Jumat, 08 Agustus 2008

Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup!!!

Oleh: Pius Ginting
Officer Publikasi Eksekutif Nasional WALHI


Pengelolaan Persampahan:
Menuju Indonesia Bebas Sampah (Zero Waste )


Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari.

Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.


Jenis Sampah


Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 (dua) yaitu, sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur dan lain-lain. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.


Alternatif Pengelolaan Sampah


Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.

Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.

Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.

Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.



Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah


Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktikkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.

Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.


Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)


Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.

Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.

Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.

Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.


Produksi Bersih dan Prinsip 4R


Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah:

Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:

Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.

Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.

Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.

Replace (Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.

http://pojokhse.blogspot.co.id/2008/08/mengelola-sampah-mengelola-gaya-hidup_28.html

http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/peng_sampah_info/?&printer_friendly=true

Kamis, 07 Agustus 2008

Warisan Orde Baru dalam Pertambangan: Mengundang Modal Memperkosa Alam

Palang-palang penghambat modal asing itu dihapuskan oleh pemerintahan Soeharto. Setelah menghilangkan kekuatan politik yang tidak bersahabat dengan modal, agenda selanjutnya adalah menghapus regulasi penghambat. Beberapa saat sebelum kejatuhannya, pemerintahan Sukarno mengeluarkan Undang-undang (UU) No.16 Tahun 1965, dalam salah satu pertimbangannya menyatakan “bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terus menerus penghisapan atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila”. Seperti siang berganti malam, regulasi ini digantikan dengan UU Penanaman Modal Asing No 1 Tahun 1967, yang membukakan pintu bagi masuknya modal asing kembali. Masih bertanda-tangan Soekarno, tertanggal 10 Januari 1967, namun penguasa Orde Baru secara riil telah mengendalikan arah kebijakan negara semenjak 11 Maret 1966. Undang-undang penarikan diri dari Dana Moneter Internasional (IMF) – salah satu pertimbangannya menyatakan IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) merupakan konsentrasi kapital dari kaum neo-kolonialis dan imperialis yang mengutamakan kepentingan golongannya dari pada anggota-anggotanya yang termasuk negara-negara yang baru merdeka dan belum berkembang ekonominya – digantikan dengan UU No 9 Tahun 1966 tentang masuknya kembali Indonesia menjadi anggota IMF dan IBRD.

Dalam bidang pertambangan, UU Prp 37 tahun 1960 yang menetapkan bidang tambang tertutup bagi modal asing, dinyatakan tidak berlaku lagi; digantikan oleh UU No 11 Tahun 1967 yang membukakan pertambangan bagi modal asing.

Segera setelah Suharto mengkonsolidasikan kekuataannya, sebuah delegasi dikirim menghadiri sebuah konferensi luar biasa di Jenewa, bernama “To Aid in the Rebuilding of A Nation”, November 1967. Delegasi pemerintah Orde Baru menghadap partisipan kapitalis yang paling berkuasa, dipimpin oleh David Rockefeller. Selama tiga hari, ekonomi Indonesia dibagi-bagi, sektor demi sektor. Sebuah konsorsium Amerika dan Jepang menguasai nikel Papua, perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, Perancis mendapatkan hutan. (John Pilger, 2002). Namun sebelum itu, yang terbesar di antaranya adalah sebuah pengunungan tembaga dan emas, telah jatuh kepada perusahaan pertambangan Amerika Serikat (AS), Freeport-Mc Moran, dimana Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, kemudian menjadi salah satu petingginya.


Pemberian terbesar bagi Investor


Lalu mulailah angan-angan mencapai kemakmuran lewat pembangunan itu dijalankan. Eksplorasi penambangan Ertsberg dimulai pada Desember 1967. Secara resmi dibuka oleh Soeharto pada Maret 1973. Kawasan Ertsberg selesai ditambang pada tahun 1980-an dengan mewariskan lubang sedalam 360 meter. Sejak tahun 1988, PT Freeport mulai mengeruk cadangan lainnya, Grasberg. Pada tahun 2005 telah menimbulkan lubang utama bergaris-tengah 2,4 km, meliputi daerah seluas 449 ha, dengan kedalaman 800m. Diperkirakan sebanyak 18 juta ton cadangan tembaga, 1.430 ton cadangan emas akan dikeruk hingga penutupan tambang 2041.

Namun hal itu disertai dengan konsekuensinya kerusakan lingkungan yang besar. Hingga tahun 2005, limbah batuan dan tailing (limbah tambang berbentuk lumpur dari proses pengolahan bijih) yang dibuang oleh PT.Freeport Indonesia mencapai 2 milyar ton. Sejak tahun 1995, limbah tailing sebanyak 100 ribu ton hingga 220 ribu ton dibuang setiap harinya.

Kehidupan masyarakat di sekitar lokasi yang sangat tergantung kepada kemurahan alam, menjadi terganggu. Ruang penghidupan suku-suku yang terdapat di pengunungan tengah Papua bertambah sempit. Muara Sungai Ajkwa yang memiliki nilai ekonomi penting bagi penduduk lokal hancur akibat timbunan tailing. Pengujian atas contoh-contoh tanaman lokal yang tumbuh kembali di atas tailing menunjukkan tingginya kadar beberapa racun logam seperti Selenium, Pb, Arsen, seng, mangan, dan tembaga.

Penduduk pun beralih dari pekerjaan semula ke pekerjaan beresiko tinggi, yakni mengais emas di lokasi pembuangan tailing PT FI. Konflik pun mewarnai hubungan antara PT FI dengan warga sekitar. Sebagian besar jalur penyelesaiannya adalah lewat pembunuhan dan kekerasan, bukan pengadilan. Sepanjang tahun 1994-1995 saja, tercatat terjadi pembunuhan terhadap 44 orang dalam beberapa kejadian.

Warisan Soeharto, menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan, terus terjadi setelah reformasi. Pada tahun 2006, aksi penertiban berhadapan perlawanan warga. PT FI terpaksa menghentikan operasinya; di pihak lain, sebanyak 20 hingga 36 warga meninggal karena terseret banjir dan tertimpa longsor, dalam upaya melarikan diri dari penertiban Brimob pengawal PT FI.

Bila Richard Nixon, Presiden AS, pernah mengungkapkan Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara, maka kekayaan mineral di kawasan Pegunungan Tengah Papua ini mungkin menjadi pemberian terbesar pemerintahan Orde Baru bagi investor asing. Sebaliknya, penduduk asli menilai kekayaan alam itu telah menjadi kutukan. Kantong-kantong kemiskinan berada di kawasan konsesi pertambangan PT.FI, mencapai angka di atas 35%. Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) Papua Barat menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia Papua (memuat kriteria angka kematian ibu hamil dan balita karena kekurangan gizi) berada di urutan 29, data tahun 2005, tidak kunjung membaik dibandingkan dengan peringkat tahun 27 pada tahun 1999.


Memanjakan investasi dengan lemahnya kebijakan lingkungan hidup


Kemurahan bagi investor juga tampak dalam perlakuan pemerintah terhadap PT. Newmont Minahasa Raya. Kontrak Karya (KK) PT NMR disetujui tanggal 6 November 1986, oleh Presiden Soeharto, bersamaan dengan 33 naskah kontrak karya lainnya. Wilayah konsensi dalam Konrak Karya meliputi 527.448 hektar di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Garapan PT.NMR menduduki peringkat ke 6 terbesar di Indonesia dengan total cadangan emas sekitar 65 ton. Setelah memperoleh emas, sebanyak 2.000 ton tailing disalurkan ke dasar perairan Teluk Buyat. Ameriksa Serikat, negeri asal perusahaan ini tidak mengizinkan pembuangan tailing ke laut. Toleransi pembuangan tailing ke laut dengan syarat ditimbun di bawah lapisan termoklin, sebuah karakteristik lapisan air laut pada kedalaman tertentu yang diharapkan bisa menahan massa tailing tidak menyebar, ternyata belum cukup. Akibatnya, limbah itu menyebar dan mencemari wilayah Teluk Buyat.

Jika saja pipa pembuangan tersebut dibuat beberapa mil lebih panjang, maka limbah akan tertumpuk di laut dalam, dan mengurangi secara drastis potensi pencemaran, kata Jim Kuiper, seorang konsultan teknik (www.motherjones.com). Metode tersebut menelan biaya setidaknya $15 juta, Dan, Newmont Minahasa Raya memilih untuk tidak melakukannya.

Pencemaran itu membuat lahan pencarian masyarakat terganggu. Ikan-ikan ekonomis bagi warga berhilangan, dan beberapa hasil tangkapan menampilkan ciri-ciri keracunan logam berat.

Hal kontroversial itu terjaga selama masa pemerintahan Soeharto dan tidak menjadi perhatian luas. Pada masa Orde Baru, persetujuan Amdal perusahaan tambang lebih ditentukan oleh Departemen Pertambangan dan Energi. Amdal sebagai palang pintu agar tidak terjadi pencemaran dengan mensyaratkan penerapan sistem dan teknologi yang ramah lingkungan, tidak bisa menjadi jaminan bagi operasi yang memperhatikan lingkungan. “Kami tidak bisa ngomong banyak soal Amdal dari kontrak karya perusahaan tahun 1980-an. Pada masa itu, boro-boro kami bisa intervensi," kata Imam Hendargo Abu Ismoyo, dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Keadaan berubah setelah Soeharto tidak berkuasa. Penetapan Komisi Amdal satu pintu di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut mensyaratkan penanggung jawab usaha yang melakukan pembuangan ke laut wajib harus mendapat izin Menteri Lingkungan Hidup. PT NMR pun tidak terkecuali. Hingga tambang NMR berhenti beroperasi tahun 2004, perusahaaan tersebut tidak kunjung memperoleh izin itu karena Ecological Risk Assessment (ERA) yang dibuat tidak memadai.

Di samping membuang tailing ke laut, Newmont Minahasa Raya juga melepas merkuri ke udara. Jumlahnya sekitar 17 ton sepanjang tahun 1996 hingga 2001 (NYT,22/12/04); atau setara dengan yang buangan 15 buah hingga 20 buah PLTU berbahan bakar batu bara, kata Glenn Miller, ahli merkuri dari University of Nevada. Kejadian tersebut terjadi di bawah pengawasan yang tidak efektif dari pemerintah. Petugas pengawas dari DESDM (sebelumnya Departemen Pertambangan dan Energi) bahkan tidak tahu menahu tentang pembuangan merkuri, sebagaimana dia ungkapkan di PN Jakarta Selatan.

Penambangan emas meninggalkan lubang-lubang, terluas di antaranya mencapai 5 kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman 135 m. Lubang paling besar itu tidak akan ditutup, karena tidak ada keharusan bagi perusahaan menutupnya, demikian pernyataan salah satu staf perusahaan (Kompas, 7/12/07).


Sejarah berulang di tengah lingkungan makin parah


Pemerintahan Soeharto mengundang modal dengan memberikan banyak kemudahan. Di awal kekuasaannya, demi membangun kekuatan ekonomi politiknya, Soeharto merelakan Freeport membuat kontrak setelah usulan kontrak dari pemerintah ditolak oleh perusahan tersebut. Paska reformasi, dengan krisis ekonomi yang masih terus terjadi, cadangan devisi negara yang banyak terkuras membayar hutang warisan Orde Baru, maka pemerintahan yang ada makin nekad dalam mengobral sumber daya alam bagi investasi.

Maka konflik perusahaan pertambangan dengan masyarakat yang terdesak ruang hidupnya terus terjadi. PT. Nusa Halmahera Mineral melakukan penebangan di hutan lindung Toguraci, konfliknya dengan warga berekses pada kematian Rusli Tungkapi (salah seorang warga) akibat ditembak Brimob; Warga Dayak Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco Jaya Agung; Aurora Gold dari Australia, mencemari lingkungan, melanggar HAM dan, merampas tanah dan tambang rakyat (suku Dayak Siang, Murung, Bakumpai di Kalimantan Tengah) adalah beberapa di antaranya.

Sungguh, dampak industri pertambangan terhadap lingkungan telah menimbulkan biaya mahal selama 32 tahun pembangunan Orde Baru. Sumber daya alam yang tercipta lewat proses alam jutaan tahun dikuras dalam waktu puluhan tahun menjadi keuntungan perusahaan tambang, meninggalkan persoalan lingkungan yang besar, kini dan masa yang akan datang. Ongkos yang timbul dari degradasi tanah, tercemarnya perairan, polusi udara tidak pernah menjadi biaya variabel bagi perusahaan.

Sejarah terulang, dan menimbulkan kecemasan dan penderitaan. Setelah pemerintahan Orde Baru, selanjutnya pemerintahan Megawati mengeluarkan Perppu No.1/2004, memperbolehkan 13 perusahaan tambang menambang di kawasan hutan lindung; kini Pemerintahan SBY mengeluarkan PP No.2 Tahun 2007, yang lebih ekstensif dari Perppu di atas.

Kita membutuhkan paradigma baru tentang tata pemerintahan serta sistem ekonomi baru yang tidak mengejar pertumbuhan, namun memperhatikan keberlangsungan kehidupan. Bisakah sumber daya alam dikelola secara demokratis melibatkan partisipasi masyarakat? Mengapa tidak melakukan penentuan pendapat (referendum) bagi masyarakat yang terkena dampak sebuah pertambangan yang bakal dibuka? (pius ginting)

***