Selasa, 29 Desember 2015

TAK PUAS dengan KEMENHUT tangani KEBAKARAN Lahan dan Hutan, WALHI tak yakin RESHUFFLE akan selesaikan masalah…

NRMnews.com – JAKARTA, Terkait penanganan kebakaran lahan dan hutan beberapa waktu lalu, Walhi menilai kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak memuaskan.

Ketika disinggung apakah Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, layak dicopot? Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting mengatakan ia pun tak yakin penggantinya punya kinerja lebih baik.

Apalagi saat ini wacana perombakan kabinet (reshuffle) terus bergulir. Presiden Joko Widodo telah mengisyaratkan akan mencopot menteri yang lamban dalam bekerja. Dari aspek lingkungan,

“…Kalau reshuffle kan politis. Kalau diganti kita tidak yakin ada pengganti yang lebih baik, namun kita tidak puas. Semoga ada perubahan. Kita punya pengalaman menteri dari parpol sebelumnya banyak yang melakukan izin pakai kawasan hutan. Jadi belum menggembirakan…”, kata Pius Ginting, pada hari Selasa (29/12/2015).

Alasan belum maksimalnya kinerja dari kalangan partai politik, karena selama ini di Indonesia belum ada parpol hijau atau yang berbasis lingkungan hidup. Partai pro lingkungan memiliki platform yang kuat untuk kepentingan lingkungan hidup, tidak memberikan izin untuk pembukaan lahan gambut.

Oleh karena itu, upaya penegakan hukum yang keras sebagai jera merupakan solusi yang baik ketimbang gonta ganti menteri tetapi tidak ada perubahan.

Mengenai potensi kebakaran lahan dan hutan, Walhi memprediksi titik api akan dijumpai di lokasi yang pernah terbakar. “…Tahun 2016, masih di kawasan yang sama. Titik api masih ada di sekitar OKI dan Kalimantan Tengah…”, tuturnya.

( Oleh : NRMnews.com / Lola C – Editor : A. Dody R. )

https://nrmnews.com/2015/12/29/tak-puas-dengan-kemenhut-tangani-kebakaran-lahan-dan-hutan-walhi-tak-yakin-reshuffle-akan-selesaikan-masalah/

Sabtu, 12 Desember 2015

COP Paris Kurang Libatkan Komunitas Masyarakat


Aktivis Walhi Nasional, Pius Ginting bersama aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia di Paris/kompas.com


MONITORDAY.com, Paris - Komunitas masyarakat yang melakukan kerja-kerja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kurang dilibatkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim ke-21 [COP-21] di Paris, Prancis. Ini akan menjadi catatan saat pelaksaan konferensi serupa pada 2016 yang akan digelar di Maroko.

"Ada yang kurang muncul dalam COP Paris ini yaitu komunitas masyarakat. Padahal kita memiliki banyak komunitas masyarakat yang sudah melakukan kerja-kerja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Paris, Sabtu [12/12].

Siti menuturkan, diskusi dan seminar yang digelar di paviliun Indonesia selama 12 hari pelaksanaan KTT Iklim masih didominasi pihak swasta, lembaga nonpemerintah serta pemerintah.

Padahal, pemerintah berupaya merangkul semua elemen mulai dari pemerintah dan komunitas masyarakat serta pihak swasta untuk terlibat dalam mengisi kegiatan di paviliun dan membagi pengalaman dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Ke depan kata Menteri, keterlibatan komunitas masyarakat akan ditingkatkan dan hal itu menjadi catatan penting yang akan dibahas dalam evaluasi menyeluruh terhadap Delegasi RI yang mengikuti COP-21 Paris.

Paviliun Indonesia di arena COP Paris cukup menarik perhatian para peserta konferensi dan delegasi negara lain. Hal itu terlihat dari setiap sesi seminar dan diskusi yang selalu dipadati peserta.

Koordinator Paviliun Indonesia, Agus Justianto mengatakan selama KTT Iklim di Paris, ada 47 kegiatan seminar dan diskusi panel yang diisi parapihak mulai dari kalangan swasta, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil.

Sebagian besar sesi teresebut mengulas tentang upaya parapihak dalam mitigasi perubahan iklim yang mendukung upaya Indonesia dalam menurunkan emisi sesuai yang ditargetkan yakni 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

"Beberapa pihak memang menyoroti kegiatan di paviliun, tapi dari 47 sesi, hanya tujuh sesi yang diisi oleh pihak swasta," kata Agus.

Dia mengatakan bahwa pendanaan paviliun tidak berasal dari APBN tapi dukungan sejumlah perbankan, termasuk pihak swasta yang dikoordinir Kadin. Dua perusahaan yang langsung memberikan bantuan kepada panitia antara lain grup perusahaan kertas dan bubur kertas, APRIL dan perusahaan Arsari Grup milik Hashim Djojohadikusumo.

Sebelumnya sejumlah aktivis lingkungan menyoroti kegiatan di paviliun Indonesia di Le Bourget yang didominasi pihak swasta. Bahkan grup perusahaan yang memiliki rantai pasokan dari perusahaan yang sedang diusut karena kasus pembakaran hutan dan lahan beberapa waktu.

"Grup perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan tampil seperti malaikat di COP Paris dan menjelaskan upaya mereka dalam mitigasi, ini sangat ironis," kata Eksekutif Nasional Walhi, Pius Ginting. [Ant]

(Kristian Ginting)

http://www.monitorday.com/detail/21343/cop-paris-kurang-libatkan-komunitas-masyarakat/ http://www.antaranews.com/berita/534724/menteri-lhk-nilai-cop-paris-belum-libatkan-komunitas http://majalahkartini.co.id/berita/menteri-lhk-cop-21-paris-belum-libatkan-komunitas-masyarakat

Senin, 07 Desember 2015

HADAPI KOLONIALISASI KARBON, MANA SUARA INDONESIA?

Oleh: PIUS GINTING
SIDANG pertemuan perubahan iklim telah memasuki minggu terakhir. Negosiasi politik iklim kian menentukan. Sejauh ini Afrika Selatan sebagai ketua kelompok G77 memimpin dengan baik agar semua negara berkembang ini bersatu menuntut tanggung jawab negara maju untuk mengambil tanggung jawab lebih (harus berbeda) dengan negara berkembang.

Dan negara maju, khususnya Amerika Serikat akan berusaha memecah negara berkembang. Caranya, memberikan bantuan pendanaan langsung hanya kepada kelompok negara terlemah dan tidak mau mengambil tanggung jawab lebih. Padahal berdasarkan kajian banyak organisasi masyarakat sipil, negara berkembang telah lebih dari Amerika Serikat mengambil bagian (fair share) dalam mengatasi perubahan iklim. (Tentu masih ada PR seperti Indonesia sebagai negara berkembang kebakaran hutan dan lahan tak terus terjadi. Tapi di atas itu, tanggung jawab historis dari sejak Revolusi Industri, negara maju emisinya memang lebih tinggi).

Mungkin istilah dekolonialisasi karbon tepat dipakai. Kita tahu selalu ada elit-elit di domestik agar kolonalisme bisa terjadi.

Mungkinkan pemerintah Jokowi melihat perspektif besar seperti Soekarno, bersatu dengan negara berkembang lainnya menuntut tanggung jawab negara maju? Agar terjadi alih teknologi, bantuan adaptasi (karena perubahan iklim bahkan telah terjadi saat suhu saat ini baru naik 0.8 C dari masa pra-Revolusi Industri?) memastikan agar negara maju memberikan bantuan teknologi energi terbarukan (bukan investasi. Dan lebih parah dari itu, bukan investasi energi kotor dalam bentuk PLTU Batubatubara, misalnya seperti yang terjadi saat ini). Dan tak berkompromi dengan tawaran bantuan pendanaan ala kadarnya?

Saat ini delegasi Indonesia diam seribu bahasa dalam negoisasi perubahan iklim. Negosiator Malaysia lebih lantang bicara dan jadi bintang dalam pertemuan kali ini. Di antaranya dengan menyatakan, "Bacalah statistik. Internasionalisasi statistik. Emisi per kapita negara berkembang jauh di bawah negara maju. Termasuk India dan China. Mengatasi perubahan iklim dengan biaya membuat banyak rakyat di negara ini tetap miskin bukan jalan keluar. Kita harus mengubah pathway ekonomi kita." Sungguh ada yang benar dalam pernyataan ini jika dilihat statistik emisi per kapita.

Kendati tentu, pembangunan di India, dan juga di Indonesia belum tentu kian mengurangi angka kemiskinan dengan pola pembangunan kapitalistik tahap lanjut (versi 2.0, atau 3.0, yang padat teknologi dan pengetahuan tak sejalan dengan penyerapan dengan tenaga kerja, dan juga upah selalu rendah).

Jadi, seperti yang diungkapkan Laurent Fabius, Menlu Prancis, ini tidak hanya menyangkut iklim dan lingkungan, tapi ekonomi, lebih lengkapnya aspek seluruh kehidupan.

Dalam pelayaran negosiasi perubahan iklim ini, panduan kita (semacam bintang utara dalam pelayaran dulu kala sebelum ada kompas): tanggung jawab bersama namun dengan tingkat berbeda, keselamatan semua warga termasuk yang terentan, dan fair share. Dan kapten kapal yang bisa diandalkan adalah Joyce Mxakato-Diseko, sebagai Pemimpin G 77 + China.

Ayo negosiator Indonesia, di mana suaramu?? Mana semangat dan api Asia Afrika-mu dalam menentang kolonisalisasi karbon ini?

Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim. 

RMOL: 227217 Hadapi Kolonialisasi Karbon, Mana Suara Indonesia?

Sabtu, 05 Desember 2015

Aktivis Walhi berunjukrasa di arena COP Paris

Pewarta: Helti Marini Sipayung


ilustrasi KTT Perubahan Iklim Antrean delegasi Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 dari berbagai negara di konter tiket transportasi gratis di area Paris Le Borguet, Paris, Prancis, Minggu (29/11). (Antara Foto/Virna Puspa Setyorini)

Paris (ANTARA News) - Sejumlah aktivis Walhi bersama aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia yang bergabung dalam "Friends of the Earth" (FoE) berunjuk rasa mendesak di arena Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC/COP) di Le Bourget, Paris, Prancis.

"Kami mendesak pemerintah menuntaskan persoalan kebakaran hutan yang masih belum tuntas hingga tahun 2015 dan mendesak penegakan hukum terhadap pembakar lahan," kata Pius di Le Bourget Paris, Jumat siang, waktu setempat.

Eksekutif Nasional Walhi, Pius Ginting kepada pers mengatakan bahwa aksi tersebut untuk mendesak pemerintah menuntaskan kasus hukum bagi perusahaan yang terindikasi membakar lahan yang menimbulkan asap dan menyengsarakan masyarakat.

Menurut Pius, keseriusan pemerintah untuk menghukum perusahaan yang membakar lahan masih dipertanyakan. Terutama di wilayah Provinsi Riau, dari 50 perusahaan yang terindikasi membakar hutan dan lahan, baru tiga perusahaan yang diproses.

Di sisi lain, dalam pelaksanaan KTT Iklim di Paris, ada persoalan yang memunculkan tanda tanya yakni kehadiran sejumlah perusahaan yang terindikasi membakar lahan, justru menjadi pendukung Anjungan atau Paviliun Indonesia.

"Seharusnya pemerintah memahami situasi dan psikologi masyarakat yang baru saja terpapar racun karena asap dari perusahaan pembakar hutan, ini sangat memprihatinkan," ucapnya.

Lebih tegas, Pius mengatakan bahwa kehadiran dua grup perusahaan bubur kertas dan kertas yakni APRIL dan APP di arena KTT Iklim dan menjadi pendukung kegiatan di paviliun adalah ajang "green wash" atau pembersihan diri.

Kondisi tersebut menurut dia dapat dibaca sebagai gejala pengabaian penegakan hukum. Pemerintah menurutnya harus tegas dan tidak terpengaruh dengan bujukan pihak perusahaan dan asosiasi perusahaan di mana mereka bernaung.

Aksi yang diikuti belasan aktivis itu berlangsung selama 15 menit dan sempat menjadi perhatian para peserta konferensi. Setelah menyampaikan aspirasi mereka, para aktivis tersebut membubarkan diri dengan tertib.

Kebakaran hutan Indonesia yang terjadi pada 2015 mengakibatkan seluas 2 juta hektare hutan dan lahan terbakar dan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah. Tidak hanya kerugian materi, kebakaran yang menimbulkan asap tersebut juga membuat masyarakat menghirup udara beracun.

Sebelumnya perwakilan grup perusahaan bubur kertas, APRIL di paviliun Indonesia menyampaikan komitmen dana sebesar 100 juta dolar Amerika untuk program restorasi ekosistem selama 10 tahun.

"Luasan restorasi gambut yang kami programkan meningkat dua kali lipat menjadi 150 ribu hektare sebagai dukungan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Managing Director APRIL Grup Indonesia Operations, Tony Wenas.

Selain itu, pihaknya juga meningkatkan luas area konservasi menjadi 400 ribu hektare melalui pengelolaan program Restorasi Ekosistem Gambut (RER) di Semenanjung Kampar Provinsi Riau.

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015

Ikuti berita dalam topik # Konferensi Perubahan Iklim ( COP21 )


http://www.antaranews.com/berita/533428/aktivis-walhi-berunjukrasa-di-arena-cop-paris

Jumat, 04 Desember 2015

Di Paris, Walhi Sindir Cara Indonesia "Layani" Perusak Lingkungan



Dalam pameran Konferensi Iklim, di Paris, Prancis, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pius Ginting, membandingkan tanggungjawab perusahaan tambang dan perkebunan sawit asal Indonesia dengan negara lain. Menurutnya, kebijakan dan sanksi hukum yang diberikan pemerintah masih belum ampuh menjerat perusahaan nakal perusak lingkungan yang beroperasi di Indonesia.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/12/04/641/Konferensi-Perubahan-Iklim-Di-Paris,-Walhi-Kritik-Perusahaan-Perkebunan-Dan-Pertambangan-Indonesia-

Rabu, 02 Desember 2015

OECD TIDAK FAIR DALAM PENGHAPUSAN SUBSIDI BAHAN BAKAR FOSIL DI INDONESIA

Oleh: PIUS GINTING
ORGANISASI negara maju (OECD) bersikap ganda dan tak jujur dalam kebijakan mengenai subsidi bahan bakar fosil. Khususnya kebijakan dan praktek negara maju tersebut di Indonesia.

Dalam rangkaian pertemuan Perubahan Iklim di Paris, Prancis, organisasi negara maju (OECD) bersama organisasi Friends of Fossil Fuel Reform pada 30 November 2015 mengeluarkan komunike agar pemimpin negara dunia melakukan penghapusan subsidi terhadap bahan bakar fosil.

Dalam komunike tersebut Sekretaris Jenderal Angel Gurria menyatakan, "Negara-negara perlu menunjukkan aksi dan kebijakan konkret bahwa mereka serius mengatasi perubahan iklim, mereformasi dukungan bagi bahan bakar fosil adalah tempat yang bagus untuk memulai."

Dalam kenyataannya, negara maju tersebut di Indonesia menikmati keuntungan bisnis berkat subsidi dan dukungan dari pemerintah terhadap bahan bakar fosil. Khususnya dalam pembangkit listrik tenaga batubara. Proyek-proyek besar pembangkit listrik batubara milik negara maju (OECD) di Indonesia tidak akan berjalan tanpa dukungan dan subsidi dari pemerintah Indonesia.

Di antaranya adalah proyek listrik tenaga batubara Batang, di Jawa Tengah dengan kapasitas 2x1000 MW. Proyek tenaga listrik terbesar di Asia Tenggara ini dimiliki oleh Itochu, J Power dan didukung pendanaan oleh JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Proyek ini disubdisi pemerintah Indonesia lewat dana pembebasan lahan menggunakan dana publik, juga pengerahan langsung tenaga keamanan negara.

Juga proyek listrik batubara untuk ekspansi di Indramayu dan Cirebon yang didanai oleh negara OECD. Pembebasan lahan proyek ini juga disertai dengan pemaksaaan, kekerasan dan pemenjaraan terhadap warga. Saat ini warga Batang melakukan upaya perlawanan hukum dengan menggugat di Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya, pada pada 16 November 2015 organisasi negara maju OECD mengeluarkan kebijakan mendukung investasi teknologi batubara di luar negeri dengan jenis teknologi ultra super critical. Kebijakan ini ditentang oleh aktivis dan warga yang terdampak pembangkit listrik di Indonesia dengan mengadakan aksi protes ke Kantor Kedutaan besar pada 12 November 2015.

Pada akhirnya, emisi yang dihasilkan oleh investasi negara maju tersebut di Indonesia akan dihitung sebagai emisi gas rumah kaca dari Indonesia.

Indonesia seharusnya membuat pembangkit batubara sebagai daftar negatif investasi asing, khususnya dari negara maju (OECD).

Jalan keluar alternatif, Indonesia perlu berjuang dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris bersama dengan negara berkembang lainnya agar negara maju memberikan dukungan pendanaan dan transfer teknologi bagi negara berkembang, sebagai wujud pelaksanaan dari prinsip tanggung jawab bersama dengan tingkat yang berbeda (common but differentiated responsibilities).

Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim.

RMOL: 226645 OECD Tidak Fair dalam Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Fosil di Indonesia

Selasa, 17 November 2015

Pemerintah Didesak Bentuk UU Persetujuan Masyarakat Pertambangan


Sejumlah penambang pasir beraktivitas di area pertambangan pasir Sungai Woro, Balerante, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (12/11). ANTARA FOTO

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan perubahan kewenangan izin perkebunan, pertambangan dari daerah ke provinsi belum memuaskan kepentingan masyarakat. Pasalnya, meski perubahan itu di provinsi, tetap saja hak masyarakat adat atau masyarakat terdampak tidak terlindungi oleh pemerintah.

“Perubahan izin dari daerah ke provinsi belum memberi perlindungan yang memuaskan kepada masyarakat. Begitu pula pusat. Jadi, solusinya adalah ada aturan yang menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat,” kata Manajer Kajian Walhi Pius Ginting di Jakarta, Selasa (17/11).

Keputusan itu, lanjut dia, mewajibkan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah (PP) yang memberi ruang dan melibatkan masyarakat adat dalam negosiasi kontrak di tempat tinggal mereka. Ini dilakukan karena selama ini kontrak karya antara pemerintah dan pengusaha tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Akibatnya, timbul konflik sosial.

“PP harus dibuat pemerintah. Lebih tegas lagi kalau pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang Persetujuan Masyarakat Terdampak Proyek Pertambangan di Wilayah Penetapan. RUU itu bisa menghambat terjadinya konflik di area pertambangan. Jika tidak ada persetujuan masyarakat, kasus konflik bertambah bahkan ada korban jiwa seperti Salim Kancil di Lumajang,” ujarnya.

Pius menjelaskan tidak adanya ruang terbuka dalam proses kontrak antara pemerintah dan daerah mengakibatkan klaim masyarakat adat atau masyarakat terdampak terhadap hutan adatnya tak bisa dilaksanakan dengan baik. Sebab, dilakukan secara sepihak.

Walhi mencatat, sejak pemberlakuan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara banyak izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan hak masyarakat di daerah tidak lebih baik. Kadang antara bupati dan gubernur saling bertentangan.

Misalnya, kata Pius, Bupati Sumbawa tidak memberi izin kepada investor pertambangan untuk membuang limbah ke laut pada tahun 2014. Akan tetapi keputusan itu berbeda dengan gubernur yang membolehkan investor pertambangan itu membuang limbah ke laut.

“Karena itu, ini menjadi kekhawatiran kita soal penyerdehanaan izin melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Di satu sisi memangkas izin, tapi disisi lain hak masyarakat tidak terlindungi. Jadi UU dan PP untuk perlindungan masyarakat adat segera dituntaskan,” kata Pius.


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/pemerintah-didesak-bentuk-uu-persetujuan-masyarakat-pertambangan/

Kamis, 12 November 2015

Walhi Desak Jepang Hentikan Investasi Batubara di Indonesia


Aktivitas bongkar muat batubara di Kawasan Marunda, Jakarta, Kamis (5/11).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah Jepang untuk segera menghentikan investasi pengembangan industri batubara dan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia. Pasalnya, adanya proyek-proyek tersebut akan berdampak pada lingkungan Indonesia yang semakin buruk seperti pencemaran udara, air, dan penggundulan hutan.

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Pius Ginting, mengatakan saat ini pemerintah Jepang melalui perusahaan-perusahaannya dan lembaga keuangannya tengah gencar berekspansi dan menanamkan modalnya di bidang pertambangan batu bara dan pembangkit listrik di Indonesia.

“Hadirnya investasi ini dapat mengakibatkan lingkungan di Indonesia akan semakin tercemar akibat aktivitas perusahaan tambang dan operasional PLTU batubara di sejumlah tempat. Jika terjadi demikian, artinya Jepang turut serta mencemari lingkungan di Indonesia,” kata Pius dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (13/11).

Dia merujuk pada perusahaan asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial, salah satu lembaga keuangan terbesar kedua di Indonesia setelah Citigroup milik Amerika Serikat, yang membiayai industri batubara di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, lembaga tersebut telah mengucurkan biaya US$ 53.337 juta untuk industri batubara di Indonesia.

“Pembiayaannya ini bahkan jauh melampaui pembiayaan yang dikucurkan Bank Mandiri dalam mendanai energi fossil yang jumlahnya sebesar US$ 915 juta,” tuturnya.

Desriko Malayu Putra, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa sejumlah proyek-proyek pembangunan PLTU batubara yang didukung Jepang kerap bermasalah dengan masyarakat setempat. Biasanya menyangkut pembebasan lahan. Warga dipaksa untuk melepaskan tanah mereka di bawah ancaman yang melibatkan preman-preman dan oknum-oknum dari pihak TNI dan Polri.

“Kasus pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, misalnya. Pembangunan yang didanai oleh Japan Bank for International Coorporation itu hingga kinii masih bermasalah. Anehnya, negara mendukung upaya pembebasan lahan secara paksa itu dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum,” tegasnya.

Karena itu, kata Desriko, jika ini tidak segera dihentikan, kejadian-kejadian seperti di Batang bukan tidak mungkin akan terus terulang di daerah lainnya. Terlebih sampai saat ini lembaga keuangan asal Jepang tersebut terus mendanai industri-industri batubara yang ada di Indonesia.

Selain berpotensi mencemari lingkungan, lanjutnya, aktivitas tambang bahkan telah menghancurkan ekonomi masyarakat. Seperti kasus yang dialami warga di sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat, yang didanai Marubeni. Warga mengeluh lantaran air yang mereka gunakan untuk tambak garam menghitam akibat aktivitas PLTU Batubara. Disekitar PLTU Paiton, Jawa Timur, pun demikian. Warga mengeluh karena produktivitas tanaman tembakau mereka menurun dan banyak pohon-pohon kelapa yang ditanam tiba-tiba mati.

Berdasarkan hasil penelitian Greenpeace Indonesia pada 2015, batubara yang dibakar di sejumlah PLTU-PLTU di Indonesia memancarkan sejumlah partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian dini. Saat ini angka kematian akibat penyebaran partikel berbahaya tersebut sudah mencapai 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.

“Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa per tahun seiiring rencana pembangunan PLTU batubara yang baru di Indonesia.”

Desriko mengingatkan, sebagai negara maju yang punya kemampuan finansial dan teknologi dan memiliki tanggung jawab historis lebih besar dalam menghasilkan gas rumah kaca, Jepang seharusnya menunjukkan kepemimpinannya untuk mengurangi pembiayaan energi fossil dan lebih mendorong pengembangan energi terbarukan.


Penulis: Toto Dirhantoro
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/walhi-desak-jepang-hentikan-investasi-batubara-di-indonesia/

Senin, 09 November 2015

Ketimpangan Teknologi PLTU Batang dan PLTU Jepang


Kendaraan melintas di samping kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (26/10). ANTARA FOTO

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan lembaga keuangan Jepang (Japan Bank for International Cooperation) membiayai proyek energi berbahan bakar fosil terbesar di Indonesia. Salah satunya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah. Dalam pembangunan itu, teknologi yang digunakan berasal dari Jepang.

Manajer Kajian Lingkungan Walhi Pius Ginting mengatakan, meski PLTU sama-sama menggunakan bahan bakar fosil, kualitas teknologinya berbeda. Hal itu bisa dilihat dari standar emisi yang akan dihasilkan dalam pembangunan proyek PLTU Batang.

“Ada ketidakadilan dari teknologi PLTU Batang dengan PLTU Isogo di Jepang,” kata Pius di Jakarta. “Buktinya, hasil gas belerang oksida (SOx) cukup jauh berbeda. Teknologi Jepang hanya mengeluarkan SOx 10%. Sedangkan PLTU Batang mencapai 105%. Ini berbahaya bagi kesehatan warga dan teknologi ini sangat buruk,” ujar Pius.

Pius menjelaskan, limbah partikel abu hasil pembakaran batubara telah membuat pencemaran udara yang menyebabkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia menurun. Berdasarkan catatan Greenpeace, 6.500 orang di Indonesia meninggal lebih awal karena terpapar polusi yang disebabkan pembakaran batubara.

Apalagi, lanjut Pius, rencana pemerintah Joko Widodo membangun 35 ribu megawatt (MW). Dengan demikian, pemerintahan Jokowi akan meningkatkan emisi CO2 pada tahun 2019 sebanyak 98.3 juta ton. Jumlah ini sama dengan 257% dari jumlah pengurangan emisi rencana aksi nasional nasional gas rumah kaca (RAN-GRK) 2010-2014 dari sektor energi dan transportasi.

Pihaknya menilai, pemerintah secara signifikan menambah konsumsi batubara domestik. Saat ini terdapat 50 buah PLT batubara, mayoritas berlokasi di Jawa dan Sumatera. Total kapasitas PLT batubara adalah 19.404 MW. Penggunaan batubara untuk pembangkit telah tumbuh 9.2% per tahun. “Penambahan PLT batubara akan meningkatkan emisi CO2 dan memperburuk kualitas udara lokal,” tegas Pius.

Tak hanya itu, menurut Pius, dampak pembangunan PLTU Batang cukup besar bagi masyarakat sekitar. Baik dari sektor perikanan, pertanian, dan pembudidaya. “Garam petani menjadi hitam, laut tercemar akibat tongkang batubara yang menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Bahkan petani tidak bisa menggarap lahannya,” ungkapnya.

Sementara itu, Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa, mengatakan 75 lembaga keuangan dunia tidak punya kebijakan terhadap mitigasi perubahan iklim. Hal itu dipertegas dengan lambatnya pembiayaan untuk energi terbarukan. Secara global, lanjutnya, lembaga keuangan hanya membiayai energi itu tidak melebihi 10%.

Pihaknya mendesak lembaga keuangan internasional berkomitmen langsung untuk tidak mendukung pengembangan pembangkit listrik dan proyek pertambangan berbahan bakar fosil. Kemudian, mempublikasikan jumlah dukungan tahunan mereka ke sektor energi. Sedangkan pemerintah Jokowi perlu mengadopsi tujuan untuk mengurangi emisi.


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/ketimpangan-teknologi-pltu-batang-dan-pltu-jepang/

Jumat, 06 November 2015

Perbankan Tak Punya Komitmen Investasi Berkelanjutan


Ilustrasi. ANTARA FOTO
Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat jadi US$ 119 miliar, dari lima tahun sebelumnya sebesar US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, naik hampir 10 kali lipat. Ini merupakan angka akumulasi pengeluaran dana seluruh negara di dunia.

“Bank tidak punya komitmen untuk mendorong investasi berkelanjutan. Bahkan investasi untuk energi terbarukan tidak melebihi 10%,” kata Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan penelitian Fair Finance Guide International (FFGI) terhadap 10 lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia seperti Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA dan Bank Panin. Dari 10 lembaga keuangan, 8 di antaranya membiayai bahan bakar fosil di atas 90%.

“Pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling polutif seperti batu bara dan minyak bumi jauh lebih tinggi. CIMB Niaga dan Bank Panin misalnya, mereka masih 100% investasi di bahan bakar fosil. Sedangkan Bank Mandiri 99% dan BRI serta BCA masih 98% untuk investasi energi fosil,” ujar Rotua.

Untuk energi terbarukan, lanjut dia, hanya UFJ Mitsubishi yang memiliki pembiayaan lebih dari 1 miliar dolar. Sedangkan, HSBC sebagai lembaga keuangan terbesar untuk sektor bahan bakar fosil, hanya memiliki investasi tahunan sebesar 99 juta dolar di sektor energi terbarukan, kata Rotua.

Pius Ginting, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, penggunaan bahan bakar fosil sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat semasa pemerintahan Barack Obama telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Bahkan ke depan, uang publik tidak boleh digunakan untuk pembiayaan PLTU. Ini kebijakan yang bagus.

Tiongkok juga demikian, sudah melarang pembangunan PLTU baru. Hal ini menyebabkan Indonesia sebagai incaran penjual teknologi batubara. Padahal, teknologinya adalah teknologi kotor.

“Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dalam dan luar negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batu bara,” kata Pius.

Karena itu, Walhi berharap lembaga keuangan jangan hanya membuat komitmen tanpa makna. Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi hijau dan produk berkelanjutan kepada konsumen. Namun, di sisi lain mereka juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. “Its’ green washing!” tegas Pius.[*]


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/perbankan-tak-punya-komitmen-investasi-berkelanjutan/

Kamis, 22 Oktober 2015

Sejumlah Aktivis Desak DPR Bentuk Pansus Freeport


Sejumlah Aktivis Yang Mendesak DPR untuk Pembentukan Pansus Freport

MONITORDAY.com, Jakarta - Sejumlah aktivis mendesak dibentuknya panitia khusus (pansus) oleh DPR RI untuk menangani gonjang-ganjing perpanjangan konsesi PT Freeport.

Satu diantara aktivis itu ialah Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta [IEPSH] M Hatta Taliwang. "Kalo freeport itu pansusnya harus segera dibentuk karena banyak sekali dimensi masalahnya, jangan hanya semau-maunya pemerintah," katanya, usai diskusi di daerah Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/10).

Menurutnya, DPR itu adalah wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan kepentingan rakyat sehingga Pansus soal Freeport ini mutlak perlu dibentuk. Ia juga mendesak rencana perpanjangan kontrak PT Freeport harus dihentikan.

"Ada kepentingan rakyat dan bangsa yang besar disitu, itu kan urusan ribuan triliyun. Kalo nuruti hati nurani kita, harusnya itu di stop total. Tetapi kita realistis, jika memang mau diperpanjang ya diperbaiki perjanjian-perjanjian nya yang menguntungkan negara kita," ‎ujarnya.

Pria yang akrab disapa Hatta ini mencontohkan, setidaknya jika kontrak PT Freeport diperpanjang, maka anak-anak Bangsa harus memegang peranan penting dalam perusahaan raksasa ini. Tujuan nya tak lain dan tak bukan untuk mewakili kepentingan nasional.

"Misalnya soal saham, kita harus bisa lebih mayoritas. Kemudian soal direksi, paling tidak tiga orang di puncak kepemimpinan itu ialah orang kita yang mewakili kepentingan nasional," tuturnya.

"Lalu soal royalti harus naik, jgn satu persen. Kita harus ikuti standar internasional. Saya sepakat kata Rizal Ramli tujuh persen," lanjutnya.

Dirinya pun optimis jika anak Bangsa mengelola tambang di negeri nya sendiri. Menurutnya, di zaman ilmu seperti ini tidaklah sulit.

"Lihat di Tasikmalaya dan Garut, mereka bisa olah secara tradisional. Ini semua sebetulnya hanya political will," pungkasnya.‎

Dalam diskusi tersebut turut hadir Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia [AEPI] Salamuddin Daeng, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Pius Ginting.


(Fahreza Rizky)

http://www.monitorday.com/detail/17139/sejumlah-aktivis-desak-dpr-bentuk-pansus-freeport

Rabu, 21 Oktober 2015

Setahun Jokowi-JK Indonesia Sudah Sampai Mana


Menyambut satu tahun usia rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla, diskusi mingguan Forum Senator untuk Rakyat yang digelar, di Dua Nyonya, Cikini, Minggu (18/10), mengusung tema "Setahun Jokowi-JK Indonesia Sudah Sampai Mana".

Forum tersebut membahas tingkat popularitas dan kepuasan masyarakat pada Jokowi yang kian redup saat usia rezim ini menuju setahun pada 20 Oktober 2015. Sebagian besar janji kampanye dan mimpi Nawacita belum terealisasi. Namun ada juga yang dianggap berjalan, meski menuai polemik, salah satunya penyaluran dana desa.

Dialog ini menghadirkan lima pembicara, yaitu Anggota DPD RI, Eko Sulistyo; Deputi IV Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo; pengamat komunikasi politik, Hendri Satrio; Aktivis Walhi, Pius Ginting; dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M. Massardi.

Diskusi ini terselenggara atas kerja sama Kantor Berita Politik Rakyat Merdeka Online dan Dewan Perwakilan Daerah RI.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/10/21/515/Setahun-Jokowi-JK-Indonesia-Sudah-Sampai-Mana-

Minggu, 18 Oktober 2015

Jokowi Masih Berpihak pada Korporasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Survey Kajian Opini Publik (Kedai Kopi) menilai setahun masa pemerintahan Jokowi JK masyarakat belum merasa puas. Hal ini ditunjukan dari hasil survey 54,7 persen masyarakat menyatakan tidak puas atas kepemimpinan Jokowi.

Mantan Juru Bicara Kepresidenan, Adhie M. Massardi menilai salah satu satu penyebabnya tak lain masih banyak kebijakan Jokowi-JK yang berpihak pada korporasi dan bukan pada kepentingan rakyat.

Adhie memberi contoh program 35.000 megawatt. Secara kasat mata hal tersebut sulit terwujud jika hanya dikerjakan negara. Akhirnya negara melibatkan kelompok swasta yang nantinya akan memberikan untung terhadap korporasi lebih besar.

"Ucapan Rizal Ramli betul juga. Itu tidak mudah. Sebesar itu tentu tidak bisa dijalnkan sendiri. Maka harus melibatkan korporasi sebagai penggerak," ujar Adhie saat diskusi evaluasi setahun Jokowi JK, Ahad (18/10).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pius Ginting selaku perwakilan dari WALHI. Ia menilai contoh kasus pembangunan PLTU Batang dan kasus Rembang, presiden yang semula dianggap rakyat bisa menyelesaikan kasus tersebut malah berpihak pada korporasi.

"Itu mangkarak. Di PLTU batang yang diusung untuk kepentingan rakyat terbukti menyuburkan korporasi. PLN tk punya saham dalam proyek itu. Itu proyek cina dan Jepang," ujar Pius.

Begitu juga di Rembang, awal kampanyenya, Jokowi berjanji akan menuntaskan hal tersebut dan mengangkat kepentingan rakyat. Namun, faktanya hingga saat ini belum ada progress yang ada rakyat menderita atas hal tersebut.

Sebelumnya, Lembaga Survey Kajian Opini Publik (Kedai Kopi) merilis 54,7 persen masyarakat menyatakan tidak puas atas kepemimpinan Jokowi.

Sebagian besar responden merasa tidak puas pada tiga hal, antara lain harga kebutuhan pokok yang tinggi (35,5 persen), pelemahan nilai tukar rupiah (23,7 persen), dan lambannya penanganan kabut asap (11,8 persen).

Survey tersebut dilakukan terhadap 384 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh Indonesia, dengan perbandingan 52 persen di Pula Jawa dan 48 persen dari luar Jawa.

Proses pengumpulan data dilaksanakan dari tanggal 14-17 September melalui wawancara telepon. Dengan menggunakan 384 responden, "Margin of Error" kurang lebih lima persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.


Rep: c15/ Red: Esthi Maharani

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/10/18/nwesgz335-jokowi-masih-berpihak-pada-korporasi

Rabu, 07 Oktober 2015

Walhi Tuding JIBC Jual Teknologi Kotor untuk Indonesia


Warga Batang Jawa Tengah bersama Greenpeace melakukan aksi penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara, di depan Istana Merdeka Jakarta Pusat, Senin (5/10/2015). Dengan membawa replika genderuwo, warga Batang mendesak Presiden Jokowi membatalkan pembangunan PLTU bertenaga batubara karena dapat merusak lingkungan. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menuding Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebagai penyedia dana pembangunan PLTU Batang, telah menjadikan Indonesia pasar teknologi kotor berstandar rendah.

"JBIC mendukung tersedianya energi bersih di Inggris, tapi Indonesia dijadikan pasar teknologi kotor berstandar rendah seperti PLTU berbahan bakar batubara di Batang," kata Manajer Kajian Walhi, Pius Ginting, di Cikini, Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Pius menjelaskan limbah partikel abu hasil pembakaran batubara telah membuat rendah standar hidup masyarakat di Indonesia.

"Menurut data Greenpeace 6.500 orang di Indonesia meninggal lebih awal karena terpapar polusi yang disebabkan pembakaran batubara," beber dia.

Pius mengkhawatirkan pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Batang, dapat meningkatkan polusi yang merugikan warga sekitar pembangkit setiap harinya.

"Kalau di Sumatera dan Kalimantan masyarakat terpapar asap polusi kebakaran hutan ketika kemarau. Di sini (PLTU Batang, red) mereka terpapar sepanjang tahun," sambung Pius.

Penulis: Valdy Arief
Editor: Y Gustaman

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/07/walhi-tuding-jibc-jual-teknologi-kotor-untuk-indonesia

Walhi: Tidak Ada Urgensi Bangun PLTU Batang


TRIBUNNEWS.COM/Valdy Arief
Pius Ginting, Walhi


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting menyebutkan tidak ada urgensi untuk membangun pembangkit listrik bertenaga besar di pulau Jawa seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah.

Pius menyebutkan saat ini di pulau Jawa dan Bali sudah terdapat surplus tenaga listrik sebesar 31 persen.

"Saat ini di Jawa dan Bali sudah surplus listrik sebesar 31 persen, kalau tujuannya pemenuhan listrik masyarakat, seharusnya dibangun di luar Jawa dan Bali yang masih defisit listrik," kata Pius dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Kondisi perekonomian Indonesia yang melambat dan berdampak pada berkurangnya produksi, dipandang Pius, membuat pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dalam membangun PLTU di Batang, Jawa Tengah.

Dia juga mencurigai pembangunan PLTU yang berbahan bakar batubara ini, merupakan upaya menyelamatkan pengusaha bahan tambang tersebut.

"Permintaan dari Tiongkok dan India terhadap batubara Indonesia sedang mengalami penurunan sejak 2012. Pembangunan PLTU Batang merupakan cara mengalihkan pasar batubara ke dalam negeri," katanya.


Penulis: Valdy Arief
Editor: Willy Widianto

Kamis, 01 Oktober 2015

JOKOWI, SEGERALAH TETAPKAN ASAP SEBAGAI BENCANA NASIONAL NON ALAM

ASAP dari kebakaran hutan dan lahan masih meliputi kawasan Sumatera dan Kalimantan. Upaya pemadaman tak berhasil sepenuhnya sejauh ini mengurangi asap. ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) masih berada pada tingkat berbahaya di beberapa kota. Menghindari korban berjatuhan dalam jangka pendek dan panjang, maka perlu segera Pemerintah Jokowi menetapkan daerah yang berlarut-laut tingkat ISPU dalam tingkat berbahaya sebagai kawasan bencana non alam.

Karena kejadian asap ini sudah lintasprovinsi bahkan lintasnegara, maka Pemerintah Jokowi perlu menetapkan keadaan ini sebagai bencana alam nasional non alam. Berbeda dengan kejadian tsunami, letusan gunung, kejadian pencemaran asap yang secara luas telah mengganggu kehidupan ini adalah bencana non alam.

Selanjutnya, jika diperlukan, pemerintah harus melakukan evakuasi terhadap kelompok rentan dari daerah yang memiliki ISPU berstatus bahaya. Pengungsi dari daerah yang terdampak buruk dari bencana non alam ini harus mendapatkan pemenuhan hak masyarakat dan standar pelayanan minumum sebagaimana dikenal di dalam aturan yang mengatur tentang bencana.

Selanjutnya agar bencana non alam ini tak terulang, pemerintah perlu melakukan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang yang konsisten. Wilayah gambut berdasarkan aturan tata ruang adalah kawasan lindung nasional yang tidak diperkenankan/dibatasi pemanfatan ruangnya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Karenanya, pemerintah perlu mencabut semua perizinan perkebunan dan hutan tanam industri di daerah gambut.

Becermin dari kejadian banjir di Jakarta, pemerintah melakukan penegakan tata ruang di kawasan Puncak dengan membongkar vila-vila. Maka, agar kejadian asap tak berulang, semua izin di kawasan gambut perlu dicabut, rehabilitasi lingkungan gambut perlu dilakukan.

Penetapan pencemaran asap antar provinsi ini sebagai bencana non alam nasional tidak menghapuskan tanggung jawab korporasi. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) menerapkan aturan pidana bagi korporasi yang lalai sehingga terjadi bencana non alam. Selain denda dan hukuman penjara, UU PB menyatakan korporasi dapat dikenakan saksi tambahan berupa pencabutan izin usaha atau pencabutan status hukum.

Denda yang dikenakan kepada korporasi akan dijadikan oleh negara sebagai sumber pendanaan untuk menanggulangi bencana non alam dan rehabilitasi.

Tentang betapa mengerikannya polusi udara ini, studi terbaru menyatakan terdapat 3,3 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun karena pencemaran udara di luar ruangan. Umumnya terdapat di kawasan Asia (Nature, 17 September 2015, Vol 525). Umumnya kematian ini karena partikel super halus (ultra fine particle, PM2.5, dan PM10). Karena ukurannya yang sangat halus (sepersepuluh ukuran rambut manusia) partikel ini masuk ke dalam paru-paru, dan dapat mengganggu sistem peredaran darah ke kepala dan jantung.

Pemerintah Jokowi diharapkan segera menetapkan status bencana nasional non alam (istilah yang dikenal (UUPB), agar korban jangka pendek dan jangka panjang tidak terus berjatuhan.

Pius Ginting adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas mewakili sikap pribadi penulis.

RMOL 219376 Jokowi, Segeralah Tetapkan Asap Sebagai Bencana Nasional Non Alam

Sabtu, 26 September 2015

WALHI Kritik Cara Pemerintah Ala "Pemadam Kebakaran"




Hasil kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang diutarakan aktivisnya, Pius Ginting, menyebut Polusi udara akibat kabut asap dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimatan terjadi karena ketidaksiapan korporasi dan pemerintah mengantisipasi bencana itu.

Walhi juga mengkritik Lemahnya peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dalam mengantisipasi bencana kabut asap.


http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/09/26/439/1/WALHI-Kritik-Cara-Pemerintah-Ala-Pemadam-Kebakaran

Minggu, 20 September 2015

Walhi Minta Pemerintah Lebiih Serius Tangani Kabut Asap


KOMPAS.COM/MASRIADI
Masjid Agung Islamic Center Lhokseumawe terlihat diselimuti kabut asap, Minggu (20/9/2015)


JAKARTA, KOMPAS.com – Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menyatakan, pemerintah tidak menganggap serius dampak pencemaran udara bagi masyarakat terdampak kabut asap dan cenderung meremehkan. Padahal, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pencemaran udara pada 2014 menyebabkan tujuh juta kematian dini.

Pius menambahkan, saat ini sudah banyak pemberitaan tentang jatuhnya korban akibat dampak kabut asap atau pencemaran udara, namun fenomena tersebut hanyalah permukaan. Bencana yang ada di Sumatera dan Kalimantan tersebut menurut dia adalah bencana yang sangat serius.

“Wajarlah warga negara Singapura dan Malaysia menuntut tanggung jawab pemerintah dan perusahaannya juga. Karena yang rugi adalah publik Singapura dan juga Indonesia atas ketidakseriusan dari korporasi Singapura dan Malaysia yang berinvestasi di Indonesia maupun korporasi Indonesia sendiri,” ujar Pius dalam acara diskusi terkait bencana kabut asap di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Pemerintah, menurut Pius, harus lebih serius dan tegas dalam menegakkan hukum. Salah satunya adalah mencabut izin perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki prasarana lengkap untuk mengatasi terjadinya kebakaran agar masalah yang sama tidak terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya.

Dia menilai, penegakkan hukum Indonesia terkait bencana ini sangat lemah dari tahun ke tahun serta tidak ada efek jera bagi pengusaha-pengusaha yang menjadi penyebab kebakaran lahan. Idealnya, perusahaan juga ikut bertanggungjawab untuk menanggung bersama biaya penanggulangan.

“Kita sebagai warga negara tentunya tidak menghendaki APBN digunakan untuk menanggulangi ini. Perusahaan wajib dituntut untuk menanggulangi pembiayaan terjadinya kebakaran ini,” lanjut Pius.

Menurut dia, pemerintah harus memiliki paradigma untuk lebih memprioritaskan keselamatan dan kesehatan warga dan mengorbankan keuntungan ekonomi, bukan malah menjalankan yang sebaliknya.

Penulis : Nabilla Tashandra
Editor : Erlangga Djumena


http://nasional.kompas.com/read/2015/09/20/18390061/Walhi.Minta.Pemerintah.Lebiih.Serius.Tangani.Kabut.Asap

Pengusaha Tuding Pemerintah Tak Mampu Atasi Kebakaran Hutan

Reni Lestari 
Jurnalis

JAKARTA - Pemerintah dan pengusaha saling lempar tanggung jawab penyelesaian bencana kebakaran hutan dan kabut asap. Pemerintah mengklaim sebagian besar lahan yang terbakar berada di kawasan korporasi dan akhir menangkap pengusaha. Sedangkan pihak pengusaha merasa dijadikan kambing hitam atas persoalan ini.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, sikap mengkambinghitamkan pengusaha sebagai penyebab kebakaran hutan adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah menanggulangi masalah ini. Dia berdalih, kebakaran yang terjadi di lahan-lahan perusahaan sumber apinya berasal dari luar lahan.

"Inti persoalan bukan di situ. Jadi ini cerminan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah ini. Buktinya tidak saja terbakar lahan milik masyarakat, hutan lindung dan konservasi pun terbakar, padahal itu tanggung jawab pemerintah," kata Fadhil dalam diskusi bertajuk ‘Republik Dibekap Asap’ di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menuding korporasi sebagai pihak yang harusnya bertanggungjawab. Sebelum diberikan izin pengelolaan hutan, korporasi diberikan syarat menyiapkan sarana prasarana untuk mengatasi kebakaran hutan.

Hal tersebut yang dinilai Pius menjadi kesalahan terbesar korporasi. Pemerintah juga melakukan kelalaian dengan mengobral izin pengelolaan hutan.

"Kami telah melakukan overlay antara titik api di Sumatera dan Kalimantan, mayoritas titik api berada di wilayah perkebunan dan konsesi,” ujar Pius.

Menurutnya, setidaknya 50 persen titik-titik api berada di lahan konsensi. Ini bukan sesuatu yang tanpa diketahui dan konsekuensi yang tidak bisa dihindari korporasi sehingga perusahaan tidak siap manakala kebakaran hutan terjadi.

“Di undang-undang perkebunan pun disebutkan perusahaan wajib tandatangan tanggung jawab mereka mengatasi kebakaran," kata Pius.

Padahal, lanjut Pius, berdasarkan audit kesiapan dalam menghadapi kebakaran hutan tahun 2014, hampir semua perusahaan di Riau tak memiliki prasarana untuk mengatasinya. Sebaliknya, tak ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk menindaklanjuti temuan tersebut.

"Ketiaktegasan berada di pemerintah setelah melakukan audit dan seharusnya ada tindakan serius, sehingga kebakaran tetap terjadi di kawasan perusahaan," kata dia.

Pius menyayangkan antisipasi pihak pemerintah yang sangat kurang sehingga peristiwa yang merugikan masyarakat banyak ini terus terulang.

"Antispasi yang tidak jelas dari Kementerian Kehutanan dan hampir semua perusahaan tidak siap. BMKG sudah mengingatkan akan terjadi kemarau panjang dan sejak Februari sudah kita dengar. Antisipasi itu yang tidak ada dari pemerintah," tukas Pius.

(MSR)

http://news.okezone.com/read/2015/09/20/337/1217648/pengusaha-tuding-pemerintah-tak-mampu-atasi-kebakaran-hutan

Foto: Republik Dibekap Asap



Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyampaikan pandangan di Forum Senator untuk Rakyat bertema "Republik Dibekap Asap" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (20/9). Forum kali ini dihadiri juga anggota DPR RI dari Riau Abdul Gafar Usman, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi.
Febiyana/RMOL

Jumat, 11 September 2015

Mengatasi krisis listrik dengan proyek 35.000 MW


Pemerintah Indonesia diminta transparan soal perhitungan kebutuhan energi nasional yang sebenarnya.

Pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt akan terus berjalan, namun pengamat mengatakan ada hal yang harus dicermati di balik sekadar perdebatan soal angka.

Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik baru di Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun ke depan.

Tetapi, pada Senin (07/09) lalu, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000 MW untuk lima tahun ke depan.

Kebijakan tersebut diambil Rizal usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir.

Rizal mengatakan, "35.000 MW itu tidak mungkin dicapai dalam lima tahun, 10 tahun bisa lah. Kalau dibangun semuanya pun, dalam lima tahun, terjadi sampai 35.000 MW, PLN akan mengalami kapasitas lebih."

Kapasitas lebih ini nantinya, menurut dia, akan membebani PLN karena sesuai perjanjian dengan pihak swasta maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Rabu (09/09) malam bersama Menteri BUMN Rini Soemarno menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 megawatt tersebut.

Rencananya, PLN akan memasok sekitar 10.000 megawatt untuk proyek ini, dan sisanya, 25.000 akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta.


Energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan.
Pius Ginting


Perhitungan


Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Hindun Mulaika pada BBC Indonesia mengatakan bahwa mereka belum melihat bagaimana perhitungan angka 35.000 megawatt itu keluar.

"Apakah kemudian 16.000 (megawatt) itu angka yang lebih pas? Ya harus dibuka ke publik juga perhitungannya. Dan, baik itu 16.000 atau 35.000 (megawatt), harus dibuka juga, dengan PLTU-kah, dengan PLTA-kah, atau dengan mendorong energi terbarukan," kata Hindun.

Hampir 63% dari 35.000 megawatt tersebut rencananya akan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap yang kebanyakan dibangun di Pulau Jawa.

Artinya, menurut Hindun, sebagian besar dari target tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Jawa dan Bali yang sebenarnya sudah hampir 90% mendapat listrik.

Dia melihat langkah ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk industri, tapi bukan untuk masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan aliran listrik.

Jika target pemenuhan kebutuhan listrik diturunkan jadi 16.000 megawatt, maka, Hindun melihat, penurunan tersebut membuat angka lebih realistis dari sisi pencapaian proyek.

Meski begitu dia meminta pemerintah transparan soal keterbutuhan listrik sebenarnya yang disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan, dan apakah pemenuhan tersebut harus menggunakan PLTU.


Luar Jawa



Presiden Jokowi meresmikan pembangunan PLTU Batang pada akhir Agustus 2015 lalu meski ada penolakan warga soal pembebasan lahan.

Menurut Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Walhi, di tengah ekonomi Indonesia yang sebenarnya mengalami perlambatan, maka permintaan listrik mungkin tak sebesar seperti yang direncanakan sebelumnya sehingga revisi angka sebenarnya mungkin terjadi.

Namun yang terpenting, Pulau Jawa mengalami surplus listrik 31%, sementara wilayah seperti Sumatera Utara dan Aceh sebenarnya mengalami minus listrik 9,3%.

Padahal, menurut penelitiannya, rencana PLTU yang akan dan tengah dibangun berlokasi di Cilacap, Batang, Jepara, dan Cirebon, yang semuanya berada di Pulau Jawa. Sehingga Pius belum melihat bagaimana rencana ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga di luar Pulau Jawa.

"Kalau pemerintah mau melibatkan swasta, swasta harus didorong untuk masuk ke energi terbarukan dan diprioritaskan untuk ke luar Pulau Jawa. Revisi angka itu masih cukup penting. Tapi energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan."

Seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya, Eva, mengatakan pada BBC Indonesia bahwa dalam sebulan, dia bisa mengalami setidaknya lima belas kali mati listrik. "Dalam seminggu ada tiga kali, empat kali, tapi kadang tidak juga," katanya.

Warga Banda Aceh, Bakhtiar, juga menggambarkan kondisi layanan listrik di kotanya.

"Kondisi normal tanpa gangguan, kayak mati digilir. Sebulan, bisa 10-15 kali. Paling sedikit 30 menit mati lampu, ada yang sampai 6 jam atau 8 jam. Kawan-kawan di Lhokseumawe, malah lebih parah, bisa seharian mati lampunya, dari pagi sampai jam 8 malam baru hidup lagi."



Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150910_indonesia_listrik_35ribumw

Kamis, 10 September 2015

Walhi denounces coal-fired power plants

Amid the country’s economic slowdown, the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) has urged the government to reduce its coal dependency in its plan to build power plants to produce 35,000 Megawatts (MW) of power in the next five years.

The government has lowered its economic growth projection in 2016 from 5.8-6.2 percent to 5.5-6 percent, below the projection included in PLN’s 2013-2022 master plan of 6.9 percent.

Based on the PLN projection, electricity demand is predicted to reach 7,000 MW per year, hence the government’s plan to produce 35,000 MW of power in the next five years.

“The economic slowdown is the perfect moment to conserve natural resources instead of exploiting them massively. Developing renewable energy is more suitable because the social and environmental costs of fossil fuel actually slows down economic growth itself,” Walhi executive director Abetnego Tarigan said.

Walhi energy campaigner Pius Ginting said that coal-fired power plants (PLTUs) had been found to reduce the productivity of people living within their vicinity.

“In our study during August 2015, Walhi found that farmers’ productivity declined in Jepara, Cirebon, due to dust from the burning of coal in power plants,” he told The Jakarta Post on Wednesday. “Fine particles called PM2.5 and PM10 produced by PLTUs are extremely dangerous to health. Their ultra-fine size enables them to enter the bloodstream.”

A recent study by Harvard University has found that increasing the number of PLTUs from 42 to 159 will increase the risk of death from air pollutants in Indonesia.

The government plans to build some 117 PLTUs in the next decade to meet the demand for more power.

The study revealed that air pollutants from the burning of coal at 42 existing power plants resulted in at least 6,500 deaths per year from strokes, heart and lung cancers and other respiratory and cardiovascular diseases.

This number would rise to 15,700 if the 117 new plants were constructed. The 117 new plants do not include other plants that the current government plans to install in its ambition to produce another 20,000 megawatts of energy. The ambitious project includes the construction of the controversial plant in Batang, Central Java, which continues to face protests from locals in the area.

Besides their hazardous impact on health, PLTUs also increased costs for other sectors, such as the salt industry, said Pius.

“Salt water used in salt ponds turns black due to the activities of PLTUs as well as coal loading and unloading from ships,” he said. “This increases costs and time needed for salt farmers to clean the water.”

Pius added that PLTUs also affected plant life, with leaves turning black and dust covering their stomata and reducing their productivity.

It was, therefore, crucial for the government to alter its 35,000 MW electricity project as it was currently dominated by PLTUs in Java, accounting for 12,400 MW, he said.


Hans Nicholas Jong, The Jakarta Post, Jakarta

http://www.thejakartapost.com/news/2015/09/10/walhi-denounces-coal-fired-power-plants.html

Kamis, 27 Agustus 2015

KETIKA PERANCIS MEMBAKAR KARBON DI INDONESIA

PERUBAHAN iklim bukan lagi wacana namun sudah menjadi kenyataan.

Kini perubahan iklim pun menjadi perhatian besar. Salah satu penyebab perubahan iklim adalah pembakaran bahan bakar fosil. Agar selamat dari pemanasan global, yakni suhu dapat dipertahankan dibawah 2 derajad celsius, maka sebanyak 80 perseb dari cadangan batubara di dunia harus tetap ditinggalkan terkubur di dalam tanah.

Beberapa negara telah membuat terobosan agar investasi keluar dari sektor batubara. Amerika Serikat misalnya, telah menghentikan 200 pembangkit listrik batubara secara nasional, yakni sebanyak 40 perseb dari sejumlah 523 pembangkit listrik lima tahun yang lalu.

Di Norwegia, Dana Pensiun Pemerintah telah berkomitment melakukan divestasi dari perusahaan batubara. Sebanyak 900 miliar dolar AS investasi batubara akan dicabut dari 122 perusahaan, termasuk dari 12 perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Celakanya, Indonesia tetap menjadi pasar bagi teknologi pembangkit batubara oleh perusahaan teknologi internasional. Seiring dengan meningkatnya pemakaian batubara untuk listrik dalam negeri, persentase emisi sektor ini meningkat dari 18,8% pada tahun 2000 menjadi 30,6 persen pada tahun 2011. Menjadikan Indonesia nomor 6 penghasil gas karbondioksida dunia pada tahun 2012. Emisi karbondioksida terkait energi sebesar 25 persen, dimana 42 persen berasal dari pembangkit listrik.

Salah satu perusahaan internasional yang berperan penting dalam peningkatan penggunaan batubara di Indonesia adalah Alstom, berasal dari Perancis. Alstom mencetak keuntungan dari operasinya di Indonesia dengan mendukung pembangkit listrik batubara di sejumlah tempat. Diantaranya menjadi boiler buat pembangkit listrik Paiton Unit 1 dan 2 dengan kapasitas 2 x 400 MW, dan Paiton Unit 5,6,7 dengan kapasitas 4 x 660 MW.

Di luar Jawa, Alstom mendukung pembangunan pembangkit listrik batubara unit 1 dan 2 Ombilin, pembangkit listrik batubara Bukit Asam unit 1 dan 2 dengan kapasitas 2 X 65 MW, serta Tarahan Lampung unit 3 dan 4 berkasitas 2 X 100 MW.

Dengan demikian, Alstom terlibat dalam pembakaran batubara sebanyak 23 juta ton per tahun, dan menghasilkan emisi karbonbondioksida sebanyak 28 juta ton.

Untuk pembangkit listrik Tarahan Lampung, Alstom melakukan penyuapan terhadap politisi Indonesia agar dapat memenangkan proyek sebesar 268 juta dolar AS.

Perancis adalah tuan rumah bagi penyelenggaran konferensi perubahan iklim internasional pada Desember 2015, dimana semua negara dituntut komitmennya untuk mengurangi emisi karbon.

Organisasi lingkungan hidup WALHI telah mengirimkan surat terbuka protes kepada Perancis atas dukungannya kepada perusahaan Alstom pada 22 Juli 2015.

Sehari sesudah surat terbuka tersebut, tulisan Duta Besar Perancis, Corinne Breuze muncul di media berjudul France, Indonesia and Climate Change menyatakan, Perancis dan Indonesia telah bekerja sama dengan baik mengatasi perubahan iklim, dengan penandatanganan kemitraan kedua negara, secara khusus kerjsama dalam bidang energi, utamanya pemakaian bahan bakar non fosil dan energi limbah.

Pernyataan Duta Besar Perancis ini bertentangan dengan kenyataan yang ada, karena Alstom dengan dukungan pemerintah Perancis sangat terlibat dalam pembakaran batubara di Indonesia.

Agar sejalan dengan komitmen pengurangan emisi karbon, maka pemerintah Perancis seharusnuya menghentikan semua dukungan finansial dan politik kepada kegiatan Alstom yang bergerak dalam teknologi pembangkit listrik batubara. Saatnya perkataan sejalan dengan tindakan agar dunia selamat dari perubahan iklim yang tak terkendali.

Penulis adalah aktivis WALHI 

Green Politics RMOL: 214888 Ketika Perancis Membakar Karbon di Indonesia

Kamis, 06 Agustus 2015

Buku: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara


(Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha, editor: Maryati Abdullah, Chistina Hill)
Penulis : Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha
Penyunting : Maryati Abdullah, Chistina Hill
Penerbit : Publish What You Pay Indonesia (IGJ)
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : iv, 38 halaman
ISBN : ---

Tulisan ini mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus dari pengalaman masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, tulisan ini juga memaparkan pembelajaran Internasional, yaitu dari Australia dan Norwegia.

Selasa, 07 Juli 2015

MEMETIK PELAJARAN DARI NEGERI DEWA-DEWI

DEMOKRASI prosedural menenteramkan elit politik dan elit lembaga keuangan. Demokrasi sejati menakutkan kepentingan mereka. Peningkatan kualitas dan bentuk demokrasi telah terjadi di negeri asal demokrasi itu sendiri, Yunani.

Referendum Yunani adalah kejadian unik. Inilah referendum pertama skala nasional tentang rencana kebijakan kebijakan perekonomian. Umumnya referendum dilakukan untuk penentuan nasib sendiri sebagai bangsa. Seperti yang dilakukan terhadap Skotlandia, Timor Leste.

Pemerintahan Tsripas dari Partai Syriza tidak ingin mengambil keputusan sendiri terkait pinjaman batu dari lembaga keuangan IMF dan Bank Central Eropa. Pun keputusan tersebut tidak hanya diambil dengan persetujuan parlemen. Diluar kebiasaan demokrasi prosedural, Pemerintahan Tsripas menanyakan kepada rakyat Yunani apakah rakyat setuju atau tidak setuju dengan talangan baru dari lembaga keuangan internasional dengan syarat-syarat memberatkan kehidupan rakyat, seperti pemangkasan uang pensiun, privatisasi, dan aturan ketenaga kerjaan lebih fleksibel namun memberatkan pekerja.

Mayoritas rakyat Yunani menyatakan tidak setuju (OXI) syarat-syarat yang memberatkan kehidupan yang telah susah di bawah sistem kapital selama ini.

Pengalaman Yunani ini menarik diadopsi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Pemerintah Indonesia hingga saat ini membuat kebijakan pengelolaan sumber daya alam tanpa partisipasi rakyat. Di bawah pemerintahan SBY, pemerintah menetapkan peta Wilayah Pertambangan per pulau tidak melibatkan rakyat.

Undang-undang Minerba pasal 9 dan 10 telah menyatakan bahwa proses penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan dengan asas partisipatif dan memperhatikan aspirasi warga. Norma ini sejauh ini masih semu, karena mekanisme partisipatifnya tidak dirinci. Alih-alih merincikannya dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral malah melakukan proses penetapan wilayah pertambangan tanpa partisipatif masyarakat sama sekali.

Masyarakat sekitar pertambangan (Kulonprogo, Pati-Jawa Tengah, Bengkulu, Lumajang Jawa Timur, Manggarai Barat) bersama dengan organisasi lingkungan WALHI pada tahun 2010 melakukan uji materi atas Undang-undang no 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara agar masyarakat terdampak harus ditanyakan persetujuan atau tidak terlebih dahulu sebelum pemerintah melakukan penetapan wilayah pertambangan. Bahkan jika perlu, dilakukan referendum lokal yang diikuti oleh masyarakat terdampak, seperti telah dipraktikkan di tingkat lokal di negera lain.

Referendum lokal dalam pengelolaan sumber daya alam skala lokal yang telah pernah dilakukan di beberapa negara. Di antaranya di Filipina, warga daerah Barangay Didipio tak menghendaki sebuah tambang emas dan tembaga Climax Arimco, asal Australia, menggalang petisi dan memperoleh dukungan dua kali lipat dari jumlah yang dipersyaratkan untuk melakukan sebuah referendum menentang aktivitas perusahaan tambang di daerah mereka. Tahun 2000, Komisi Pemilihan menyangkal petisi tersebut. Tapi proses yang telah berlangsung berhasil memperkuat penentangan rakyat terhadap pembatalan izin pertambangan oleh pemerintah lokal dan mengakibat penarikan pinjaman uang dari perusahaan tersebut.

Di Turki, referendum lokal dilakukan di delapan desa di sekitar sebuah pertambangan emas asal Autralia pada tahun 1996. Bupati daerah setempat melaporkan 89% jumlah pemilih yang sah memiliki hak suara dalam pemungutan suara secara tertutup/rahasia ini menolak pertambangan. Karena sifat referendum ini belum resmi diakui, belum memiliki dampak hukum penting secara langsung. Namun Mahkamah Agung Turki menyatakan izin operasi pertambangan, yang memerbolehkan penggunaan sianida dalam ekstraksi emas, bertentangan dengan kepentingan publik dan pemohon (terdiri dari 10 orang warga desa Bergama dan sekitarnya). Kasus ini berlanjut ke Pengadilan HAM Eropa, dimana pengadilan menyatakan, bahwa usaha pemerintahan Turki menghindar dari putusan Mahkamah Agung (MA) Turki adalah sebuah pelangaran terhadap hak mengakui kehidupan keluarga, hak untuk peradilan yang adil dan hak mendapatkan perbaikan efektif.

Di Inggris, pada tahun 1990-an, Lefarger, perusahaan multinasional dari Perancis, penghasil semen terbesar di dunia merencanakan penambangan 50 kali lebih besar dari biasanya di Inggris. Sebanyak 83% penduduk lokal memilih dan 68% menolak pertambangan tersebut pada tahun 1985. Hasil referendum ini membuat dewan setempat mengeluarkan sikap menolak tambang seluas 600 hektar ini.

Maret 2006. Lebih dari 2,100 warga Indian-Amerika di kawasan cagar alam Colville di Washington ikut dalam referendum. Lebih 60% persen penduduk menentang rencana penambangan molybdenum.

Pengalaman referendum lainnya atas pengelolaan sumber daya alam dilakukan di Cerro de San Pedro, Mexico sebuah referendum dengan 19.050 orang atau 97,6% dari pemilih memberi suara menolak proyek tambang San Xavie; Juni, 2002 di Tambogrande, bagian barat laut Peru, referendum komunitas secara resmi dilakukan pertama kali di dunia atas sebuah proyek tambang. Lebih dari 98%, sebagaian besar penduduk non-pribumi memilih menolak tambang emas dan tambaga perusahaan asal Kanada, Manhattan Minerals.

Partisipasi masyarakat penting lewat refendum atas kebijakan pembangunan yang berdampak besar adalah penting untuk dilakukan. Kerap kali, lembaga perwakilan tidak mencerminkan pendapat mayoritas warga terdampak. Minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan menjadi faktor munculnya konflik, hal yang telah diakui oleh TAP MPR NO IX Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dalam sektor pertambangan, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012 telah terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah Indonesia.

Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya atas perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010 atas Uji Materi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diajukan masyarakat sekitar tambang menyatakan bahwa pemerintah harus membuat mekanisme partisipasi masyarakat terdampak pertambangan dalam penetapan wilayah pertambangan.

Kini, adalah tugas Pemerintahan Jokowi yang didukung keterlibatan aktif banyak relawan, dengan inspirasi referendum Yunani, dapat melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan, agar penetapan, wilayah pertambangan secara sepihak, pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan sepihak tidak dilanjutkan.

Dan praktik dan bentuk demokrasi di komunitas ditinggikan dengan memberikan ruang referendum lokal manakala sebuah daerah dijadikan menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, dan bentuk pengelolaan lainnya yang berdampak besar. Demokrasi seharusnya membahagiakan kehidupan sehari-hari rakyat, karena dia (demos cratos) memang untuk rakyat, dan bukan prosedural 5 tahunan untuk faksi elit politik dan lembaga keuangan di belakangnya. [***]

Penulis adalah aktivis WALHI

RMOL: 209185 Memetik Pelajaran dari Negeri Dewa-Dewi

Sabtu, 13 Juni 2015

SAAT KERETA API TAK BAIK BAGI LINGKUNGAN


Oleh: PIUS GINTING
Naik kereta api, tut, tut, tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung, Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma
Ayo temanku lekas naik
Keretaku tak berhenti lama


KERETA api dan jalan kereta api. Betapa baiknya menjadi pilihan moda transportasi. Daya angkutnya (baik penumpang atau barang) lebih banyak dibandingkan daya angkut bus atau truk per bahan bakar yang digunakan. Sehingga lebih ramah lingkungan. Bebas dari kemacetan. Beruntunglah rakyat pulau Jawa telah memiliki sistem kereta api.

Kita mendukung rencana pemerintah membangun rel kereta api ke bandara, seperti dari pusat kota Jakarta ke Bandara Soekarno Hatta. Dengan sistem transportasi terintegrasi tersebut, penggunakan bahan bakar serta emisi gas rumah kaca dan polutan udara dari kemaceta dapat dikurangi. Secara umum, kebijakan pembangunan rel kereta api adalah baik dalam mengurangi beban lingkungan.

Seorang teman aktivis lingkungan berkebangsaan Jepang, ketika berada di Indonesia dalam dua kali kunjungannya tak pernah menggunakan pesawat terbang. Dia memilih menggunakan kereta api untuk perjalanan Jakarta-Semarang-Surabaya. Dan kembali ke Jakarta.

Menurutnya naik kereta api lebih ramah lingkungan. Bahkan di Jepang pun dia selalu menggunakan kereta api dari Tokyo hingga perjalanan ke kota lain. Suatu kebiasaan dan kesadaran lingkungan yang baik. Kendati naik tak percuma seperti dalam lagu anak-anak, teman aktivis ini mendapatkan nuansa senang naik kereta api seperti dalam lagu tersebut.

Namun tak selamanya pembangunan rel kereta api mendukung penyelamatan lingkungan dan pembangunan dalam negeri.

Eduardo Gaelano, penulis Amerika Latin dalam buku Open Veins of Latin America menyatakan jalur kereta api menimbulkan deformasi perkembangan ekonomi suatu daerah/negara bila bentuknya seperti jari-jari tangan, ketimbang menghubungkan pusat-pusat tempat warga bermukim. Yakni diperuntukkan mengangkut barang dari daerah pedalaman hingga ke pelabuhan. Dan dari pelabuhan, barang dibawa ke pasar luar negeri (ekspor).

Jalur kereta api seperti ini hanya menguras sumber daya daerah pedalaman untuk dibawa ke pasar internasional, alih-alih menghubungkan dan mengembangkan tempat-tempat dalam sebuah kawasan, agar interaksi kehidupan dan ekonomi penduduknya saling mendukung.

Salah satu rencana pembangunan rel kereta api yang kontroversial adalah pembangunan rel kereta api di Kalimantan Tengah. Khususnya menghubungkan Kabupaten Murung Raya (dari kota kecil Puruk Cahu) di bagian utara ke pelabuhan ke Batanjung di bagian selatan. Selanjutnya pengangkutan diteruskan melalui kapal tongkang batubara lewat Sungai Barito ke pasar global dan Pulau Jawa.

Logika pembangunan rel kereta api yang mendukung perkembangan ekonomi penduduk lokal adalah bertentangan dengan logika pembangunan rel kereta api sebagai pengalir komoditi untuk pasar ekspor (global). Presiden Jokowi menyatakan rel kereta api Kalimantan Tengah tidak menggunakan dana publik (APBN/APBD).

Swasta sebagai pembangun (China Railway Group) tentu lebih memilih jalur melintasi wilayah kosong penduduk menghindari biaya pembebasan lahan lebih mahal. Dan jika pun diarahkan lewat kawasan pusat penduduk, karena yang diangkut adalah batubara maka dampak kesehatan terhadap penduduk sekitar akan meninggi dari debu batubara.

Berdasarkan kajian ahli transportasi, sebuah jalur kereta api layak dibangun bila penumpang yang diangkut setidaknya 10 juta orang per tahun. Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi Indonesia dengan kerapatan penduduk paling jarang, dengan penduduk hanya 2,3 juta (2014). Sehingga mobilitas jumlah penduduk dalam jumlah masif antara satu tempat ke tempat lainnya tidak menjadi kenyataan sehari-hari. Sehingga pembangunan rel kereta api Kalimantan Tengah ini lebih ini kepada untuk mengangkut batubara.

Potensi batubara Kalimantan Tengah sebanyak 5.4 milyar ton, lebih dari 80% berada di Kabupaten Murung Raya. Selama ini terlindung dari kegiatan eksploitasi karena lokasinya yang jauh ke pedalaman dimana transportasi sungai yang tak bisa diandalkan. Dengan kehadiran kereta api batubara ini, produksi batubara Kalimantan diharapkan naik tujuh kali lipat dari periode tahun 2012, atau menjadi 97 juta ton per tahun.

Perkembangan ini bertentangan dengan semangat penyelamatan dunia dari perubahan iklim. Berdasarkan kajian Universitas College London (Januari 2015), sebanyak 80% dari cadangan batubara dunia saat ini harus tetap ditinggalkan di dalam tanah jika kita ingin menjaga kenaikan suhu bumi kurang dari dua derajat celcius sejak masa revolusi industri. Batas kenaikan ini merupakan batas aman bagi kehidupan manusia di bumi akibat perubahan iklim. Dengan begitu, hanya 20% lagi dari keseruhan cadangan batu bara dunia yang seharusnya diekploitasi.

Indonesia telah menjadi ladang lembaga keuangan internasional untuk mengembangkan kapital berbasiskan batubara. China tercatat antara tahun 2008 hingga 2013 menanamkan modal setidaknya 4,34 milyar dolar di pembangkit listrik batubara di Indonesia. Angka ini akan bertambah jika rel kereta api batubara Kalimantan Tengah dilanjutkan. Kontraktor pembangun rel kereta api batubara tersebut adalah China Railway Group.

Tak hanya China, tapi lembaga keuangan lainnya seperti Jepang JBIC telah banyak mengembangkan kapital berbasiskan batubara di Indonesia, contohnya dalam PLTU Batang, Cirebon, dan Paiton. Batubara PLTU Batang akan berasal dari tambang Adaro di Kalimantan, salah satu potensi pengguna rel kereta api batubara Kalimantan.

Desember tahun ini kembali diselenggaran konferensi perubahan iklim, bertempat di Paris. Negara-negara dunia akan membuat kesepakatan baru paska Protokol Kyoto untuk membatasi emisi gas rumah kaca dari masing-masing negara. Pemerintah saat ini sedang menyusun rencana nasional penurunan emisi yang dibawa kepada konferensi tersebut melalui program kontribusi sungguh-sungguh yang direncanakan secara nasional (intended nationally determined contributions).

Ini menjadi momen tepat bagi pemerintahan Jokowi membatalkan semua proyek infrastruktur batubara, seperti rel kereta api Kalimantan Tengah dan pembangunan jalur baru rel kereta api Sumatera Selatan. Saat yang tepat mengurangi/phasing out produksi batubara sebagai bagian kontribusi Indonesia menjaga 80% batubara dunia tetap dalam perut bumi.

Bagaimana dengan kompensasi kehilangan ekonomi dari pembatalan infrastuktur dan tak menggali batubara dari perut bumi?

Pemerintah Jokowi saatnya bersatu dengan negeri Selatan mendorong negara maju (sebagai tanggung jawab mereka pengemisi gas rumah kaca lebih besar dan terdahulu secara historis sejak Revolusi Industri) membantu negera berkembang untuk pengembangan proyek-proyek pembangungan rendah emisi (Low Emission Developoment Strategies), agar melakukan transfer teknologi energi terbarukan.

Sehingga Indonesia berhenti jadi ladang baru pengembangan kapital internasional berbasiskan batubara (infrastuktur, PLTU Batubara) yang sama sekali tak ramah lingkungan dan tak peka terhadap bahaya perubahan iklim yang batas waktu tak terkendalinya kian mendekat. [***]

Penulis adalah aktivis senior Walhi.

Green Politics RMOL: 206082 Saat Kereta Api Tak Baik Bagi Lingkungan

Rabu, 03 Juni 2015

Hutan Indonesia di Persimpangan Nawa Cita



Niat pemerintah memanfaatkan hutan Indonesia sebagai sumber ekonomi warga daerah ternyata belum sepenuhnya merealisasikan semangat Nawa Cita membangun ekonomi Nasional dari wilayah pinggir.

Hambatan datang karena hadirnya pengusaha-pengusaha besar pengelola sumber daya alam yang terlalu tamak tanpa memikirkan lingkungan dan rakyat sekitar hutan.

Sebagai pemberi izin, pemerintah dituntut merealisasikan itu semua agar predikat hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia tetap terdengar hingga anak cucu kita kelak.

Itulah sepenggal isu dialog Forum Senator untuk Rakyat dengan topik “Hutan Indonesia di Persimpangan Nawa Cita”.

Diskusi yang terselenggara di Bakoel Koffie Jakarta, Minggu 31 Mei 2015 ini menghadirkan lima orang pembicara dari latar belakang berbeda, yaitu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup SIti Nurbaya, Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba, Ketua LSM HuMa Chalid Muhammad, Direktur Kajian Walhi Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi.

Acara itu sendiri terselenggara atas kerjasama Kantor Berita Politik RMOL dan Dewan Perwakilan Daerah RI.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/06/03/120/Hutan-Indonesia-di-Persimpangan-Nawa-Cita-