapkan status bencana nasional non alam (istilah yang dikenal (UUPB), agar korban jangka pendek dan jangka panjang tidak terus berjatuhan.

Pius Ginting adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas mewakili sikap pribadi penulis.

RMOL 219376 Jokowi, Segeralah Tetapkan Asap Sebagai Bencana Nasional Non Alam

Sabtu, 26 September 2015

WALHI Kritik Cara Pemerintah Ala "Pemadam Kebakaran"




Hasil kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang diutarakan aktivisnya, Pius Ginting, menyebut Polusi udara akibat kabut asap dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimatan terjadi karena ketidaksiapan korporasi dan pemerintah mengantisipasi bencana itu.

Walhi juga mengkritik Lemahnya peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dalam mengantisipasi bencana kabut asap.


http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/09/26/439/1/WALHI-Kritik-Cara-Pemerintah-Ala-Pemadam-Kebakaran

Minggu, 20 September 2015

Walhi Minta Pemerintah Lebiih Serius Tangani Kabut Asap


KOMPAS.COM/MASRIADI
Masjid Agung Islamic Center Lhokseumawe terlihat diselimuti kabut asap, Minggu (20/9/2015)


JAKARTA, KOMPAS.com – Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menyatakan, pemerintah tidak menganggap serius dampak pencemaran udara bagi masyarakat terdampak kabut asap dan cenderung meremehkan. Padahal, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pencemaran udara pada 2014 menyebabkan tujuh juta kematian dini.

Pius menambahkan, saat ini sudah banyak pemberitaan tentang jatuhnya korban akibat dampak kabut asap atau pencemaran udara, namun fenomena tersebut hanyalah permukaan. Bencana yang ada di Sumatera dan Kalimantan tersebut menurut dia adalah bencana yang sangat serius.

“Wajarlah warga negara Singapura dan Malaysia menuntut tanggung jawab pemerintah dan perusahaannya juga. Karena yang rugi adalah publik Singapura dan juga Indonesia atas ketidakseriusan dari korporasi Singapura dan Malaysia yang berinvestasi di Indonesia maupun korporasi Indonesia sendiri,” ujar Pius dalam acara diskusi terkait bencana kabut asap di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Pemerintah, menurut Pius, harus lebih serius dan tegas dalam menegakkan hukum. Salah satunya adalah mencabut izin perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki prasarana lengkap untuk mengatasi terjadinya kebakaran agar masalah yang sama tidak terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya.

Dia menilai, penegakkan hukum Indonesia terkait bencana ini sangat lemah dari tahun ke tahun serta tidak ada efek jera bagi pengusaha-pengusaha yang menjadi penyebab kebakaran lahan. Idealnya, perusahaan juga ikut bertanggungjawab untuk menanggung bersama biaya penanggulangan.

“Kita sebagai warga negara tentunya tidak menghendaki APBN digunakan untuk menanggulangi ini. Perusahaan wajib dituntut untuk menanggulangi pembiayaan terjadinya kebakaran ini,” lanjut Pius.

Menurut dia, pemerintah harus memiliki paradigma untuk lebih memprioritaskan keselamatan dan kesehatan warga dan mengorbankan keuntungan ekonomi, bukan malah menjalankan yang sebaliknya.

Penulis : Nabilla Tashandra
Editor : Erlangga Djumena


http://nasional.kompas.com/read/2015/09/20/18390061/Walhi.Minta.Pemerintah.Lebiih.Serius.Tangani.Kabut.Asap

Pengusaha Tuding Pemerintah Tak Mampu Atasi Kebakaran Hutan

Reni Lestari 
Jurnalis

JAKARTA - Pemerintah dan pengusaha saling lempar tanggung jawab penyelesaian bencana kebakaran hutan dan kabut asap. Pemerintah mengklaim sebagian besar lahan yang terbakar berada di kawasan korporasi dan akhir menangkap pengusaha. Sedangkan pihak pengusaha merasa dijadikan kambing hitam atas persoalan ini.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, sikap mengkambinghitamkan pengusaha sebagai penyebab kebakaran hutan adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah menanggulangi masalah ini. Dia berdalih, kebakaran yang terjadi di lahan-lahan perusahaan sumber apinya berasal dari luar lahan.

"Inti persoalan bukan di situ. Jadi ini cerminan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah ini. Buktinya tidak saja terbakar lahan milik masyarakat, hutan lindung dan konservasi pun terbakar, padahal itu tanggung jawab pemerintah," kata Fadhil dalam diskusi bertajuk ‘Republik Dibekap Asap’ di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menuding korporasi sebagai pihak yang harusnya bertanggungjawab. Sebelum diberikan izin pengelolaan hutan, korporasi diberikan syarat menyiapkan sarana prasarana untuk mengatasi kebakaran hutan.

Hal tersebut yang dinilai Pius menjadi kesalahan terbesar korporasi. Pemerintah juga melakukan kelalaian dengan mengobral izin pengelolaan hutan.

"Kami telah melakukan overlay antara titik api di Sumatera dan Kalimantan, mayoritas titik api berada di wilayah perkebunan dan konsesi,” ujar Pius.

Menurutnya, setidaknya 50 persen titik-titik api berada di lahan konsensi. Ini bukan sesuatu yang tanpa diketahui dan konsekuensi yang tidak bisa dihindari korporasi sehingga perusahaan tidak siap manakala kebakaran hutan terjadi.

“Di undang-undang perkebunan pun disebutkan perusahaan wajib tandatangan tanggung jawab mereka mengatasi kebakaran," kata Pius.

Padahal, lanjut Pius, berdasarkan audit kesiapan dalam menghadapi kebakaran hutan tahun 2014, hampir semua perusahaan di Riau tak memiliki prasarana untuk mengatasinya. Sebaliknya, tak ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk menindaklanjuti temuan tersebut.

"Ketiaktegasan berada di pemerintah setelah melakukan audit dan seharusnya ada tindakan serius, sehingga kebakaran tetap terjadi di kawasan perusahaan," kata dia.

Pius menyayangkan antisipasi pihak pemerintah yang sangat kurang sehingga peristiwa yang merugikan masyarakat banyak ini terus terulang.

"Antispasi yang tidak jelas dari Kementerian Kehutanan dan hampir semua perusahaan tidak siap. BMKG sudah mengingatkan akan terjadi kemarau panjang dan sejak Februari sudah kita dengar. Antisipasi itu yang tidak ada dari pemerintah," tukas Pius.

(MSR)

http://news.okezone.com/read/2015/09/20/337/1217648/pengusaha-tuding-pemerintah-tak-mampu-atasi-kebakaran-hutan

Foto: Republik Dibekap Asap



Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyampaikan pandangan di Forum Senator untuk Rakyat bertema "Republik Dibekap Asap" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (20/9). Forum kali ini dihadiri juga anggota DPR RI dari Riau Abdul Gafar Usman, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi.
Febiyana/RMOL

Rabu, 03 Juni 2015

Hutan Indonesia di Persimpangan Nawa Cita



Niat pemerintah memanfaatkan hutan Indonesia sebagai sumber ekonomi warga daerah ternyata belum sepenuhnya merealisasikan semangat Nawa Cita membangun ekonomi Nasional dari wilayah pinggir.

Hambatan datang karena hadirnya pengusaha-pengusaha besar pengelola sumber daya alam yang terlalu tamak tanpa memikirkan lingkungan dan rakyat sekitar hutan.

Sebagai pemberi izin, pemerintah dituntut merealisasikan itu semua agar predikat hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia tetap terdengar hingga anak cucu kita kelak.

Itulah sepenggal isu dialog Forum Senator untuk Rakyat dengan topik “Hutan Indonesia di Persimpangan Nawa Cita”.

Diskusi yang terselenggara di Bakoel Koffie Jakarta, Minggu 31 Mei 2015 ini menghadirkan lima orang pembicara dari latar belakang berbeda, yaitu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup SIti Nurbaya, Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba, Ketua LSM HuMa Chalid Muhammad, Direktur Kajian Walhi Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi.

Acara itu sendiri terselenggara atas kerjasama Kantor Berita Politik RMOL dan Dewan Perwakilan Daerah RI.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/06/03/120/Hutan-Indonesia-di-Persimpangan-Nawa-Cita-

Selasa, 02 Juni 2015

Pius Ginting: Ide Pemerintah Bisa Merusak Alam Papua





Swasembada beras yang pernah dilakukan Indonesia telah hilang kedigdayaannya karena maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun, wacana pemerintah membuka lahan pertanian baru di Papua akan menimbulkan masalah lingkungan baru bagi keragaman hayati Papua.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/06/02/119/Pius-Ginting:-Ide-Pemerintah-Bisa-Merusak-Alam-Papua-

Jumat, 01 Mei 2015

Hadapi Eksploitasi Lingkungan, Pemerintah Masih Mandul



KBR, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai Pemerintahan Joko Widodo belum mampu mengatasi persoalan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Direktur Kajian WALHI, Pius Ginting memaparkan, hingga enam bulan masa pemerintahannya, pemerintah belum juga mampu menurunkan eksploitasi berlebihan yang kerap dilakukan perusahaan. Ia mencontohkan alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan lahan perkebunan sawit.

"Salah satu persoalan lingkungan hidup di Indonesia adalah akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dan ini masih menjadi persoalan hingga kini dan masih belum teratasi dengan baik. Misalnya fenomena mengenai beras impor. Itu tidak terlepas lantaran banyaknya lahan kita yang dialokasikan untuk perkebunan monokultur, semisal perkebunan sawit. Sehingga tidak terjadi diversifikasi pangan," katanya.

Ia menambahkan, selain di sektor hutan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan juga terjadi di sektor pertambangan. Hal ini mengakibatkan lahan milik masyarakat terdegradasi dengan kepentingan pengusaha di sektor tersebut. Sementara itu ia meyakini, semakin banyak lahan yang dieksploitasi bakal mengancam kehidupan masyarakat dan menimbulkan bencana lingkungan.

http://portalkbr.com/nusantara/05-2015/hadapi_eksploitasi_lingkungan__pemerintah_masih_mandul___/71578.html

https://soundcloud.com/audiokbr/hadapi-eksploitasi-lingkungan-pemerintah-masih-mandul