OLEH: MARDAN PIUS GINTING |
Eter sungguh berjasa. Namun belakangan kian diketahui efek toksik eter terhadap jantung dan hati. Maka, pada awal abad ke-20, eter sebagai pembius medik ditinggalkan. Berakhirlah zaman penggunaan eter sebagai obat bius yang telah berjasa menyelamatkan banyak nyawa orang.
Tapi kita akan membahas batubara yang telah lama digunakan sebagai sumber energi. Hingga tahun 2005, batubara menyediakan 40 persen listrik di dunia. Sebanyak 54 persen listrik PLN menggunakan batubara.
Namun, dampak negatif batubara makin jelas diketahui. Batubara adalah jenis energi terkotor saat ini. Pembakaran batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca CO2 satu setengah kali lipat dibanding minyak bumi, dan dua kali lipat dibandingkas gas.
Batubara menimbulkan dampak buruk dari penambangan sampai pasca-pembakaran di pembangkit listrik. Penelitian Dr Michael Hendryx dari Univesitas West Virginia menemukan berbagai penyakit mematikan, seperti kanker paru, sakit jantung, pernapasan, dan ginjal, sangat tinggi di daerah kawasan tambang batubara. Penderita penyakit ini berbanding lurus dengan intensivitas penambangan. Penderita kian berkurang pada daerah yang kurang penambangan batubara, dan terendah pada kawasan bukan pertambangan batubara. Karena karakter penambangan batubara relatif sama di semua negara, maka hal serupa tampaknya juga mencerminkan keadaan Indonesia.
Selain itu, transportasi batubara di Indonesia banyak menggunakan sungai, umumnya tercemar parah, di antaranya Sungai Barito, Mahakam, dan Sungai Bengkulu. Sumber pencemaran adalah tumpahan batubara, buangan bahan bakar kapal pengangkut. Pembuangan bahan berbahaya dan beracun ini membahayakan ekosistem di laut. Penulis menyaksikan banyak penduduk mengonsumsi ikan dan masih menggunakan air Sungai Barito untuk keperluan rumah tangga.
Ketika dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), batubara menghasilkan pencemaran udara berbentuk partikel halus (particulate matter). Ukurannya kurang dari 2,5 mikrometer, sehingga umum disingkat PM 2,5. Materi ini menyebabkan penyakit asma, berkurangnya fungsi paru-paru, memperlambat perkembangan anak dan memperparah sakit jantung.
Hasil lainnya dari limbah debu batubara adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon dioksida, arsenik, chromium, nikel, dan logam berat lainnya, gas asam, hidrokarbon (Erica Burt, MPH). Semua zat ini berbahaya bagi kesehatan dan beberapa di antaranya menimbulkan kanker. Berdasarkan informasi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA), paparan sulfur dioksida menyebabkan peradangan saluran napas, memperparah paru-paru basah (bronchitis), dan penurunan fungsi paru.
Anil Markandya serta Paul Wilkinson dalam jurnal medis The Lancet tahun 2007, memperkirakan secara global setiap tahun 210.000 orang meninggal, 2 juta mengalami sakit serius, 151 juta sakit ringan akibat dampak pembakaran batubara. Perkiraan ini berdasarkan standar aturan polusi dan kerapatan penduduk Eropa. Angka ini sesungguhnya bisa lebih besar karena banyak negeri dengan standar udara lebih rendah dengan penduduk lebih padat.
Di samping itu, pembangkit batubara adalah salah satu sumber pencemaran merkuri global. Pencemaran merkuri bisa menyebabkan autisme pada anak-anak. Berbagai penelitian di Amerika Serikat telah menunjukkan jumlah anak-anak mengalami autisme lebih banyak bila kian dekat dengan PLTU batubara. Adalah tidak adil bila demi pemenuhan kebutuhan energi generasi masa kini, generasi masa depan harus menanggung beban deritanya. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Amerika Serikat telah menghentikan 175 PLTU batubara pada periode 2001-2011, merencanakan memensiunkan 175 buah lagi pada periode 2012-2016 (Sierra Club). Salah satu alasannya karena pencemaran. Badan Energi Nasional Tiongkok mulai mengurangi pemakaian batubara. Diawali, dengan rencana larangan impor batubara berkalori rendah karena polusinya lebih tinggi. Tampaknya batubara perlahan ditinggalkan secara global.
Di Tanah Air kita, warga Desa Suralaya, lokasi PLTU batubara terbesar di Indonesia, berdasarkan sebuah penelitian IPB menyebutkan 97,36 persen warga yang diwawancai menilai PLTU Suralaya telah menimbulkan gangguan kesehatan.
Dari semua ini, wajarlah masyarakat Batang, Jawa Tengah, melakukan penolakan terhadap pendirian PLTU batubara di kawasan mereka. Jika jadi didirikan, PLTU batubara ini adalah terbesar di Asia Tenggara, sehingga dampaknya pun besar. Publik dan pemerintah tidak adil bagi warga Batang bila demi pemenuhan layanan energi kita, masyarakat sekitar pembangkit listik menanggung derita besar. Alternatif harus ditemukan.
Pemerintah Indonesia bisa mengatasi dampak sosial dan krisis energi dari pengurangan pemakaian batubara bila melakukan peralihan ke energi terbarukan dengan terencana. Peran batubara bisa digantikan dengan energi terbarukan, seperti geotermal, tenaga surya, ombak laut, yang sumbernya banyak dimiliki oleh Indonesia. Kita hanya butuh lahan seluas dua juta hektare membuat panel surya untuk menghasilkan listrik bagi sejumlah peralatan yang kita pakai saat ini. Seperti eter telah digantikan bahan lain, seperti propofol fentanyl, saatnya batubara digantikan energi terbarukan.
Penulis adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
http://ekbis.rmol.co/read/2013/09/22/126456/Inikah-Senjakala-Batubara-
BeritaSatu.com: blog 2866-senja-kala-batu-bara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesan dan pesan