Senin, 01 Februari 2016

INI MEDAN BUNG: PREMANISME, KORUPSI, KESENJANGAN, DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN?

PIUS GINTING/WALHI
PERSOALAN preman kembali mencuat di Sumatera Utara. Bentrokan antara IPK dan PP pada 30 Januari 2016 memakan korban jiwa dan menimbulkan keresahan masyarakat. Preman ini adalah sekumpulan orang yang tidak terserap ke dalam lapangan kerja formal. Mereka disebut lumpen proletariat. Dan dalam konteks Sumatera Utara, premanisme memiliki sejarah panjang terkait dengan politik, sosial, ekonomi. Kelompok preman digunakan menghilangkan gerakan rakyat secara sadis pada tahun 1965-1966, seperti kita lihat dalam film The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer, keduanya dinominasikan mendapatkan Oscar. Banyak para korban adalah penduduk desa yang disingkirkan sebelum investasi perkebunan meluas di Sumatera Utara.

Organisasi preman ini terus dipakai pemerintah dan perusahaan menghadapi upaya perlawanan rakyat. Seperti kehadiran PP disekitar lokasi tambang G Resources, Batangtoru, merespon perlawanan kuat rakyat atas pembuangan limbah tambang ke sungai (2012-2013).

Hidup sebagai preman tampaknya akan terus terjadi bagi sebagian kelompok masyarakat Sumatera Utara dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Antara tahun 2012-2013, pengangguran meningkat 32 ribu orang (menjadi 412 ribu orang). Antara tahun 2014 dan 2015, pengangguran bertambah lagi 30 ribu orang, sehingga menjadi 421 ribu orang.

Berlawanan dengan anggapan banyak pembuat kebijakan, kenyataannya peningkatan pengangguran Sumatera Utara berbarengan dengan peningkatan investasi. Pada tahun 2015, Pemerintah Sumatera Utara menargetkan realisasi penanaman modal di Sumatera Utara (Sumut) mencapai Rp11 triliun. Naik sekitar 10 persen dibanding target 2014.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) Sumut, Purnama Dewi menyatakan, dalam beberapa tahun belakangan, realisasi investasi di Sumut selalu melampaui target.

Sektor terbesar investasi bagi perusahaan asing di Sumatera Utara adalah kimia dan farmasi, lalu pertambangan serta tanaman pangan dan perkebunan (BPMP). Untuk modal dalam negeri adalah tanaman pangan dan perkebunan serta industri logam dasar.

Saya menyorot dua sektor, yakni pertambangan dan perkebunan, yang selama ini korbannya banyak diadvokasi oleh organisasi lingkungan hidup, seperti WALHI. Kedua sektor ini memiliki jejak kerusakan lingkungan yang luas. Berupa pembukaan kawasan hutan negara dan ruang hidup rakyat. Sering jenis investasi ini menimbulkan konflik dengan warga. Seperti dialami oleh Sanmas Sitorus, diadili di PN Balige karena membela masyarakat adat mendapatkan hak ulayat dari PT. Toba Pulp Lestari.

Dengan begitu, investasi di Sumatera Utara menimbulkan konflik dan tak sanggup menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga timbul premanisme. Parahnya lagi, di tengah situasi ini, korupsi melanda lembaga pemerintahan Sumatera Utara (eksekutif, yudikatif, legislatif).

Agar premanisme, korupsi dan kerusakan sumber daya alam tidak kian parah, maka Sumatera Utara perlu model pembangunan lain. Harus berubah dari yang sudah dibangun selama ini sejak masa pemerintahan Orde Baru, yang dikawal dengan jalan premanisme.

Jalan keluar tersebut di antaranya dengan pemerataan kesejahteraan. Sumatera Utara memiliki tingkat kesenjangan kesejahteraan di atas rata-rata nasional. Hal ini dapat diatasi di antaranya dengan pengakuan wilayah kelola rakyat di dalam kawasan hutan, peningkatan upah buruh, dan peningkatan pajak rumah mewah. Gedung rumah mewah di tengah kemiskinan yang meluas menciptakan ketidakharmonisan sosial. Dalam perjalanan ke Medan awal Januari ini, saya melihat gedung mewah para anggota DPRD di daerah Padang Bulan yang hampir jadi namun terhenti karena tersangkut korupsi.

Korupsi dapat diatasi dengan meningkatnya tingkat partisipasi rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pengawasan tersebut tidak dapat diserahkan kepada ormas dan segelintir LSM. Karena lembaga-lembaga ini justru mendapatkan aliran dana "bansos" yang kini kenyataannya jadi bagian dana yang dikorupsi di Sumatera Utara. Pengawasan dan partisipasi harus melibatkan rakyat yang terdampak langsung oleh proyek pembangunan.

Rakyat Sumatera Utara memerlukan Ini Medan Bung memiliki makna transformatif: pemerataan kesejahteraan, pemerintah yang dikawal secara demokrasi partisipatif rakyat luas, dan pembangunan yang tak merusak lingkungan.

Syarat tranformasi ini adalah sinergi yang intens, dan saling memperkuat antara organisasi masyarakat sipil. Bila di sisi lain, seburuk-buruknya premanisme, dia tetap dipertahankan oleh sistem ekonomi politik saat ini, maka sebaik-baiknya perjuangan organisasi masyarakat sipil di Medan dan Sumatera Utara secara luas, bila organisasi masyarakat sipil tersebut bisa saling memperkuat kekuatan alternatif dari masyarakat sipil. Adalah tantangan yang dapat berkontribusi positif bila keberadaan beberapa tokoh organisasi masyarakat sipil yang kini berada di dalam pemerintahan (ada yang menjadi Bupati, menjadi anggota DPRD) dapat saling memperkuat organisasi dengan masyarakat sipil untuk melakukan tranformasi tersebut tanpa terjebak kepada patronase sempit dan hilangnya daya kritis dari organisasi masyarakat sipil.

Mari kita upayakan terus penguatan gerakan masyarakat sipil Sumatera Utara yang pro-kemanusiaan, ekologi, dan pemerataan kesejahteraan rakyat mengatasi 4 persoalan besar ini.


*Penulis adalah Kandidat Direktur Eksekutif Nasional WALHI 2016-2020

http://politik.rmol.co/read/2016/02/01/234197/Ini-Medan-Bung:-Premanisme,-Korupsi,-Kesenjangan-dan-Kerusakan-Lingkungan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesan dan pesan