Oleh: PIUS GINTING |
Dalam rangkaian pertemuan Perubahan Iklim di Paris, Prancis, organisasi negara maju (OECD) bersama organisasi Friends of Fossil Fuel Reform pada 30 November 2015 mengeluarkan komunike agar pemimpin negara dunia melakukan penghapusan subsidi terhadap bahan bakar fosil.
Dalam komunike tersebut Sekretaris Jenderal Angel Gurria menyatakan, "Negara-negara perlu menunjukkan aksi dan kebijakan konkret bahwa mereka serius mengatasi perubahan iklim, mereformasi dukungan bagi bahan bakar fosil adalah tempat yang bagus untuk memulai."
Dalam kenyataannya, negara maju tersebut di Indonesia menikmati keuntungan bisnis berkat subsidi dan dukungan dari pemerintah terhadap bahan bakar fosil. Khususnya dalam pembangkit listrik tenaga batubara. Proyek-proyek besar pembangkit listrik batubara milik negara maju (OECD) di Indonesia tidak akan berjalan tanpa dukungan dan subsidi dari pemerintah Indonesia.
Di antaranya adalah proyek listrik tenaga batubara Batang, di Jawa Tengah dengan kapasitas 2x1000 MW. Proyek tenaga listrik terbesar di Asia Tenggara ini dimiliki oleh Itochu, J Power dan didukung pendanaan oleh JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Proyek ini disubdisi pemerintah Indonesia lewat dana pembebasan lahan menggunakan dana publik, juga pengerahan langsung tenaga keamanan negara.
Juga proyek listrik batubara untuk ekspansi di Indramayu dan Cirebon yang didanai oleh negara OECD. Pembebasan lahan proyek ini juga disertai dengan pemaksaaan, kekerasan dan pemenjaraan terhadap warga. Saat ini warga Batang melakukan upaya perlawanan hukum dengan menggugat di Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, pada pada 16 November 2015 organisasi negara maju OECD mengeluarkan kebijakan mendukung investasi teknologi batubara di luar negeri dengan jenis teknologi ultra super critical. Kebijakan ini ditentang oleh aktivis dan warga yang terdampak pembangkit listrik di Indonesia dengan mengadakan aksi protes ke Kantor Kedutaan besar pada 12 November 2015.
Pada akhirnya, emisi yang dihasilkan oleh investasi negara maju tersebut di Indonesia akan dihitung sebagai emisi gas rumah kaca dari Indonesia.
Indonesia seharusnya membuat pembangkit batubara sebagai daftar negatif investasi asing, khususnya dari negara maju (OECD).
Jalan keluar alternatif, Indonesia perlu berjuang dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris bersama dengan negara berkembang lainnya agar negara maju memberikan dukungan pendanaan dan transfer teknologi bagi negara berkembang, sebagai wujud pelaksanaan dari prinsip tanggung jawab bersama dengan tingkat yang berbeda (common but differentiated responsibilities).
Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim.
RMOL: 226645 OECD Tidak Fair dalam Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Fosil di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesan dan pesan