Selasa, 02 Juni 2015

Pius Ginting: Ide Pemerintah Bisa Merusak Alam Papua





Swasembada beras yang pernah dilakukan Indonesia telah hilang kedigdayaannya karena maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun, wacana pemerintah membuka lahan pertanian baru di Papua akan menimbulkan masalah lingkungan baru bagi keragaman hayati Papua.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/06/02/119/Pius-Ginting:-Ide-Pemerintah-Bisa-Merusak-Alam-Papua-

Senin, 01 Juni 2015

'Free for Some' - the Freeport mine

The Environment & Traditional Landowners

https://soundcloud.com/amazydaze/free-for-some-the-freeport-mine-part-1-the-environment-traditional-landowners

Part 1 of a two-part program (made in 2010 for 3CR Radio's 'Earth Matters') on the massive resource extraction operation at the heart of West Papua’s human rights and environmental tragedy. This first part looks at the huge impacts of the mine on the environment and the traditional landowners in the area where it operates.

Human Rights 

https://soundcloud.com/amazydaze/free-for-some-the-freeport-mine-part-2-human-rights

The military, the mine in the sky and its multibillion dollar blind eye - the second part of a two-part program (made in 2010 for 3CR Radio's 'Earth Matters') focuses on the mining company’s complicity in state terror carried out by Indonesian security forces over decades. Featuring music by Papuan artists courtesy of Bridie Music.

***

Freeport, Kamoro, West Papua, Abigail Abrash, John Braithwaite, John Ondawame, Pius Ginting, 
Grasberg, Amungme, Human Rights, Indonesian Military, Richard Chauvel, Kylie McKenna, Diarmid O'Sullivan, 
Bridie Music, Kwalik Chant, Mambo Simbo

Minggu, 31 Mei 2015

Jokowi Enggak Sadar Banyak Proyek Ancam Masyarakat

JOKO WIDODO/IST
RMOL. Direktur Kajian Walhi, Pius Ginting, mencibir kebijakan Presiden Joko Widodo di sektor lingkungan.

Baginya, semangat Trisakti yang diusung politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut tak ada artinya, karena hingga kini rakyat tak berdaulat di lingkungannya sendiri.

"Pak Jokowi ini, bicara terus bangun infrstuktur. Tapi, dia enggak sadar banyak proyek yang sebetulnya saat ini mengancam kehidupan masyarakat di daerah," ujarnya dalam diskusi Forum Senator Untuk Rakyat (FSuR) bertema "Hutan Indonesia di Persimpangan Nawacita" di Jakarta, Minggu (31/5).

Pius lantas mencontohkan dengan pembangunan PLTU di Batang, Jawa Tengah, di mana banyak warga sekitar kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.

"Jadi, kita bisa dapat listrik di kota besar. Tapi, yang milih bertani dan nelayan, kedaulatannya tidak dihormati. Ini yang harus diperhatikan Jokowi," jelasnya.

"Kalau mau buat proyek besar, seperti listrik 35 ribu megawatt, ya harus kaji lingkungan hidup dan masyarakat setempat," imbuhnya mengingatkan.

Jangan sampai, Pius menambahkan, proyek tersebut justru mendapat perlawanan dari masyarakat, lantaran tidak sesuai KHLS. "Jadi, kedaulatan politik dan ekonomi terwujud dalam kedaulatan warga atas ruang hidupnya," tandasnya. [rmo/tah]

http://www.rmoljakarta.com/read/2015/05/31/6405/1/Jokowi-Enggak-Sadar-Banyak-Proyek-Ancam-Masyarakat

Rabu, 13 Mei 2015

Pemerintah Dikritik Masih Gunakan Energi Kotor Dalam Proyek Listrik 35.000 MW. Kenapa?

Pemerintah secara resmi telah meluncurkan program pembangunan pembangkitan listrik 35.000 megawatt (MW) sebagai pelaksanaan program unggulan nawacita untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis khususnya kedaulatan energi.

Peluncuran program dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo dengan peletakan baru pertama Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Samas, Yogyakarta, menandai pembangunan pembangkit listrik yang lain, yaitu PLTB Sidrap, Sulawesi Selatan; PLTA (pembangkit listrik tenaga air) Kendari, Sulawesi Tenggara; PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) Grati, Pasuruan, Jawa Timur; PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat; PLTU Takalar Sulawesi Selatan; dan PLTU Pangkalan Susu, Sumatera Utara.


Kincir angin menyuplai energi untuk kebutuhan energi listrik di daerah pesisir Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando
Total ada 109 proyek pembangunan pembangkit listrik baru tersebar di 59 lokasi di Sumatera, 34 lokasi di Jawa, 49 lokasi di Sulawesi, 34 lokasi di Kalimantan dan 34 lokasi di Indonesia Timur.

Dari 109 proyek listrik 35.000 MW yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2024, PLN hanya mampu mengerjakan 35 proyek berkapasitas 10.000 MW, dan 74 proyek lainnya berkapasitas 25.000 MW akan dikerjakan pihak swasta.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dalam 5 tahun mendatang, Indonesia butuh penambahan energi listrik sebesar 35.000 MW, berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi realistis sekitar 5-6 persen per tahun dengan pertumbuhan membutuhkan listrik sekitar 7.000 MW per tahun.

Sudirman mengatakan proyek listrik 35.000 MW ini akan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, surya, biomassa dan juga angin.

Energi terbarukan menjadi pilihan utama karena sumber energi fosil seperti minyak, gas dan batubara perlahan tapi pasti akan menemui batas akhirnya. “Oleh karena itu memilih membangun energi terbarukan bukan suatu pilihan, namun suatu keharusan yang harus kita jalankan bersama,” katanya.

Pekerjaan Berat


Pengamat energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia memang harus segera membangun pembangkit listrik dengan jumlah dan kapasitas besar, karena telah mengalami defisit energi listrik sekitar 15-18.000 MW dalam 10 tahun terakhir.

“Untuk mengejar kebutuhan energi sesuai RPJMN 2015-1019, konsumsi listrik diharapkan naik dari 700 kwh menjadi 1200 kwh per kapita per tahun. Ada kenaikan konsumsi listrik sekitar 50 persen dari saat ini, sehingga harus ada pembangunan pembangkitan listrik sekitar 50 persen dari kapasitas sekarang. Tapi apakah mungkin membangun itu dalam waktu 5 tahun ke depan,” tanya Fabby.

Ini menjadi tantangan berat pemerintah, karena dari pengalaman pembangunan pembangkis listrik dalam lima tahun terakhir hanya berkapasitas 12.000 MW.

“Sedangkan proyek listrik ini 35.000 MW, berarti dua kali lipat kapasitasnya. Ini tugas berat. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi yang penting, dalam lima tahun ke depan adalah menyelesaikan berbagai PR yang selama ini mengganjal, seperti penyediaan lahan untuk pembangkitan dan transmisi. Karena lahan menjadi ganjalan utama dalam pembangunan infrastruktur,” kata Fabby yang juga Pemerhati Isu Energi Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Mengenai komitmen pemerintah untuk menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, dia menegaskan pengembangan energi terbarukan menjadi keniscayaan, meski dalam RPJMN, target peningkatan bauran energi hanya 5 persen.

Hal ini juga terkait dengan pendanaan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan bahan bakar batubara. Pembiayaan pembangkit listrik dengan bahan bakar dari minyak dan batubara akan sulit didapatkan dari pendanaan internasional , karena beberapa negara maju telah berkomitmen untuk tidak berinvestasi pada bahan bakar berbasis fosil.

“Beberapa minggu lalu, pemerintah Amerika memutuskan tidak lagi memperbolehkan investasi untuk batubara. Perusahaan Norwegia juga menyatakan tidak berinvestasi di batubara,” katanya.

Penggunaan bahan bakar berbasis fosil untuk pembangkitan listrik juga bakal menimbulkan dampak lingkungan termasuk emisi gas rumah kaca (GRK) yang mempengaruhi komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi.

Sedangkan Greenpeace Indonesia menyayangkan pemerintahan Jokowi-JK yang masih mendasarkan bahan bakar fosil untk pembangkitan listrik, terlihat dari 60 persen proyek listrik 35.000 MW masih berupa PLTU berbasis batubara.

Arif Fiyanto Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia harus belajar dari pengalaman dimana PLTU yang beroperasi menimbulkan dampak buruk lingkungan dan hilangnya mata pencaharian petani serta nelayan, seperti di Cilacap, Jepara dan Cirebon.

“PLTU batubara juga bertanggung jawab terhadap meningkatnya masalah penyakit yang terkait pernapasan, seperti yang dialami warga sekitar PLTU Cilacap dan Jepara,” kata Arif.

Target kedaulatan energi pemerintah Jokowi harus diterjemahkan dengan langkah kongkrit mendorong pengembangan energi terbarukan. “Langkah Jokowi meluncurkan proyek 35.000 MW di daerah rencana pembangunan PLTB di Pantai Samas, Bantul seharusnya jadi simbol, bahwa Jokowi akan memimpin revolusi energi di Indonesia. Menghentikan ketergantungan terhadap batubara dan beralih ke energi terbarukan,” tambahnya.

Sedangkan Walhi mendorong pemerintah untuk mengurangi porsi PLTU dalam proyek listrik 35.000 MW karena membahayakan kesehatan masyarakat. PLTU sendiri sudah tidak populer di Amerika, Jerman, China dan Jepang.

Keberadaan PLTU juga berdampak bagi daerah penghasil batubara seperti Sumatera dan Kalimantan, karena akan memperbesar produksi batubara sehingga lebih jauh merusak lingkungan.

“Di Kalimantan dan Sumatera dimana Batubara disuplai dari daerah tersebut namun mereka sendiri kekurangan energi. Padahal energi berbasis lokal dan kondisi alam di daerah tersebut bisa dikembangkan untuk memberikan pasokan energi untuk masyarakat di pelosok sekalipun,” kata Manajer Kajian Walhi Nasional, Pius Ginting.

Padahal banyak sumber energi terbarukan seperti air dan angin yang bisa dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan. Dan sebagai negara kepulauan dengan panjang pesisir kedua di dunia, menjadi potensi energi terbarukan yaitu angin yang cocok dikembangkan di daerah terpencil.


Jay Fajar dan Tommy Apriando

http://www.mongabay.co.id/2015/05/13/pemerintah-dikritik-masih-gunakan-energi-kotor-dalam-proyek-listrik-35-000-mw-kenapa/

Jumat, 01 Mei 2015

Hadapi Eksploitasi Lingkungan, Pemerintah Masih Mandul



KBR, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai Pemerintahan Joko Widodo belum mampu mengatasi persoalan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Direktur Kajian WALHI, Pius Ginting memaparkan, hingga enam bulan masa pemerintahannya, pemerintah belum juga mampu menurunkan eksploitasi berlebihan yang kerap dilakukan perusahaan. Ia mencontohkan alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan lahan perkebunan sawit.

"Salah satu persoalan lingkungan hidup di Indonesia adalah akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dan ini masih menjadi persoalan hingga kini dan masih belum teratasi dengan baik. Misalnya fenomena mengenai beras impor. Itu tidak terlepas lantaran banyaknya lahan kita yang dialokasikan untuk perkebunan monokultur, semisal perkebunan sawit. Sehingga tidak terjadi diversifikasi pangan," katanya.

Ia menambahkan, selain di sektor hutan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan juga terjadi di sektor pertambangan. Hal ini mengakibatkan lahan milik masyarakat terdegradasi dengan kepentingan pengusaha di sektor tersebut. Sementara itu ia meyakini, semakin banyak lahan yang dieksploitasi bakal mengancam kehidupan masyarakat dan menimbulkan bencana lingkungan.

http://portalkbr.com/nusantara/05-2015/hadapi_eksploitasi_lingkungan__pemerintah_masih_mandul___/71578.html

https://soundcloud.com/audiokbr/hadapi-eksploitasi-lingkungan-pemerintah-masih-mandul

Selasa, 14 April 2015

Indonesia Stakes its Future on Coal




By: Pius Ginting, Head of Research, WALHI/Friends of the Earth Indonesia

In 2014, for the first time in 17 years, Indonesia’s coal production declined. After an average annual increase in production of 14% per year over the past decade, last year’s production fell by 39 million tonnes, or 8% compared to 2013. This decrease was significant, equivalent to the cessation of operations of the third largest mining company in Indonesia.

Reduction in the use of coal for energy is now occurring in the United States and China due to environmental considerations. China has begun to reduce imports of coal and is decreasing coal generation due to air pollution concerns Last year, for the first time ever, coal use in China actually decreased by 1.4% while the economy grew by 7.3%. This decoupling of coal growth with economic growth is hugely significant in the country which has accounted for 80% of global demand growth since 2000.

Analysts such as Tim Buckley of the Institute for Energy Economics and Financial Analysis have pointed to how the massive shifts that are currently happening in China’s energy markets are likely to result in peak coal in China over the next five years, and a steady decrease in imports. This, combined with the changes that are happening in India’s energy markets, point to a structural decline in the seaborne thermal coal market. With the market heavily oversupplied, and coal prices low, continuing to rely on coal exports makes no economic sense for Indonesia.

This is even more apparent when you look at the health impacts of the current coal mining boom in Indonesia. Indonesian coal mining provinces such as South Kalimantan, East Kalimantan, South Sumatra and Bengkulu have reported high numbers of acute respiratory tract infections. Unfortunately, there is an absence of regular reporting on health impacts of coal dust. According to the World Health Organisation, 7 million deaths occur each year due to air pollution. There is evidence in other countries of the health impacts of coal mining on surrounding communities.

Yet instead of addressing these issues, Indonesia’s new President Joko Widodo is staking the country’s future on a massive increase in coal-fired generating capacity. The government has announced plans to add 42,000 MW of new electricity capacity to the grid by 2024, around half of which would be from coal.

Currently, Indonesia is the world’s third largest emitter of greenhouse gases in the world, due to deforestation. However, the National Council on Climate Change has stated that if coal fired generation increases at the rate predicted by the President, greenhouse gas emissions will exceed those from the forestry sector by 2030, threatening to wipe out any gains in the forestry sector.

Luckily, President Jokowi’s targets for expansion of coal fired generation capacity seem completely unrealistic. In 2006, Indonesia’s first “fast track” program to expand capacity by 10,000 MW is still mired in delays, with only 60% completed to date. However, by having an energy policy driven by coal, renewable energy will be hampered in the country, and will send Indonesia in the opposite direction to most of the rest of the world. To achieve its targets, the electricity utility PLN needs $90 billion in investment. Raising this amount of money will not be easy.

In 2015 the government still gives subsidies of $5.2 billion per year to PLN. It is ironic from the environmental perspective that the Jokowi Government has eliminated oil fuel subsidies, but continues to give subsidies for coal plant construction. The government is also supportive of building coal infrastructure such as coal railways in Central Kalimantan and South Sumatra that would open up huge new tracts of land to coal mining.

If the government does indeed increase the share of coal in the power mix from 54% in 2014 to 64% in 2019, then Indonesia will need a total of 200 million tonnes of coal per year, an increase of almost 120 million tonnes per year.

A ray of hope is coming from the Corruption Eradication Commission (KPK), who in 2014 teamed up with the Ministries of Forestry, Environment and Transportation and the Tax Directorate to conduct an investigation of all locally-issued mining permits in 12 provinces of Indonesia, including five provinces with large coal mining operations – South Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan, and South Sumatra and Jambi.

The KPK is working with local and provincial governments to investigate compliance surrounding issues such as payment of taxes and royalties, post-mining reclamation, forestry, and the use of legal or illegal ports. As a result, the program has resulted in the revocation of 34 coal mining licenses in East Kalimantan and 58 in South Sumatra. There is also a similar process being undertaken for nationally-issued licenses to the big mining companies, called Coal Contracts of Work.

Exerting government control over the legality of coal mining operations and stopping illegal coal shipments can be a first step towards reduction of coal production and towards sustainable economic development and renewable energy. However, the government must also develop a renewable energy strategy with appropriate incentives to massively scale up investment in renewable energy, to avoid the massive pollution that will inevitably come from a suite of new coal plants.


http://endcoal.org/2015/04/indonesia-stakes-its-future-on-coal/

http://tcktcktck.org/2015/04/pius-ginting-indonesia-stakes-its-future-on-coal/

Jumat, 06 Februari 2015

NASIB ENERGI TERBARUKAN DI BAWAH PEMERINTAHAN JOKOWI

UNTUK pertama kalinya sejak tahun 1997, pada tahun 2014 Indonesia alami penurunan produksi batubara. Setelah kenaikan produksi rata-rata 14% per tahun dalam rentang tahun tersebut, produksi tahun lalu turun 39 juta ton, atau 8% dibanding tahun 2013. Penurunan ini signifikan, setara dengan berhentinya kegiatan operasi perusahaan tambang terbesar ketiga di Indonesia.

Pengurangan penggunaan batubara sebagai sumber energi telah dilakukan di Amerika Serikat dan China karena pertimbangan kualitas lingkungan hidup. China mulai mengurangi impor batubara, dan sejak tahun 2014, melarang pembangunan PLTU Batubara di sekitar tiga kawasan ekonomi penting, Beijing, Shanghai dan Guangzhou karena alasan pencemaran udara. Sepuluh dari 34 provinsi China membuat komitmen akan mengurangi penggunaan batubara pada tahun 2017, dan melarang pembangunan PLTU batubara di kawasan tersebut (Greenpeace).

Daerah tambang batubara Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Bengkulu telah melaporkan tingginya penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Disayangkan tidak adanya laporan teratur dampak kesehatan akibat debu batubara. Laporan WHO menyebutkan, terjadi 7 juta kematian setiap tahun karena pencemaran udara. Umumnya di negeri berkembang.

Dr Carlos Dora, Kordinator Kesehatan Publik, Lingkungan dan Faktor Sosial Kesehatan WHO menyatakan, pencemaran udara berlebih seringsebagai hasil sampingan kebijakan tak berkelanjutan, termasuk sektor energi. Dalam sebagian besar kasus, strategi lebih sehat akan lebih ekonomis dalam waktu jangka panjang karena berkurangnya ongkos kesehatan dan tercapainya perbaikan iklim.” Penelitian Dewan Nasional Perubahan Iklim ungkapkan emisi gas rumah kaca sektor energi di Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar, akan melebihi emisi sektor kehutanan pada tahun 2030.

Momentum penurunan harga batubara sebaiknya dipakai Pemerintahan Jokowi mengurangi produksi batubara demi perbaikan lingkungan hidup dan kesehatan warga di sekitar tambang dan pembangkit listrik batubara. Kendati 85% batubara Indonesia saat ini diekspor, peningkatan batubara untuk kebutuhan dalam negeri dalam situasi global saat ini bukanlah kebijakan progresif. Saat teknologi pembangkit batubara kini mulai ditinggalkan negara lain, khususnya di Asia Timur, maka akan jadi pasar teknologi disertai fasilitas pinjaman.

Program pembangkit listrik 35.000 MW dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dengan 65% berasal dari pembangkit listrik batubara memperlambat Indonesia menuju pengembangan energi terbarukan. Untuk mencapai target tersebut, PLN perlu dana sebesar 545 trilyun rupiah selama empat tahun ke depan. Pada tahun 2015 pemerintah masih mensubsidi PLN sebesar 68,6 trilyun rupiah.

Adalah ironis bila pencabutan subsidi bahan bakar minyak yang dilanjutkan Pemerintahan Jokowi lalu dialihkan untuk pembangunan pembangkit dan infrastruktur batubara, seperti pembangunan rel kereta api batubara Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan.

Peningkatan sumbangan batubara bagi bahan bakar pembangkit listrik dari 54% pada tahun 2014 menjadi 64% pada tahun 2019, menciptakan kebutuhan tambahan 200 juta ton batubara setiap tahunnya membuat Indonesia kian tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya; seperti Filipina, pada tahun 2012 telah mencapai 41% energi dari sumber terbarukan.

Secercah harapan didapatkan dari langkah KPK dalam program Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara selama tahun 2014. Program penertiban perizinan, pembayaran pendapatan negara dari tambang tersebut telah berdampak bagi pencabutan izin tambang batubara disejumlah provinsi. Di antaranya 34 di Kalimantan Timur, 58 di Sumatera Selatan. Penertiban perusahaan tambang batubara, pengapalan ilegal dapat menjadi langkah awal pengurangan produksi batubara, menuju pengembangan ekonomi berkelanjutan dan energi terbarukan. [***]

Pius Ginting
Kepala Unit Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)