Jumat, 12 Desember 2008

Penutupan Tambang (Mine Closure) dan Tanggung Gugat Korporasi

Penutupan tambang adalah suatu keadaan saat dilakukan penghentian operasi pertambangan untuk jangka waktu yang lama. Penyebab dari penghentian operasi ini sangat bervariasi, seperti akibat habisnya cadangan bijih/material berharga yang akan ditambang, perubahan-perubahan kondisi pasar yang menyebabkan operasi menjadi tidak ekonomis/menguntungkan, dan juga timbulnya dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan. Habisnya masa kontrak karya juga menjadi salah satu penyebab dilakukannya penghentian operasi pertambangan. Di Indonesia, pada umumnya, penutupan tambang diakibatkan oleh habisnya cadangan bijih berharga di daerah konsesi pertambangan.

Selama ini, banyak pihak di Indonesia yang tidak peduli terhadap proses penutupan tambang. Selain tidak diatur dalam peraturan yang spesifik, penutupan tambang seringkali disimplifikasi hanya sebatas pada upaya-upaya reklamasi atau penanaman pohon/penghijauan. Padahal kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran yang ditimbulkan oleh operasi pertambangan merupakan kerusakan yang bersifat tidak dapat berbalik (irreversible damages). Sekali suatu daerah dibuka untuk operasi pertambangan, maka daerah tersebut akan menjadi rusak selamanya. Biaya pemulihan (clean up) dari pencemaran yang ditimbulkan pun sangat besar.

Proses penutupan tambang sebenarnya meliputi berbagai aspek yang sangat luas dan kompleks, meliputi tidak hanya aspek lingkungan hidup, tapi juga aspek sosial, ekonomi lokal, tenaga kerja, budaya, dan lain-lain. Bukan rahasia lagi, di banyak tempat di seluruh dunia dan juga di Indonesia terjadi fenomena boom-and-bust, yakni ketika muncul operasi pertambangan di suatu kawasan maka kawasan tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam sementara ketika perusahaan tambang pergi terjadi pula penurunan kondisi ekonomi setempat yang sangat tajam pula. Pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam operasi pertambangan adalah suatu keniscayaan, karena tidak ada operasi pertambangan yang dapat beroperasi selamanya. Hal ini belum termasuk rusak dan hancurnya kondisi lingkungan hidup setempat.

Berbagai korporasi pertambangan, terutama korporasi multinasional, seringkali menerapkan standar ganda di dalam operasinya, termasuk dalam hal-hal yang menyangkut masalah lingkungan hidup. Lemahnya monitoring dan tersubordinasinya institusi pengawas lingkungan oleh instansi teknis/sektoral lebih lanjut melanggengkan terjadinya impunity di dalam pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan.

Menurut WALHI, perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia harus bertanggung jawab atas segala dampak dari operasinya (liable dan accountable). Di dalam prinsip liability (tanggung gugat) terkandung pula prinsip precautionary action dan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Prinsip precautionary action atau dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai prinsip pencegahan dini, yaitu suatu prinsip yang mengutamakan tindakan pencegahan pencemaran atas suatu kegiatan yang telah diketahui akan membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan hidup. Prinsip ini didasari atas suatu fakta bahwa ilmu pengetahuan memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga suatu tindakan pencegahan harus dilakukan sebelum jatuhnya korban.

Sementara itu, prinsip pencemar membayar didasari atas prinsip bahwa setiap pelaku pencemaran harus tetap dapat dituntut tanggung-gugatnya (to be held accountable) tanpa mempertimbangkan apakah pihak pencemar telah mematuhi peraturan atau pun mempunyai reputasi baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Karena tindak pencemaran, berdasarkan UU No.23/1997, merupakan suatu tindak kejahatan lingkungan, maka hal ini juga mengandung makna adanya tanggung-gugat dari penanggung jawab kegiatan (top management) untuk dapat dituntut secara pidana atas tindak pelanggaran kejahatan lingkungan tersebut.

Saat ini, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggung jawab, yang pelanggaran atasnya dapat mengakibatkan timbulnya konsekuensi hukum. Kontrak Karya Pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi yang seringkali diterjemahkan oleh pelaku industri ini sebagai penghijauan/penanaman pohon semata. Oleh karena itu, WALHI menyerukan bagi adanya suatu kebijakan pertambangan yang komprehensif yang dapat menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Pius Ginting. Officer Publikasi Eksekutif Nasional WALHI. Telepon kantor: +6221-7941673; Mobile:Fax: +6221-7941672; 79193363


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesan dan pesan