Selasa, 01 Mei 2007

Terjemahan: Memahami Revolusi Venezuela, Perbincangan Hugo Chávez dengan Marta Harnecker

Memahami Revolusi Venezuela,
Perbincangan Hugo Chávez dengan Marta Harnecker


Penulis : Hugo Chávez dan Marta Harnecker
Penerbit : Aliansi Muda Progresif (AMP) dan Institute Global Justice (IGJ)
Penerjemah : Aan Rusdianto, Astri Suryandari, Ayala Zikhra, Moch. Yusuf Supriyadi
Penyunting : Pius Tumangger
Cetakan : Pertama, Februari 2007
Tebal : 241 Halaman
ISBN : 978-979-16096-0-9

http://monthlyreview.org/product/understanding_the_venezuelan_revolution/
Buku ini membantu meperjelas tantangan-tantangan yang dihadapi oleh proses revolusi Venezuela yang tengah berlangsung. Peran Chávez yang menentukan dalam mengawali proses dan dukungan luas rakyat yang terus dia dapatkan membuat kita butuh untuk membaca buku ini agar memahami kekuatan-kekuatan dala, pekerjaan yang tampaknya menjadi sebuah tahap dalam transformasi sistem global jangka panjang. Pertanyaan-pertanyaan Martha Harnecker menggali dan menampakkan kecerdasan serta komitmen Hugo Chávez yang mendalam. Buku ini tidak bisa dilepaskan dalam memahami proses revolusioner di Venezuela. Buku wawancara ini juga memberikan gambaran tentang watak demokratik, kecerdasan dan kerendah-hatian Chávez sebagai pejuang revolusioner. Ia tampak tak pernah memendam rasa yang membuatnya dapat menjadi korban perasaan atau sakit hati di hadapan pejuang-pejuang lainnya. Situasi ini ditunjukkan ketika Marta menanyakan: Adakah dalam suatu masa dalam hidup Anda, Anda mengakui kepemimpinan orang lain di samping diri Anda sendiri?


Pengantar Penyunting


Buku ini diterjemahkan dengan maksud memberikan bahan referensi bagi aktivis dan kelompok-kelompok rakyat di Indonesia yang tengah bekerja mengusahakan tatanan kehidupan manusia yang lebih baik. Setelah himpitan kebijakan neoliberal yang diterapkan pemerintah makin terasa berat, sementara kekuatan politik penyelamat keluar dari krisis belum juga nyata terbangun, apa yang sedang berlangsung di kawasan Amerika Latin (salah satu yang terkemuka adalah Venezuela) adalah sebuah penyemangat dan menjadi contoh hidup bahwa kebijakan neoliberal bukanlah perangkat kebijakan yang tidak terelakkan dan tidak bisa dipukul mundur.

Dampak kebijakan neoliberal demikian nyata telah terlihat dan terasa luas oleh rakyat, sehingga intelektual pendukung kebijakan tersebut akan tampak seperti penipu kini. Orang-orang yang percaya dan mudah diyakinkan tidak akan sebanyak tahun 1990-an, ketika pemerintah dan intelektual pendukungnya menyatakan pencabutan subisidi produk dan jasa yang vital buat rakyat (BBM, listrik, kesehatan, pendidikan, air minum, dll) adalah demi peningkatkan efisiensi yang pada akhirnya akan meningkatkan pelayanan. Juga, lapisan masyarakat yang sebelumnya terbawa propaganda neoliberal dengan beragam komentar bernada justifikasi (atas kebijakan yang sebenarnya juga merugikan kepentingan mereka): “wajar BBM naik karena harganya lebih murah daripada sebotol air mineral”, “wajar perusahaan negara diprivatisasi agar terbebas dari korupsi”, “wajar subsidi BBM dicabut agar rakyat tidak dimanjakan dan sumber daya alam bisa dihemat” tidak akan seyakin sebelumnya atas pendapat mereka.

Apa yang terjadi dalam kehidupan sosial ekonomi Venezuela, tanpa bermaksud mengesampingkan kekhususan kedua negeri, juga memiliki kesamaan penting. Rakyat kedua negara mengalami kesulitan hidup akibat naiknya harga-harga kebutuhan. Jika di Indonesia terjadi aksi massa besar tahun 1998 menentang kediktatoran Orde Baru, dipicu oleh kenaikan harga kebutuhan akibat kebijakan ekonomi neoliberal, sembilan tahun lebih awal kejadian serupa juga dialami dan dilakukan rakyat Venezuela: Peristiwa El caracazo–protes kemarahan rakyat timbul saat terjadi kenaikan harga, terutama bahan bakar. Keduanya dihadapi dengan represi oleh pemerintah yang menyebabkan kematian di pihak rakyat.
Jika kelas penguasa di Indonesia secara luas relatif menerima pengunduran diri Soeharto dan menunjuk sendiri wakilnya sebagai pengganti, kelas penguasa di Venezuela memilih mengadili diktator Carlos Andréz Pérez sebagai katup pengaman politik (mempasifkan kembali aksi politik rakyat). Selanjutnya, kelas penguasa berharap kehidupan politik kembali “normal”, yakni urusan politik diserahkan kepada elit-elit politik dan partai yang mapan. Partai besar silih berganti secara periodik memerintah (lima tahunan di sini) lewat mekanisme pemilihan umum, namun struktur ekonomi, sosial tidak mengalami mengalami transformasi apa pun: dari tahun ke tahun rakyat tetap menjadi korban demi keberlangsungan hidup sistem yang menguntungkan minoritas dan meminggirkan mayoritas.
Tingkat kedemokratisan kehidupan negara hanya diukur dari kemulusan proses pemilihan (eksekutif, legislatif) dengan berbagai variasi prosedurnya. Pasca-pemberian suara, kehidupan ekonomi, sosial rakyat sehari-hari kembali diasingkan dari proses dan lembaga-lembaga politik. Pemahaman demokrasi yang kini disebarluaskan (lewat pendidikan pemilih yang diorganisasi banyak LSM, dipantau oleh banyak pengamat) bukanlah konsep demokrasi sebagaimana dinyatakan oleh pembebas lima negara Amerika Latin dari penjajahan, Simon Bolivar, sebagai sistem yang membawa kebahagiaan maksimal bagi rakyat.

Namun kini rakyat Venezuela tidak lagi menjadi korban terus-terus menerus dari sistem demokrasi tanpa partisipasi rakyat (selain memberikan suara saat pemilihan). Setiap perubahan penting yang dilakukan pemerintah Venezuela, rakyat harus ditanyakan dan menjadi penentu—salah satunya tercermin dalam referendum persyaratan perubahan/ amandemen. Pemerintahan Chávez tidak mengeramatkan konstitusi, sebagaimana dilakukan pemerintahan Orde Baru dan banyak politisi hingga sekarang, namun sesuai dengan hakikatnya (dalam sistem negara yang memiliki hukum tertulis), konstitusi adalah aturan-aturan formal mendasar yang rasional bagi mayoritas rakyat. Kini rakyat Venezuela menjalankan apa yang disebut sebagai demokrasi partisipatif. Sangat berbeda dengan proses amandemen Undang-undang Dasar di Indonesia yang tidak melibatkan rakyat.

Juga, pasal-pasal Undang-Undang Dasar Indonesia yang mendukung kepentingan ekonomi dan kesejahteraan rakyat (kekayaan alam digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, tanggung jawab pemerintah akan pekerjaan, pendidikan warga) jauh dari praktik. Di Venezuela, konstitusi hasil referendum rakyat pada masa pemerintahan Chávez digunakan rakyat sebagai basis mendapatkan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintahan Chávez melakukan sosialisasi dan pendidikan konstitusi bagi rakyat seperti apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru dengan P-4, tetapi dengan tujuan dan cara yang sangat berbeda tajam tentunya.

Terwujudnya praktik rakyat yang menjalankan dan menentukan kebijakan politik, ekonomi, sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepaskan dari adanya kekuatan politik yang progresif yang berhasil menguasai pemerintahan. Dalam kejadian Venezuela, adalah Chávez dengan partai MVR-nya.

Keberhasilan Chávez dan kekuatan politiknya sampai saat ini tentu berkat ketepatan dalam menentukan strategi perjuangan dan pembangunan organisasi perjuangan rakyat. Satu sisi, gerakannya tidak terjebak ke dalam pragmatisme, yang sering juga disebut beradaptasi dengan real politik (hal ini antara lain tampak dalam strategi tidak mengikuti pemilihan pada saat dia menilai kekuatan progresif dan rakyat tidak akan mendapatkan keuntungan dari proses tersebut pada saat pemerintahan transisi paska Carlos Andréz Pérez). Sisi lain, gerakannya juga tidak bergerak dengan konsep ideal di kepala tanpa memiliki hubungan dengan realitas (sebagaimana perdebatan dalam proses majelis konstituen).
Dalam pengertian yang dibuat Marta Harnecker, politik progresif adalah seni melakukan pekerjaan hari ini untuk membuat mungkin terjadi pada esok hari atas apa yang tidak mungkin terwujud hari ini. Ketepatan dalam menempatkan strategi ini selalu menjadi tantangan dalam setiap perjuangan termasuk bagi kekuatan progresif. Dengan tersedianya alat-alat modern—komputer, metode statistik, akuntansi, dan lain-lain—tentunya bisa digunakan sebagai alat bantuan dalam membuat dan memutuskan strategi yang rasional serta mengukur prospek-propek ke depan demi perkembangan gerakan rakyat, yang sedikit banyak juga diterapkan Chávez dalam perjuangannya (jajak pendapat, menghitung berbagai pilihan-pilihan politik dengan metode modern).

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak Monthly Review Press, secara khusus kepada Martin Paddio yang telah memberikan kemudahan dan solidaritasnya sehingga proses penerbitan buku ini dalam bahasa Indonesia menjadi mulus.
Kepada teman-teman yang telah membantu pembuatan buku ini dalam bahasa Indonesia (korespondensi, menerjemahkan, konsultan atas beberapa istilah, mengoreksi bahasa, menata-letak, produksi): apa yang kita kerjakan ini merupakan kontribusi terhadap pertumbuhan, kebangkitan kekuatan kolektif.



Cuplikan Perbincangan


Soal Korupsi:

Kami sedang berada di tengah-tengah pertempuran yang sulit, karena hal baru harus dibangun di atas reruntuhan yang lama, dan itulah dimana kebiasan buruk menyeret Anda ke belakang. Hingga kini, kami telah mengubah keseluruhan struktur politik-hukum, namun karena hakikat proses damai dan demokratik yang kuat, struktur ini masing ditandai dengan kebiasaan buruknya yang lama, disusupi oleh musuh, dan kadang-kadang jajaran kami sendiri melemah karena hilangnya kesadaran revolusioner. Itulah mengapa kami belum dapat menghilangkan marabahaya korupsi. (bab 2)

Awal Perjuangan:

Di samping itu, saya adalah seorang pemimpin tanpa sumber daya. Kadang-kadang bahkan tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan bakar, kami berjalan kaki ke sini dan ke sana dalam kelompok kecil, banyak dari kami yang ditangkap. Kadang-kadang— sekali atau dua kali dalam satu tahun —Jose Vicente Rangel mengundang saya untuk ikut acaranya di TV; kadang-kadang Alfredo Pena juga mengundang saya masuk ke programnya. Saya ingat saya mengadakan sebuah konferensi pers karena saya baru kembali dari sebuah perjalanan ke Kuba, dan hanya dua orang jurnalis yang menampakkan diri.

Perdebatan Soal Elektoral:

Kami berdebat secara mendalam mengenai arah yang akan diambil. Saat itu, terdapat cukup banyak kontradiksi; beberapa grup menolak jalur elektoral, dan mereka meninggalkan gerakan. Mereka menuduh kami telah mengabaikan revolusi karena tidak melanjutkan perjuangan bersenjata, tapi siapakah yang pernah berkata bahwa senjata menjamin arah revolusi? Sama seringnya, senjata telah menjadi alat kontra-revolusioner. Masih terdapat beberapa individu atau grup yang kritis terhadap proses pemilihan, namun yang lainnya telah kembali bersama kami.Kami tahu, bahwa dengan mengambil jalur elektoral, itu adalah sebuah keputusan strategis yang bisa menjadi sebuah bencana, yakni kami bisa terperangkap ke dalam jebakan yang dibuat oleh sistem kepada kami, menggiring kami ke dalam pasir hidup.


Soal Hubungan Internasional:

Marta, saya ingin Anda mengetahui bahwa kami tidak memiliki ketertarikan untuk memperumit atau merusak hubungan kami dengan AS, apalagi memutusnya. Namun demikian, untuk persoalan kedaulatan dan kemerdekaan kami selalu jelas dan tegas, dan kami telah menyatakan sikap ini bukan hanya kepada AS namun juga kepada semua negara lainnya di dunia.


Resensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesan dan pesan