Senin, 18 Juni 2012

Rio +20: Gagalnya Reformasi Lingkungan Hidup Global

Wanda Hamidah, anggota DPRD DKI Jakarta akan pergi ke Olimpiade London 2012. Bersama tiga orang lainnya, wakili Indonesia sebagai pembawa Obor Olimpiade. Suatu kebanggaan tentunya terpilih di antara 230 juta penduduk Indonesia. Siapa yang tunjuk dirinya wakili Indonesia? PT. Samsung Electronics Indonesia. Bagi penulis ini suatu kejanggalan.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Kapital, dalam hal ini Samsung, ternyata yang lebih berperan menunjuk perwakilan Indonesia di ajang olahraga terbesar ini. Misalnya, usai Olimpiade London, terjadi perselisihan industrial antara pekerja dengan perusahaan PT. Samsung, dan pekerja ini mengadu ke Wanda Hamidah sebagai anggota Komisi E mengurusi bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat, bisakah dia netral? Mungkin saja.

Bila dia tetap teguh perjuangkan aspirasi rakyat. Tapi banyak kejadian tak begitu. Contohnya, seorang kepala desa yang kerap memimpin penyaluran bantuan beras dari perusahaan tambang dekat desanya, bersaksi untuk perusahaan di pengadilan bahwa tidak ada pencemaran. Sementara warga desa lainnya dalam survei yang dilakukan dinas perikanan setempat menyatakan tangkapan ikan nelayan berkurang. Kepala desa jadi tidak kritis terhadap dampak pembuangan limbah tambang terbesar ke laut di dunia di dekat kampung mereka. Padahal kerja sama dengan korporasi sebatas penyaluran beras ke desanya.

Tulisan ini bukan bermaksud membahas Olimpiade, melainkan pengaruh korporasi terhadap Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi, juga dikenal KTT Rio+20 yang dilangsungkan Juni ini di Rio de Jeneiro, Brazil. Penyelenggara KTT Rio ini adalah United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD), sebuah lembaga PBB. UNCSD dibentuk setelah KTT Bumi pertama yang dilangsungkan Rio de Janeiro 20 tahun lalu.


Ketergantungan Pendanaan pada Korporasi


Kelembagaan global seperti PBB kian mengandalkan pendanaan kerja sama korporasi. Tahun 1997 PBB mengalami defisit terbesar sepanjang sejarah karena banyak anggota tidak membayar iuran keanggotaan. Kongres Amerika Serikat tidak menyetujui kontribusi, merupakan 30 besar dari pendapatan PBB.

United Nation Foundations didirikan tahun yang sama dengan mengelola dana $1 miliar AS dari pengusaha Ted Turner. Ini adalah kontribusi privat terbesar. Setahun kemudian, Sekretariat Jenderal PBB membentuk United Nations Fund for International Partnership (UNFIP) mempromosikan dan mengelola kerja sama publik-privat, antara lembaga-lembaga PBB dengan aktor non-pemerintah (bisnis).

Lembaga PBB membidangi persoalan teknis seperti UNEP, UNICEF, UNDP, UNFPA, UNEP, dan UNESCO menggunakan 81 persen dana UNFIP. Antara tahun 1998- 2004, UNDP dan UNEP sebagai pemakai terbesar dana dana UNFIP, yakni 33 persen untuk program lingkungan.

Tak berbeda, World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg juga mengandalkan kerja sama dengan korporasi, serupa UNFIP untuk pendanaan kegiatannya. Negara-negara dunia menunjukkan dukungan yang kecil untuk kerja sama internasional jelang KTT Johannesburg. Amerika Serikat tidak mengirimkan delegasi setelah sebelumnya meninggalkan Protokol Kyoto tentang perubahan iklim.

Jelang Rio +20, pengaruh korporasi terus membesar. Friends of the Earth International, bersama La Via Campesina, Jubilee South/Americas, The Transnational Institute, Third World Network, Corporate Europe Observatory, World March of Women mengkritik Draf Awal Deklarasi Rio +20 yang menekankan peran bisnis sebagai promotor 'ekonomi hijau’ dan membela mekanisme pasar bebas yang tujuan utamanya menguntungkan bisnis; namun draft ini gagal membuat korporasi bertanggung jawab atas perannya menciptakan krisis finansial, iklim, pangan, dan lain-lain.

Paviliun Indonesia di Rio de Jeneiro 2012 akan menampilkan “cerita baik” pengelolaan lingkungan Indonesia, diisi oleh Freeport (pembuang limbah terbesar ke Daerah Aliran Sungai di Papua), Medco (menciptakan kemiskinan bagi nelayan tradisional di sekitar pulau buatan Tiaka-Sulawesi Tengah).


Pengaruh Korporasi pada Agenda KTT Bumi


Pembangunan dunia telah berlangsung tak berkelanjutan dan mengotori bumi yang hanya satu. Sejarawan Eric Hobsbawn menulis sejarah dunia, The Age of Revolution (1875-1848), The Age of Capital (1848-1875), The Age of Empire (1875-1914), The Age of Extremes (1914-1991) merasa perlu membahas banyak persoalan ekologi pada buku terakhir. Kendati tahun 1840-an persoalan lingkungan akibat pembakaran batubara telah timbul saat produksi batubara global baru capai 640 juta ton, pada tahun 2010 tercatat 3,2 miliar ton.

Kemenangan manusia atas alam punya sisi gelap. Hanya sedikit orang bisa menyangkal bahwa Revolusi Industri lewat kegiatan korporasi menciptakan dunia paling jelek yang pernah ditinggali manusia. Udara gelap dan bau, asap batasi pandangan di jalan-jalan Manchester. Namun daya dukung lingkungan global masih bisa berikan toleransi hingga tahun 1900. Sejak itu, mengambil gambaran tongkat hoki, suhu bumi menanjak drastis, beberapa bagian ekosistem mengalami gangguan parah, luas gurun bertambah.

Sisi lain, ekonomi pun bergerak cepat dari usaha pribadi kompetitif ke jenis korporasi besar (kartel, trust, monopoli). Zaman individualisme berakhir tahun 1870, keluh pengacara Inggris, A.V. Dicey (1835- 1922). Kini korporasi besar begitu berpengaruh di tingkat lokal hingga forum global.

Bahkan Maurice Strong, Sekretaris Jenderal United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) penyelenggara KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro mengundang Stephan Schmidheiny, pebisnis Swiss, mewakili Bussines Council for Sustainable Development sebagai penasihat utamanya tentang bisnis dan industri. Sekaligus diposisikan memimpin partisipasi bisnis pada KTT Bumi 1992.

Hasilnya, “Prinsip-prinsip Kehutanan” tidak pernah menyebutkan persoalan penggundulan hutan (deforestasi), tapi lebih kepada kedaulatan setiap negara menggunakan dan mengeksploitasi hutan sesuka mereka.

Sebanyak 41 bab Agenda 21, yang diharapkan menetapkan babak penting bagi gerakan lingkungan global abad 21, menampilkan komitmen terhadap lingkungan yang ditempatkan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dengan prinsip pasar besar sebagai tujuan utama.

Pratap Chatterjee dan Mathias Finger dalam The Earth Brokers, pengkritik utama KTT Bumi Rio menyatakan, satu-satunya penyebutan korporasi dalam Agenda 21 adalah untuk mempromosikan peran mereka dalam pembangunan berkelanjutan. Tidak ada penyebutan peran korporasi dalam melakukan pencemaran planet.

Pembangungan berkelanjutan kian indentik dengan promosi akumulasi keuntungan dalam sistem ekonomi neolibera/kapitalis. Reformasi lingkungan tak lagi dilihat sebagai kebijakan yang dibuat untuk mereformasi lingkungan, menempatkan korporasi berada di bawah (seperti konsep negara kesejahteraan klasik).

Ketakmaksimalan KTT Rio karena pengaruh kekuatan korporasi dari dalam dan luar. Lembaga lobi Bussines Council for Sustainable Development yang lalu berubah jadi World Business Council for Sustainable Development, memainkan peran lewat korporasi yang berasosiasi dengannya mendanai KTT Bumi 1992, dan turut dalam perencana inti.

World Business Council for Sustainable Development Lembaga adalah lembaga lobi koalisi dari 170 perusahaan besar, seperti Chevron, Mitsubishi, Du Pont, Dow Chemical, Shell, Rio Tinto.


Kemunduran di KTT Bumi


Dua KTT Bumi yang telah terselenggara terpisah dalam waktu 10 tahun. KTT Bumi I di Rio, diselenggarakan UNCED merepresentasikan harapan besar bahwa manusia secara bersama-sama dapat akhiri persoalan-persoalan ekologi yang kian parah.

Akhir tahun 1980 dan dan awal tahun 1990 sebuah periode krisis ekologi global merasuk kesadaran publik. Timbul kekhawatiran besar terhadap kehancuran lapisan ozon, pemanasan global, dan melajunya kehilangan spesies. Juni 1988, James Hansen, Direktur NASA Goddard Institute for Space Studies, bersaksi di depan Komisi Energi dan Sumber Daya Alam Senat Amerika Serikat, memaparkan bukti-bukti pemanasan global karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.

Pada tahun yang sama, PBB mendirikan badan baru, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pemberlakuan Protokol Montreal, pembatasan bahan kimian penipis ozon, menampakkan bahwa negeri ekonomi maju dapat melakukan aksi terpadu merespon ancaman lingkungan global.

Brazil yang dipilih sebagai tempat KTT Bumi adalah tempat terdapat hutan Amazon, menyimbolkan tujuan penghuni Planet Bumi untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati dunia. Dokumen utama yang dihasilkan KTT ini dikenal dengan Agenda 21.

KTT Bumi kedua dilakukan tahun 2002 di Johannesburg. Tampak dalam sepuluh tahun, lingkungan hidup global malah kian cepat rusak. Dunia mendekati kondisi bencana ekologi global. Tidak hanya pemanasan global, juga hilangnya spesies, hilang dan susutnya debit sungai, pencemaran di kota-kota besar dan daerah ekstraksi sumber daya alam, penggurunan, dan lain-lain.

Johannesburg dipilih sebagian untuk menyimbolkan akhir apartheid. Namun timbul kritik pada KTT Bumi kedua tersebut akan soal apartheid ekologi global, menekankan pada kehancuran lingkungan oleh negara Utara, namun yang paling menerima dampaknya adalah mereka yang tinggal di Selatan.

Imperialisme ekologi ekonomi pusat kapitalisme disimbolkan dengan penolakan Amerika Serikat untuk ratifikasi Protokol Kyoto membatasi gas rumah kaca yang timbulkan pemanasan global. Presiden AS, George W. Bush menolak menghadiri KTT Johannesburg. Pemerintahan Bush menyedot perhatian dunia dengan mengancam perang Irak. Keberadaan senjata pemusnah massal tak pernah terbukti pada akhirnya.

Kian jelas bahwa tujuan perang adalah minyak. Menyaksikan Amerika Serikat lakukan perang bagi negeri kaya minyak di saat planet kian memanas akibat pembakaran bahan bakar fosil, maka seluruh bumi tinggal tunggu waktu dalam hitungan dekade akan terbakar. Seberapa parahkah itu, menjadi kian sering dibahas.

Bila KTT Bumi berusaha mereformasi lingkungan, maka WTO didirikan tahun 1995 mempromosikan prinsip perdagangan bebas neoliberal, bahkan membuat reformasi lingkungan di masing-masing negara kian sulit.


Imperialisme Ekologi


Pembangunan berkelanjutan telah berubah menjadi keberlanjutan akumulasi kapital dengan seberapa pun ongkos ekologinya. Bila masa Revolusi Industri menciptakan ketaknyamanan di kota-kota Eropa, maka negara dunia ketigalah kini yang paling banyak menanggung dampak kerusakan lingkungan global.

Hampir setengah kejadian penggundulan hutan global terjadi di Indonesia, menyebabkan kehilangan dukungan alam bagi kehidupan masyarakat agraris: sungai susut, tercemar, hilangnya wilayah sumber kehutanan.

Namun sebagian besar kegiatan ekonomi pasca penebangan hutan diekspor ke negara utara. Laut dan sungai Indonesia jadi tempat pembuangan limbah tambang terbesar di dunia. Menyebabkan kehilangan sumber perikanan dan sumber makanan lainnya.

Bisakah kita berharap pemerintahan SBY akan berjuang bersama negeri progresif lain untuk membalikkan arus imperialisme ekologi ini? Tampaknya mustahil. Kita telah miliki dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, larang pembuangan limbah tambang ke laut. Nyatanya, pemerintah keluarkan izin pembuangan limbah tambang terbesar ke laut tambang pada tahun 2011 kepada Newmont Nusa Tenggara.

Pemerintah buat komitmen penghapusan emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen yang mensyaratkan ekspansi kawasan lindung. Nyatanya, setelah 13 perusahaan tambang besar internasional (di antaranya Newmont, Freeport, Weda Bay Nickel) diperbolehkan menambang di hutan lindung, maka dalam dua tahun terakhir empat taman nasional, yakni TN. Batang Gadis, TN. Lolobata, TN. Nani Wartabone, TN. Lai Wanggi-Wanggameti beralih fungsi untuk pertambangan.

Sementara itu, warga diadili karena mengambil sebatang pohon kayu dari hutan, seperti di Ruteng- Nusa Tenggara Timur, Dusun Pidik- Jawa Tengah.

Bila reformasi lingkungan global dan nasional telah gagal, bagaimana kita bersikap?

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1736-rio-20-gagalnya-reformasi-lingkungan-hidup-global