Minggu, 20 September 2015

Foto: Republik Dibekap Asap



Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyampaikan pandangan di Forum Senator untuk Rakyat bertema "Republik Dibekap Asap" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (20/9). Forum kali ini dihadiri juga anggota DPR RI dari Riau Abdul Gafar Usman, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi.
Febiyana/RMOL

Jumat, 11 September 2015

Mengatasi krisis listrik dengan proyek 35.000 MW


Pemerintah Indonesia diminta transparan soal perhitungan kebutuhan energi nasional yang sebenarnya.

Pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt akan terus berjalan, namun pengamat mengatakan ada hal yang harus dicermati di balik sekadar perdebatan soal angka.

Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik baru di Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun ke depan.

Tetapi, pada Senin (07/09) lalu, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000 MW untuk lima tahun ke depan.

Kebijakan tersebut diambil Rizal usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir.

Rizal mengatakan, "35.000 MW itu tidak mungkin dicapai dalam lima tahun, 10 tahun bisa lah. Kalau dibangun semuanya pun, dalam lima tahun, terjadi sampai 35.000 MW, PLN akan mengalami kapasitas lebih."

Kapasitas lebih ini nantinya, menurut dia, akan membebani PLN karena sesuai perjanjian dengan pihak swasta maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Rabu (09/09) malam bersama Menteri BUMN Rini Soemarno menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 megawatt tersebut.

Rencananya, PLN akan memasok sekitar 10.000 megawatt untuk proyek ini, dan sisanya, 25.000 akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta.


Energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan.
Pius Ginting


Perhitungan


Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Hindun Mulaika pada BBC Indonesia mengatakan bahwa mereka belum melihat bagaimana perhitungan angka 35.000 megawatt itu keluar.

"Apakah kemudian 16.000 (megawatt) itu angka yang lebih pas? Ya harus dibuka ke publik juga perhitungannya. Dan, baik itu 16.000 atau 35.000 (megawatt), harus dibuka juga, dengan PLTU-kah, dengan PLTA-kah, atau dengan mendorong energi terbarukan," kata Hindun.

Hampir 63% dari 35.000 megawatt tersebut rencananya akan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap yang kebanyakan dibangun di Pulau Jawa.

Artinya, menurut Hindun, sebagian besar dari target tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Jawa dan Bali yang sebenarnya sudah hampir 90% mendapat listrik.

Dia melihat langkah ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk industri, tapi bukan untuk masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan aliran listrik.

Jika target pemenuhan kebutuhan listrik diturunkan jadi 16.000 megawatt, maka, Hindun melihat, penurunan tersebut membuat angka lebih realistis dari sisi pencapaian proyek.

Meski begitu dia meminta pemerintah transparan soal keterbutuhan listrik sebenarnya yang disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan, dan apakah pemenuhan tersebut harus menggunakan PLTU.


Luar Jawa



Presiden Jokowi meresmikan pembangunan PLTU Batang pada akhir Agustus 2015 lalu meski ada penolakan warga soal pembebasan lahan.

Menurut Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Walhi, di tengah ekonomi Indonesia yang sebenarnya mengalami perlambatan, maka permintaan listrik mungkin tak sebesar seperti yang direncanakan sebelumnya sehingga revisi angka sebenarnya mungkin terjadi.

Namun yang terpenting, Pulau Jawa mengalami surplus listrik 31%, sementara wilayah seperti Sumatera Utara dan Aceh sebenarnya mengalami minus listrik 9,3%.

Padahal, menurut penelitiannya, rencana PLTU yang akan dan tengah dibangun berlokasi di Cilacap, Batang, Jepara, dan Cirebon, yang semuanya berada di Pulau Jawa. Sehingga Pius belum melihat bagaimana rencana ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga di luar Pulau Jawa.

"Kalau pemerintah mau melibatkan swasta, swasta harus didorong untuk masuk ke energi terbarukan dan diprioritaskan untuk ke luar Pulau Jawa. Revisi angka itu masih cukup penting. Tapi energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan."

Seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya, Eva, mengatakan pada BBC Indonesia bahwa dalam sebulan, dia bisa mengalami setidaknya lima belas kali mati listrik. "Dalam seminggu ada tiga kali, empat kali, tapi kadang tidak juga," katanya.

Warga Banda Aceh, Bakhtiar, juga menggambarkan kondisi layanan listrik di kotanya.

"Kondisi normal tanpa gangguan, kayak mati digilir. Sebulan, bisa 10-15 kali. Paling sedikit 30 menit mati lampu, ada yang sampai 6 jam atau 8 jam. Kawan-kawan di Lhokseumawe, malah lebih parah, bisa seharian mati lampunya, dari pagi sampai jam 8 malam baru hidup lagi."



Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150910_indonesia_listrik_35ribumw

Kamis, 10 September 2015

Walhi denounces coal-fired power plants

Amid the country’s economic slowdown, the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) has urged the government to reduce its coal dependency in its plan to build power plants to produce 35,000 Megawatts (MW) of power in the next five years.

The government has lowered its economic growth projection in 2016 from 5.8-6.2 percent to 5.5-6 percent, below the projection included in PLN’s 2013-2022 master plan of 6.9 percent.

Based on the PLN projection, electricity demand is predicted to reach 7,000 MW per year, hence the government’s plan to produce 35,000 MW of power in the next five years.

“The economic slowdown is the perfect moment to conserve natural resources instead of exploiting them massively. Developing renewable energy is more suitable because the social and environmental costs of fossil fuel actually slows down economic growth itself,” Walhi executive director Abetnego Tarigan said.

Walhi energy campaigner Pius Ginting said that coal-fired power plants (PLTUs) had been found to reduce the productivity of people living within their vicinity.

“In our study during August 2015, Walhi found that farmers’ productivity declined in Jepara, Cirebon, due to dust from the burning of coal in power plants,” he told The Jakarta Post on Wednesday. “Fine particles called PM2.5 and PM10 produced by PLTUs are extremely dangerous to health. Their ultra-fine size enables them to enter the bloodstream.”

A recent study by Harvard University has found that increasing the number of PLTUs from 42 to 159 will increase the risk of death from air pollutants in Indonesia.

The government plans to build some 117 PLTUs in the next decade to meet the demand for more power.

The study revealed that air pollutants from the burning of coal at 42 existing power plants resulted in at least 6,500 deaths per year from strokes, heart and lung cancers and other respiratory and cardiovascular diseases.

This number would rise to 15,700 if the 117 new plants were constructed. The 117 new plants do not include other plants that the current government plans to install in its ambition to produce another 20,000 megawatts of energy. The ambitious project includes the construction of the controversial plant in Batang, Central Java, which continues to face protests from locals in the area.

Besides their hazardous impact on health, PLTUs also increased costs for other sectors, such as the salt industry, said Pius.

“Salt water used in salt ponds turns black due to the activities of PLTUs as well as coal loading and unloading from ships,” he said. “This increases costs and time needed for salt farmers to clean the water.”

Pius added that PLTUs also affected plant life, with leaves turning black and dust covering their stomata and reducing their productivity.

It was, therefore, crucial for the government to alter its 35,000 MW electricity project as it was currently dominated by PLTUs in Java, accounting for 12,400 MW, he said.


Hans Nicholas Jong, The Jakarta Post, Jakarta

http://www.thejakartapost.com/news/2015/09/10/walhi-denounces-coal-fired-power-plants.html

Kamis, 27 Agustus 2015

KETIKA PERANCIS MEMBAKAR KARBON DI INDONESIA

PERUBAHAN iklim bukan lagi wacana namun sudah menjadi kenyataan.

Kini perubahan iklim pun menjadi perhatian besar. Salah satu penyebab perubahan iklim adalah pembakaran bahan bakar fosil. Agar selamat dari pemanasan global, yakni suhu dapat dipertahankan dibawah 2 derajad celsius, maka sebanyak 80 perseb dari cadangan batubara di dunia harus tetap ditinggalkan terkubur di dalam tanah.

Beberapa negara telah membuat terobosan agar investasi keluar dari sektor batubara. Amerika Serikat misalnya, telah menghentikan 200 pembangkit listrik batubara secara nasional, yakni sebanyak 40 perseb dari sejumlah 523 pembangkit listrik lima tahun yang lalu.

Di Norwegia, Dana Pensiun Pemerintah telah berkomitment melakukan divestasi dari perusahaan batubara. Sebanyak 900 miliar dolar AS investasi batubara akan dicabut dari 122 perusahaan, termasuk dari 12 perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Celakanya, Indonesia tetap menjadi pasar bagi teknologi pembangkit batubara oleh perusahaan teknologi internasional. Seiring dengan meningkatnya pemakaian batubara untuk listrik dalam negeri, persentase emisi sektor ini meningkat dari 18,8% pada tahun 2000 menjadi 30,6 persen pada tahun 2011. Menjadikan Indonesia nomor 6 penghasil gas karbondioksida dunia pada tahun 2012. Emisi karbondioksida terkait energi sebesar 25 persen, dimana 42 persen berasal dari pembangkit listrik.

Salah satu perusahaan internasional yang berperan penting dalam peningkatan penggunaan batubara di Indonesia adalah Alstom, berasal dari Perancis. Alstom mencetak keuntungan dari operasinya di Indonesia dengan mendukung pembangkit listrik batubara di sejumlah tempat. Diantaranya menjadi boiler buat pembangkit listrik Paiton Unit 1 dan 2 dengan kapasitas 2 x 400 MW, dan Paiton Unit 5,6,7 dengan kapasitas 4 x 660 MW.

Di luar Jawa, Alstom mendukung pembangunan pembangkit listrik batubara unit 1 dan 2 Ombilin, pembangkit listrik batubara Bukit Asam unit 1 dan 2 dengan kapasitas 2 X 65 MW, serta Tarahan Lampung unit 3 dan 4 berkasitas 2 X 100 MW.

Dengan demikian, Alstom terlibat dalam pembakaran batubara sebanyak 23 juta ton per tahun, dan menghasilkan emisi karbonbondioksida sebanyak 28 juta ton.

Untuk pembangkit listrik Tarahan Lampung, Alstom melakukan penyuapan terhadap politisi Indonesia agar dapat memenangkan proyek sebesar 268 juta dolar AS.

Perancis adalah tuan rumah bagi penyelenggaran konferensi perubahan iklim internasional pada Desember 2015, dimana semua negara dituntut komitmennya untuk mengurangi emisi karbon.

Organisasi lingkungan hidup WALHI telah mengirimkan surat terbuka protes kepada Perancis atas dukungannya kepada perusahaan Alstom pada 22 Juli 2015.

Sehari sesudah surat terbuka tersebut, tulisan Duta Besar Perancis, Corinne Breuze muncul di media berjudul France, Indonesia and Climate Change menyatakan, Perancis dan Indonesia telah bekerja sama dengan baik mengatasi perubahan iklim, dengan penandatanganan kemitraan kedua negara, secara khusus kerjsama dalam bidang energi, utamanya pemakaian bahan bakar non fosil dan energi limbah.

Pernyataan Duta Besar Perancis ini bertentangan dengan kenyataan yang ada, karena Alstom dengan dukungan pemerintah Perancis sangat terlibat dalam pembakaran batubara di Indonesia.

Agar sejalan dengan komitmen pengurangan emisi karbon, maka pemerintah Perancis seharusnuya menghentikan semua dukungan finansial dan politik kepada kegiatan Alstom yang bergerak dalam teknologi pembangkit listrik batubara. Saatnya perkataan sejalan dengan tindakan agar dunia selamat dari perubahan iklim yang tak terkendali.

Penulis adalah aktivis WALHI 

Green Politics RMOL: 214888 Ketika Perancis Membakar Karbon di Indonesia

Kamis, 06 Agustus 2015

Buku: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara


(Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha, editor: Maryati Abdullah, Chistina Hill)
Penulis : Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha
Penyunting : Maryati Abdullah, Chistina Hill
Penerbit : Publish What You Pay Indonesia (IGJ)
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : iv, 38 halaman
ISBN : ---

Tulisan ini mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus dari pengalaman masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, tulisan ini juga memaparkan pembelajaran Internasional, yaitu dari Australia dan Norwegia.

Selasa, 07 Juli 2015

MEMETIK PELAJARAN DARI NEGERI DEWA-DEWI

DEMOKRASI prosedural menenteramkan elit politik dan elit lembaga keuangan. Demokrasi sejati menakutkan kepentingan mereka. Peningkatan kualitas dan bentuk demokrasi telah terjadi di negeri asal demokrasi itu sendiri, Yunani.

Referendum Yunani adalah kejadian unik. Inilah referendum pertama skala nasional tentang rencana kebijakan kebijakan perekonomian. Umumnya referendum dilakukan untuk penentuan nasib sendiri sebagai bangsa. Seperti yang dilakukan terhadap Skotlandia, Timor Leste.

Pemerintahan Tsripas dari Partai Syriza tidak ingin mengambil keputusan sendiri terkait pinjaman batu dari lembaga keuangan IMF dan Bank Central Eropa. Pun keputusan tersebut tidak hanya diambil dengan persetujuan parlemen. Diluar kebiasaan demokrasi prosedural, Pemerintahan Tsripas menanyakan kepada rakyat Yunani apakah rakyat setuju atau tidak setuju dengan talangan baru dari lembaga keuangan internasional dengan syarat-syarat memberatkan kehidupan rakyat, seperti pemangkasan uang pensiun, privatisasi, dan aturan ketenaga kerjaan lebih fleksibel namun memberatkan pekerja.

Mayoritas rakyat Yunani menyatakan tidak setuju (OXI) syarat-syarat yang memberatkan kehidupan yang telah susah di bawah sistem kapital selama ini.

Pengalaman Yunani ini menarik diadopsi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Pemerintah Indonesia hingga saat ini membuat kebijakan pengelolaan sumber daya alam tanpa partisipasi rakyat. Di bawah pemerintahan SBY, pemerintah menetapkan peta Wilayah Pertambangan per pulau tidak melibatkan rakyat.

Undang-undang Minerba pasal 9 dan 10 telah menyatakan bahwa proses penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan dengan asas partisipatif dan memperhatikan aspirasi warga. Norma ini sejauh ini masih semu, karena mekanisme partisipatifnya tidak dirinci. Alih-alih merincikannya dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral malah melakukan proses penetapan wilayah pertambangan tanpa partisipatif masyarakat sama sekali.

Masyarakat sekitar pertambangan (Kulonprogo, Pati-Jawa Tengah, Bengkulu, Lumajang Jawa Timur, Manggarai Barat) bersama dengan organisasi lingkungan WALHI pada tahun 2010 melakukan uji materi atas Undang-undang no 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara agar masyarakat terdampak harus ditanyakan persetujuan atau tidak terlebih dahulu sebelum pemerintah melakukan penetapan wilayah pertambangan. Bahkan jika perlu, dilakukan referendum lokal yang diikuti oleh masyarakat terdampak, seperti telah dipraktikkan di tingkat lokal di negera lain.

Referendum lokal dalam pengelolaan sumber daya alam skala lokal yang telah pernah dilakukan di beberapa negara. Di antaranya di Filipina, warga daerah Barangay Didipio tak menghendaki sebuah tambang emas dan tembaga Climax Arimco, asal Australia, menggalang petisi dan memperoleh dukungan dua kali lipat dari jumlah yang dipersyaratkan untuk melakukan sebuah referendum menentang aktivitas perusahaan tambang di daerah mereka. Tahun 2000, Komisi Pemilihan menyangkal petisi tersebut. Tapi proses yang telah berlangsung berhasil memperkuat penentangan rakyat terhadap pembatalan izin pertambangan oleh pemerintah lokal dan mengakibat penarikan pinjaman uang dari perusahaan tersebut.

Di Turki, referendum lokal dilakukan di delapan desa di sekitar sebuah pertambangan emas asal Autralia pada tahun 1996. Bupati daerah setempat melaporkan 89% jumlah pemilih yang sah memiliki hak suara dalam pemungutan suara secara tertutup/rahasia ini menolak pertambangan. Karena sifat referendum ini belum resmi diakui, belum memiliki dampak hukum penting secara langsung. Namun Mahkamah Agung Turki menyatakan izin operasi pertambangan, yang memerbolehkan penggunaan sianida dalam ekstraksi emas, bertentangan dengan kepentingan publik dan pemohon (terdiri dari 10 orang warga desa Bergama dan sekitarnya). Kasus ini berlanjut ke Pengadilan HAM Eropa, dimana pengadilan menyatakan, bahwa usaha pemerintahan Turki menghindar dari putusan Mahkamah Agung (MA) Turki adalah sebuah pelangaran terhadap hak mengakui kehidupan keluarga, hak untuk peradilan yang adil dan hak mendapatkan perbaikan efektif.

Di Inggris, pada tahun 1990-an, Lefarger, perusahaan multinasional dari Perancis, penghasil semen terbesar di dunia merencanakan penambangan 50 kali lebih besar dari biasanya di Inggris. Sebanyak 83% penduduk lokal memilih dan 68% menolak pertambangan tersebut pada tahun 1985. Hasil referendum ini membuat dewan setempat mengeluarkan sikap menolak tambang seluas 600 hektar ini.

Maret 2006. Lebih dari 2,100 warga Indian-Amerika di kawasan cagar alam Colville di Washington ikut dalam referendum. Lebih 60% persen penduduk menentang rencana penambangan molybdenum.

Pengalaman referendum lainnya atas pengelolaan sumber daya alam dilakukan di Cerro de San Pedro, Mexico sebuah referendum dengan 19.050 orang atau 97,6% dari pemilih memberi suara menolak proyek tambang San Xavie; Juni, 2002 di Tambogrande, bagian barat laut Peru, referendum komunitas secara resmi dilakukan pertama kali di dunia atas sebuah proyek tambang. Lebih dari 98%, sebagaian besar penduduk non-pribumi memilih menolak tambang emas dan tambaga perusahaan asal Kanada, Manhattan Minerals.

Partisipasi masyarakat penting lewat refendum atas kebijakan pembangunan yang berdampak besar adalah penting untuk dilakukan. Kerap kali, lembaga perwakilan tidak mencerminkan pendapat mayoritas warga terdampak. Minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan menjadi faktor munculnya konflik, hal yang telah diakui oleh TAP MPR NO IX Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dalam sektor pertambangan, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012 telah terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah Indonesia.

Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya atas perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010 atas Uji Materi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diajukan masyarakat sekitar tambang menyatakan bahwa pemerintah harus membuat mekanisme partisipasi masyarakat terdampak pertambangan dalam penetapan wilayah pertambangan.

Kini, adalah tugas Pemerintahan Jokowi yang didukung keterlibatan aktif banyak relawan, dengan inspirasi referendum Yunani, dapat melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan, agar penetapan, wilayah pertambangan secara sepihak, pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan sepihak tidak dilanjutkan.

Dan praktik dan bentuk demokrasi di komunitas ditinggikan dengan memberikan ruang referendum lokal manakala sebuah daerah dijadikan menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, dan bentuk pengelolaan lainnya yang berdampak besar. Demokrasi seharusnya membahagiakan kehidupan sehari-hari rakyat, karena dia (demos cratos) memang untuk rakyat, dan bukan prosedural 5 tahunan untuk faksi elit politik dan lembaga keuangan di belakangnya. [***]

Penulis adalah aktivis WALHI

RMOL: 209185 Memetik Pelajaran dari Negeri Dewa-Dewi

Sabtu, 13 Juni 2015

SAAT KERETA API TAK BAIK BAGI LINGKUNGAN


Oleh: PIUS GINTING
Naik kereta api, tut, tut, tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung, Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma
Ayo temanku lekas naik
Keretaku tak berhenti lama


KERETA api dan jalan kereta api. Betapa baiknya menjadi pilihan moda transportasi. Daya angkutnya (baik penumpang atau barang) lebih banyak dibandingkan daya angkut bus atau truk per bahan bakar yang digunakan. Sehingga lebih ramah lingkungan. Bebas dari kemacetan. Beruntunglah rakyat pulau Jawa telah memiliki sistem kereta api.

Kita mendukung rencana pemerintah membangun rel kereta api ke bandara, seperti dari pusat kota Jakarta ke Bandara Soekarno Hatta. Dengan sistem transportasi terintegrasi tersebut, penggunakan bahan bakar serta emisi gas rumah kaca dan polutan udara dari kemaceta dapat dikurangi. Secara umum, kebijakan pembangunan rel kereta api adalah baik dalam mengurangi beban lingkungan.

Seorang teman aktivis lingkungan berkebangsaan Jepang, ketika berada di Indonesia dalam dua kali kunjungannya tak pernah menggunakan pesawat terbang. Dia memilih menggunakan kereta api untuk perjalanan Jakarta-Semarang-Surabaya. Dan kembali ke Jakarta.

Menurutnya naik kereta api lebih ramah lingkungan. Bahkan di Jepang pun dia selalu menggunakan kereta api dari Tokyo hingga perjalanan ke kota lain. Suatu kebiasaan dan kesadaran lingkungan yang baik. Kendati naik tak percuma seperti dalam lagu anak-anak, teman aktivis ini mendapatkan nuansa senang naik kereta api seperti dalam lagu tersebut.

Namun tak selamanya pembangunan rel kereta api mendukung penyelamatan lingkungan dan pembangunan dalam negeri.

Eduardo Gaelano, penulis Amerika Latin dalam buku Open Veins of Latin America menyatakan jalur kereta api menimbulkan deformasi perkembangan ekonomi suatu daerah/negara bila bentuknya seperti jari-jari tangan, ketimbang menghubungkan pusat-pusat tempat warga bermukim. Yakni diperuntukkan mengangkut barang dari daerah pedalaman hingga ke pelabuhan. Dan dari pelabuhan, barang dibawa ke pasar luar negeri (ekspor).

Jalur kereta api seperti ini hanya menguras sumber daya daerah pedalaman untuk dibawa ke pasar internasional, alih-alih menghubungkan dan mengembangkan tempat-tempat dalam sebuah kawasan, agar interaksi kehidupan dan ekonomi penduduknya saling mendukung.

Salah satu rencana pembangunan rel kereta api yang kontroversial adalah pembangunan rel kereta api di Kalimantan Tengah. Khususnya menghubungkan Kabupaten Murung Raya (dari kota kecil Puruk Cahu) di bagian utara ke pelabuhan ke Batanjung di bagian selatan. Selanjutnya pengangkutan diteruskan melalui kapal tongkang batubara lewat Sungai Barito ke pasar global dan Pulau Jawa.

Logika pembangunan rel kereta api yang mendukung perkembangan ekonomi penduduk lokal adalah bertentangan dengan logika pembangunan rel kereta api sebagai pengalir komoditi untuk pasar ekspor (global). Presiden Jokowi menyatakan rel kereta api Kalimantan Tengah tidak menggunakan dana publik (APBN/APBD).

Swasta sebagai pembangun (China Railway Group) tentu lebih memilih jalur melintasi wilayah kosong penduduk menghindari biaya pembebasan lahan lebih mahal. Dan jika pun diarahkan lewat kawasan pusat penduduk, karena yang diangkut adalah batubara maka dampak kesehatan terhadap penduduk sekitar akan meninggi dari debu batubara.

Berdasarkan kajian ahli transportasi, sebuah jalur kereta api layak dibangun bila penumpang yang diangkut setidaknya 10 juta orang per tahun. Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi Indonesia dengan kerapatan penduduk paling jarang, dengan penduduk hanya 2,3 juta (2014). Sehingga mobilitas jumlah penduduk dalam jumlah masif antara satu tempat ke tempat lainnya tidak menjadi kenyataan sehari-hari. Sehingga pembangunan rel kereta api Kalimantan Tengah ini lebih ini kepada untuk mengangkut batubara.

Potensi batubara Kalimantan Tengah sebanyak 5.4 milyar ton, lebih dari 80% berada di Kabupaten Murung Raya. Selama ini terlindung dari kegiatan eksploitasi karena lokasinya yang jauh ke pedalaman dimana transportasi sungai yang tak bisa diandalkan. Dengan kehadiran kereta api batubara ini, produksi batubara Kalimantan diharapkan naik tujuh kali lipat dari periode tahun 2012, atau menjadi 97 juta ton per tahun.

Perkembangan ini bertentangan dengan semangat penyelamatan dunia dari perubahan iklim. Berdasarkan kajian Universitas College London (Januari 2015), sebanyak 80% dari cadangan batubara dunia saat ini harus tetap ditinggalkan di dalam tanah jika kita ingin menjaga kenaikan suhu bumi kurang dari dua derajat celcius sejak masa revolusi industri. Batas kenaikan ini merupakan batas aman bagi kehidupan manusia di bumi akibat perubahan iklim. Dengan begitu, hanya 20% lagi dari keseruhan cadangan batu bara dunia yang seharusnya diekploitasi.

Indonesia telah menjadi ladang lembaga keuangan internasional untuk mengembangkan kapital berbasiskan batubara. China tercatat antara tahun 2008 hingga 2013 menanamkan modal setidaknya 4,34 milyar dolar di pembangkit listrik batubara di Indonesia. Angka ini akan bertambah jika rel kereta api batubara Kalimantan Tengah dilanjutkan. Kontraktor pembangun rel kereta api batubara tersebut adalah China Railway Group.

Tak hanya China, tapi lembaga keuangan lainnya seperti Jepang JBIC telah banyak mengembangkan kapital berbasiskan batubara di Indonesia, contohnya dalam PLTU Batang, Cirebon, dan Paiton. Batubara PLTU Batang akan berasal dari tambang Adaro di Kalimantan, salah satu potensi pengguna rel kereta api batubara Kalimantan.

Desember tahun ini kembali diselenggaran konferensi perubahan iklim, bertempat di Paris. Negara-negara dunia akan membuat kesepakatan baru paska Protokol Kyoto untuk membatasi emisi gas rumah kaca dari masing-masing negara. Pemerintah saat ini sedang menyusun rencana nasional penurunan emisi yang dibawa kepada konferensi tersebut melalui program kontribusi sungguh-sungguh yang direncanakan secara nasional (intended nationally determined contributions).

Ini menjadi momen tepat bagi pemerintahan Jokowi membatalkan semua proyek infrastruktur batubara, seperti rel kereta api Kalimantan Tengah dan pembangunan jalur baru rel kereta api Sumatera Selatan. Saat yang tepat mengurangi/phasing out produksi batubara sebagai bagian kontribusi Indonesia menjaga 80% batubara dunia tetap dalam perut bumi.

Bagaimana dengan kompensasi kehilangan ekonomi dari pembatalan infrastuktur dan tak menggali batubara dari perut bumi?

Pemerintah Jokowi saatnya bersatu dengan negeri Selatan mendorong negara maju (sebagai tanggung jawab mereka pengemisi gas rumah kaca lebih besar dan terdahulu secara historis sejak Revolusi Industri) membantu negera berkembang untuk pengembangan proyek-proyek pembangungan rendah emisi (Low Emission Developoment Strategies), agar melakukan transfer teknologi energi terbarukan.

Sehingga Indonesia berhenti jadi ladang baru pengembangan kapital internasional berbasiskan batubara (infrastuktur, PLTU Batubara) yang sama sekali tak ramah lingkungan dan tak peka terhadap bahaya perubahan iklim yang batas waktu tak terkendalinya kian mendekat. [***]

Penulis adalah aktivis senior Walhi.

Green Politics RMOL: 206082 Saat Kereta Api Tak Baik Bagi Lingkungan