Rabu, 03 September 2014

Artikel: Indonesia Needs to Save Bangka and Belitung Islands From Tin Curse

(JG Graphics/Josep Tri Ronggo)
The world depends on tin from Bangka and Belitung. These two Indonesian islands provide a third of the tin available on the world market. And tin is everywhere nowadays: without Indonesian tin, people around the world would not be able to enjoy their electronic gadgets.

Bangka and Belitung have long played a key role in global tin production, at least since Vincent Gildemeester van Tuyll van Serooskerken and John Francis Loudon founded the NV Billiton Maatschappij in the 1850s, after realizing how rich the tin deposits on Billiton Island (Belitung) were. After the war of independence against the Dutch, Indonesia took over the company’s activities on Bangka and Belitung. And decades later, the Billiton International Metals Company merged into BHP Billiton, which is currently the largest mining company in the world.


Resource curse


Indonesia still is the proud supplier of tin, a resource that is only becoming more important in modern life. Unfortunately, however, there is less reason to be proud of the way this tin is being mined.

The beautiful Bangka and Belitung islands are currently being transformed from a prime tourist destination into a wasteland. Fertile land is turned into thousands of craters that become sources of malaria. Fish stocks and coral reefs are being destroyed by dredgers and tin-sucking ships. Fisher folks in our interviews reported that their catches had fallen by 80 percent.

Accidents happen weekly, with informal miners dying in landslides and in accidents on the bottom of the sea. These are all costs of tin production that are not being taken into account.

Since tin mining has been done for a long time without proper rehabilitation and good environmental management, tin mining in Bangka and Belitung has a negative net value for society. According to a 2013 evaluation by Indonesia’s Environment Ministry, the net present value benefit from tin mining in West Bangka district was minus Rp 336 trillion ($28.5 billion) over the 2007-12 period. This negative number is caused by the high costs of health impacts, payments for clean water as an alternative for polluted water, and funds needed to manage decreasing productivity in non-mining sectors such as agriculture and fishery, due to erosion and land pollution caused by mining activities.

Sadly, our field observations show that these conditions — all part of the local resource curse — occur in all districts of Bangka that produce tin.

Per capita, people from Bangka-Belitung Islands province are among Indonesia’s top consumers of fish. The area also produces the unique and famed Muntok white pepper.

But if tin mining in the province is not managed well, its people will face environmental and economic collapse in the near future, and especially in the post-mining era. Deposits are depleting fast and tin is already becoming scarce on-shore.


Big corporations


Environmental organizations have demanded that major electronics brands like Apple, Samsung, Philips and Sony support a less destructive form of tin mining. A tin working group has been established in 2013. And after a research phase, the group now plans further engagement with mining companies, authorities and local stakeholders on Bangka to develop a system that will support responsible miners.

On-shore, the solutions are obvious. Proper land-use planning and rehabilitation of former mine sites — both in consent with local villagers — will make a difference for nature and agriculture.

But off-shore, a solution is not yet in sight. An approach to mitigate the destruction of the sea around Bangka caused by tin dredgers and suckers needs to be developed and implemented urgently. As long as there is no answer to the current destruction, off-shore mining should be forbidden. The situation around Belitung, where an off-shore mining ban is in place, and where the sea is still blue and transparent and where tourism flourishes, should be the example.

The tin working group is the result of the efforts of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), which rung the alarm bell in the global Friends of the Earth Network and in Western media. This was the start of a campaign that convinced global brands to take their responsibility.

The international public has paid attention, through petitions, plenty of media of coverage, and protests at offices of electronics brands, for instance recently at the Microsoft office in Amsterdam. It is important for major electronics brands in the tin working group, like LG, Blackberry and Acer, to take immediate action and for other brands to join the effort.

Tin sourcing from important areas, such as conservation forests and fishery catchment areas, can be stopped if we act quickly and more brands join the effort. The companies in the Tin Working Group also want to ensure that they do not use tin from sites that are not safe for workers and will be involved in the environmental rehabilitation of mining sites in Bangka and Belitung.


Chance to score


But neither chief sustainability officers nor multinationals can save Bangka from an ecological disaster. The national and regional governments are, in the long term, the only institutions that can ensure a future for Bangka. They can set and enforce the rules that guide miners and businessmen towards better mining practices. The government can also improve supply-chain transparency in the mining sector. This will enable businesses to reward companies that mine in a more responsible way than others.

But the government should act now, as CSO campaigns do not last forever and businesses in the end are in the game for the money.

The coming years are crucial as the tasks of regulators will be less burdensome now that even global brands demand that their tin suppliers work responsibly. The Indonesian president and his administration play a major role in transforming the mining sector, and not only in tin mining. President-elect Joko Widodo, set to be inaugurated on Oct. 20, can and should show that the Indonesian state is able to score, now that CSOs and major corporations have kicked the ball in front of the goal.

Pius Ginting is head of research at Walhi--Friends of the Earth Indonesia.
Evert Hassink is a mining campaigner at Friends of the Earth Netherlands.

Jakarta Globe: Indonesia Needs to Save Bangka and Belitung from Tin Curse

Senin, 23 Desember 2013

Buku: Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan



Judul : Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan
Penulis : Asep Yunan Firdaus, Pius Ginting
Penyunting : Dian Septi Trisnanti
Penerbit : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) & Yayasan TiFA, Jakarta
Cetakan : pertama, 2013
Tebal : xii, 110 halaman: ilustrasi, foto
Dimensi : 23 cm
ISBN : 9798071816, 978-979-8071-81-2


WALHI mewawancarai warga yang terdampak pertambangan dan juga pemerintah daerah menemukan bahwa tidak ada ruang bagi masyarakat terdampak untuk berpartisipasi, memberikan pendapat terhadap proses penetapan tata ruang yang sedang dibahas. Penelitian ini melihat dalam bentuk normatif dan empiris terhadap proses partisipasi masyarakat. Terlebih dalam tahun politik ini kerap kali izin dalam sektor sumber daya alam menjadi komoditi untuk dapat digunakan sebagai dana kampanye.

WALHI: Partisipasi Warga Terdampak Pertambangan Diaborsi Jelang Rezim Lelang Wilayah Pertambangan

Jumat, 06 Desember 2013

Perubahan Iklim, Publik, dan Partai Politik

Lembaga Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) kembali mengeluarkan laporan penilaian situasi perubahan iklim pada 27 September 2013. Ini adalah laporan kelima sejak dikeluarkan pertama kali tahun 1990. Kalangan ilmuwan kian yakin (hampir 100 persen) perubahan iklim disebabkan aktivitas ekonomi manusia. Laporan tersebut menyebutkan konsentrasi karbon dioksida (CO2), gas metan dan oksida nitrogen meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konsentrasi CO2 bertambah 40 persen sejak masa pra industri, terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas) dan kedua terbesar dari perubahan lahan (seperti alih fungsi hutan).

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Agar kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi aman dari dampak perubahan iklim, maka emisi gas rumah kaca pada tahun 2050 perlu dikurangi hingga 60-80 persen di bawah tingkat tahun 1990 (Lord Stern, 2006). Ibarat perokok ingin berhenti, bila dilakukan secara bertahap maka perokok perlu segera melakukannya. Penundaan lebih lama akan memperburuk kerusakan sistem tubuh dan membutuhkan perubahan lebih drastis di kemudian hari. Berdasarkan perhitungan pembagian sederhana, bila dilakukan secara bertahap, sejak tahun 1990 setiap tahun seharusnya telah terjadi pengurangan 1,3 persen buangan gas rumah kaca.

Sebagai langkah awal, kesepakatan internasional Protokol Kyoto tahun 1990 mensyaratkan negeri maju mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata 5,2 persen di bawah kadar tahun 1990 pada rentang tahun 2008-2012. Alih-alih berkurang, emisi dunia bertambah sejak tahun 1990, menjadi 1,5 kali lipat pada tahun 2008 (EPA). Kendati Amerika Serikat pada masa pemerintahan Obama mencatatkan perbaikan penurunan emisi 1,6 persen pada periode 2010-2011, di antaranya berkat penutupan 175 buah pembangkit listrik batu bara, namun emisi negeri tersebut secara umum masih meningkat dibandingkan saat Protokol Kyoto dibuat hingga tahun 2011, sebesar 8.4 persen.

Indonesia sebagai negara berkembang tak diwajibkan oleh Protokol Kyoto mengurangi buangan gas rumah kacanya mencatatkan penambahan 190 persen pada periode 1990-2010 (MDGs PBB).

Kehidupan manusia dan ekosistemnya akan aman bila suhu bumi naik tidak lebih dari 2 derajat celsius dibanding sebelum pra-industri. Namun laporan terakhir menyatakan telah terjadi kenaikan 0,85 derajat celcius antara tahun 1880 dan 2012. Bila tak dilakukan perubahan, generasi yang lahir tahun 1960 dan bila masih hidup 40 tahun ke depan akan turut mengalami kenaikan 2,9 derajat celcius dari masa pra-industri.

Dengan begitu, dunia sedang mengarah kepada darurat iklim. Beberapa akibatnya telah dirasakan, yakni kegagalan panen, banjir kian besar, kekeringan meningkat, cuaca ekstrem seperti badai dan gelombang panas kian terjadi di beberapa belahan dunia. Di daerah pegunungan, tumbuhan dan hewan migrasi ke bagian atas mencari temperatur lebih rendah. Musnahnya jenis-jenis makhluk hidup sedang terjadi saat ini terkait perubahan iklim. Proses kemusnahan ini terbesar terjadi sejak 65 tahun yang lampau saat dinosaurus dan banyak spesies lainnya ada.

Kita mengkhawatirkan perubahan besar dan mendadak terjadi dalam iklim. Seperti penebangan pohon terus menerus kendati dalam jumlah kecil di lereng bukit, dampak besar tiba-tiba seperti longsor selalu mengintai. Dan "longsor" akibat pemanasan global salah satunya adalah gangguan pola arus air laut, disebut dengan sirkulasi thermohaline. Sirkulasi air laut ini berfungsi sebagai pencampur bagian air laut yang panas dan yang dingin. Air laut yang panas di bagian tropis mengalir ke bagian utara yang lebih dingin. Bila arus ini terhenti maka suhu bagian tropis melonjak panas membahayakan kehidupan seperti terumbu karang yang penting bagi ikan, sementara bagian utara akan dingin dratis.

Ilmuwan IPCC mengeluarkan laporan berjudul Ringkasan bagi Pembuat Kebijakan (Summary for Policymakers). Kini saatnya pembuat kebijakan dan publik membuat langkah-langkah menyikapinya.

Kita membutuhkan pembangunan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun hal ini sulit dilakukan karena banyak aktor ekonomi terganggu. Industri bahan bakar fosil mendanai lembaga kajian, seperti Heartland Institute, untuk menyanggah perubahan iklim dan pemanasan global sedang terjadi.

Di Indonesia, laporan Jatam menyebutkan tujuh partai politik, pimpinannya berkepentingan langsung terhadap industri pertambangan, umumnya terdapat dalam kawasan hutan. Hal ini menyulitkan Indonesia membuat kebijakan mengurangi gas rumah kaca.

Publik berperan penting mendorong calon anggota legislatif dan partai politik membuat program solusi mengatasi perubahan iklim. Persoalan perubahan iklim harus menjadi agenda besar, seperti persoalan korupsi yang telah lebih banyak mendapat perhatian dan kemajuan penegakan hukum.

Inisiatif lokal penting, seperti kian meluasnya kegiatan penanaman pohon dilakukan oleh sekolah-sekolah. Namun sumber emisi terbesar Indonesia adalah terkait kebijakan ekonomi lebih besar, seperti alih fungsi hutan, kebijakan energi dan transportasi. Hal ini memerlukan dorongan publik agar kebijakan yang dibuat pemerintah mengarah kepada pengurangan emisi gas rumah kaca secara real.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 3042-perubahan-iklim-publik-dan-partai-politik

Minggu, 22 September 2013

Inikah Senja Kala Batubara?

OLEH: MARDAN PIUS GINTING
Pada pertengahan abad ke-19, eter digunakan luas sebagai bahan pembius. Penggunaan eter merupakan suatu terobosan, karena sebelumnya pasien bedah harus menanggung sakit luar biasa. Beberapa orang memilih tak disembuhkan atau bunuh diri ketimbang mengalami sakitnya pembedahan.

Eter sungguh berjasa. Namun belakangan kian diketahui efek toksik eter terhadap jantung dan hati. Maka, pada awal abad ke-20, eter sebagai pembius medik ditinggalkan. Berakhirlah zaman penggunaan eter sebagai obat bius yang telah berjasa menyelamatkan banyak nyawa orang.

Tapi kita akan membahas batubara yang telah lama digunakan sebagai sumber energi. Hingga tahun 2005, batubara menyediakan 40 persen listrik di dunia. Sebanyak 54 persen listrik PLN menggunakan batubara.

Namun, dampak negatif batubara makin jelas diketahui. Batubara adalah jenis energi terkotor saat ini. Pembakaran batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca CO2 satu setengah kali lipat dibanding minyak bumi, dan dua kali lipat dibandingkas gas.

Batubara menimbulkan dampak buruk dari penambangan sampai pasca-pembakaran di pembangkit listrik. Penelitian Dr Michael Hendryx dari Univesitas West Virginia menemukan berbagai penyakit mematikan, seperti kanker paru, sakit jantung, pernapasan, dan ginjal, sangat tinggi di daerah kawasan tambang batubara. Penderita penyakit ini berbanding lurus dengan intensivitas penambangan. Penderita kian berkurang pada daerah yang kurang penambangan batubara, dan terendah pada kawasan bukan pertambangan batubara. Karena karakter penambangan batubara relatif sama di semua negara, maka hal serupa tampaknya juga mencerminkan keadaan Indonesia.

Selain itu, transportasi batubara di Indonesia banyak menggunakan sungai, umumnya tercemar parah, di antaranya Sungai Barito, Mahakam, dan Sungai Bengkulu. Sumber pencemaran adalah tumpahan batubara, buangan bahan bakar kapal pengangkut. Pembuangan bahan berbahaya dan beracun ini membahayakan ekosistem di laut. Penulis menyaksikan banyak penduduk mengonsumsi ikan dan masih menggunakan air Sungai Barito untuk keperluan rumah tangga.

Ketika dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), batubara menghasilkan pencemaran udara berbentuk partikel halus (particulate matter). Ukurannya kurang dari 2,5 mikrometer, sehingga umum disingkat PM 2,5. Materi ini menyebabkan penyakit asma, berkurangnya fungsi paru-paru, memperlambat perkembangan anak dan memperparah sakit jantung.

Hasil lainnya dari limbah debu batubara adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon dioksida, arsenik, chromium, nikel, dan logam berat lainnya, gas asam, hidrokarbon (Erica Burt, MPH). Semua zat ini berbahaya bagi kesehatan dan beberapa di antaranya menimbulkan kanker. Berdasarkan informasi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA), paparan sulfur dioksida menyebabkan peradangan saluran napas, memperparah paru-paru basah (bronchitis), dan penurunan fungsi paru.

Anil Markandya serta Paul Wilkinson dalam jurnal medis The Lancet tahun 2007, memperkirakan secara global setiap tahun 210.000 orang meninggal, 2 juta mengalami sakit serius, 151 juta sakit ringan akibat dampak pembakaran batubara. Perkiraan ini berdasarkan standar aturan polusi dan kerapatan penduduk Eropa. Angka ini sesungguhnya bisa lebih besar karena banyak negeri dengan standar udara lebih rendah dengan penduduk lebih padat.

Di samping itu, pembangkit batubara adalah salah satu sumber pencemaran merkuri global. Pencemaran merkuri bisa menyebabkan autisme pada anak-anak. Berbagai penelitian di Amerika Serikat telah menunjukkan jumlah anak-anak mengalami autisme lebih banyak bila kian dekat dengan PLTU batubara. Adalah tidak adil bila demi pemenuhan kebutuhan energi generasi masa kini, generasi masa depan harus menanggung beban deritanya. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Amerika Serikat telah menghentikan 175 PLTU batubara pada periode 2001-2011, merencanakan memensiunkan 175 buah lagi pada periode 2012-2016 (Sierra Club). Salah satu alasannya karena pencemaran. Badan Energi Nasional Tiongkok mulai mengurangi pemakaian batubara. Diawali, dengan rencana larangan impor batubara berkalori rendah karena polusinya lebih tinggi. Tampaknya batubara perlahan ditinggalkan secara global.

Di Tanah Air kita, warga Desa Suralaya, lokasi PLTU batubara terbesar di Indonesia, berdasarkan sebuah penelitian IPB menyebutkan 97,36 persen warga yang diwawancai menilai PLTU Suralaya telah menimbulkan gangguan kesehatan.

Dari semua ini, wajarlah masyarakat Batang, Jawa Tengah, melakukan penolakan terhadap pendirian PLTU batubara di kawasan mereka. Jika jadi didirikan, PLTU batubara ini adalah terbesar di Asia Tenggara, sehingga dampaknya pun besar. Publik dan pemerintah tidak adil bagi warga Batang bila demi pemenuhan layanan energi kita, masyarakat sekitar pembangkit listik menanggung derita besar. Alternatif harus ditemukan.

Pemerintah Indonesia bisa mengatasi dampak sosial dan krisis energi dari pengurangan pemakaian batubara bila melakukan peralihan ke energi terbarukan dengan terencana. Peran batubara bisa digantikan dengan energi terbarukan, seperti geotermal, tenaga surya, ombak laut, yang sumbernya banyak dimiliki oleh Indonesia. Kita hanya butuh lahan seluas dua juta hektare membuat panel surya untuk menghasilkan listrik bagi sejumlah peralatan yang kita pakai saat ini. Seperti eter telah digantikan bahan lain, seperti propofol fentanyl, saatnya batubara digantikan energi terbarukan.

Penulis adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)


http://ekbis.rmol.co/read/2013/09/22/126456/Inikah-Senjakala-Batubara-

BeritaSatu.com: blog 2866-senja-kala-batu-bara

Minggu, 31 Maret 2013

Jurnal: AUTONOMIE RÉGIONALE ET CONFLITS ENTRE POPULATIONS ET INDUSTRIE MINIÈRE EN INDONÉSIE



http://www.cetri.be/Autonomie-regionale-et-conflits

Les conflits opposant les communautés locales aux entreprises minières demeurent un problème chronique de l’Indonésie, sous le régime de Soeharto comme aujourd’hui. La fin de la dictature, la décentralisation et la « participation populaire » annoncée n’ont pas freiné la tendance. Au contraire, les autorités actuelles parient sur le boom minier, en dépit de ses impacts environnementaux et de l’opposition des petits agriculteurs et pêcheurs.


Titre : Industries minières - Extraire à tout prix ?
La Collection : Alternatives Sud
Volume : Vol. XX - 2013/2
Date : 03/2013
Coord./Auteur : Frédéric Thomas
Edition : CETRI, Syllepse
Format : 135 x 215 mm

Kamis, 14 Februari 2013

Valentine, Momen Meningkatkan Kecintaan pada Alam

JAKARTA, KOMPAS.com - Valentine selalu identik dengan warna merah jambu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kamis (14/2/2013), mengajak publik merayakan "Green Valentine".

Green Valentine menurut Walhi adalah upaya menjadikan hari kasih sayang sebagai momentum untuk mencintai alam. Walhi mengajak publik merefleksikan interaksinya dengan alam saat ini dan upaya perbaikannya di masa depan.

Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, mengatakan, perilaku manusia selama ini tak menunjukkan kecintaannya kepada alam.

"Menurut saya, saat ini kita bermusuhan terhadap alam, bukan karena alam tidak memiliki sesuatu tetapi justru karena alam memiliki banyak hal dan kita memusuhi untuk merampasnya," ungkap Pius dalam acara peluncuran buku "Ekologi Marx: Materialisme dan Alam", hari ini.

Pius mengungkapkan, hari kasih sayang bisa digunakan sebagai momentum perubahan. Manusia mesti menjadikan alam sebagai sahabat, bukan sebagai obyek eksploratif semata.

Kecintaan terhadap alam bisa ditingkatkan dengan memperdalam pengetahuan serta pemahaman terhadap alam itu sendiri. Buku yang diluncurkan Walhi, ditulis oleh John Bellamy Foster dan diterjemahkan oleh Pius Ginting, berupaya memberikan pemahaman lebih mendalam tentang manusia, alam dan interaksinya dalam dunia sekarang. (Fifi Dwi Pratiwi)

Editor: yunan

http://sains.kompas.com/read/2013/02/14/19335789/Valentine.Momen.Meningkatkan.Kecintaan.pada.Alam

Minggu, 10 Februari 2013

Terjemahan: Ekologi Marx, Materialisme dan Alam

Judul asli : Marx's Ecology: Materialism and Nature
Penulis : John Bellamy Foster
Penerjemah : Pius Ginting
Penerbit : Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Cetakan : 2013
Tebal : 284 halaman
Ukuran : 22.5 cm x 15.5 cm
ISBN : 978-602-18675-1-8

Diterjemahkan dan diterbitkan untuk tujuan pengetahuan sosial, bukan untuk koleksi pribadi.
Di samping menyiasati harga produksi, disarankan agar pembelian bukan secara individu, agar satu buku bisa dimiliki komunitas dan didiskusikan bersama di komunitas.

http://monthlyreview.org/product/marxs_ecology/
--------------
Selama bertahun-tahun, Marxisme selalu mendapat tuduhan sebagai ideologi antroposentris yang tidak peduli terhadap perlindungan lingkungan hidup.

Beberapa kalangan menganggap bahwa Marx adalah seorang Promothean, yang mengagung-agungkan kemampuan manusia untuk mendominasi dan menundukkan alam. Bellamy Foster, dalam Marx’s Ecology, membalikkan semua tuduhan ini.
Buku ini mampu memperlihatkan bahwa gagasan Marx tentang perlindungan lingkungan atau tentang pemanfaatan alam secara berkelanjutan adalah konsekuensi dari pandangan meaterialisme-nya Marx terhadap alam. Dengan pandangan inilah Marx beranjak dari pembahasan mengenai apakah manusia dan alam harus dipandang sebagai satu kesatuan atau tidak, ke arah penemuan tentang penyebab terjadinya keterasingan dan keterpisahan manusia dari alam.
Penerjemahan Marx’s Ecology ke dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah upaya yang patut dipuji, karena buku ini akan memberikan perspektif dan bahkan fondasi teoritis baru bagi gerakan sosial dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
- Andri G. Wibisana, dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum UI

Ekologi Marx adalah karya atau buku yang patut dan harus dibaca utamanya bagi para aktivis lingkungan dan para praktisi serta akademisi yang menaruh perhatian secara serius terhadap isu-isu ekologi, karena buku ini tidak hanya mengulas fakta-fakta empiris akan tetapi juga mengupas secara jelas pandangan-teoritik yg menjadi alas dalam melihat kontradiksi dan relasi berbagi problema ekologi, yg tidak umum digunakan dalam memandang berbagai permasalahan ekologi kontemporer, diantaranya memandang teologi natural dan kaitanya dengan ekonomi politik.
- Ridha Saleh, Komisioner Komisi HAM RI periode 2007-2012

Saat pertama kali membaca buku baru John Bellamy Foster, aku pikir, “Oh, tidak. Lagi-lagi buku besar, tebal, gemuk tentang Marx.” Tapi segera sesudah aku mulai baca, sulit sekali melepaskannya. Buku ini memberiku pengertian baru tentang totalitas materialisme Marx dan perkembangan dirinya akan dialektika masyarakat manusia dan alam.
- R.C. Lewontin, Universitas Harvard

--------------

John Bellamy Foster: Marx’s ecology in historical perspective

Brett Clark & John Bellamy Foster: Marx's Ecology in the 21st Century

Resensi/Kritik