Jumat, 25 Mei 2012

Tambang Nikel dan Horor Ekologi di Morowali

Datanglah pada musim hujan ke Kolonodale, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Maka akan Anda jumpai Teluk Tomori berwarna merah. Fenomena itu bukan keunikan alam, namun kejadian kerusakan ekologi parah yang sedang menimpa kawasan tersebut.

Teluk Tomori sebenarnya adalah kawasan laut indah. Teluk sempit dikelilingi kawasan hutan membungkus tebing terjal yang mengingatkan kita pada tebing terjal pulau-pulau Raja Ampat di Papua atau fjord di negeri Skandinavia.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Kawasan ini kaya ikan pada awalnya. Tak jarang penghasilan nelayan selama satu malam melaut bisa mendapatkan empat juta rupiah. Kini tangkapan ikan menurun drastis seiring kehancuran ekologi di sekeliling teluk. Saat hujan ,warna biru laut berubah jadi hamparan merah. Hal ini terjadi akibat erosi parah dari pengupasan tanah di pertambangan nikel di sekitar.

Produksi keramba ikan nelayan di Teluk Tomori pun tak lagi produktif sejak 2011 karena erosi parah dari pertambangan, mengalir deras turun dari perbukitan ke wilayah teluk.

Kini, sebagian nelayan harus beralih pekerjaan menjadi buruh harian lepas di perusahaan tambang nikel dengan penghasilan Rp50.000-60.000 per hari. Suatu penurunan pendapatan drastis. Belum lagi biaya risiko kesehatan karena pertambangan nikel selalu timbulkan debu tebal.

Sebanyak 200 orang warga kota kecil Kolonodale, terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit gatal-gatal dan bercak benjol di kulit. Ahli toksikologi D.L. Eaton dan E.P. Gallagher dalam buku General Overview of Toxicology, Universitas Washington menyatakan bahwa dampak buruk terpapar debu nikel adalah kanker paru, kanker saluran hidung dan penyakit kulit (contact dermatitis).

Warga Kolonodale dan sekitarnya juga kesulitan mendapatkan minuman air bersih pada musim penghujan. Air didatangkan lewat pipa dari kawasan hutan yang ditambang jadi berlumpur tanah merah. Sementara saat musim kering tiba, debu dari aktivitas pertambangan di perbukitan turun mendatangi rumah-rumah penduduk atau menggelayut tebal di atap-atap.


MP3EI Tak Peka Daya Dukung Lingkungan Hidup


Kabupaten Morowali adalah salah satu dari empat kabupaten yang memiliki cadangan nikel yang besar di Pulau Sulawesi.

Pada 2011, Pemerintah SBY telah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Salah satu dari 22 Kegiatan Ekonomi Utama yang ditetapkan adalah pertambangan nikel. Kabupaten Morowali adalah salah satu lokasi penting.

Kabupaten Morowali dibentuk pada 1999. Seiring penetapan daerah administrasi baru, eksploitasi sumber daya alam kian laju. Sedikitnya 120 izin pertambangan nikel telah dikeluarkan.

Pada periode Anwar Hafid yang kini menjabat Bupati Morowali, izin bertambah menjadi kurang lebih 183 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dokumen MP3EI mencatat saat ini sebanyak 37,7 trilyun diinvestasikan untuk keseluruhan penambangan nikel di Morowali.

Banyaknya izin pertambangan di Kabupaten Morowali telah menciptakan kawasan horor ekologi di kawasan Teluk Tomori-Teluk Tolo, dan pemukiman penduduk di sekitarnya. MP3EI tidak memberikan arahan untuk perlindungan lingkungan hidup. Teluk Tomori dan penduduk sekitarnya jadi korban agenda percepatan pembangunan.


Ketidakadilan penerapan aturan kehutanan


Berdasarkan Undang-Undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Melihat kemiringan kawasan hutan sekitar Teluk Tomori di atas 45 derajat bahkan pada bagian tertentu mencapai 90 derajat, maka fungsinya sebagai penahan erosi penting. Dengan begitu, status kawasan hutan tersebut seharusnya adalah hutan lindung dan metode penambangan terbuka seharusnya tidak diperbolehkah, seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Kehutanan.

Namun, tidak kurang dari sembilan perusahaan tambang nikel sedang melakukan penambangan di sekitar lereng gunung tepi Teluk Tomori. Erosi dan sedimentasi mengancam kawasan Teluk Tomori.

Di sisi lain, di dalam Teluk Tomori, sebanyak 400 keluarga warga Kampung Matube terjepit oleh kebijakan pemerintah. Tahun 1978, akibat abrasi pantai, kampung mereka harus dipindahkan ke bagian hutan ke lokasi mereka sekarang berada.

Tahun 1983, kawasan hutan di bagian timur dan utara Teluk Tomori dijadikan kawasan Cagar Alam Morowali. Sejak itu, mereka mengalami ketidakpastian dalam ruang hidup yang mereka tempati.

Usaha tambak udang dan penanaman laut mereka dinilai berstatus ilegal kendati desa mereka diakui dalam peta Departemen Sosial. Setiap usaha ekonomi mereka dalam kawasan tersebut rentan dikriminalisasi.

Pengelolaan nikel di Teluk Tomori terkait erat dengan kepentingan pasar luar, namun berjarak jauh dengan penduduk sekitarnya. Kapal-kapal transnasional hilir mudik masuk Teluk Tomori. Sepeninggalnya, rakyat menghadapi keterpurukan ekologi dan ekonomi. Sungguh sebuah ironi.

Dokumen Nasional Stategi dan Rencana Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020 disusun oleh Kementerian Bappenas memuat banyak program penyelamatan lingkungan, namun tidak menjadi acuan dalam pembentukan MP3EI.

Oleh karena itu, untuk mengimbangi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, menjadi penting untuk juga membuat sebuah Masterplan Percepatan Keadilan Ekologi.

Jika tidak dan mengingat meluasnya daerah horor ekologi seperti di Sidoarjo, tambang timah Bangka, pembuangan limbah ke laut di Nusa Tenggara Barat, dan erosi parah di Teluk Tomori maka alih-alih percepatan pembangunan yang terjadi di Indonesia, tapi percepatan kematian ekologi. Sebuah babak baru menuju kemusnahan peradaban.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1673-tambang-nikel-dan-horor-ekologi-di-morowali