Rabu, 23 Januari 2008

Maksimalisasi Kekuatan Masyarakat Sipil

Tak dapat lagi kita menutupi kenyataan, permasalahan sosial yang terus masih tetap memburuk menimpa kehidupan masyarakat bawah/miskin, yang sejatinya menjadi ruang hidup organisasi-organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi massa, yang kini sering juga disebut dengan Civil Society Organization (CSO). Permasalahan ekonomi dan sosial yang meluas bersamaan dengan struktur pemerintahan yang memastikan berjalannya mekanisme demokrasi yang juga belum berdiri kokoh. Berkaitan dengan agenda penguatan masyarakat sipil, tak dipungkiri, militerisme, yang terbangun selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, belum sepenuhnya berhasil terbersihkan dari jalan raya demokrasi.

Pemilu multipartai sudah berlangsung dua kali, pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung telah pula diselenggarakan. Namun, struktur militer sebagai penyokong utama militerisme di dalam wilayah masyarakat sipil masih merupakan hambatan untuk peningkatan kualitas demokrasi, keberadaan lembaga teritorial yang kokoh berdiri dan tak tersentuh oleh arus perubahan reformasi, membuat pengaruh kekuatan militer terhadap kekuasaan trias politika (ekskutif, legislatif dan yudikatif) dan juga ke dalam wilayah-wilayah masyarakat sipil masih dominan dan tidak bisa dipungkiri. Paling tidak, dengan struktur yang demikian, dia menjadi variabel yang harus diperhitungkan oleh pemerintahan yang sipil sekali pun dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, ditambah lagi dengan dampak sosiologis dan psikologi yang tercipta selama masa kekuasaan Orde Baru.

Kalau disepakati, di samping militerisme, problem pokok yang sekarang sangat dihadapi kehidupan mayoritas rakyat sipil adalah globalisasi berserta ekses-eksesnya, primodialisme/feodalisme yang kadang mencuat dalam bentuk konflik horizontal di dalam masyarakat, dan ketidakpatutan-ketidakpatutan lembaga negara (korupsi, mempermainkan hukum demi kepentingan penguasa). Kesemua ini memberi akibat yang merugikan bagi semua kelompok sosial—semua sektor, ras, dan gender.

Agar tidak menjadi ahistoris, proses ini tidak terlepas dari sejarah negara dunia ketiga pasca-pembebasan kolonial, yang secara secara internal, belum menghasilkan pemerintahan yang secara organik berasal dari rakyat, yang senapas dengan penderitaan rakyat, dan berupaya keras demi kemajuan rakyat dan demokrasi, dan secara eksternal belum sepenuhnya berhasil menempatkan relasi Selatan-Utara dalam posisi yang seimbang, bekerja sama demi kemajuan, keadilan sosial dan perdamaian dunia.

Proses yang belum selesai ini menghasilkan pemerintahan yang bertentangan dengan basis sosialnya. Indonesia yang pernah bisa melakukan relasi dan sikap politik yang independen pada tahun 1949-1965, kini menjadi menjadi tergantung, sehingga pemerintah berkali-kali melakukan kebijakan yang kontroversial, seperti privatisasi, pencabutan subsidi yang merupakan bagian kebijakan arus utama ekonomi neoliberal, di dalam penyelenggaraan negara yang belum sepenuhnya demokratis. Karena kontradiksi ini, tidak heran penerimaan rakyat terhadap pemerintahan yang baru naik tidak berlangsung lama. Dalam periode yang singkat sudah medapatkan resistensi-resistensi dari basisnya, dan tidak sedikit pemerintahan ini kemudian terjatuh oleh perlawanan rakyatnya akibat dampak-dampak kebijakan globaliasi dan neoliberal yang diterapkan, seperti banyak terjadi di negara Amerika Latin.

Semenjak tahun 1970-an muncul lah institusi yang kini dikenal sebagai Lembaga Sosial Masyarakat, yang melakukan advokasi, pengorganisiran dan penelitian-penelitan permasalahan sosial. Sepanjang tahun 1970-1990-an gerakan ini memainkan peran di dalam advokasi, mobilisasi meliputi berbagai sektor, ras, region terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyat, yang berbenturan langsung dengan modal bertaut dengan intrumen negara yang represif. Pembangunan organisasi massa di lapangan rakyat sipil dilakukan; namun, terdapat satu warna yang umum: menjaga jarak terhadap alternatif yang bersifat politis. Ilusi yang ditanamkan oleh penguasa Orde Baru secara sadar atau tidak sadar, dimamah biak oleh lembaga swadaya masyarakat. Walau kerap berhadapan dengan negara, watak perjuangannya tidak politis. Ketika permasalahan rakyat telah akut dan berlarut-larut tidak banyak yang memiliki agenda penggantian terhadap kekuasaan yang ada dan menawarkan solusi alternatifnya, termasuk sistem alternatif yang ditawarkan. Tentu dengan perjuangan seperti ini menghasilkan output perjuangan yang berbeda pula.

Dengan menjauhkan rakyat dari alternatif perjuangan dan organisasi yang bersifat politis, membuat basis pengorganisiran tidak membuahkan masyarakat sipil yang kuat. Perjuangan menjadi fragmentatif, mayoritas terjebak kepada pemenuhan tuntutan yang mendesak yang dihadapi (advokasi kasus), tidak berkemampuan membangun wadah organisasi yang mampu merespon berbagai permasalahan, dan juga memiliki visi ke alternatif pembangunan kekuatan masyarakat sipil dan demokrasi. Ini terlihat dari warisan massa mengambang yang diplot oleh Orde Baru, tidak berhasil diselesaikan. Maraknya pengaruh politik uang, mobilisasi pemilih lebih kepada pencitraan yang lewat media, bukan berdasarkan program dan pengamatan historis perjuangan partai yang dipilih, yang kini banyak dikeluhkan para intelektual, adalalah termasuk konsekuensi perjuangan yang diambil sebelumnya. Dengan metode pemberdayaan masyarakat sipil seperti ini, tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan basinya dan kualitas demokrasi yang diambil. Kualitas politik basis massa rakyat membentuk kualitas sistem demokrasi. Namun pengalaman di lapangan, sering pembicaraan tentang alternatif politik ini dihindarkan, dan sehingga mereproduksi gambaran politik yang mekanik dan vulgar: sebatas dukung-dukungan semata, wilayah pertarungan kepentingan yang sempit.

Kejatuhan Suharto, secara internal akibat gerakan mahasiswa yang kemudian meluas menjadi perlawanan seluruh rakyat, membuktikan kemampuan gerakan rakyat sipil yang sudah berwatak politis. Walaupun banyak mahasiswa berpuas diri menggambbarkan perjuangan mereka semata perjuangan moral semata, namun tidak bisa diingkari mereka telah memasuki wilayah pertarungan politis. Tujuan dan hasrat perjuangan bukan lagi advokasi dalam batas-batas domain kekuasaan Suharto, namun melihat Suharto itu sendiri sebagai sumber masalah yang memberati kehidupan rakyat. Gerakan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari resultan perlawanan masa-masa sebelumnya. Dari sini sudah terlihat empiris, hanya gerakan yang memiliki karakter perjuangan keluar dari domain kekuasaan dan sistem yang ada sanggup membawa perubahan, dan tentu juga menuntut syarat lainnya, seperti keikutsertaan massa rakyat yang luas dalam perubahan.

Dari penelitian yang beberapa waktu lalu dilakukan oleh Demos yang melibatkan responden 350 aktivis dari berbagai kota, terlihat baik organisasi masyarakat sipil maupun lembaga swadaya masyarakat, mengalami keberjarakan dengan massa rakyat, yang seharusnya menjadi basisnya. Sehingga mengutip istilah Gramsci, mereka tidak menjalankan peran sebagai intelektual organik.

Ini tentu membuat kelemahan bagi kedua-duanya, terhadap lembaga swadaya masyarakat dan massa rakyat. Bagi lembaga swadaya masyarakat, keberadaan seperti ini tidak mampu melakukan agenda perubahan dalam rangka memperkuat posisi masyarakat sipil dan peningkatan kualitas demokrasi. Bagi massa rakyat, dia kehilangan salah instrumen pembantu yang sebenarnya memiliki syarat-syarat yang modern.

Tantangan bagi kita yang berkutat dalam lembaga masyarakat sipil untuk melakukan perbaikan, apakah kita bisa melakukan perubahan di dalam sejarah. Tidak lagi terfragmentatif berdasarkan wilayah profesionalitas masing-masing, tidak terjebak dalam merespon isu-isu yang mendesak semata, namun juga memiliki visi alternatif kedepan, dan tidak terjebak dan mereproduksi gambaran politik yang vulgar dan mekanik. (pius tumangger)

Tulisan ini dibuat pada tahun 2004, namun kelihatannya masih relevan dengan situasi sekarang.