Selasa, 14 April 2015

Indonesia Stakes its Future on Coal




By: Pius Ginting, Head of Research, WALHI/Friends of the Earth Indonesia

In 2014, for the first time in 17 years, Indonesia’s coal production declined. After an average annual increase in production of 14% per year over the past decade, last year’s production fell by 39 million tonnes, or 8% compared to 2013. This decrease was significant, equivalent to the cessation of operations of the third largest mining company in Indonesia.

Reduction in the use of coal for energy is now occurring in the United States and China due to environmental considerations. China has begun to reduce imports of coal and is decreasing coal generation due to air pollution concerns Last year, for the first time ever, coal use in China actually decreased by 1.4% while the economy grew by 7.3%. This decoupling of coal growth with economic growth is hugely significant in the country which has accounted for 80% of global demand growth since 2000.

Analysts such as Tim Buckley of the Institute for Energy Economics and Financial Analysis have pointed to how the massive shifts that are currently happening in China’s energy markets are likely to result in peak coal in China over the next five years, and a steady decrease in imports. This, combined with the changes that are happening in India’s energy markets, point to a structural decline in the seaborne thermal coal market. With the market heavily oversupplied, and coal prices low, continuing to rely on coal exports makes no economic sense for Indonesia.

This is even more apparent when you look at the health impacts of the current coal mining boom in Indonesia. Indonesian coal mining provinces such as South Kalimantan, East Kalimantan, South Sumatra and Bengkulu have reported high numbers of acute respiratory tract infections. Unfortunately, there is an absence of regular reporting on health impacts of coal dust. According to the World Health Organisation, 7 million deaths occur each year due to air pollution. There is evidence in other countries of the health impacts of coal mining on surrounding communities.

Yet instead of addressing these issues, Indonesia’s new President Joko Widodo is staking the country’s future on a massive increase in coal-fired generating capacity. The government has announced plans to add 42,000 MW of new electricity capacity to the grid by 2024, around half of which would be from coal.

Currently, Indonesia is the world’s third largest emitter of greenhouse gases in the world, due to deforestation. However, the National Council on Climate Change has stated that if coal fired generation increases at the rate predicted by the President, greenhouse gas emissions will exceed those from the forestry sector by 2030, threatening to wipe out any gains in the forestry sector.

Luckily, President Jokowi’s targets for expansion of coal fired generation capacity seem completely unrealistic. In 2006, Indonesia’s first “fast track” program to expand capacity by 10,000 MW is still mired in delays, with only 60% completed to date. However, by having an energy policy driven by coal, renewable energy will be hampered in the country, and will send Indonesia in the opposite direction to most of the rest of the world. To achieve its targets, the electricity utility PLN needs $90 billion in investment. Raising this amount of money will not be easy.

In 2015 the government still gives subsidies of $5.2 billion per year to PLN. It is ironic from the environmental perspective that the Jokowi Government has eliminated oil fuel subsidies, but continues to give subsidies for coal plant construction. The government is also supportive of building coal infrastructure such as coal railways in Central Kalimantan and South Sumatra that would open up huge new tracts of land to coal mining.

If the government does indeed increase the share of coal in the power mix from 54% in 2014 to 64% in 2019, then Indonesia will need a total of 200 million tonnes of coal per year, an increase of almost 120 million tonnes per year.

A ray of hope is coming from the Corruption Eradication Commission (KPK), who in 2014 teamed up with the Ministries of Forestry, Environment and Transportation and the Tax Directorate to conduct an investigation of all locally-issued mining permits in 12 provinces of Indonesia, including five provinces with large coal mining operations – South Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan, and South Sumatra and Jambi.

The KPK is working with local and provincial governments to investigate compliance surrounding issues such as payment of taxes and royalties, post-mining reclamation, forestry, and the use of legal or illegal ports. As a result, the program has resulted in the revocation of 34 coal mining licenses in East Kalimantan and 58 in South Sumatra. There is also a similar process being undertaken for nationally-issued licenses to the big mining companies, called Coal Contracts of Work.

Exerting government control over the legality of coal mining operations and stopping illegal coal shipments can be a first step towards reduction of coal production and towards sustainable economic development and renewable energy. However, the government must also develop a renewable energy strategy with appropriate incentives to massively scale up investment in renewable energy, to avoid the massive pollution that will inevitably come from a suite of new coal plants.


http://endcoal.org/2015/04/indonesia-stakes-its-future-on-coal/

http://tcktcktck.org/2015/04/pius-ginting-indonesia-stakes-its-future-on-coal/

Jumat, 06 Februari 2015

NASIB ENERGI TERBARUKAN DI BAWAH PEMERINTAHAN JOKOWI

UNTUK pertama kalinya sejak tahun 1997, pada tahun 2014 Indonesia alami penurunan produksi batubara. Setelah kenaikan produksi rata-rata 14% per tahun dalam rentang tahun tersebut, produksi tahun lalu turun 39 juta ton, atau 8% dibanding tahun 2013. Penurunan ini signifikan, setara dengan berhentinya kegiatan operasi perusahaan tambang terbesar ketiga di Indonesia.

Pengurangan penggunaan batubara sebagai sumber energi telah dilakukan di Amerika Serikat dan China karena pertimbangan kualitas lingkungan hidup. China mulai mengurangi impor batubara, dan sejak tahun 2014, melarang pembangunan PLTU Batubara di sekitar tiga kawasan ekonomi penting, Beijing, Shanghai dan Guangzhou karena alasan pencemaran udara. Sepuluh dari 34 provinsi China membuat komitmen akan mengurangi penggunaan batubara pada tahun 2017, dan melarang pembangunan PLTU batubara di kawasan tersebut (Greenpeace).

Daerah tambang batubara Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Bengkulu telah melaporkan tingginya penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Disayangkan tidak adanya laporan teratur dampak kesehatan akibat debu batubara. Laporan WHO menyebutkan, terjadi 7 juta kematian setiap tahun karena pencemaran udara. Umumnya di negeri berkembang.

Dr Carlos Dora, Kordinator Kesehatan Publik, Lingkungan dan Faktor Sosial Kesehatan WHO menyatakan, pencemaran udara berlebih seringsebagai hasil sampingan kebijakan tak berkelanjutan, termasuk sektor energi. Dalam sebagian besar kasus, strategi lebih sehat akan lebih ekonomis dalam waktu jangka panjang karena berkurangnya ongkos kesehatan dan tercapainya perbaikan iklim.” Penelitian Dewan Nasional Perubahan Iklim ungkapkan emisi gas rumah kaca sektor energi di Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar, akan melebihi emisi sektor kehutanan pada tahun 2030.

Momentum penurunan harga batubara sebaiknya dipakai Pemerintahan Jokowi mengurangi produksi batubara demi perbaikan lingkungan hidup dan kesehatan warga di sekitar tambang dan pembangkit listrik batubara. Kendati 85% batubara Indonesia saat ini diekspor, peningkatan batubara untuk kebutuhan dalam negeri dalam situasi global saat ini bukanlah kebijakan progresif. Saat teknologi pembangkit batubara kini mulai ditinggalkan negara lain, khususnya di Asia Timur, maka akan jadi pasar teknologi disertai fasilitas pinjaman.

Program pembangkit listrik 35.000 MW dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dengan 65% berasal dari pembangkit listrik batubara memperlambat Indonesia menuju pengembangan energi terbarukan. Untuk mencapai target tersebut, PLN perlu dana sebesar 545 trilyun rupiah selama empat tahun ke depan. Pada tahun 2015 pemerintah masih mensubsidi PLN sebesar 68,6 trilyun rupiah.

Adalah ironis bila pencabutan subsidi bahan bakar minyak yang dilanjutkan Pemerintahan Jokowi lalu dialihkan untuk pembangunan pembangkit dan infrastruktur batubara, seperti pembangunan rel kereta api batubara Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan.

Peningkatan sumbangan batubara bagi bahan bakar pembangkit listrik dari 54% pada tahun 2014 menjadi 64% pada tahun 2019, menciptakan kebutuhan tambahan 200 juta ton batubara setiap tahunnya membuat Indonesia kian tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya; seperti Filipina, pada tahun 2012 telah mencapai 41% energi dari sumber terbarukan.

Secercah harapan didapatkan dari langkah KPK dalam program Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara selama tahun 2014. Program penertiban perizinan, pembayaran pendapatan negara dari tambang tersebut telah berdampak bagi pencabutan izin tambang batubara disejumlah provinsi. Di antaranya 34 di Kalimantan Timur, 58 di Sumatera Selatan. Penertiban perusahaan tambang batubara, pengapalan ilegal dapat menjadi langkah awal pengurangan produksi batubara, menuju pengembangan ekonomi berkelanjutan dan energi terbarukan. [***]

Pius Ginting
Kepala Unit Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jumat, 14 November 2014

Jurnal: Grim Portraits of Bangka Belitung Tin Mining



Demanding global, national and local responsibility to restore Bangka Belitung island following negative tin mining impacts.


A publication by Friends of The Earth Indonesia 2014
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
in collaboration with Friends of the Earth Netherlands (Milieudefensie)

Written by Pius Ginting, Ratno Budi, Khalisah Khalid,
Edited by Evert Hassink and Iris Maher

Unduh Milieudefensie Rapport WALHI J-LR PDF


WALHI Report: Consequences of Tin Mining in Indonesia still Dramatic for People and Nature



AMSTERDAM, 11 November 2014 – A report by Friends of the Earth Indonesia (WALHI) and its Dutch affiliate Friends of the Earth Netherlands (Milieudefensie) shows that companies producing mobile phones, tablets and laptops, are using tin that is mined at the expense of people and nature. The report, named ‘Grim Portraits of Bangka Belitung Tin Mining’, describes how tin mining in Bangka and Belitung is continuously causing victims among the local inhabitants. Subsidence, radioactive dust and malaria take their toll in the archipelago, and the environmental damage is growing by the day. One positive note is that after several campaigns by Friends of the Earth, many manufacturers of smartphones and laptops have now joined a project by the Sustainable Trade Initiative (IDH) that aims to make tin mining less harmful.


Radioactivity, occupational accidents and environmental damage


The radioactive dust that is released during the extraction of tin causes an increasing number of cases of lung cancer. Radiation levels in Bangka and Belitung are three to five times the normal rate. This radioactivity is mainly caused by the extraction of tin. Furthermore, an average of one victim a week is made by tin mining on the island of Bangka. Friends of the Earth Indonesia is registering the cases that are reported in the media – more than twenty in the first six months of 2014. Less visible are the victims that are made by malarial mosquitoes that thrive on the mudflats and lakes that remain after tin mining. As Pius Ginting, campaigner mining and energy of Wahli, says: “It is statutory that used tin mines be filled up, but this hardly ever happens – what is left is a wasteland and it is a crime in itself that this is not being acted against.”


Destruction of nature


After decades of intensive tin mining, the Bangka and Belitung tin resources are becoming exhausted. The mining companies are now extracting tin from protected forests on a large scale, as it appears from the Friends of the Earth inventory. Approaching from the sea, they are dredging complete mangrove woods in search of the precious metal. A little further at sea, coral reefs are being destroyed by tin-dredgers. Half of the coral is now destroyed, causing dramatic consequences for the fish stocks and local fishermen.


Lack of sustainability is killing local economy


The speed in which Indonesian tin resources are being exploited (one third of the world’s tin production is from Bangka and Belitung) is turning large parts of the islands into a moonscape. Croplands are being excavated, rivers and groundwater have become unfit for agriculture, and therefore local farmers are forced to go into tin mining as well. As a result, agriculture is pining as tin resources are running out as well. The local inhabitants will be left empty-handed. Ginting: “In this part of the world, the exploitation of people an nature has become a necessity in order to support the lifestyle of the prosperous part of this planet – even children are being used to supply the world with cheap tin.” Ginting is travelling through Europe. Today and tomorrow he will be in The Netherlands.


Sustainable Trade Initiative (IDH)


Over the past year, Friends of the Earth and electronics multinationals like Apple, Samsung, Sony and Microsoft have been discussing ways to be able to work more sustainably in Bangka. This week, the contracts for the next phase have been signed. As Evert Hassink, campaign leader Resources, says: “We are pleased that after all the talking, now finally something is actually being done on the island of Bangka. Now, local companies in Bangka can make arrangements with IDH about the delivery of more responsibly extracted tin. That is an important, and possibly unique, step and will hopefully set an example that will be followed elsewhere.”

Note:
For the printed report, royalty-free photographs and video materials, and interviews with Pius Ginting (Walhi) and Evert Hassink (Milieudefensie, +31 6 51 080 994), contact Friends of the Earth Netherlands’ Press Office: +31 20 550 73 33 or persvoorlichting[at]milieudefensie.nl

Rabu, 03 September 2014

Artikel: Indonesia Needs to Save Bangka and Belitung Islands From Tin Curse

(JG Graphics/Josep Tri Ronggo)
The world depends on tin from Bangka and Belitung. These two Indonesian islands provide a third of the tin available on the world market. And tin is everywhere nowadays: without Indonesian tin, people around the world would not be able to enjoy their electronic gadgets.

Bangka and Belitung have long played a key role in global tin production, at least since Vincent Gildemeester van Tuyll van Serooskerken and John Francis Loudon founded the NV Billiton Maatschappij in the 1850s, after realizing how rich the tin deposits on Billiton Island (Belitung) were. After the war of independence against the Dutch, Indonesia took over the company’s activities on Bangka and Belitung. And decades later, the Billiton International Metals Company merged into BHP Billiton, which is currently the largest mining company in the world.


Resource curse


Indonesia still is the proud supplier of tin, a resource that is only becoming more important in modern life. Unfortunately, however, there is less reason to be proud of the way this tin is being mined.

The beautiful Bangka and Belitung islands are currently being transformed from a prime tourist destination into a wasteland. Fertile land is turned into thousands of craters that become sources of malaria. Fish stocks and coral reefs are being destroyed by dredgers and tin-sucking ships. Fisher folks in our interviews reported that their catches had fallen by 80 percent.

Accidents happen weekly, with informal miners dying in landslides and in accidents on the bottom of the sea. These are all costs of tin production that are not being taken into account.

Since tin mining has been done for a long time without proper rehabilitation and good environmental management, tin mining in Bangka and Belitung has a negative net value for society. According to a 2013 evaluation by Indonesia’s Environment Ministry, the net present value benefit from tin mining in West Bangka district was minus Rp 336 trillion ($28.5 billion) over the 2007-12 period. This negative number is caused by the high costs of health impacts, payments for clean water as an alternative for polluted water, and funds needed to manage decreasing productivity in non-mining sectors such as agriculture and fishery, due to erosion and land pollution caused by mining activities.

Sadly, our field observations show that these conditions — all part of the local resource curse — occur in all districts of Bangka that produce tin.

Per capita, people from Bangka-Belitung Islands province are among Indonesia’s top consumers of fish. The area also produces the unique and famed Muntok white pepper.

But if tin mining in the province is not managed well, its people will face environmental and economic collapse in the near future, and especially in the post-mining era. Deposits are depleting fast and tin is already becoming scarce on-shore.


Big corporations


Environmental organizations have demanded that major electronics brands like Apple, Samsung, Philips and Sony support a less destructive form of tin mining. A tin working group has been established in 2013. And after a research phase, the group now plans further engagement with mining companies, authorities and local stakeholders on Bangka to develop a system that will support responsible miners.

On-shore, the solutions are obvious. Proper land-use planning and rehabilitation of former mine sites — both in consent with local villagers — will make a difference for nature and agriculture.

But off-shore, a solution is not yet in sight. An approach to mitigate the destruction of the sea around Bangka caused by tin dredgers and suckers needs to be developed and implemented urgently. As long as there is no answer to the current destruction, off-shore mining should be forbidden. The situation around Belitung, where an off-shore mining ban is in place, and where the sea is still blue and transparent and where tourism flourishes, should be the example.

The tin working group is the result of the efforts of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), which rung the alarm bell in the global Friends of the Earth Network and in Western media. This was the start of a campaign that convinced global brands to take their responsibility.

The international public has paid attention, through petitions, plenty of media of coverage, and protests at offices of electronics brands, for instance recently at the Microsoft office in Amsterdam. It is important for major electronics brands in the tin working group, like LG, Blackberry and Acer, to take immediate action and for other brands to join the effort.

Tin sourcing from important areas, such as conservation forests and fishery catchment areas, can be stopped if we act quickly and more brands join the effort. The companies in the Tin Working Group also want to ensure that they do not use tin from sites that are not safe for workers and will be involved in the environmental rehabilitation of mining sites in Bangka and Belitung.


Chance to score


But neither chief sustainability officers nor multinationals can save Bangka from an ecological disaster. The national and regional governments are, in the long term, the only institutions that can ensure a future for Bangka. They can set and enforce the rules that guide miners and businessmen towards better mining practices. The government can also improve supply-chain transparency in the mining sector. This will enable businesses to reward companies that mine in a more responsible way than others.

But the government should act now, as CSO campaigns do not last forever and businesses in the end are in the game for the money.

The coming years are crucial as the tasks of regulators will be less burdensome now that even global brands demand that their tin suppliers work responsibly. The Indonesian president and his administration play a major role in transforming the mining sector, and not only in tin mining. President-elect Joko Widodo, set to be inaugurated on Oct. 20, can and should show that the Indonesian state is able to score, now that CSOs and major corporations have kicked the ball in front of the goal.

Pius Ginting is head of research at Walhi--Friends of the Earth Indonesia.
Evert Hassink is a mining campaigner at Friends of the Earth Netherlands.

Jakarta Globe: Indonesia Needs to Save Bangka and Belitung from Tin Curse

Senin, 23 Desember 2013

Buku: Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan



Judul : Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan
Penulis : Asep Yunan Firdaus, Pius Ginting
Penyunting : Dian Septi Trisnanti
Penerbit : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) & Yayasan TiFA, Jakarta
Cetakan : pertama, 2013
Tebal : xii, 110 halaman: ilustrasi, foto
Dimensi : 23 cm
ISBN : 9798071816, 978-979-8071-81-2


WALHI mewawancarai warga yang terdampak pertambangan dan juga pemerintah daerah menemukan bahwa tidak ada ruang bagi masyarakat terdampak untuk berpartisipasi, memberikan pendapat terhadap proses penetapan tata ruang yang sedang dibahas. Penelitian ini melihat dalam bentuk normatif dan empiris terhadap proses partisipasi masyarakat. Terlebih dalam tahun politik ini kerap kali izin dalam sektor sumber daya alam menjadi komoditi untuk dapat digunakan sebagai dana kampanye.

WALHI: Partisipasi Warga Terdampak Pertambangan Diaborsi Jelang Rezim Lelang Wilayah Pertambangan

Jumat, 06 Desember 2013

Perubahan Iklim, Publik, dan Partai Politik

Lembaga Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) kembali mengeluarkan laporan penilaian situasi perubahan iklim pada 27 September 2013. Ini adalah laporan kelima sejak dikeluarkan pertama kali tahun 1990. Kalangan ilmuwan kian yakin (hampir 100 persen) perubahan iklim disebabkan aktivitas ekonomi manusia. Laporan tersebut menyebutkan konsentrasi karbon dioksida (CO2), gas metan dan oksida nitrogen meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konsentrasi CO2 bertambah 40 persen sejak masa pra industri, terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas) dan kedua terbesar dari perubahan lahan (seperti alih fungsi hutan).

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Agar kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi aman dari dampak perubahan iklim, maka emisi gas rumah kaca pada tahun 2050 perlu dikurangi hingga 60-80 persen di bawah tingkat tahun 1990 (Lord Stern, 2006). Ibarat perokok ingin berhenti, bila dilakukan secara bertahap maka perokok perlu segera melakukannya. Penundaan lebih lama akan memperburuk kerusakan sistem tubuh dan membutuhkan perubahan lebih drastis di kemudian hari. Berdasarkan perhitungan pembagian sederhana, bila dilakukan secara bertahap, sejak tahun 1990 setiap tahun seharusnya telah terjadi pengurangan 1,3 persen buangan gas rumah kaca.

Sebagai langkah awal, kesepakatan internasional Protokol Kyoto tahun 1990 mensyaratkan negeri maju mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata 5,2 persen di bawah kadar tahun 1990 pada rentang tahun 2008-2012. Alih-alih berkurang, emisi dunia bertambah sejak tahun 1990, menjadi 1,5 kali lipat pada tahun 2008 (EPA). Kendati Amerika Serikat pada masa pemerintahan Obama mencatatkan perbaikan penurunan emisi 1,6 persen pada periode 2010-2011, di antaranya berkat penutupan 175 buah pembangkit listrik batu bara, namun emisi negeri tersebut secara umum masih meningkat dibandingkan saat Protokol Kyoto dibuat hingga tahun 2011, sebesar 8.4 persen.

Indonesia sebagai negara berkembang tak diwajibkan oleh Protokol Kyoto mengurangi buangan gas rumah kacanya mencatatkan penambahan 190 persen pada periode 1990-2010 (MDGs PBB).

Kehidupan manusia dan ekosistemnya akan aman bila suhu bumi naik tidak lebih dari 2 derajat celsius dibanding sebelum pra-industri. Namun laporan terakhir menyatakan telah terjadi kenaikan 0,85 derajat celcius antara tahun 1880 dan 2012. Bila tak dilakukan perubahan, generasi yang lahir tahun 1960 dan bila masih hidup 40 tahun ke depan akan turut mengalami kenaikan 2,9 derajat celcius dari masa pra-industri.

Dengan begitu, dunia sedang mengarah kepada darurat iklim. Beberapa akibatnya telah dirasakan, yakni kegagalan panen, banjir kian besar, kekeringan meningkat, cuaca ekstrem seperti badai dan gelombang panas kian terjadi di beberapa belahan dunia. Di daerah pegunungan, tumbuhan dan hewan migrasi ke bagian atas mencari temperatur lebih rendah. Musnahnya jenis-jenis makhluk hidup sedang terjadi saat ini terkait perubahan iklim. Proses kemusnahan ini terbesar terjadi sejak 65 tahun yang lampau saat dinosaurus dan banyak spesies lainnya ada.

Kita mengkhawatirkan perubahan besar dan mendadak terjadi dalam iklim. Seperti penebangan pohon terus menerus kendati dalam jumlah kecil di lereng bukit, dampak besar tiba-tiba seperti longsor selalu mengintai. Dan "longsor" akibat pemanasan global salah satunya adalah gangguan pola arus air laut, disebut dengan sirkulasi thermohaline. Sirkulasi air laut ini berfungsi sebagai pencampur bagian air laut yang panas dan yang dingin. Air laut yang panas di bagian tropis mengalir ke bagian utara yang lebih dingin. Bila arus ini terhenti maka suhu bagian tropis melonjak panas membahayakan kehidupan seperti terumbu karang yang penting bagi ikan, sementara bagian utara akan dingin dratis.

Ilmuwan IPCC mengeluarkan laporan berjudul Ringkasan bagi Pembuat Kebijakan (Summary for Policymakers). Kini saatnya pembuat kebijakan dan publik membuat langkah-langkah menyikapinya.

Kita membutuhkan pembangunan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun hal ini sulit dilakukan karena banyak aktor ekonomi terganggu. Industri bahan bakar fosil mendanai lembaga kajian, seperti Heartland Institute, untuk menyanggah perubahan iklim dan pemanasan global sedang terjadi.

Di Indonesia, laporan Jatam menyebutkan tujuh partai politik, pimpinannya berkepentingan langsung terhadap industri pertambangan, umumnya terdapat dalam kawasan hutan. Hal ini menyulitkan Indonesia membuat kebijakan mengurangi gas rumah kaca.

Publik berperan penting mendorong calon anggota legislatif dan partai politik membuat program solusi mengatasi perubahan iklim. Persoalan perubahan iklim harus menjadi agenda besar, seperti persoalan korupsi yang telah lebih banyak mendapat perhatian dan kemajuan penegakan hukum.

Inisiatif lokal penting, seperti kian meluasnya kegiatan penanaman pohon dilakukan oleh sekolah-sekolah. Namun sumber emisi terbesar Indonesia adalah terkait kebijakan ekonomi lebih besar, seperti alih fungsi hutan, kebijakan energi dan transportasi. Hal ini memerlukan dorongan publik agar kebijakan yang dibuat pemerintah mengarah kepada pengurangan emisi gas rumah kaca secara real.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 3042-perubahan-iklim-publik-dan-partai-politik

Minggu, 22 September 2013

Inikah Senja Kala Batubara?

OLEH: MARDAN PIUS GINTING
Pada pertengahan abad ke-19, eter digunakan luas sebagai bahan pembius. Penggunaan eter merupakan suatu terobosan, karena sebelumnya pasien bedah harus menanggung sakit luar biasa. Beberapa orang memilih tak disembuhkan atau bunuh diri ketimbang mengalami sakitnya pembedahan.

Eter sungguh berjasa. Namun belakangan kian diketahui efek toksik eter terhadap jantung dan hati. Maka, pada awal abad ke-20, eter sebagai pembius medik ditinggalkan. Berakhirlah zaman penggunaan eter sebagai obat bius yang telah berjasa menyelamatkan banyak nyawa orang.

Tapi kita akan membahas batubara yang telah lama digunakan sebagai sumber energi. Hingga tahun 2005, batubara menyediakan 40 persen listrik di dunia. Sebanyak 54 persen listrik PLN menggunakan batubara.

Namun, dampak negatif batubara makin jelas diketahui. Batubara adalah jenis energi terkotor saat ini. Pembakaran batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca CO2 satu setengah kali lipat dibanding minyak bumi, dan dua kali lipat dibandingkas gas.

Batubara menimbulkan dampak buruk dari penambangan sampai pasca-pembakaran di pembangkit listrik. Penelitian Dr Michael Hendryx dari Univesitas West Virginia menemukan berbagai penyakit mematikan, seperti kanker paru, sakit jantung, pernapasan, dan ginjal, sangat tinggi di daerah kawasan tambang batubara. Penderita penyakit ini berbanding lurus dengan intensivitas penambangan. Penderita kian berkurang pada daerah yang kurang penambangan batubara, dan terendah pada kawasan bukan pertambangan batubara. Karena karakter penambangan batubara relatif sama di semua negara, maka hal serupa tampaknya juga mencerminkan keadaan Indonesia.

Selain itu, transportasi batubara di Indonesia banyak menggunakan sungai, umumnya tercemar parah, di antaranya Sungai Barito, Mahakam, dan Sungai Bengkulu. Sumber pencemaran adalah tumpahan batubara, buangan bahan bakar kapal pengangkut. Pembuangan bahan berbahaya dan beracun ini membahayakan ekosistem di laut. Penulis menyaksikan banyak penduduk mengonsumsi ikan dan masih menggunakan air Sungai Barito untuk keperluan rumah tangga.

Ketika dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), batubara menghasilkan pencemaran udara berbentuk partikel halus (particulate matter). Ukurannya kurang dari 2,5 mikrometer, sehingga umum disingkat PM 2,5. Materi ini menyebabkan penyakit asma, berkurangnya fungsi paru-paru, memperlambat perkembangan anak dan memperparah sakit jantung.

Hasil lainnya dari limbah debu batubara adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon dioksida, arsenik, chromium, nikel, dan logam berat lainnya, gas asam, hidrokarbon (Erica Burt, MPH). Semua zat ini berbahaya bagi kesehatan dan beberapa di antaranya menimbulkan kanker. Berdasarkan informasi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA), paparan sulfur dioksida menyebabkan peradangan saluran napas, memperparah paru-paru basah (bronchitis), dan penurunan fungsi paru.

Anil Markandya serta Paul Wilkinson dalam jurnal medis The Lancet tahun 2007, memperkirakan secara global setiap tahun 210.000 orang meninggal, 2 juta mengalami sakit serius, 151 juta sakit ringan akibat dampak pembakaran batubara. Perkiraan ini berdasarkan standar aturan polusi dan kerapatan penduduk Eropa. Angka ini sesungguhnya bisa lebih besar karena banyak negeri dengan standar udara lebih rendah dengan penduduk lebih padat.

Di samping itu, pembangkit batubara adalah salah satu sumber pencemaran merkuri global. Pencemaran merkuri bisa menyebabkan autisme pada anak-anak. Berbagai penelitian di Amerika Serikat telah menunjukkan jumlah anak-anak mengalami autisme lebih banyak bila kian dekat dengan PLTU batubara. Adalah tidak adil bila demi pemenuhan kebutuhan energi generasi masa kini, generasi masa depan harus menanggung beban deritanya. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Amerika Serikat telah menghentikan 175 PLTU batubara pada periode 2001-2011, merencanakan memensiunkan 175 buah lagi pada periode 2012-2016 (Sierra Club). Salah satu alasannya karena pencemaran. Badan Energi Nasional Tiongkok mulai mengurangi pemakaian batubara. Diawali, dengan rencana larangan impor batubara berkalori rendah karena polusinya lebih tinggi. Tampaknya batubara perlahan ditinggalkan secara global.

Di Tanah Air kita, warga Desa Suralaya, lokasi PLTU batubara terbesar di Indonesia, berdasarkan sebuah penelitian IPB menyebutkan 97,36 persen warga yang diwawancai menilai PLTU Suralaya telah menimbulkan gangguan kesehatan.

Dari semua ini, wajarlah masyarakat Batang, Jawa Tengah, melakukan penolakan terhadap pendirian PLTU batubara di kawasan mereka. Jika jadi didirikan, PLTU batubara ini adalah terbesar di Asia Tenggara, sehingga dampaknya pun besar. Publik dan pemerintah tidak adil bagi warga Batang bila demi pemenuhan layanan energi kita, masyarakat sekitar pembangkit listik menanggung derita besar. Alternatif harus ditemukan.

Pemerintah Indonesia bisa mengatasi dampak sosial dan krisis energi dari pengurangan pemakaian batubara bila melakukan peralihan ke energi terbarukan dengan terencana. Peran batubara bisa digantikan dengan energi terbarukan, seperti geotermal, tenaga surya, ombak laut, yang sumbernya banyak dimiliki oleh Indonesia. Kita hanya butuh lahan seluas dua juta hektare membuat panel surya untuk menghasilkan listrik bagi sejumlah peralatan yang kita pakai saat ini. Seperti eter telah digantikan bahan lain, seperti propofol fentanyl, saatnya batubara digantikan energi terbarukan.

Penulis adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)


http://ekbis.rmol.co/read/2013/09/22/126456/Inikah-Senjakala-Batubara-

BeritaSatu.com: blog 2866-senja-kala-batu-bara