Sabtu, 26 September 2015

WALHI Kritik Cara Pemerintah Ala "Pemadam Kebakaran"




Hasil kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang diutarakan aktivisnya, Pius Ginting, menyebut Polusi udara akibat kabut asap dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimatan terjadi karena ketidaksiapan korporasi dan pemerintah mengantisipasi bencana itu.

Walhi juga mengkritik Lemahnya peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dalam mengantisipasi bencana kabut asap.


http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/09/26/439/1/WALHI-Kritik-Cara-Pemerintah-Ala-Pemadam-Kebakaran

Minggu, 20 September 2015

Walhi Minta Pemerintah Lebiih Serius Tangani Kabut Asap


KOMPAS.COM/MASRIADI
Masjid Agung Islamic Center Lhokseumawe terlihat diselimuti kabut asap, Minggu (20/9/2015)


JAKARTA, KOMPAS.com – Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menyatakan, pemerintah tidak menganggap serius dampak pencemaran udara bagi masyarakat terdampak kabut asap dan cenderung meremehkan. Padahal, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pencemaran udara pada 2014 menyebabkan tujuh juta kematian dini.

Pius menambahkan, saat ini sudah banyak pemberitaan tentang jatuhnya korban akibat dampak kabut asap atau pencemaran udara, namun fenomena tersebut hanyalah permukaan. Bencana yang ada di Sumatera dan Kalimantan tersebut menurut dia adalah bencana yang sangat serius.

“Wajarlah warga negara Singapura dan Malaysia menuntut tanggung jawab pemerintah dan perusahaannya juga. Karena yang rugi adalah publik Singapura dan juga Indonesia atas ketidakseriusan dari korporasi Singapura dan Malaysia yang berinvestasi di Indonesia maupun korporasi Indonesia sendiri,” ujar Pius dalam acara diskusi terkait bencana kabut asap di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Pemerintah, menurut Pius, harus lebih serius dan tegas dalam menegakkan hukum. Salah satunya adalah mencabut izin perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki prasarana lengkap untuk mengatasi terjadinya kebakaran agar masalah yang sama tidak terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya.

Dia menilai, penegakkan hukum Indonesia terkait bencana ini sangat lemah dari tahun ke tahun serta tidak ada efek jera bagi pengusaha-pengusaha yang menjadi penyebab kebakaran lahan. Idealnya, perusahaan juga ikut bertanggungjawab untuk menanggung bersama biaya penanggulangan.

“Kita sebagai warga negara tentunya tidak menghendaki APBN digunakan untuk menanggulangi ini. Perusahaan wajib dituntut untuk menanggulangi pembiayaan terjadinya kebakaran ini,” lanjut Pius.

Menurut dia, pemerintah harus memiliki paradigma untuk lebih memprioritaskan keselamatan dan kesehatan warga dan mengorbankan keuntungan ekonomi, bukan malah menjalankan yang sebaliknya.

Penulis : Nabilla Tashandra
Editor : Erlangga Djumena


http://nasional.kompas.com/read/2015/09/20/18390061/Walhi.Minta.Pemerintah.Lebiih.Serius.Tangani.Kabut.Asap

Pengusaha Tuding Pemerintah Tak Mampu Atasi Kebakaran Hutan

Reni Lestari 
Jurnalis

JAKARTA - Pemerintah dan pengusaha saling lempar tanggung jawab penyelesaian bencana kebakaran hutan dan kabut asap. Pemerintah mengklaim sebagian besar lahan yang terbakar berada di kawasan korporasi dan akhir menangkap pengusaha. Sedangkan pihak pengusaha merasa dijadikan kambing hitam atas persoalan ini.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, sikap mengkambinghitamkan pengusaha sebagai penyebab kebakaran hutan adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah menanggulangi masalah ini. Dia berdalih, kebakaran yang terjadi di lahan-lahan perusahaan sumber apinya berasal dari luar lahan.

"Inti persoalan bukan di situ. Jadi ini cerminan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah ini. Buktinya tidak saja terbakar lahan milik masyarakat, hutan lindung dan konservasi pun terbakar, padahal itu tanggung jawab pemerintah," kata Fadhil dalam diskusi bertajuk ‘Republik Dibekap Asap’ di Cikini, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menuding korporasi sebagai pihak yang harusnya bertanggungjawab. Sebelum diberikan izin pengelolaan hutan, korporasi diberikan syarat menyiapkan sarana prasarana untuk mengatasi kebakaran hutan.

Hal tersebut yang dinilai Pius menjadi kesalahan terbesar korporasi. Pemerintah juga melakukan kelalaian dengan mengobral izin pengelolaan hutan.

"Kami telah melakukan overlay antara titik api di Sumatera dan Kalimantan, mayoritas titik api berada di wilayah perkebunan dan konsesi,” ujar Pius.

Menurutnya, setidaknya 50 persen titik-titik api berada di lahan konsensi. Ini bukan sesuatu yang tanpa diketahui dan konsekuensi yang tidak bisa dihindari korporasi sehingga perusahaan tidak siap manakala kebakaran hutan terjadi.

“Di undang-undang perkebunan pun disebutkan perusahaan wajib tandatangan tanggung jawab mereka mengatasi kebakaran," kata Pius.

Padahal, lanjut Pius, berdasarkan audit kesiapan dalam menghadapi kebakaran hutan tahun 2014, hampir semua perusahaan di Riau tak memiliki prasarana untuk mengatasinya. Sebaliknya, tak ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk menindaklanjuti temuan tersebut.

"Ketiaktegasan berada di pemerintah setelah melakukan audit dan seharusnya ada tindakan serius, sehingga kebakaran tetap terjadi di kawasan perusahaan," kata dia.

Pius menyayangkan antisipasi pihak pemerintah yang sangat kurang sehingga peristiwa yang merugikan masyarakat banyak ini terus terulang.

"Antispasi yang tidak jelas dari Kementerian Kehutanan dan hampir semua perusahaan tidak siap. BMKG sudah mengingatkan akan terjadi kemarau panjang dan sejak Februari sudah kita dengar. Antisipasi itu yang tidak ada dari pemerintah," tukas Pius.

(MSR)

http://news.okezone.com/read/2015/09/20/337/1217648/pengusaha-tuding-pemerintah-tak-mampu-atasi-kebakaran-hutan

Foto: Republik Dibekap Asap



Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyampaikan pandangan di Forum Senator untuk Rakyat bertema "Republik Dibekap Asap" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (20/9). Forum kali ini dihadiri juga anggota DPR RI dari Riau Abdul Gafar Usman, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi.
Febiyana/RMOL

Jumat, 11 September 2015

Mengatasi krisis listrik dengan proyek 35.000 MW


Pemerintah Indonesia diminta transparan soal perhitungan kebutuhan energi nasional yang sebenarnya.

Pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt akan terus berjalan, namun pengamat mengatakan ada hal yang harus dicermati di balik sekadar perdebatan soal angka.

Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik baru di Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun ke depan.

Tetapi, pada Senin (07/09) lalu, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000 MW untuk lima tahun ke depan.

Kebijakan tersebut diambil Rizal usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir.

Rizal mengatakan, "35.000 MW itu tidak mungkin dicapai dalam lima tahun, 10 tahun bisa lah. Kalau dibangun semuanya pun, dalam lima tahun, terjadi sampai 35.000 MW, PLN akan mengalami kapasitas lebih."

Kapasitas lebih ini nantinya, menurut dia, akan membebani PLN karena sesuai perjanjian dengan pihak swasta maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Rabu (09/09) malam bersama Menteri BUMN Rini Soemarno menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 megawatt tersebut.

Rencananya, PLN akan memasok sekitar 10.000 megawatt untuk proyek ini, dan sisanya, 25.000 akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta.


Energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan.
Pius Ginting


Perhitungan


Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Hindun Mulaika pada BBC Indonesia mengatakan bahwa mereka belum melihat bagaimana perhitungan angka 35.000 megawatt itu keluar.

"Apakah kemudian 16.000 (megawatt) itu angka yang lebih pas? Ya harus dibuka ke publik juga perhitungannya. Dan, baik itu 16.000 atau 35.000 (megawatt), harus dibuka juga, dengan PLTU-kah, dengan PLTA-kah, atau dengan mendorong energi terbarukan," kata Hindun.

Hampir 63% dari 35.000 megawatt tersebut rencananya akan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap yang kebanyakan dibangun di Pulau Jawa.

Artinya, menurut Hindun, sebagian besar dari target tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Jawa dan Bali yang sebenarnya sudah hampir 90% mendapat listrik.

Dia melihat langkah ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk industri, tapi bukan untuk masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan aliran listrik.

Jika target pemenuhan kebutuhan listrik diturunkan jadi 16.000 megawatt, maka, Hindun melihat, penurunan tersebut membuat angka lebih realistis dari sisi pencapaian proyek.

Meski begitu dia meminta pemerintah transparan soal keterbutuhan listrik sebenarnya yang disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan, dan apakah pemenuhan tersebut harus menggunakan PLTU.


Luar Jawa



Presiden Jokowi meresmikan pembangunan PLTU Batang pada akhir Agustus 2015 lalu meski ada penolakan warga soal pembebasan lahan.

Menurut Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Walhi, di tengah ekonomi Indonesia yang sebenarnya mengalami perlambatan, maka permintaan listrik mungkin tak sebesar seperti yang direncanakan sebelumnya sehingga revisi angka sebenarnya mungkin terjadi.

Namun yang terpenting, Pulau Jawa mengalami surplus listrik 31%, sementara wilayah seperti Sumatera Utara dan Aceh sebenarnya mengalami minus listrik 9,3%.

Padahal, menurut penelitiannya, rencana PLTU yang akan dan tengah dibangun berlokasi di Cilacap, Batang, Jepara, dan Cirebon, yang semuanya berada di Pulau Jawa. Sehingga Pius belum melihat bagaimana rencana ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga di luar Pulau Jawa.

"Kalau pemerintah mau melibatkan swasta, swasta harus didorong untuk masuk ke energi terbarukan dan diprioritaskan untuk ke luar Pulau Jawa. Revisi angka itu masih cukup penting. Tapi energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan."

Seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya, Eva, mengatakan pada BBC Indonesia bahwa dalam sebulan, dia bisa mengalami setidaknya lima belas kali mati listrik. "Dalam seminggu ada tiga kali, empat kali, tapi kadang tidak juga," katanya.

Warga Banda Aceh, Bakhtiar, juga menggambarkan kondisi layanan listrik di kotanya.

"Kondisi normal tanpa gangguan, kayak mati digilir. Sebulan, bisa 10-15 kali. Paling sedikit 30 menit mati lampu, ada yang sampai 6 jam atau 8 jam. Kawan-kawan di Lhokseumawe, malah lebih parah, bisa seharian mati lampunya, dari pagi sampai jam 8 malam baru hidup lagi."



Isyana Artharini
Wartawan BBC Indonesia

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150910_indonesia_listrik_35ribumw

Kamis, 10 September 2015

Walhi denounces coal-fired power plants

Amid the country’s economic slowdown, the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) has urged the government to reduce its coal dependency in its plan to build power plants to produce 35,000 Megawatts (MW) of power in the next five years.

The government has lowered its economic growth projection in 2016 from 5.8-6.2 percent to 5.5-6 percent, below the projection included in PLN’s 2013-2022 master plan of 6.9 percent.

Based on the PLN projection, electricity demand is predicted to reach 7,000 MW per year, hence the government’s plan to produce 35,000 MW of power in the next five years.

“The economic slowdown is the perfect moment to conserve natural resources instead of exploiting them massively. Developing renewable energy is more suitable because the social and environmental costs of fossil fuel actually slows down economic growth itself,” Walhi executive director Abetnego Tarigan said.

Walhi energy campaigner Pius Ginting said that coal-fired power plants (PLTUs) had been found to reduce the productivity of people living within their vicinity.

“In our study during August 2015, Walhi found that farmers’ productivity declined in Jepara, Cirebon, due to dust from the burning of coal in power plants,” he told The Jakarta Post on Wednesday. “Fine particles called PM2.5 and PM10 produced by PLTUs are extremely dangerous to health. Their ultra-fine size enables them to enter the bloodstream.”

A recent study by Harvard University has found that increasing the number of PLTUs from 42 to 159 will increase the risk of death from air pollutants in Indonesia.

The government plans to build some 117 PLTUs in the next decade to meet the demand for more power.

The study revealed that air pollutants from the burning of coal at 42 existing power plants resulted in at least 6,500 deaths per year from strokes, heart and lung cancers and other respiratory and cardiovascular diseases.

This number would rise to 15,700 if the 117 new plants were constructed. The 117 new plants do not include other plants that the current government plans to install in its ambition to produce another 20,000 megawatts of energy. The ambitious project includes the construction of the controversial plant in Batang, Central Java, which continues to face protests from locals in the area.

Besides their hazardous impact on health, PLTUs also increased costs for other sectors, such as the salt industry, said Pius.

“Salt water used in salt ponds turns black due to the activities of PLTUs as well as coal loading and unloading from ships,” he said. “This increases costs and time needed for salt farmers to clean the water.”

Pius added that PLTUs also affected plant life, with leaves turning black and dust covering their stomata and reducing their productivity.

It was, therefore, crucial for the government to alter its 35,000 MW electricity project as it was currently dominated by PLTUs in Java, accounting for 12,400 MW, he said.


Hans Nicholas Jong, The Jakarta Post, Jakarta

http://www.thejakartapost.com/news/2015/09/10/walhi-denounces-coal-fired-power-plants.html