Senin, 28 Januari 2013

Revolusi Ekologis Jakarta Atasi Banjir

Banjir 2013 di Jakarta kian cuatkan bahwa pengelolaan Jakarta tak bisa diatasi seperti sebagaimana biasanya. Saat krisis, manusia dituntut memberikan solusi mendasar. Budaya metropolitan ciptakan keterputusan semu manusia dan alam. Seakan semua hubungan manusia kota dan alam bisa dimediasi dengan sarana yang diberikan pasar. Masyarakat kota seakan kebal relatif terhadap perubahan musim, karena persediaan produk alam seperti pangan tersedia di pasar besar atau mall. Bagi kota, kala musim kemarau atau hujan parah menimpa sebuah daerah pemasok, persediaan relatif bisa digantikan dengan pasokan daerah lain. Bahkan mengimpor. Variabilitas musim dianggap hanya gangguan kecil.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Sementara bagi masyarakat pedesaan, seperti petani kecil dan nelayan, alam ibarat plasenta bagi kehidupan mereka. Siklus alam sangat mempengaruhi. Bila kemarau terjadi, bukan tak mungkin kelaparan menimpa petani. Bila air terlalu banyak, kegagalan penen jarang tergantikan produk impor. Dan, nelayan kita, umumnya menggunakan kapal kecil, sangat dipengaruhi besar ombak dalam membuat keputusan melaut atau tidak.

Banjir cuatkan kesadaran bahwa kota tidak bisa selamanya terlepas dari daya dukung alam. Banjir adalah ketidaknormalan pada siklus air pada akhirnya mengganggu manusia, dalam bentuk kerusakan properti bahkan menghilangkan nyawa. Sulit membayangkan konsep banjir bila tak terkait dengan gangguan yang dialami manusia. Sehingga persoalan ekologi dan manusia menjadi satu. Persoalan banjir ini umumnya diatasi dengan membangun infrastruktur agar siklus air tidak merugikan, bahkan mendukung kehidupan manusia.

Pertambahan penduduk kota sebabkan sarana alami seperti daya resap tanah, daya hambat akar tumbuhan, sungai, bentang alam berupa cekungan (situ) tak memadai menjaga siklus air agar tak mengganggu. Parahnya, fasilitas alami ini mengalami kerusakan dan kemusnahan saat kota kian membesar. Semua metropolitan dunia pernah alami persoalan siklus air ini dalam bentuk banjir parah. Seperti London (1828), New York (1972, 2012), Amsterdam (1953). Namun negara Utara ini mampu membangun fasilitas memadai, agar kejadian banjir tak berulang dalam waktu lama. Seperti anggaran pemulihan biaya Badai Katrina di AS sebesar 106 milyar dollar AS.

Infrastuktur ini menuntut pemutakhiran besar-besaran dan dalam jangka panjang (25 tahun). Bisa saja tak memadai seiring dengan memburuknya dampak perubahan iklim. Sementara itu, metropolitan negara Selatan seperti Jakarta menghadapi persoalan banjir dengan keterbatasan pendanaan dan teknologi agar persoalan banjir berulang (2002,2007,2013) tak terjadi. Banjir perkotaan adalah fenomena krisis ekologi. Krisis ini kian jelas bila dilihat pada siklus unsur nitrogen, dan fosfor dalam hubungan kota dan desa.


Krisis Ekologi Kota Dilihat dari Siklus Nitrogen dan Fosfor


Dalam relasinya, kian besar kota, kian membutuhkan pengorbanan desa sekitarnya dalam bentuk pasokan pangan dan kebutuhan produk alam lainnya. Metropolis dunia, seperti London, New York bahkan mengandalkan pengorbanan pedesaan di negeri lain.

Buah-buahan seperti pisang dan sayuran didatangkan dari negeri Asia dan Amerika Latin. Padahal nitrogen yang terkandung dalam bahan pangan ini sangat diperlukan tanah mendukung pertumbuhan generasi tanaman berikutnya. Nitrogen tidak kembali ke tanah desa, hingga terjadi perampokan asupan nitrogen tanah desa oleh masyarakat kota. Di kota pada akhirnya terbuang ke sungai-sungai dan teluk, sebabkan pertumbuhan alga yang luar biasa. Saat alga mati dan membusuk, oksigen perairan berkurang drastis, sebabkan kematian massal ikan.

Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI (2011) sebutkan nitrogen dan fosfor Teluk Jakarta diatas baku mutu. Telah terjadi beberapa kali peristiwa ledakan populasi alga berbahaya. Kematian massal ikan terjadi pada tahun 1992, 1994, 2004, 2005 dan 2006 (KKP, 2010). Salah satu faktor pemicu kematian massal ini kemungkinan karena pengkayaan nitrogen dan fosfor. Senyawa nitrogen dan fosfor di Teluk Jakarta telah jauh melampaui baku mutu air laut untuk biota laut.

Nitrogen dan fosfor dirampok dari tanah desa, dan dibuang dalam bentuk sisa membahayakan di sungai dan teluk sekitar metropolitan Jakarta. Sementara itu, kekurangan nitrogen dan fosfor alami di pedesaan sebabkan meningginya penggunaan pupuk kimia di kawasan pertanian. Hal ini juga menimbulkan ketidakamanan pangan manusia, baik di kota juga di desa.

Dari banjir (krisis siklus air), siklus nitrogen dan siklus fosfor ini bisa disimpulkan konsep kota metropolitan termasuk Jakarta sebenarnya tak sesuai dengan proses/siklus ekologi. Metropolitan harus direvolusi menjadi kota ukuran sedang.


Menuju kota berukuran sedang


Salah satu kota di dunia melakukan revolusi ekologi dalam hubungan desa-kota adalah Havana di Kuba. Pascarevolusi tahun 1959, populasi dan fasilitas di Havana didistribusikan ke kota-kota kecil lainnya, sehingga penduduk Havana berkurang. Tingkat pertumbuhan penduduk Havana terendah di Amerika Latin. Dan tak seperti kota lainnya, pertumbuhan penduduk justru terjadi di luar ibu kota. Porsi aktivitas ekonomi, sosial, dan pendidikan dikurangi secara signifikan dan disebarkan ke kota lainnya. (Isaac Saney, Cuba: Revolution in Motion). Lalu, lahan-lahan kosong dan pekarangan kota dijadikan lahan pangan (permaculture). Pangan tak harus didatangkan jauh dari desa, tentunya juga menambah emisi gas rumah kaca dalam proses transportasi.

Dari sisi ketahanan pangan, saat badai Katrina (2005) dan Isaac (2012) menerpa Kuba, Havana relatif tak menghadapi kekurangan pasokan, kendati sedang diembargo oleh banyak negara Barat. Mereka andalkan pangan hasil teritori kota itu sendiri. Laporan lembaga WWF (Living Planet Report 2006) sebutkan hanya Kuba mendekati standar pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu, Pemindahan Ibu Kota Jakarta harus dilihat dalam menciptakan keselarasan dengan proses ekologi, bisa terlihat dalam pemulihan siklus air, nitrogren dan fosfor. Penyebaran fasilitas, kelembagaan, dan penduduk dari metropolitan dilakukan dengan tak merugikan rakyat.

Pemindahan ibu kota bisa disertai dengan transmigrasi. Namun transmigrasi selama ini banyak tidak manusiawi. Belakangan, penetrasi kapital berbentuk perkebunan, pertambangan di sekitar lahan transmigrasi telah menimbulkan konflik agraria. Konflik ini mudah dibungkus dalam bentuk konflik SARA, antara pendatang dan penduduk asli, seperti di Mesuji, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Belum lagi biaya infrastruktur penunjang, seperti dana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya transmigrasi dikorupsi lembaga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pemerintah nasional tidak bisa abaikan persoalan migrasi ini dalam revolusi ekologis Kota Jakarta, agar banjir tak berulang. Revolusi ekologis ini menuntut perubahan Jakarta ke kota ukuran sedang dan perbaikan hubungan dengan pedesaan, agar selaras dengan siklus-siklus ekologi.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 2110-revolusi-ekologis-jakarta-atasi-banjir.html

Selasa, 08 Januari 2013

Catatan Kecil Advokasi Lingkungan Hidup Tahun 2012

Aturan lingkungan hidup di Indonesia lemah, dibandingkan dengan negara lain. Belum lagi penegakannya berat sebelah kala yang dihadapi korporasi atau rakyat kecil.

Contoh bukti lemahnya hukum lingkungan adalah penggunaan sianida yang sudah tak diperbolehkan di pertambangan Eropa, dan sulit ditetapkan di negeri Barat lainnya. Tapi di sini diperbolehkan. Perusahaan tambang emas Agincourt Resources di Sumatera Utara menggunakan sianida. Perusahaan tersebut berkonflik dengan warga Batang Toru sepanjang tahun 2012 yang menentang pembuangan limbah tambang ke sungai.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

AMDAL perusahaan menyatakan sungai tidak diminum warga, tapi kenyataannya sungai tersebut diminum warga, dan menjadi sumber utama penghasil ikan sale. Pemberian informasi palsu (tidak benar) dalam AMDAL tergolong pelanggaran serius, tapi hingga akhir tahun 2012, tak ada penegakan hukum bagi perusahaan. Perusahaan tambang terus berjalan didukung militansi Pjs Gubernur Sumatera Utara terbang dari Medan ke Batang Toru dan meminum air sungai sebagai pertunjukan air sungai tak berbahaya diminum. Beranikah meminumnya saat tambang beroperasi penuh dan kontinyu?

Penegakan aturan lingkungan hidup dan kehutanan yang berat sebelah ini juga terjadi di Sulawesi. Penambangan di kawasan hutan lindung, bahkan berkategori cagar alam berlangsung di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah. Off side terhadap regulasi dibiarkan manakala pelaku adalah korporasi. Selanjutnya, tinggal menunggu waktu terjadi pemutihan pelanggaran lingkungan atau alih fungsi kawasan cagar alam menjadi memungkinkan untuk ditambang atau perkebunan.

Investasi modal memang menimbulkan anomali. Ekspansi massif pertambangan nikel di Sulawesi Tengah, direstui oleh Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai koridor pertambangan nikel. Rencana ini pastilah berkontradiksi dengan program pencegahan pembabatan hutan dalam kerangka mitigasi perubahan iklim, khususnya UN REDD Programme Indonesia, Sulawesi Tengah. Tapi pada akhirnya, semuanya akan bisa diatur agar investasi bisa terus mereproduksi diri.

Padahal, investasi pertambangan adalah jenis kegiatan yang paling berdampak besar terhadap lingkungan: rusaknya siklus karbon, siklus air, siklus metabolisme rakyat-sumber daya alam pada komunitas yang sangat tergantung pada alam sebagai sumber pangan, air, kesehatan, dan lain-lain.

Kelemahan regulasi yang melindungi lingkungan juga tercermin dalam praktik pembuangan limbah tambang ke laut. Praktik ini tidak ada diterapkan di negara Australia, Selandia Baru, dan daratan utama Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, diterapkan dengan dilangsungkannya pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut di Teluk Senunu.

Apa dampaknya terhadap ekosistem? Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tidak terlalu peduli dengan statemen salah satu stafnya menyatakan mungkin hanya dedemit yang hidup di dalam laut tersebut. Sementara Oseanografi LIPI, sebagai institusi negara yang fasilitasnya dibiayai pajak rakyat, misalnya lewat pajak saat membeli ikan di pasar/supermarket, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik perusahaan tambang.

Kelemahan aturan lingkungan hidup yang ada disambung dengan pelemahan berikutnya. Rancanan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Dumping, sepanjang tahun 2012 masih dalam proses dalam forum yang tertutup bagi organisasi lingkungan kritis, hendak mengubah kategori limbah tambang ke laut bukan sebagai bahan berbahaya dan beracun.


Veto Korporasi dan Veto Rakyat


Industri Migas tahun 2010 lewat Kementerian ESDM melakukan veto agar aturan baku mutu temperatur air buangan migas tidak diturunkan dari 45 derajad celcius. Alasannya, batasan tersebut sulit dicapai, dan mengancam produksi minyak. Pemerintah tunduk terhadap veto ini.

Sisi lain, masyarakat tidak punya kedaulatan dalam memilih jenis kegiatan ekonomi di wilayah mereka, terlebih bila kawasan tersebut mengandung bahan pertambangan. UUD 1945 Amandemen mengakui hak milik warga dan hak atas lingkungan hidup. Tapi banyak pemerintah daerah secara sepihak menetapkan kawasan kelola rakyat sebagai kawasan pertambangan. Sehingga konflik pun terjadi antara masyarakat dan industri penambangan pada tahun 2012, diantaranya Balaesang, Kabupaten Donggala-Sulteng, Kulonprogo, Cileungsi, Lontar-Serang.

Harapan masyarakat sekitar tambang dan organisasi masyarakat sipil agar Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan veto rakyat atas wilayah pertambangan, agar proses penentuan pendapat masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan menjadi syarat mutlak, diterima setengah hati oleh MK.

MK menyatakan kekhawatiran masyarakat adalah beralasan atas hilangnya hak mereka dan ancaman atas hak lingkungan yang sehat dari penetapan wilayah pertambangan. Karenanya, MK berpendapat agar pemerintah memfasilitasi proses penentuan pendapat masyarakat secara riil. Namun, keputusannya menjadi tak bermanfaat langsung buat penyelesaian konflik di lapangan, karena MK menolak penetapan persetujuan masyarakat tersebut dilakukan secara tertulis.

Padahal, dalam praktek aktual yang telah dilakukan masyarakat, cara tertulis seperti pengumpulan tanda tangan penolakan telah menjadi kelajiman masyarakat, seperti masyarat Belitung mengumpulkan ribuan tanda tangan menolak tambang timah di laut karena mengancam tangkapan ikan nelayan. Apakah MK bisa setuju kalau penentuan pendapat masyarakat atas penetapan wilayah pertambangan bukan dilakukan secara tertulis, tapi lewat referendum lokal, seperti diterapkan di beberapa negara di Amerika Latin? Penulis tak optimis.


Penegakan Lingkungan yang Lemah VS Insentif PROPER


Hingga tahun 2012, penegakan hukum dalam bidang lingkungan hidup lemah, sehingga tidak banyak putusan pengadilan menjadi jurisprudensi yang mendorong perbaikan dan perlindungan lingkungan hidup. Saya berpendapat Indonesia tepat untuk kembali mendirikan badan pengawas lingkungan yang independen, seperti almahrum Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).

Lembaga terebut sebaiknya memiliki fungsi seperti KPK dalam penyidikan tindak korupsi. Dan untuk proses peradilannya, diperlukan pengadilan khusus tindak pidana lingkungan. Sertifikasi hakim yang telah mulai dijalankan beberapa tahun terakhir nyata-nyatanya belum berhasil mendorong prinsip kehati-hatian (prinsip bersumber dari hasil KTT Bumi 1992) dalam penerapan teknologi yang berpotensi merusak lingkungan. Alih-alih, KLH dan peraadilan lebih mementingkan kepastian usaha bagi korporasi.

Hal ini tampak dalam diperbolehkannya perusahaan membuang limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat, dan tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dll.

Di tengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup kembali pada tahun 2012 mengeluarkan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan).

Ibarat surat keterangan berkelakuan baik dikeluarkan kepolisian, perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat baik (emas, hijau, biru) karena memang aturan mengatur kejatahan lingkungan lembah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengrusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik.

Tahun 2012 diawali dengan penyerbuan aksi damai masyarakat menolak tambang di atas lahan pertanian dan hutan mereka di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Penghujung tahun 2012, diwarnai represi, sweeping, penahanan, kekerasan terhadap aksi masyarakat Batang Toru, Tapanuli Selatan, yang menolak sungai mereka dijadikan pembuangan limbah tambang (parahnya, menggunakan sianida).

Semoga perubahan ke arah lebih baik memang benar terjadi selama tahun 2012 tapi belum disadari, sehingga sulit menuliskannya. Berharap tahun 2013 lebih baik lagi.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 2080-catatan-kecil-advokasi-lingkungan-hidup-tahun-2012