Kamis, 22 Oktober 2015

Sejumlah Aktivis Desak DPR Bentuk Pansus Freeport


Sejumlah Aktivis Yang Mendesak DPR untuk Pembentukan Pansus Freport

MONITORDAY.com, Jakarta - Sejumlah aktivis mendesak dibentuknya panitia khusus (pansus) oleh DPR RI untuk menangani gonjang-ganjing perpanjangan konsesi PT Freeport.

Satu diantara aktivis itu ialah Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta [IEPSH] M Hatta Taliwang. "Kalo freeport itu pansusnya harus segera dibentuk karena banyak sekali dimensi masalahnya, jangan hanya semau-maunya pemerintah," katanya, usai diskusi di daerah Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/10).

Menurutnya, DPR itu adalah wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan kepentingan rakyat sehingga Pansus soal Freeport ini mutlak perlu dibentuk. Ia juga mendesak rencana perpanjangan kontrak PT Freeport harus dihentikan.

"Ada kepentingan rakyat dan bangsa yang besar disitu, itu kan urusan ribuan triliyun. Kalo nuruti hati nurani kita, harusnya itu di stop total. Tetapi kita realistis, jika memang mau diperpanjang ya diperbaiki perjanjian-perjanjian nya yang menguntungkan negara kita," ‎ujarnya.

Pria yang akrab disapa Hatta ini mencontohkan, setidaknya jika kontrak PT Freeport diperpanjang, maka anak-anak Bangsa harus memegang peranan penting dalam perusahaan raksasa ini. Tujuan nya tak lain dan tak bukan untuk mewakili kepentingan nasional.

"Misalnya soal saham, kita harus bisa lebih mayoritas. Kemudian soal direksi, paling tidak tiga orang di puncak kepemimpinan itu ialah orang kita yang mewakili kepentingan nasional," tuturnya.

"Lalu soal royalti harus naik, jgn satu persen. Kita harus ikuti standar internasional. Saya sepakat kata Rizal Ramli tujuh persen," lanjutnya.

Dirinya pun optimis jika anak Bangsa mengelola tambang di negeri nya sendiri. Menurutnya, di zaman ilmu seperti ini tidaklah sulit.

"Lihat di Tasikmalaya dan Garut, mereka bisa olah secara tradisional. Ini semua sebetulnya hanya political will," pungkasnya.‎

Dalam diskusi tersebut turut hadir Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia [AEPI] Salamuddin Daeng, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Pius Ginting.


(Fahreza Rizky)

http://www.monitorday.com/detail/17139/sejumlah-aktivis-desak-dpr-bentuk-pansus-freeport

Rabu, 21 Oktober 2015

Setahun Jokowi-JK Indonesia Sudah Sampai Mana


Menyambut satu tahun usia rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla, diskusi mingguan Forum Senator untuk Rakyat yang digelar, di Dua Nyonya, Cikini, Minggu (18/10), mengusung tema "Setahun Jokowi-JK Indonesia Sudah Sampai Mana".

Forum tersebut membahas tingkat popularitas dan kepuasan masyarakat pada Jokowi yang kian redup saat usia rezim ini menuju setahun pada 20 Oktober 2015. Sebagian besar janji kampanye dan mimpi Nawacita belum terealisasi. Namun ada juga yang dianggap berjalan, meski menuai polemik, salah satunya penyaluran dana desa.

Dialog ini menghadirkan lima pembicara, yaitu Anggota DPD RI, Eko Sulistyo; Deputi IV Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo; pengamat komunikasi politik, Hendri Satrio; Aktivis Walhi, Pius Ginting; dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M. Massardi.

Diskusi ini terselenggara atas kerja sama Kantor Berita Politik Rakyat Merdeka Online dan Dewan Perwakilan Daerah RI.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/10/21/515/Setahun-Jokowi-JK-Indonesia-Sudah-Sampai-Mana-

Minggu, 18 Oktober 2015

Jokowi Masih Berpihak pada Korporasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Survey Kajian Opini Publik (Kedai Kopi) menilai setahun masa pemerintahan Jokowi JK masyarakat belum merasa puas. Hal ini ditunjukan dari hasil survey 54,7 persen masyarakat menyatakan tidak puas atas kepemimpinan Jokowi.

Mantan Juru Bicara Kepresidenan, Adhie M. Massardi menilai salah satu satu penyebabnya tak lain masih banyak kebijakan Jokowi-JK yang berpihak pada korporasi dan bukan pada kepentingan rakyat.

Adhie memberi contoh program 35.000 megawatt. Secara kasat mata hal tersebut sulit terwujud jika hanya dikerjakan negara. Akhirnya negara melibatkan kelompok swasta yang nantinya akan memberikan untung terhadap korporasi lebih besar.

"Ucapan Rizal Ramli betul juga. Itu tidak mudah. Sebesar itu tentu tidak bisa dijalnkan sendiri. Maka harus melibatkan korporasi sebagai penggerak," ujar Adhie saat diskusi evaluasi setahun Jokowi JK, Ahad (18/10).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pius Ginting selaku perwakilan dari WALHI. Ia menilai contoh kasus pembangunan PLTU Batang dan kasus Rembang, presiden yang semula dianggap rakyat bisa menyelesaikan kasus tersebut malah berpihak pada korporasi.

"Itu mangkarak. Di PLTU batang yang diusung untuk kepentingan rakyat terbukti menyuburkan korporasi. PLN tk punya saham dalam proyek itu. Itu proyek cina dan Jepang," ujar Pius.

Begitu juga di Rembang, awal kampanyenya, Jokowi berjanji akan menuntaskan hal tersebut dan mengangkat kepentingan rakyat. Namun, faktanya hingga saat ini belum ada progress yang ada rakyat menderita atas hal tersebut.

Sebelumnya, Lembaga Survey Kajian Opini Publik (Kedai Kopi) merilis 54,7 persen masyarakat menyatakan tidak puas atas kepemimpinan Jokowi.

Sebagian besar responden merasa tidak puas pada tiga hal, antara lain harga kebutuhan pokok yang tinggi (35,5 persen), pelemahan nilai tukar rupiah (23,7 persen), dan lambannya penanganan kabut asap (11,8 persen).

Survey tersebut dilakukan terhadap 384 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh Indonesia, dengan perbandingan 52 persen di Pula Jawa dan 48 persen dari luar Jawa.

Proses pengumpulan data dilaksanakan dari tanggal 14-17 September melalui wawancara telepon. Dengan menggunakan 384 responden, "Margin of Error" kurang lebih lima persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.


Rep: c15/ Red: Esthi Maharani

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/10/18/nwesgz335-jokowi-masih-berpihak-pada-korporasi

Rabu, 07 Oktober 2015

Walhi Tuding JIBC Jual Teknologi Kotor untuk Indonesia


Warga Batang Jawa Tengah bersama Greenpeace melakukan aksi penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara, di depan Istana Merdeka Jakarta Pusat, Senin (5/10/2015). Dengan membawa replika genderuwo, warga Batang mendesak Presiden Jokowi membatalkan pembangunan PLTU bertenaga batubara karena dapat merusak lingkungan. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menuding Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebagai penyedia dana pembangunan PLTU Batang, telah menjadikan Indonesia pasar teknologi kotor berstandar rendah.

"JBIC mendukung tersedianya energi bersih di Inggris, tapi Indonesia dijadikan pasar teknologi kotor berstandar rendah seperti PLTU berbahan bakar batubara di Batang," kata Manajer Kajian Walhi, Pius Ginting, di Cikini, Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Pius menjelaskan limbah partikel abu hasil pembakaran batubara telah membuat rendah standar hidup masyarakat di Indonesia.

"Menurut data Greenpeace 6.500 orang di Indonesia meninggal lebih awal karena terpapar polusi yang disebabkan pembakaran batubara," beber dia.

Pius mengkhawatirkan pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Batang, dapat meningkatkan polusi yang merugikan warga sekitar pembangkit setiap harinya.

"Kalau di Sumatera dan Kalimantan masyarakat terpapar asap polusi kebakaran hutan ketika kemarau. Di sini (PLTU Batang, red) mereka terpapar sepanjang tahun," sambung Pius.

Penulis: Valdy Arief
Editor: Y Gustaman

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/07/walhi-tuding-jibc-jual-teknologi-kotor-untuk-indonesia

Walhi: Tidak Ada Urgensi Bangun PLTU Batang


TRIBUNNEWS.COM/Valdy Arief
Pius Ginting, Walhi


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting menyebutkan tidak ada urgensi untuk membangun pembangkit listrik bertenaga besar di pulau Jawa seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah.

Pius menyebutkan saat ini di pulau Jawa dan Bali sudah terdapat surplus tenaga listrik sebesar 31 persen.

"Saat ini di Jawa dan Bali sudah surplus listrik sebesar 31 persen, kalau tujuannya pemenuhan listrik masyarakat, seharusnya dibangun di luar Jawa dan Bali yang masih defisit listrik," kata Pius dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Kondisi perekonomian Indonesia yang melambat dan berdampak pada berkurangnya produksi, dipandang Pius, membuat pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dalam membangun PLTU di Batang, Jawa Tengah.

Dia juga mencurigai pembangunan PLTU yang berbahan bakar batubara ini, merupakan upaya menyelamatkan pengusaha bahan tambang tersebut.

"Permintaan dari Tiongkok dan India terhadap batubara Indonesia sedang mengalami penurunan sejak 2012. Pembangunan PLTU Batang merupakan cara mengalihkan pasar batubara ke dalam negeri," katanya.


Penulis: Valdy Arief
Editor: Willy Widianto

Kamis, 01 Oktober 2015

JOKOWI, SEGERALAH TETAPKAN ASAP SEBAGAI BENCANA NASIONAL NON ALAM

ASAP dari kebakaran hutan dan lahan masih meliputi kawasan Sumatera dan Kalimantan. Upaya pemadaman tak berhasil sepenuhnya sejauh ini mengurangi asap. ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) masih berada pada tingkat berbahaya di beberapa kota. Menghindari korban berjatuhan dalam jangka pendek dan panjang, maka perlu segera Pemerintah Jokowi menetapkan daerah yang berlarut-laut tingkat ISPU dalam tingkat berbahaya sebagai kawasan bencana non alam.

Karena kejadian asap ini sudah lintasprovinsi bahkan lintasnegara, maka Pemerintah Jokowi perlu menetapkan keadaan ini sebagai bencana alam nasional non alam. Berbeda dengan kejadian tsunami, letusan gunung, kejadian pencemaran asap yang secara luas telah mengganggu kehidupan ini adalah bencana non alam.

Selanjutnya, jika diperlukan, pemerintah harus melakukan evakuasi terhadap kelompok rentan dari daerah yang memiliki ISPU berstatus bahaya. Pengungsi dari daerah yang terdampak buruk dari bencana non alam ini harus mendapatkan pemenuhan hak masyarakat dan standar pelayanan minumum sebagaimana dikenal di dalam aturan yang mengatur tentang bencana.

Selanjutnya agar bencana non alam ini tak terulang, pemerintah perlu melakukan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang yang konsisten. Wilayah gambut berdasarkan aturan tata ruang adalah kawasan lindung nasional yang tidak diperkenankan/dibatasi pemanfatan ruangnya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Karenanya, pemerintah perlu mencabut semua perizinan perkebunan dan hutan tanam industri di daerah gambut.

Becermin dari kejadian banjir di Jakarta, pemerintah melakukan penegakan tata ruang di kawasan Puncak dengan membongkar vila-vila. Maka, agar kejadian asap tak berulang, semua izin di kawasan gambut perlu dicabut, rehabilitasi lingkungan gambut perlu dilakukan.

Penetapan pencemaran asap antar provinsi ini sebagai bencana non alam nasional tidak menghapuskan tanggung jawab korporasi. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) menerapkan aturan pidana bagi korporasi yang lalai sehingga terjadi bencana non alam. Selain denda dan hukuman penjara, UU PB menyatakan korporasi dapat dikenakan saksi tambahan berupa pencabutan izin usaha atau pencabutan status hukum.

Denda yang dikenakan kepada korporasi akan dijadikan oleh negara sebagai sumber pendanaan untuk menanggulangi bencana non alam dan rehabilitasi.

Tentang betapa mengerikannya polusi udara ini, studi terbaru menyatakan terdapat 3,3 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun karena pencemaran udara di luar ruangan. Umumnya terdapat di kawasan Asia (Nature, 17 September 2015, Vol 525). Umumnya kematian ini karena partikel super halus (ultra fine particle, PM2.5, dan PM10). Karena ukurannya yang sangat halus (sepersepuluh ukuran rambut manusia) partikel ini masuk ke dalam paru-paru, dan dapat mengganggu sistem peredaran darah ke kepala dan jantung.

Pemerintah Jokowi diharapkan segera menetapkan status bencana nasional non alam (istilah yang dikenal (UUPB), agar korban jangka pendek dan jangka panjang tidak terus berjatuhan.

Pius Ginting adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas mewakili sikap pribadi penulis.

RMOL 219376 Jokowi, Segeralah Tetapkan Asap Sebagai Bencana Nasional Non Alam