Senin, 07 Desember 2015

HADAPI KOLONIALISASI KARBON, MANA SUARA INDONESIA?

Oleh: PIUS GINTING
SIDANG pertemuan perubahan iklim telah memasuki minggu terakhir. Negosiasi politik iklim kian menentukan. Sejauh ini Afrika Selatan sebagai ketua kelompok G77 memimpin dengan baik agar semua negara berkembang ini bersatu menuntut tanggung jawab negara maju untuk mengambil tanggung jawab lebih (harus berbeda) dengan negara berkembang.

Dan negara maju, khususnya Amerika Serikat akan berusaha memecah negara berkembang. Caranya, memberikan bantuan pendanaan langsung hanya kepada kelompok negara terlemah dan tidak mau mengambil tanggung jawab lebih. Padahal berdasarkan kajian banyak organisasi masyarakat sipil, negara berkembang telah lebih dari Amerika Serikat mengambil bagian (fair share) dalam mengatasi perubahan iklim. (Tentu masih ada PR seperti Indonesia sebagai negara berkembang kebakaran hutan dan lahan tak terus terjadi. Tapi di atas itu, tanggung jawab historis dari sejak Revolusi Industri, negara maju emisinya memang lebih tinggi).

Mungkin istilah dekolonialisasi karbon tepat dipakai. Kita tahu selalu ada elit-elit di domestik agar kolonalisme bisa terjadi.

Mungkinkan pemerintah Jokowi melihat perspektif besar seperti Soekarno, bersatu dengan negara berkembang lainnya menuntut tanggung jawab negara maju? Agar terjadi alih teknologi, bantuan adaptasi (karena perubahan iklim bahkan telah terjadi saat suhu saat ini baru naik 0.8 C dari masa pra-Revolusi Industri?) memastikan agar negara maju memberikan bantuan teknologi energi terbarukan (bukan investasi. Dan lebih parah dari itu, bukan investasi energi kotor dalam bentuk PLTU Batubatubara, misalnya seperti yang terjadi saat ini). Dan tak berkompromi dengan tawaran bantuan pendanaan ala kadarnya?

Saat ini delegasi Indonesia diam seribu bahasa dalam negoisasi perubahan iklim. Negosiator Malaysia lebih lantang bicara dan jadi bintang dalam pertemuan kali ini. Di antaranya dengan menyatakan, "Bacalah statistik. Internasionalisasi statistik. Emisi per kapita negara berkembang jauh di bawah negara maju. Termasuk India dan China. Mengatasi perubahan iklim dengan biaya membuat banyak rakyat di negara ini tetap miskin bukan jalan keluar. Kita harus mengubah pathway ekonomi kita." Sungguh ada yang benar dalam pernyataan ini jika dilihat statistik emisi per kapita.

Kendati tentu, pembangunan di India, dan juga di Indonesia belum tentu kian mengurangi angka kemiskinan dengan pola pembangunan kapitalistik tahap lanjut (versi 2.0, atau 3.0, yang padat teknologi dan pengetahuan tak sejalan dengan penyerapan dengan tenaga kerja, dan juga upah selalu rendah).

Jadi, seperti yang diungkapkan Laurent Fabius, Menlu Prancis, ini tidak hanya menyangkut iklim dan lingkungan, tapi ekonomi, lebih lengkapnya aspek seluruh kehidupan.

Dalam pelayaran negosiasi perubahan iklim ini, panduan kita (semacam bintang utara dalam pelayaran dulu kala sebelum ada kompas): tanggung jawab bersama namun dengan tingkat berbeda, keselamatan semua warga termasuk yang terentan, dan fair share. Dan kapten kapal yang bisa diandalkan adalah Joyce Mxakato-Diseko, sebagai Pemimpin G 77 + China.

Ayo negosiator Indonesia, di mana suaramu?? Mana semangat dan api Asia Afrika-mu dalam menentang kolonisalisasi karbon ini?

Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim. 

RMOL: 227217 Hadapi Kolonialisasi Karbon, Mana Suara Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesan dan pesan