Peluncuran program dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo dengan peletakan baru pertama Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Samas, Yogyakarta, menandai pembangunan pembangkit listrik yang lain, yaitu PLTB Sidrap, Sulawesi Selatan; PLTA (pembangkit listrik tenaga air) Kendari, Sulawesi Tenggara; PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) Grati, Pasuruan, Jawa Timur; PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat; PLTU Takalar Sulawesi Selatan; dan PLTU Pangkalan Susu, Sumatera Utara.
Kincir angin menyuplai energi untuk kebutuhan energi listrik di daerah pesisir Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando |
Dari 109 proyek listrik 35.000 MW yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2024, PLN hanya mampu mengerjakan 35 proyek berkapasitas 10.000 MW, dan 74 proyek lainnya berkapasitas 25.000 MW akan dikerjakan pihak swasta.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dalam 5 tahun mendatang, Indonesia butuh penambahan energi listrik sebesar 35.000 MW, berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi realistis sekitar 5-6 persen per tahun dengan pertumbuhan membutuhkan listrik sekitar 7.000 MW per tahun.
Sudirman mengatakan proyek listrik 35.000 MW ini akan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, surya, biomassa dan juga angin.
Energi terbarukan menjadi pilihan utama karena sumber energi fosil seperti minyak, gas dan batubara perlahan tapi pasti akan menemui batas akhirnya. “Oleh karena itu memilih membangun energi terbarukan bukan suatu pilihan, namun suatu keharusan yang harus kita jalankan bersama,” katanya.
Pekerjaan Berat
Pengamat energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia memang harus segera membangun pembangkit listrik dengan jumlah dan kapasitas besar, karena telah mengalami defisit energi listrik sekitar 15-18.000 MW dalam 10 tahun terakhir.
“Untuk mengejar kebutuhan energi sesuai RPJMN 2015-1019, konsumsi listrik diharapkan naik dari 700 kwh menjadi 1200 kwh per kapita per tahun. Ada kenaikan konsumsi listrik sekitar 50 persen dari saat ini, sehingga harus ada pembangunan pembangkitan listrik sekitar 50 persen dari kapasitas sekarang. Tapi apakah mungkin membangun itu dalam waktu 5 tahun ke depan,” tanya Fabby.
Ini menjadi tantangan berat pemerintah, karena dari pengalaman pembangunan pembangkis listrik dalam lima tahun terakhir hanya berkapasitas 12.000 MW.
“Sedangkan proyek listrik ini 35.000 MW, berarti dua kali lipat kapasitasnya. Ini tugas berat. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi yang penting, dalam lima tahun ke depan adalah menyelesaikan berbagai PR yang selama ini mengganjal, seperti penyediaan lahan untuk pembangkitan dan transmisi. Karena lahan menjadi ganjalan utama dalam pembangunan infrastruktur,” kata Fabby yang juga Pemerhati Isu Energi Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
Mengenai komitmen pemerintah untuk menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, dia menegaskan pengembangan energi terbarukan menjadi keniscayaan, meski dalam RPJMN, target peningkatan bauran energi hanya 5 persen.
Hal ini juga terkait dengan pendanaan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan bahan bakar batubara. Pembiayaan pembangkit listrik dengan bahan bakar dari minyak dan batubara akan sulit didapatkan dari pendanaan internasional , karena beberapa negara maju telah berkomitmen untuk tidak berinvestasi pada bahan bakar berbasis fosil.
“Beberapa minggu lalu, pemerintah Amerika memutuskan tidak lagi memperbolehkan investasi untuk batubara. Perusahaan Norwegia juga menyatakan tidak berinvestasi di batubara,” katanya.
Penggunaan bahan bakar berbasis fosil untuk pembangkitan listrik juga bakal menimbulkan dampak lingkungan termasuk emisi gas rumah kaca (GRK) yang mempengaruhi komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi.
Sedangkan Greenpeace Indonesia menyayangkan pemerintahan Jokowi-JK yang masih mendasarkan bahan bakar fosil untk pembangkitan listrik, terlihat dari 60 persen proyek listrik 35.000 MW masih berupa PLTU berbasis batubara.
Arif Fiyanto Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia harus belajar dari pengalaman dimana PLTU yang beroperasi menimbulkan dampak buruk lingkungan dan hilangnya mata pencaharian petani serta nelayan, seperti di Cilacap, Jepara dan Cirebon.
“PLTU batubara juga bertanggung jawab terhadap meningkatnya masalah penyakit yang terkait pernapasan, seperti yang dialami warga sekitar PLTU Cilacap dan Jepara,” kata Arif.
Target kedaulatan energi pemerintah Jokowi harus diterjemahkan dengan langkah kongkrit mendorong pengembangan energi terbarukan. “Langkah Jokowi meluncurkan proyek 35.000 MW di daerah rencana pembangunan PLTB di Pantai Samas, Bantul seharusnya jadi simbol, bahwa Jokowi akan memimpin revolusi energi di Indonesia. Menghentikan ketergantungan terhadap batubara dan beralih ke energi terbarukan,” tambahnya.
Sedangkan Walhi mendorong pemerintah untuk mengurangi porsi PLTU dalam proyek listrik 35.000 MW karena membahayakan kesehatan masyarakat. PLTU sendiri sudah tidak populer di Amerika, Jerman, China dan Jepang.
Keberadaan PLTU juga berdampak bagi daerah penghasil batubara seperti Sumatera dan Kalimantan, karena akan memperbesar produksi batubara sehingga lebih jauh merusak lingkungan.
“Di Kalimantan dan Sumatera dimana Batubara disuplai dari daerah tersebut namun mereka sendiri kekurangan energi. Padahal energi berbasis lokal dan kondisi alam di daerah tersebut bisa dikembangkan untuk memberikan pasokan energi untuk masyarakat di pelosok sekalipun,” kata Manajer Kajian Walhi Nasional, Pius Ginting.
Padahal banyak sumber energi terbarukan seperti air dan angin yang bisa dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan. Dan sebagai negara kepulauan dengan panjang pesisir kedua di dunia, menjadi potensi energi terbarukan yaitu angin yang cocok dikembangkan di daerah terpencil.
Jay Fajar dan Tommy Apriando
http://www.mongabay.co.id/2015/05/13/pemerintah-dikritik-masih-gunakan-energi-kotor-dalam-proyek-listrik-35-000-mw-kenapa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesan dan pesan