Minggu, 22 September 2013

Inikah Senja Kala Batubara?

OLEH: MARDAN PIUS GINTING
Pada pertengahan abad ke-19, eter digunakan luas sebagai bahan pembius. Penggunaan eter merupakan suatu terobosan, karena sebelumnya pasien bedah harus menanggung sakit luar biasa. Beberapa orang memilih tak disembuhkan atau bunuh diri ketimbang mengalami sakitnya pembedahan.

Eter sungguh berjasa. Namun belakangan kian diketahui efek toksik eter terhadap jantung dan hati. Maka, pada awal abad ke-20, eter sebagai pembius medik ditinggalkan. Berakhirlah zaman penggunaan eter sebagai obat bius yang telah berjasa menyelamatkan banyak nyawa orang.

Tapi kita akan membahas batubara yang telah lama digunakan sebagai sumber energi. Hingga tahun 2005, batubara menyediakan 40 persen listrik di dunia. Sebanyak 54 persen listrik PLN menggunakan batubara.

Namun, dampak negatif batubara makin jelas diketahui. Batubara adalah jenis energi terkotor saat ini. Pembakaran batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca CO2 satu setengah kali lipat dibanding minyak bumi, dan dua kali lipat dibandingkas gas.

Batubara menimbulkan dampak buruk dari penambangan sampai pasca-pembakaran di pembangkit listrik. Penelitian Dr Michael Hendryx dari Univesitas West Virginia menemukan berbagai penyakit mematikan, seperti kanker paru, sakit jantung, pernapasan, dan ginjal, sangat tinggi di daerah kawasan tambang batubara. Penderita penyakit ini berbanding lurus dengan intensivitas penambangan. Penderita kian berkurang pada daerah yang kurang penambangan batubara, dan terendah pada kawasan bukan pertambangan batubara. Karena karakter penambangan batubara relatif sama di semua negara, maka hal serupa tampaknya juga mencerminkan keadaan Indonesia.

Selain itu, transportasi batubara di Indonesia banyak menggunakan sungai, umumnya tercemar parah, di antaranya Sungai Barito, Mahakam, dan Sungai Bengkulu. Sumber pencemaran adalah tumpahan batubara, buangan bahan bakar kapal pengangkut. Pembuangan bahan berbahaya dan beracun ini membahayakan ekosistem di laut. Penulis menyaksikan banyak penduduk mengonsumsi ikan dan masih menggunakan air Sungai Barito untuk keperluan rumah tangga.

Ketika dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), batubara menghasilkan pencemaran udara berbentuk partikel halus (particulate matter). Ukurannya kurang dari 2,5 mikrometer, sehingga umum disingkat PM 2,5. Materi ini menyebabkan penyakit asma, berkurangnya fungsi paru-paru, memperlambat perkembangan anak dan memperparah sakit jantung.

Hasil lainnya dari limbah debu batubara adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon dioksida, arsenik, chromium, nikel, dan logam berat lainnya, gas asam, hidrokarbon (Erica Burt, MPH). Semua zat ini berbahaya bagi kesehatan dan beberapa di antaranya menimbulkan kanker. Berdasarkan informasi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA), paparan sulfur dioksida menyebabkan peradangan saluran napas, memperparah paru-paru basah (bronchitis), dan penurunan fungsi paru.

Anil Markandya serta Paul Wilkinson dalam jurnal medis The Lancet tahun 2007, memperkirakan secara global setiap tahun 210.000 orang meninggal, 2 juta mengalami sakit serius, 151 juta sakit ringan akibat dampak pembakaran batubara. Perkiraan ini berdasarkan standar aturan polusi dan kerapatan penduduk Eropa. Angka ini sesungguhnya bisa lebih besar karena banyak negeri dengan standar udara lebih rendah dengan penduduk lebih padat.

Di samping itu, pembangkit batubara adalah salah satu sumber pencemaran merkuri global. Pencemaran merkuri bisa menyebabkan autisme pada anak-anak. Berbagai penelitian di Amerika Serikat telah menunjukkan jumlah anak-anak mengalami autisme lebih banyak bila kian dekat dengan PLTU batubara. Adalah tidak adil bila demi pemenuhan kebutuhan energi generasi masa kini, generasi masa depan harus menanggung beban deritanya. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Amerika Serikat telah menghentikan 175 PLTU batubara pada periode 2001-2011, merencanakan memensiunkan 175 buah lagi pada periode 2012-2016 (Sierra Club). Salah satu alasannya karena pencemaran. Badan Energi Nasional Tiongkok mulai mengurangi pemakaian batubara. Diawali, dengan rencana larangan impor batubara berkalori rendah karena polusinya lebih tinggi. Tampaknya batubara perlahan ditinggalkan secara global.

Di Tanah Air kita, warga Desa Suralaya, lokasi PLTU batubara terbesar di Indonesia, berdasarkan sebuah penelitian IPB menyebutkan 97,36 persen warga yang diwawancai menilai PLTU Suralaya telah menimbulkan gangguan kesehatan.

Dari semua ini, wajarlah masyarakat Batang, Jawa Tengah, melakukan penolakan terhadap pendirian PLTU batubara di kawasan mereka. Jika jadi didirikan, PLTU batubara ini adalah terbesar di Asia Tenggara, sehingga dampaknya pun besar. Publik dan pemerintah tidak adil bagi warga Batang bila demi pemenuhan layanan energi kita, masyarakat sekitar pembangkit listik menanggung derita besar. Alternatif harus ditemukan.

Pemerintah Indonesia bisa mengatasi dampak sosial dan krisis energi dari pengurangan pemakaian batubara bila melakukan peralihan ke energi terbarukan dengan terencana. Peran batubara bisa digantikan dengan energi terbarukan, seperti geotermal, tenaga surya, ombak laut, yang sumbernya banyak dimiliki oleh Indonesia. Kita hanya butuh lahan seluas dua juta hektare membuat panel surya untuk menghasilkan listrik bagi sejumlah peralatan yang kita pakai saat ini. Seperti eter telah digantikan bahan lain, seperti propofol fentanyl, saatnya batubara digantikan energi terbarukan.

Penulis adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)


http://ekbis.rmol.co/read/2013/09/22/126456/Inikah-Senjakala-Batubara-

BeritaSatu.com: blog 2866-senja-kala-batu-bara

Minggu, 31 Maret 2013

Jurnal: AUTONOMIE RÉGIONALE ET CONFLITS ENTRE POPULATIONS ET INDUSTRIE MINIÈRE EN INDONÉSIE



http://www.cetri.be/Autonomie-regionale-et-conflits

Les conflits opposant les communautés locales aux entreprises minières demeurent un problème chronique de l’Indonésie, sous le régime de Soeharto comme aujourd’hui. La fin de la dictature, la décentralisation et la « participation populaire » annoncée n’ont pas freiné la tendance. Au contraire, les autorités actuelles parient sur le boom minier, en dépit de ses impacts environnementaux et de l’opposition des petits agriculteurs et pêcheurs.


Titre : Industries minières - Extraire à tout prix ?
La Collection : Alternatives Sud
Volume : Vol. XX - 2013/2
Date : 03/2013
Coord./Auteur : Frédéric Thomas
Edition : CETRI, Syllepse
Format : 135 x 215 mm

Kamis, 14 Februari 2013

Valentine, Momen Meningkatkan Kecintaan pada Alam

JAKARTA, KOMPAS.com - Valentine selalu identik dengan warna merah jambu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kamis (14/2/2013), mengajak publik merayakan "Green Valentine".

Green Valentine menurut Walhi adalah upaya menjadikan hari kasih sayang sebagai momentum untuk mencintai alam. Walhi mengajak publik merefleksikan interaksinya dengan alam saat ini dan upaya perbaikannya di masa depan.

Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, mengatakan, perilaku manusia selama ini tak menunjukkan kecintaannya kepada alam.

"Menurut saya, saat ini kita bermusuhan terhadap alam, bukan karena alam tidak memiliki sesuatu tetapi justru karena alam memiliki banyak hal dan kita memusuhi untuk merampasnya," ungkap Pius dalam acara peluncuran buku "Ekologi Marx: Materialisme dan Alam", hari ini.

Pius mengungkapkan, hari kasih sayang bisa digunakan sebagai momentum perubahan. Manusia mesti menjadikan alam sebagai sahabat, bukan sebagai obyek eksploratif semata.

Kecintaan terhadap alam bisa ditingkatkan dengan memperdalam pengetahuan serta pemahaman terhadap alam itu sendiri. Buku yang diluncurkan Walhi, ditulis oleh John Bellamy Foster dan diterjemahkan oleh Pius Ginting, berupaya memberikan pemahaman lebih mendalam tentang manusia, alam dan interaksinya dalam dunia sekarang. (Fifi Dwi Pratiwi)

Editor: yunan

http://sains.kompas.com/read/2013/02/14/19335789/Valentine.Momen.Meningkatkan.Kecintaan.pada.Alam

Minggu, 10 Februari 2013

Terjemahan: Ekologi Marx, Materialisme dan Alam

Judul asli : Marx's Ecology: Materialism and Nature
Penulis : John Bellamy Foster
Penerjemah : Pius Ginting
Penerbit : Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Cetakan : 2013
Tebal : 284 halaman
Ukuran : 22.5 cm x 15.5 cm
ISBN : 978-602-18675-1-8

Diterjemahkan dan diterbitkan untuk tujuan pengetahuan sosial, bukan untuk koleksi pribadi.
Di samping menyiasati harga produksi, disarankan agar pembelian bukan secara individu, agar satu buku bisa dimiliki komunitas dan didiskusikan bersama di komunitas.

http://monthlyreview.org/product/marxs_ecology/
--------------
Selama bertahun-tahun, Marxisme selalu mendapat tuduhan sebagai ideologi antroposentris yang tidak peduli terhadap perlindungan lingkungan hidup.

Beberapa kalangan menganggap bahwa Marx adalah seorang Promothean, yang mengagung-agungkan kemampuan manusia untuk mendominasi dan menundukkan alam. Bellamy Foster, dalam Marx’s Ecology, membalikkan semua tuduhan ini.
Buku ini mampu memperlihatkan bahwa gagasan Marx tentang perlindungan lingkungan atau tentang pemanfaatan alam secara berkelanjutan adalah konsekuensi dari pandangan meaterialisme-nya Marx terhadap alam. Dengan pandangan inilah Marx beranjak dari pembahasan mengenai apakah manusia dan alam harus dipandang sebagai satu kesatuan atau tidak, ke arah penemuan tentang penyebab terjadinya keterasingan dan keterpisahan manusia dari alam.
Penerjemahan Marx’s Ecology ke dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah upaya yang patut dipuji, karena buku ini akan memberikan perspektif dan bahkan fondasi teoritis baru bagi gerakan sosial dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
- Andri G. Wibisana, dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum UI

Ekologi Marx adalah karya atau buku yang patut dan harus dibaca utamanya bagi para aktivis lingkungan dan para praktisi serta akademisi yang menaruh perhatian secara serius terhadap isu-isu ekologi, karena buku ini tidak hanya mengulas fakta-fakta empiris akan tetapi juga mengupas secara jelas pandangan-teoritik yg menjadi alas dalam melihat kontradiksi dan relasi berbagi problema ekologi, yg tidak umum digunakan dalam memandang berbagai permasalahan ekologi kontemporer, diantaranya memandang teologi natural dan kaitanya dengan ekonomi politik.
- Ridha Saleh, Komisioner Komisi HAM RI periode 2007-2012

Saat pertama kali membaca buku baru John Bellamy Foster, aku pikir, “Oh, tidak. Lagi-lagi buku besar, tebal, gemuk tentang Marx.” Tapi segera sesudah aku mulai baca, sulit sekali melepaskannya. Buku ini memberiku pengertian baru tentang totalitas materialisme Marx dan perkembangan dirinya akan dialektika masyarakat manusia dan alam.
- R.C. Lewontin, Universitas Harvard

--------------

John Bellamy Foster: Marx’s ecology in historical perspective

Brett Clark & John Bellamy Foster: Marx's Ecology in the 21st Century

Resensi/Kritik

Senin, 28 Januari 2013

Revolusi Ekologis Jakarta Atasi Banjir

Banjir 2013 di Jakarta kian cuatkan bahwa pengelolaan Jakarta tak bisa diatasi seperti sebagaimana biasanya. Saat krisis, manusia dituntut memberikan solusi mendasar. Budaya metropolitan ciptakan keterputusan semu manusia dan alam. Seakan semua hubungan manusia kota dan alam bisa dimediasi dengan sarana yang diberikan pasar. Masyarakat kota seakan kebal relatif terhadap perubahan musim, karena persediaan produk alam seperti pangan tersedia di pasar besar atau mall. Bagi kota, kala musim kemarau atau hujan parah menimpa sebuah daerah pemasok, persediaan relatif bisa digantikan dengan pasokan daerah lain. Bahkan mengimpor. Variabilitas musim dianggap hanya gangguan kecil.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Sementara bagi masyarakat pedesaan, seperti petani kecil dan nelayan, alam ibarat plasenta bagi kehidupan mereka. Siklus alam sangat mempengaruhi. Bila kemarau terjadi, bukan tak mungkin kelaparan menimpa petani. Bila air terlalu banyak, kegagalan penen jarang tergantikan produk impor. Dan, nelayan kita, umumnya menggunakan kapal kecil, sangat dipengaruhi besar ombak dalam membuat keputusan melaut atau tidak.

Banjir cuatkan kesadaran bahwa kota tidak bisa selamanya terlepas dari daya dukung alam. Banjir adalah ketidaknormalan pada siklus air pada akhirnya mengganggu manusia, dalam bentuk kerusakan properti bahkan menghilangkan nyawa. Sulit membayangkan konsep banjir bila tak terkait dengan gangguan yang dialami manusia. Sehingga persoalan ekologi dan manusia menjadi satu. Persoalan banjir ini umumnya diatasi dengan membangun infrastruktur agar siklus air tidak merugikan, bahkan mendukung kehidupan manusia.

Pertambahan penduduk kota sebabkan sarana alami seperti daya resap tanah, daya hambat akar tumbuhan, sungai, bentang alam berupa cekungan (situ) tak memadai menjaga siklus air agar tak mengganggu. Parahnya, fasilitas alami ini mengalami kerusakan dan kemusnahan saat kota kian membesar. Semua metropolitan dunia pernah alami persoalan siklus air ini dalam bentuk banjir parah. Seperti London (1828), New York (1972, 2012), Amsterdam (1953). Namun negara Utara ini mampu membangun fasilitas memadai, agar kejadian banjir tak berulang dalam waktu lama. Seperti anggaran pemulihan biaya Badai Katrina di AS sebesar 106 milyar dollar AS.

Infrastuktur ini menuntut pemutakhiran besar-besaran dan dalam jangka panjang (25 tahun). Bisa saja tak memadai seiring dengan memburuknya dampak perubahan iklim. Sementara itu, metropolitan negara Selatan seperti Jakarta menghadapi persoalan banjir dengan keterbatasan pendanaan dan teknologi agar persoalan banjir berulang (2002,2007,2013) tak terjadi. Banjir perkotaan adalah fenomena krisis ekologi. Krisis ini kian jelas bila dilihat pada siklus unsur nitrogen, dan fosfor dalam hubungan kota dan desa.


Krisis Ekologi Kota Dilihat dari Siklus Nitrogen dan Fosfor


Dalam relasinya, kian besar kota, kian membutuhkan pengorbanan desa sekitarnya dalam bentuk pasokan pangan dan kebutuhan produk alam lainnya. Metropolis dunia, seperti London, New York bahkan mengandalkan pengorbanan pedesaan di negeri lain.

Buah-buahan seperti pisang dan sayuran didatangkan dari negeri Asia dan Amerika Latin. Padahal nitrogen yang terkandung dalam bahan pangan ini sangat diperlukan tanah mendukung pertumbuhan generasi tanaman berikutnya. Nitrogen tidak kembali ke tanah desa, hingga terjadi perampokan asupan nitrogen tanah desa oleh masyarakat kota. Di kota pada akhirnya terbuang ke sungai-sungai dan teluk, sebabkan pertumbuhan alga yang luar biasa. Saat alga mati dan membusuk, oksigen perairan berkurang drastis, sebabkan kematian massal ikan.

Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI (2011) sebutkan nitrogen dan fosfor Teluk Jakarta diatas baku mutu. Telah terjadi beberapa kali peristiwa ledakan populasi alga berbahaya. Kematian massal ikan terjadi pada tahun 1992, 1994, 2004, 2005 dan 2006 (KKP, 2010). Salah satu faktor pemicu kematian massal ini kemungkinan karena pengkayaan nitrogen dan fosfor. Senyawa nitrogen dan fosfor di Teluk Jakarta telah jauh melampaui baku mutu air laut untuk biota laut.

Nitrogen dan fosfor dirampok dari tanah desa, dan dibuang dalam bentuk sisa membahayakan di sungai dan teluk sekitar metropolitan Jakarta. Sementara itu, kekurangan nitrogen dan fosfor alami di pedesaan sebabkan meningginya penggunaan pupuk kimia di kawasan pertanian. Hal ini juga menimbulkan ketidakamanan pangan manusia, baik di kota juga di desa.

Dari banjir (krisis siklus air), siklus nitrogen dan siklus fosfor ini bisa disimpulkan konsep kota metropolitan termasuk Jakarta sebenarnya tak sesuai dengan proses/siklus ekologi. Metropolitan harus direvolusi menjadi kota ukuran sedang.


Menuju kota berukuran sedang


Salah satu kota di dunia melakukan revolusi ekologi dalam hubungan desa-kota adalah Havana di Kuba. Pascarevolusi tahun 1959, populasi dan fasilitas di Havana didistribusikan ke kota-kota kecil lainnya, sehingga penduduk Havana berkurang. Tingkat pertumbuhan penduduk Havana terendah di Amerika Latin. Dan tak seperti kota lainnya, pertumbuhan penduduk justru terjadi di luar ibu kota. Porsi aktivitas ekonomi, sosial, dan pendidikan dikurangi secara signifikan dan disebarkan ke kota lainnya. (Isaac Saney, Cuba: Revolution in Motion). Lalu, lahan-lahan kosong dan pekarangan kota dijadikan lahan pangan (permaculture). Pangan tak harus didatangkan jauh dari desa, tentunya juga menambah emisi gas rumah kaca dalam proses transportasi.

Dari sisi ketahanan pangan, saat badai Katrina (2005) dan Isaac (2012) menerpa Kuba, Havana relatif tak menghadapi kekurangan pasokan, kendati sedang diembargo oleh banyak negara Barat. Mereka andalkan pangan hasil teritori kota itu sendiri. Laporan lembaga WWF (Living Planet Report 2006) sebutkan hanya Kuba mendekati standar pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu, Pemindahan Ibu Kota Jakarta harus dilihat dalam menciptakan keselarasan dengan proses ekologi, bisa terlihat dalam pemulihan siklus air, nitrogren dan fosfor. Penyebaran fasilitas, kelembagaan, dan penduduk dari metropolitan dilakukan dengan tak merugikan rakyat.

Pemindahan ibu kota bisa disertai dengan transmigrasi. Namun transmigrasi selama ini banyak tidak manusiawi. Belakangan, penetrasi kapital berbentuk perkebunan, pertambangan di sekitar lahan transmigrasi telah menimbulkan konflik agraria. Konflik ini mudah dibungkus dalam bentuk konflik SARA, antara pendatang dan penduduk asli, seperti di Mesuji, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Belum lagi biaya infrastruktur penunjang, seperti dana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya transmigrasi dikorupsi lembaga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pemerintah nasional tidak bisa abaikan persoalan migrasi ini dalam revolusi ekologis Kota Jakarta, agar banjir tak berulang. Revolusi ekologis ini menuntut perubahan Jakarta ke kota ukuran sedang dan perbaikan hubungan dengan pedesaan, agar selaras dengan siklus-siklus ekologi.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 2110-revolusi-ekologis-jakarta-atasi-banjir.html

Selasa, 08 Januari 2013

Catatan Kecil Advokasi Lingkungan Hidup Tahun 2012

Aturan lingkungan hidup di Indonesia lemah, dibandingkan dengan negara lain. Belum lagi penegakannya berat sebelah kala yang dihadapi korporasi atau rakyat kecil.

Contoh bukti lemahnya hukum lingkungan adalah penggunaan sianida yang sudah tak diperbolehkan di pertambangan Eropa, dan sulit ditetapkan di negeri Barat lainnya. Tapi di sini diperbolehkan. Perusahaan tambang emas Agincourt Resources di Sumatera Utara menggunakan sianida. Perusahaan tersebut berkonflik dengan warga Batang Toru sepanjang tahun 2012 yang menentang pembuangan limbah tambang ke sungai.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

AMDAL perusahaan menyatakan sungai tidak diminum warga, tapi kenyataannya sungai tersebut diminum warga, dan menjadi sumber utama penghasil ikan sale. Pemberian informasi palsu (tidak benar) dalam AMDAL tergolong pelanggaran serius, tapi hingga akhir tahun 2012, tak ada penegakan hukum bagi perusahaan. Perusahaan tambang terus berjalan didukung militansi Pjs Gubernur Sumatera Utara terbang dari Medan ke Batang Toru dan meminum air sungai sebagai pertunjukan air sungai tak berbahaya diminum. Beranikah meminumnya saat tambang beroperasi penuh dan kontinyu?

Penegakan aturan lingkungan hidup dan kehutanan yang berat sebelah ini juga terjadi di Sulawesi. Penambangan di kawasan hutan lindung, bahkan berkategori cagar alam berlangsung di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah. Off side terhadap regulasi dibiarkan manakala pelaku adalah korporasi. Selanjutnya, tinggal menunggu waktu terjadi pemutihan pelanggaran lingkungan atau alih fungsi kawasan cagar alam menjadi memungkinkan untuk ditambang atau perkebunan.

Investasi modal memang menimbulkan anomali. Ekspansi massif pertambangan nikel di Sulawesi Tengah, direstui oleh Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai koridor pertambangan nikel. Rencana ini pastilah berkontradiksi dengan program pencegahan pembabatan hutan dalam kerangka mitigasi perubahan iklim, khususnya UN REDD Programme Indonesia, Sulawesi Tengah. Tapi pada akhirnya, semuanya akan bisa diatur agar investasi bisa terus mereproduksi diri.

Padahal, investasi pertambangan adalah jenis kegiatan yang paling berdampak besar terhadap lingkungan: rusaknya siklus karbon, siklus air, siklus metabolisme rakyat-sumber daya alam pada komunitas yang sangat tergantung pada alam sebagai sumber pangan, air, kesehatan, dan lain-lain.

Kelemahan regulasi yang melindungi lingkungan juga tercermin dalam praktik pembuangan limbah tambang ke laut. Praktik ini tidak ada diterapkan di negara Australia, Selandia Baru, dan daratan utama Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, diterapkan dengan dilangsungkannya pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut di Teluk Senunu.

Apa dampaknya terhadap ekosistem? Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tidak terlalu peduli dengan statemen salah satu stafnya menyatakan mungkin hanya dedemit yang hidup di dalam laut tersebut. Sementara Oseanografi LIPI, sebagai institusi negara yang fasilitasnya dibiayai pajak rakyat, misalnya lewat pajak saat membeli ikan di pasar/supermarket, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik perusahaan tambang.

Kelemahan aturan lingkungan hidup yang ada disambung dengan pelemahan berikutnya. Rancanan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Dumping, sepanjang tahun 2012 masih dalam proses dalam forum yang tertutup bagi organisasi lingkungan kritis, hendak mengubah kategori limbah tambang ke laut bukan sebagai bahan berbahaya dan beracun.


Veto Korporasi dan Veto Rakyat


Industri Migas tahun 2010 lewat Kementerian ESDM melakukan veto agar aturan baku mutu temperatur air buangan migas tidak diturunkan dari 45 derajad celcius. Alasannya, batasan tersebut sulit dicapai, dan mengancam produksi minyak. Pemerintah tunduk terhadap veto ini.

Sisi lain, masyarakat tidak punya kedaulatan dalam memilih jenis kegiatan ekonomi di wilayah mereka, terlebih bila kawasan tersebut mengandung bahan pertambangan. UUD 1945 Amandemen mengakui hak milik warga dan hak atas lingkungan hidup. Tapi banyak pemerintah daerah secara sepihak menetapkan kawasan kelola rakyat sebagai kawasan pertambangan. Sehingga konflik pun terjadi antara masyarakat dan industri penambangan pada tahun 2012, diantaranya Balaesang, Kabupaten Donggala-Sulteng, Kulonprogo, Cileungsi, Lontar-Serang.

Harapan masyarakat sekitar tambang dan organisasi masyarakat sipil agar Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan veto rakyat atas wilayah pertambangan, agar proses penentuan pendapat masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan menjadi syarat mutlak, diterima setengah hati oleh MK.

MK menyatakan kekhawatiran masyarakat adalah beralasan atas hilangnya hak mereka dan ancaman atas hak lingkungan yang sehat dari penetapan wilayah pertambangan. Karenanya, MK berpendapat agar pemerintah memfasilitasi proses penentuan pendapat masyarakat secara riil. Namun, keputusannya menjadi tak bermanfaat langsung buat penyelesaian konflik di lapangan, karena MK menolak penetapan persetujuan masyarakat tersebut dilakukan secara tertulis.

Padahal, dalam praktek aktual yang telah dilakukan masyarakat, cara tertulis seperti pengumpulan tanda tangan penolakan telah menjadi kelajiman masyarakat, seperti masyarat Belitung mengumpulkan ribuan tanda tangan menolak tambang timah di laut karena mengancam tangkapan ikan nelayan. Apakah MK bisa setuju kalau penentuan pendapat masyarakat atas penetapan wilayah pertambangan bukan dilakukan secara tertulis, tapi lewat referendum lokal, seperti diterapkan di beberapa negara di Amerika Latin? Penulis tak optimis.


Penegakan Lingkungan yang Lemah VS Insentif PROPER


Hingga tahun 2012, penegakan hukum dalam bidang lingkungan hidup lemah, sehingga tidak banyak putusan pengadilan menjadi jurisprudensi yang mendorong perbaikan dan perlindungan lingkungan hidup. Saya berpendapat Indonesia tepat untuk kembali mendirikan badan pengawas lingkungan yang independen, seperti almahrum Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).

Lembaga terebut sebaiknya memiliki fungsi seperti KPK dalam penyidikan tindak korupsi. Dan untuk proses peradilannya, diperlukan pengadilan khusus tindak pidana lingkungan. Sertifikasi hakim yang telah mulai dijalankan beberapa tahun terakhir nyata-nyatanya belum berhasil mendorong prinsip kehati-hatian (prinsip bersumber dari hasil KTT Bumi 1992) dalam penerapan teknologi yang berpotensi merusak lingkungan. Alih-alih, KLH dan peraadilan lebih mementingkan kepastian usaha bagi korporasi.

Hal ini tampak dalam diperbolehkannya perusahaan membuang limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat, dan tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dll.

Di tengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup kembali pada tahun 2012 mengeluarkan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan).

Ibarat surat keterangan berkelakuan baik dikeluarkan kepolisian, perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat baik (emas, hijau, biru) karena memang aturan mengatur kejatahan lingkungan lembah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengrusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik.

Tahun 2012 diawali dengan penyerbuan aksi damai masyarakat menolak tambang di atas lahan pertanian dan hutan mereka di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Penghujung tahun 2012, diwarnai represi, sweeping, penahanan, kekerasan terhadap aksi masyarakat Batang Toru, Tapanuli Selatan, yang menolak sungai mereka dijadikan pembuangan limbah tambang (parahnya, menggunakan sianida).

Semoga perubahan ke arah lebih baik memang benar terjadi selama tahun 2012 tapi belum disadari, sehingga sulit menuliskannya. Berharap tahun 2013 lebih baik lagi.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 2080-catatan-kecil-advokasi-lingkungan-hidup-tahun-2012

Rabu, 26 September 2012

Ketika Warga Richmond Berhadapan dengan Chevron, Pelajaran Bagi Kepala Daerah Kita

Dia seorang perempuan, jadi Wali Kota Richmond, di negara bagian California, Amerika Serikat. Satu-satunya wali kota dari Partai Hijau di kota besar. Di Richmond terdapat kilang minyak besar milik Chevron. Minyak dari berbagai negara dunia dibawa ke kilang ini untuk didistribusikan ke Amerika Serikat, khususnya bagian Pantai Pasifik.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Dalam politik, sebelumnya Richmond selalu menjadi kota milik perusahaan. Seperti Timika bagi Freeport. Namun sejak tahun 2006, warga menolak kandidat yang didukung Chevron. Mereka memilih Gayle McLaughin dari Partai Hijau. Dia berkampanye menaikkan pajak korporasi besar. Juga berjanji mempekerjakan kembali pekerja yang di-PHK, dan penyediaan pekerjaan ramah lingkungan bagi pemuda lokal.

Karena kekritisannya terhadap korporasi besar, pesaing Gayle McLaughin dalam pemilihan menyatakan, “Dia [Gayle] benci Chevron. Dan kebencian itu membuat dia menolak bernegosiasi dengan entitas penting dalam komunitas [Chevron] atau bahkan menerima cek dari mereka untuk kepentingan komunitas.”

Untuk mendanai pemilihannya, Gayle McLaughin menerima uang dari serikat buruh, kelompok lingkungan, dan donor individual. “Aku tidak menerima sepeser pun dari korporat. Khususnya di Richmond, yang telah beberapa dekade dibawah telunjuk korporasi,” tegasnya.

Mengapa menerima dana dari serikat buruh? Jawabnya, “Saya melihat serikat buruh pada dasarnya bertentangan dengan korporasi. Serikat buruh adalah orang yang bersama-sama memperjuangkan hak mereka, orang biasa. Hal berbeda dengan korporasi yang tujuannya adalah mendapatkan keuntungan.”

Gayle McLaughin menyatakan, perjuangan dirinya bertarung berhadapan Chevron dimulai saat dia terpilih. Mereka punya sebuah gerakan progresif di Kota Richmond, bernama Richmond Progresive Alliance. Berkat gerakan ini dan anggota dewan kota progresif, Chevron tak lagi mendominasi pemerintahan kota Richmond.

Gayle menyatakan, pemerintahannya akan dapat mendudukkan Chevron bertanggung jawab dengan meregulasi mereka, tak memberikan izin bagi rencana-rencana baru jika tidak mendapatkan jaminan keselamatan paling tinggi.

Chevron tak dapat mengilang minyak mentah kotor, heavy crude yang dapat menimbulkan lagi ledakan dan mencederai komunitas kota Richmond dan sekitarnya, tegasnya dalam sebuah wawancaranya dengan www.democracy.now. Namun tragis, kesehatan warga terusik kesekian kalinya oleh kilang minyak Chevron yang mengalami kebakaran besar pada 6 Agustus 2012. Sebanyak 900 lebih orang mencari pertolongan ke rumah sakit.

Komunitas berpenghasilan rendahlah yang tinggal di sekitar kilang minyak Chevron. Mayoritas penduduk Richmond bukan berkulit putih. Sebanyak 40 persen berasal dari Amerika Latin, 30 persen Afrika-Amerika, Asia, dan penduduk asli Amerika.

Antonia Juhaz, penulis buku Tyranny of Oil sekaligus aktivis menyebutkan lebih 25.000 penduduk hanya terletak tiga mil dari kilang Chevron dan hampir 85% penduduk ini hidup di bawah garis kemiskinan standar Amerika Serikat.

Warga Richmond secara terbuka mengungkapkan protesnya terhadap Chevron. Bahkan mendatangi dan menghadiri setiap pertemuan tahunan pemegang saham Chevron. Tahun 2011, penulis menyaksikan seorang pendeta tua namun bersemangat bernama Davis, berbicara tentang dampak lingkungan kilang Chevron langsung ke Direktur Utama Chevron, Watson, dalam acara pertemuan pemegang saham.

Dia katakan, umatnya banyak sakit. Dia harus selalu pergi mengantar orang ke kuburan, sementara Chevron pergi ke bank. Chevron mengambil minyak dari banyak negara lain, menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan di banyak tempat, lalu membawanya ke Richmond. Dan di Richmond menimbulkan persoalan lingkungan dengan masyarakat sekitar.

Waktu dua menit yang disediakan bagi setiap orang yang bertanya dalam pertemuan pemegang saham adalah terlalu singkat. Watson mengancam menyudahi bagian tanya jawab bila pendeta itu tidak duduk.

Kembali ke Wali Kota Richmond, dia selalu berjuang bersama warganya, di jalanan maupun dalam ruangan, menuntut pertanggungjawaban Chevron.

Pada Hari Bumi 21 April 2012, di depan aksi massa diorganisir oleh Occupy Richmond, Gayle McLaughin menyatakan, “Ratusan tahun sudah, komunitas kalian dihujani polusi. Pada hari bumi ini, kita perlu fokus terhadap perusahaan-perusahaan besar. Mengagumkan melihat begitu banyak orang bangkit melawan Chevron. Ini adalah soal pemberdayaan.”

Pada “Aksi Jaga-jaga untuk Gelandangan”, Mei 2012, untuk menunjukkan perhatian bagi gelandangan, Gayle McLaughlin mendatangi kerumunan kecil orang-orang berjaket dan berselimut. Dia katakan, ketimpangan distribusi kekayaan tak menolong orang keluar dari jalanan.

“Bukan karena tidak cukup [uang] di dunia ini. Kita tahu bahwa korporasi besar seperti Chevron ciptakan miliaran dolar keuntungan, tapi kita malah mengalami jumlah gelandangan terbanyak di sekitar Teluk San Fransisko, yakni di Richmond. Ini adalah kenyataan memalukan, bahwa kita punya kesenjangan seperti itu di komunitas kita,” seperti dimuat dalam richmondconfidential.org.


Pertarungan di Pengadilan

Gayle McLaughlin juga menghadapi Chevron di persidangan. Chevron menggugat Pemerintah Daerah Contra Costa, ketika Richmond termasuk di dalamnya. Chevron menggugat klaim kelebihan pajak senilai 73 juta dollar.

Bagi Chevron, gugatan ini hanya sebesar 0,26 % keuntungannya tahun 2011. Bagi Gayle McLaughlin dan komunitas Contra Costa itu berarti besar. Jika kalah, pengembalian uang kepada Chevron akan berarti pemangkasan anggaran perpustakaan, sekolah, jasa pemadam kebakaran, perbaikan lingkungan dan anggaran sosial lainnya.

Chevron menuduh penilai pajak Pemerintah Daerah Contra Costa sengaja mengelambungkan nilai aset terkena pajak Chevron tahun 2007-2009.

Namun, alih-alih mendapatkan pengurangan pajak, pengadilan tingkat banding pada April 2012 menyatakan bahwa penilai pajak justru membuat nilai aset Chevron lebih rendah 10 hingga 23% dari seharusnya.

Pengadilan berpandangan nilai pasar kilang Chevron sebesar 3,7 miliar, 4,4 miliar dan 3,8 miliar dolar AS pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Karenanya, Chevron harus membayar pajak tambahan senilai 26,7 juta dolar AS. Gayle McLaughlin bersama pemerintahan daerah Contra Costa dan kota Richmond pun bernapas lega.

Perjuangan warga kelas bawah Richmond untuk dapatkan lingkungan yang sehat tentunya masih panjang karena keberadaan kilang minyak Chevron yang beberapa kali alami kebakaran. Tapi dibandingkan warga Indonesia yang tinggal di Kabupaten Bengkalis, Riau di sekitar ladang minyak Chevron, keadaan warga Richmond masih lebih baik. Mereka beruntung memiliki kepala daerah yang berjuang untuk kepentingan warga yang “tak masuk angin” berhadapan dengan korporasi besar bahan di negeri pusat kapital global. Khususnya menyangkut perjuangan hak warga atas lingkungan yang sehat.

Perjuangan warga dan pemerintah kota Richmond bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah agar tidak tunduk kepada pengaruh korporasi perusak lingkungan. Pemerintah daerah di Indonesia pun bisa!

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1903-ketika-warga-richmond-berhadapan-dengan-chevron