Jumat, 08 April 2016

NGO, locals seek to halt Central Java coal power plant project


President Joko “Jokowi” Widodo and his entourage inspect the 2,000-megawatt coal-fired power plant site in Batang, Central Java, on Aug. 28, 2015. The US$4 billion plant is expected to be finished in 2019. Construction of the project was delayed due to land acquisition problems. (JP/Suherdjoko )

An environmental group and residents are intensifying their efforts to pressure the government into canceling a US$4 billion coal power plant project in Batang, Central Java as they fear the plant will cause pollution, spur human rights violations and threaten locals’ livelihoods.

The project management’s failure to meet its fifth deadline for financial closures that fell on April 6, unsettled land acquisition and continuing rights violations may help push the scheme to be scrapped, says Greenpeace Indonesia.

“We demand that President Jokowi cancel the project, given the persisting human rights violations and threat to locals’ livelihood in the last five years,” Greenpeace energy campaigner Desriko Malayu Putra told the media in Jakarta on Thursday.

The power plant, touted as the largest in Southeast Asia, is part of President Joko “Jokowi” Widodo's ambitious plan to add 35,000 MW to the electricity grid by building multiple power plants.

Desriko said the project breached Indonesia’s commitment to tackling climate change.

Indonesian Forum for the Environment (Walhi) research head Pius Ginting said the power plant project would produce air pollution in its surrounding areas. “The project will release about 10.8 million tons of carbon emissions per year. It will adversely impact the climate, human health and cause environmental damage” he said.

The power plant is the first project to be developed under a public-private partnership scheme involving the government and Bhimasena Power Indonesia (BPI) – a consortium consisting of Jakarta-listed PT Adaro Energy, J-Power Electric Power Development Co. Ltd. and Itochu Corp., which won the tender for the Batang project in 2011.

The project has been met with strong resistance from Batang residents. Many have refused to sell their property to make way for it. Farmers who refused to give up their land have reported cases of intimidation and blocked access to their homes.

Karomat, among farmers who claim to having fallen victim to the project, said the blockade to his property had threatened his livelihood.

“We feel unprotected and left out after access to our farm was blocked. When can we cultivate our land again? The government and businesses should not do this [to us],” he said.

With support from local and international environmental organizations, academicians and activists, the locals have appealed to the Japanese government to use its authority and ask Japan’s Bank for International Cooperation as the main investor to cancel its involvement in the project. (sha/bbn)


http://www.thejakartapost.com/news/2016/04/08/ngo-locals-seek-to-halt-central-java-coal-power-plant-project.html

Kamis, 07 April 2016

Walhi Ingatkan Dampak Berbahaya PLTU Batang

Efek pencemaran udara hingga kehilangan mata pencaharian nelayan.



Salah satu aksi solidaritas Walhi (VIVAnews/Ramond EPU)
VIVA.co.id – Kepala Unit Kajian Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting mengingatkan kerugian yang bakal dialami jika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Batang, Jawa Tengah benar-benar direalisasikan.
Menurut dia, PLTU batu bara akan berdampak pada pencemaran udara yang mematikan, karena mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan manusia. Dampak lainnya adalah penurunan produktivitas pertanian masyarakat serta pencemaran lingkungan.
"Jadi partikel-partikel halus seperti SOx, NOx dan merkuri itu mengancam manusia jika PLTU itu tetap dibangun," kata Pius di Kantor Greenpeace Indonesia, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis 7 April 2016.
Bahkan, para nelayan, menurut Walhi, akan terkena imbas dengan adanya PLTU, karena pembangkit itu akan dibangun di daerah pesisir yang akan menjadi lahan mata pencaharian para nelayan.
"Lalu lintas kapal batu bara kan keluar masuk PLTU. Tumpahan bongkar muat itu bisa mengganggu mata pencaharian nelayan pesisir," tuturnya.
Pius menilai, kerja sama pemerintah Indonesia dengan Jepang dalam membangun PLTU batu bara di Batang justru akan membuat Indonesia menjadi pasar teknologi kotor lembaga keuangan internasional.
"Makanya berbagai penolakan proyek ini harus terus dilakukan," tuturnya.
Pembangunan PLTU juga dianggap bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang ingin memerangi dampak perubahan iklim seperti yang disampaikan Presiden pada konferensi perubahan iklim di Paris beberapa waktu lalu.
"Proyek pembangunan PLTU batu bara di Batang hanya mengutamakan kepentingan korporasi daripada melindungi hak dan keselamatan masyarakat," tuturnya.

Oleh : Ezra Natalyn, Moh Nadlir

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/757811-walhi-ingatkan-dampak-berbahaya-pltu-batang

Konferensi Pers Warga Batang

Sedang konferensi pers bersama warga Batang, petani dan nelayan yang diambil paksa tanahnya oleh PLTU Batang. Investasi dari Jepang. Sedang berlangsung di kantor Greenpeace Indonesia.

Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 6 April 2016

Kamis, 10 Maret 2016

Testimoni Sulteng


Kenapa harus mendukung Bung Pius Ginting, pertama, karena gagasan yang didorong oleh beliau sangat progresif dan menjawab kebutuhan advokasi yang saat ini semakin hari semakin mulai ditinggalkan banyak pelaku advokasi; Kedua, karena beliau memiliki rekam jejak yang panjang dalam dunia pergerakan di Indonesia; Ketiga,; bisa membawa Walhi bersinergi dengan gerakan politik elektoral yang ada banyak kawan-kawan kita sudah berada di Parlemen, sehingga perlu upaya perpaduan model advokasi rakyat dan kebijakan yang lebih mengarah pada kebutuhan mendesak rakyat saat ini.
Dikirim oleh Syahrudin Ariestal Douw pada 10 Maret 2016

Rabu, 09 Maret 2016

9 Maret, Palembang


9 Maret. Palembang.
Malam kian larut. Dan diskusi kian mendalam tentang partisipasi rakyat desa dalam pembangunan bersama kawan aktivis yang saya hormati Bung Anwar Sadat. Pernah dipenjara rejim karena kesetiannya dalam setiap tapak berjuang bersama petani.
Rakyat desa berpeluang tidak menjadi obyek pasif dari hirarki. Kerja peningkatan partisipasi rakyat desa yang dijelaskan oleh aktivis WALHI yang saya hormati.
Kian terkonsolidasi aktivis berkarakter membangun gerakan rakyat akan membuat pemanusiaan lapisan rakyat terbawah ini bisa terjadi cepat. Agar tak lagi rakyat tercerabut demi kepentingan keuntungan segelitir orang personifikasi kapital.
Feeling at home anywhere when sorrounded by progresive personality.
Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 9 Maret 2016

Minggu, 06 Maret 2016

Walhi Lagi Cari Pimpinan Baru, Inilah Para Kandidat Itu


Tiga kandidat Direktur Eksekutif Walhi usai debat kandidat. Mereka adalah Nur Hidayati, Arie Rompas dan Pius Ginting. Foto: Indra Nugraha

Pucuk pimpinan Walhi segera berganti. Organisasi lingkungan hidup itu tengah menjaring kandidat pemegang nahkoda baru organisasi yang berdiri sejak 1980 ini. Ada tiga nama muncul yang bakal menggantikan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. Yakni, Nur Hidayati, Pius Ginting dan Arie Rompas. Ketiganya pegiat lingkungan di Walhi.

Pada Jumat (4/3/16), memasuki sesi debat kandidat. Masing-masing menyampaikan gagasan apa yang akan dilakukan jika duduk pada posisi itu. Debat dipandu Direktur Eksekutif Walhi periode lalu, Chalid Muhammad dan Muhammad Ridha Saleh.

Sebuah handycam siap siaga merekam yang diutarakan para kandidat. Video akan disebar hingga para pemegang suara bisa melihat pandangan para kandidat. Pemilihan Direktur Eksekutif Walhi akan diselenggarakan di Palembang, 22-27 April 2016.

Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan moderator kepada para kandidat. Ada soal peran dan posisi Walhi dalam situasi global, inovasi para kandidat kala menjadi direktur, sistem ekonomi politik yang tak adil, teknologi, sampai persoalan-persoalan lingkungan seperti limbah dan lain-lain. Mereka punya lima menit memaparkan jawaban. Ketiganya duduk di depan, bersisian.

“Indonesia masih terjadi sistem ekonomi menghisap ruang sosial seperti diterapkan ekonomi kapitalistik. Pengerukan berimplikasi pada problem-problem lingkungan juga sosial. Walhi harus hadir dan terus berjuang terhadap sistem ekonomi dan politik seperti itu,” kata Arie Rompas, sekarang Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah. Sisi lain, sistem politik dan ekonomi global terus menerus mencari komoditas baru.

Rio, panggilan akrab Rompas mengatakan, sistem ekononi hijau merupakan model alternatif tawaran kapitalisme justru memperkuat penguasaan lahan di negara-negara berkembang, salah satu Indonesia.

Walhi, katanya, mesti harus hadir menjawab problem-problem ini. “Bahwa proses ekonomi politik harusnya disandarkan relasi produksi adil. Bersama rakyat menjadi konstituen terpenting. Bagaimana bisa bersama rakyat mengorganisir dan menciptakan kesadaran melawan perilaku buruk sistem ekonomi politik menindas ini,” katanya.

“Teng.. teng.. teng…” suara Khalisah Khalid, mengingatkan tanda waktu habis. Tepuk tangan seketika bergemuruh.

“Salam adil dan lestari!” pekik Yaya, sapaan akrab, Hidayati.

“Walhi!!!” teriak hadirin.

“Situasi global saat ini saya pikir kita semua sudah tahu kini Indonesia pada situasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Berada pada pertentangan poros utama dunia dari sisi AS (Amerika Serikat) dan China,” katanya.

Sejak pemerintahan lalu, katanya, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menjadi cerminan bagaimana Indonesia sebagai factory Asia. Dengan mengeruk sumber daya alam, manufaktur dan 250 juta jadi pasar potensial.

“Walhi harus menjadi antitesis dari itu. Dari globalisasi, kita harus mendorong lokalisasi. Kita harus membangun daya kritis komunitas-komunitas warga dan komunitas lain di seluruh Indonesia. Baik desa maupun kota. Kota penting bagi mobilisasi opini, proses pencerdasan masyarakat dan mendorong kebijakan-kebijakan negara lebih progresif.”

Walhi harus mendorong kedaulatan komunitas-komunitas desa, baik mandiri energi, ekonomi dan pangan. “Melihat demokrasi liberal ini, harus dilakukan pendidikan politik warga negara terutama generasi muda. Juga generasi tua. Kita akan masuk ke sekolah-sekolah, universitas, kelompok pemuda untuk pencerdasan dan pengkritisan politik,” katanya.

“Walhi harus bisa membangun gerakan dari kelompok-kelompok petani,nelayan, perempuan, pemuda dan lain-lain. Bagaimana kita bisa menunggangi teknologi informasi untuk mendorong proses pengkritisan warga.”

Dia juga berkomitmen membangun kemandirian. Sumberdaya organsiasi dan memajukan konsolidasi dengan berbagai gerakan di Indoensia. Hingga, katanya, gerakan yang terpecah-pecah bisa berkonsolidasi menjadi masif dan kuat.

Pius Ginting, memandang persoalan yang dihadapi Indonesia sejak dulu tak berubah. Indonesia, katanya, jadi pasar sumber bahan mentah baik sawit, tambang maupun kayu. Sisi lain berhadapan dengan pendidikan masyarakat masih rendah.

“Perlu ada perubahan sistematis oleh Walhi. Kontribusi Walhi bersama kelompok masyarakat lain dengan meningkatkan kesadaran akan hal ini,” ujar dia.

Walhi, katanya, harus berhenti mengganggap kelompok lain kompetitor tetapi harus bersinergi agar terjadi perubahan. Walhi harus bersinergi dengan kelompok buruh, tani, nelayan, perempuan, dan lintas generasi. Generasi muda perlu dididik mengenai kesadaran kritis terkait lingkungan hidup.

“Soal inovasi, Walhi perlu mengembangkan teknologi pembebasan. Tak boleh lagi mengandalkan “Amdal kaki telanjang.” Harus menggunakan teknologi, misal drone untuk pemetaan, atau teknologi mengukur kadar limbah. Itu bisa untuk alat advokasi Walhi,” katanya.

Walhi, kata Pius, harus memposisikan diri sebagai pemberdaya. “Tak boleh lagi ada orang selama 10 tahun bekerja di Walhi terus jadi office boy. Harus dibina agar jadi aktivis lingkungan.”

Berbagai pertanyaan terus mengalir termasuk dari para aktivis yang hadir dalam debat itu.


Dewan nasional


Selain direktur eksekutif, Walhi juga akan pergantian Dewan Nasional. Para kandidat Dewan Nasional menyampaikan visi misi. Banyak kandidat maju, antara lain, Azmi Sirajuddin, Manajer Program Yayasan Merah Putih sekaligus Ketua Dewan Daerah Walhi Sulawesi Tengah, Kusnadi, Ketua Serikat Tolong Menolong dan juga Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara. Lalu, Mualimin Pardi Dahlan, advokat Public Lawyers Interest Network, Samaratul Fuad, aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Walhi Sumatera Barat. Risma Risma Umar, satu-satunya kandidat perempuan. Dia pernah menjadi anggota peneliti Women’s Empowerment and Leadership Development for Democratisation program. Saat ini Ketua Dewan Pengawas Nasional Solidaritas Perempuan juga Dewan Nasional Walhi.

Ada Bambang Catur Nusantara, Badan Pengawas Yayasan Klub Indonesia Hijau, Badan Pengurus Jatam serta Dewan Daerah Walhi Jawa Timur.

Abetnego Tarigan, kini Direktur Eksekutif Walhi Nasional juga salah satu kandidat. Kandidat lain, I Wayan Suardana aktivis ForBali pernah menjadi Direktur Eksekutif Walhi Bali.

Indra Nugraha, Jakarta 

http://www.mongabay.co.id/2016/03/06/walhi-lagi-cari-pimpinan-baru-inilah-para-kandidat-itu/

Sabtu, 05 Maret 2016

Tidak ada orang ditakdirkan ...


Tidak ada orang ditakdirkan ke dunia sebagai office boy, satpam, tukang sapu, atau direktur.
Sistem sosial lah yang membuat hal tersebut. Sistem sosial tersebut bisa berlangsung lama, hingga terjadi kelembaman, dianggap pembagian kerja tersebut permanen.
Suka filsafat Sartre, yang menyatakan, existence precedes essence. Tindakan kita menentukan esensi kita. Ayo kita melakukan tindakan transformatif. Pola apa yang kita lakukan contoh bagi yang lain.
Mari buat pola dan contoh baik. Bukan dipikirkan, (tak cukup lagi fisafat Descartes: aku berpikir maka aku ada). Tapi dilakukan.
Untuk kehidupan yang setara, baik, egaliter, bebas, humanis, ekologis.
Kawan kawan melakukan hal baik apa akhir pekan ini?
Selamat akhir pekan.
Dikirim oleh Bung Pius Ginting pada 5 Maret 2016