Selasa, 29 Desember 2015

TAK PUAS dengan KEMENHUT tangani KEBAKARAN Lahan dan Hutan, WALHI tak yakin RESHUFFLE akan selesaikan masalah…

NRMnews.com – JAKARTA, Terkait penanganan kebakaran lahan dan hutan beberapa waktu lalu, Walhi menilai kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak memuaskan.

Ketika disinggung apakah Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, layak dicopot? Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting mengatakan ia pun tak yakin penggantinya punya kinerja lebih baik.

Apalagi saat ini wacana perombakan kabinet (reshuffle) terus bergulir. Presiden Joko Widodo telah mengisyaratkan akan mencopot menteri yang lamban dalam bekerja. Dari aspek lingkungan,

“…Kalau reshuffle kan politis. Kalau diganti kita tidak yakin ada pengganti yang lebih baik, namun kita tidak puas. Semoga ada perubahan. Kita punya pengalaman menteri dari parpol sebelumnya banyak yang melakukan izin pakai kawasan hutan. Jadi belum menggembirakan…”, kata Pius Ginting, pada hari Selasa (29/12/2015).

Alasan belum maksimalnya kinerja dari kalangan partai politik, karena selama ini di Indonesia belum ada parpol hijau atau yang berbasis lingkungan hidup. Partai pro lingkungan memiliki platform yang kuat untuk kepentingan lingkungan hidup, tidak memberikan izin untuk pembukaan lahan gambut.

Oleh karena itu, upaya penegakan hukum yang keras sebagai jera merupakan solusi yang baik ketimbang gonta ganti menteri tetapi tidak ada perubahan.

Mengenai potensi kebakaran lahan dan hutan, Walhi memprediksi titik api akan dijumpai di lokasi yang pernah terbakar. “…Tahun 2016, masih di kawasan yang sama. Titik api masih ada di sekitar OKI dan Kalimantan Tengah…”, tuturnya.

( Oleh : NRMnews.com / Lola C – Editor : A. Dody R. )

https://nrmnews.com/2015/12/29/tak-puas-dengan-kemenhut-tangani-kebakaran-lahan-dan-hutan-walhi-tak-yakin-reshuffle-akan-selesaikan-masalah/

Sabtu, 12 Desember 2015

COP Paris Kurang Libatkan Komunitas Masyarakat


Aktivis Walhi Nasional, Pius Ginting bersama aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia di Paris/kompas.com


MONITORDAY.com, Paris - Komunitas masyarakat yang melakukan kerja-kerja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kurang dilibatkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim ke-21 [COP-21] di Paris, Prancis. Ini akan menjadi catatan saat pelaksaan konferensi serupa pada 2016 yang akan digelar di Maroko.

"Ada yang kurang muncul dalam COP Paris ini yaitu komunitas masyarakat. Padahal kita memiliki banyak komunitas masyarakat yang sudah melakukan kerja-kerja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Paris, Sabtu [12/12].

Siti menuturkan, diskusi dan seminar yang digelar di paviliun Indonesia selama 12 hari pelaksanaan KTT Iklim masih didominasi pihak swasta, lembaga nonpemerintah serta pemerintah.

Padahal, pemerintah berupaya merangkul semua elemen mulai dari pemerintah dan komunitas masyarakat serta pihak swasta untuk terlibat dalam mengisi kegiatan di paviliun dan membagi pengalaman dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Ke depan kata Menteri, keterlibatan komunitas masyarakat akan ditingkatkan dan hal itu menjadi catatan penting yang akan dibahas dalam evaluasi menyeluruh terhadap Delegasi RI yang mengikuti COP-21 Paris.

Paviliun Indonesia di arena COP Paris cukup menarik perhatian para peserta konferensi dan delegasi negara lain. Hal itu terlihat dari setiap sesi seminar dan diskusi yang selalu dipadati peserta.

Koordinator Paviliun Indonesia, Agus Justianto mengatakan selama KTT Iklim di Paris, ada 47 kegiatan seminar dan diskusi panel yang diisi parapihak mulai dari kalangan swasta, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil.

Sebagian besar sesi teresebut mengulas tentang upaya parapihak dalam mitigasi perubahan iklim yang mendukung upaya Indonesia dalam menurunkan emisi sesuai yang ditargetkan yakni 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

"Beberapa pihak memang menyoroti kegiatan di paviliun, tapi dari 47 sesi, hanya tujuh sesi yang diisi oleh pihak swasta," kata Agus.

Dia mengatakan bahwa pendanaan paviliun tidak berasal dari APBN tapi dukungan sejumlah perbankan, termasuk pihak swasta yang dikoordinir Kadin. Dua perusahaan yang langsung memberikan bantuan kepada panitia antara lain grup perusahaan kertas dan bubur kertas, APRIL dan perusahaan Arsari Grup milik Hashim Djojohadikusumo.

Sebelumnya sejumlah aktivis lingkungan menyoroti kegiatan di paviliun Indonesia di Le Bourget yang didominasi pihak swasta. Bahkan grup perusahaan yang memiliki rantai pasokan dari perusahaan yang sedang diusut karena kasus pembakaran hutan dan lahan beberapa waktu.

"Grup perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan tampil seperti malaikat di COP Paris dan menjelaskan upaya mereka dalam mitigasi, ini sangat ironis," kata Eksekutif Nasional Walhi, Pius Ginting. [Ant]

(Kristian Ginting)

http://www.monitorday.com/detail/21343/cop-paris-kurang-libatkan-komunitas-masyarakat/ http://www.antaranews.com/berita/534724/menteri-lhk-nilai-cop-paris-belum-libatkan-komunitas http://majalahkartini.co.id/berita/menteri-lhk-cop-21-paris-belum-libatkan-komunitas-masyarakat

Senin, 07 Desember 2015

HADAPI KOLONIALISASI KARBON, MANA SUARA INDONESIA?

Oleh: PIUS GINTING
SIDANG pertemuan perubahan iklim telah memasuki minggu terakhir. Negosiasi politik iklim kian menentukan. Sejauh ini Afrika Selatan sebagai ketua kelompok G77 memimpin dengan baik agar semua negara berkembang ini bersatu menuntut tanggung jawab negara maju untuk mengambil tanggung jawab lebih (harus berbeda) dengan negara berkembang.

Dan negara maju, khususnya Amerika Serikat akan berusaha memecah negara berkembang. Caranya, memberikan bantuan pendanaan langsung hanya kepada kelompok negara terlemah dan tidak mau mengambil tanggung jawab lebih. Padahal berdasarkan kajian banyak organisasi masyarakat sipil, negara berkembang telah lebih dari Amerika Serikat mengambil bagian (fair share) dalam mengatasi perubahan iklim. (Tentu masih ada PR seperti Indonesia sebagai negara berkembang kebakaran hutan dan lahan tak terus terjadi. Tapi di atas itu, tanggung jawab historis dari sejak Revolusi Industri, negara maju emisinya memang lebih tinggi).

Mungkin istilah dekolonialisasi karbon tepat dipakai. Kita tahu selalu ada elit-elit di domestik agar kolonalisme bisa terjadi.

Mungkinkan pemerintah Jokowi melihat perspektif besar seperti Soekarno, bersatu dengan negara berkembang lainnya menuntut tanggung jawab negara maju? Agar terjadi alih teknologi, bantuan adaptasi (karena perubahan iklim bahkan telah terjadi saat suhu saat ini baru naik 0.8 C dari masa pra-Revolusi Industri?) memastikan agar negara maju memberikan bantuan teknologi energi terbarukan (bukan investasi. Dan lebih parah dari itu, bukan investasi energi kotor dalam bentuk PLTU Batubatubara, misalnya seperti yang terjadi saat ini). Dan tak berkompromi dengan tawaran bantuan pendanaan ala kadarnya?

Saat ini delegasi Indonesia diam seribu bahasa dalam negoisasi perubahan iklim. Negosiator Malaysia lebih lantang bicara dan jadi bintang dalam pertemuan kali ini. Di antaranya dengan menyatakan, "Bacalah statistik. Internasionalisasi statistik. Emisi per kapita negara berkembang jauh di bawah negara maju. Termasuk India dan China. Mengatasi perubahan iklim dengan biaya membuat banyak rakyat di negara ini tetap miskin bukan jalan keluar. Kita harus mengubah pathway ekonomi kita." Sungguh ada yang benar dalam pernyataan ini jika dilihat statistik emisi per kapita.

Kendati tentu, pembangunan di India, dan juga di Indonesia belum tentu kian mengurangi angka kemiskinan dengan pola pembangunan kapitalistik tahap lanjut (versi 2.0, atau 3.0, yang padat teknologi dan pengetahuan tak sejalan dengan penyerapan dengan tenaga kerja, dan juga upah selalu rendah).

Jadi, seperti yang diungkapkan Laurent Fabius, Menlu Prancis, ini tidak hanya menyangkut iklim dan lingkungan, tapi ekonomi, lebih lengkapnya aspek seluruh kehidupan.

Dalam pelayaran negosiasi perubahan iklim ini, panduan kita (semacam bintang utara dalam pelayaran dulu kala sebelum ada kompas): tanggung jawab bersama namun dengan tingkat berbeda, keselamatan semua warga termasuk yang terentan, dan fair share. Dan kapten kapal yang bisa diandalkan adalah Joyce Mxakato-Diseko, sebagai Pemimpin G 77 + China.

Ayo negosiator Indonesia, di mana suaramu?? Mana semangat dan api Asia Afrika-mu dalam menentang kolonisalisasi karbon ini?

Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim. 

RMOL: 227217 Hadapi Kolonialisasi Karbon, Mana Suara Indonesia?

Sabtu, 05 Desember 2015

Aktivis Walhi berunjukrasa di arena COP Paris

Pewarta: Helti Marini Sipayung


ilustrasi KTT Perubahan Iklim Antrean delegasi Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 dari berbagai negara di konter tiket transportasi gratis di area Paris Le Borguet, Paris, Prancis, Minggu (29/11). (Antara Foto/Virna Puspa Setyorini)

Paris (ANTARA News) - Sejumlah aktivis Walhi bersama aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia yang bergabung dalam "Friends of the Earth" (FoE) berunjuk rasa mendesak di arena Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC/COP) di Le Bourget, Paris, Prancis.

"Kami mendesak pemerintah menuntaskan persoalan kebakaran hutan yang masih belum tuntas hingga tahun 2015 dan mendesak penegakan hukum terhadap pembakar lahan," kata Pius di Le Bourget Paris, Jumat siang, waktu setempat.

Eksekutif Nasional Walhi, Pius Ginting kepada pers mengatakan bahwa aksi tersebut untuk mendesak pemerintah menuntaskan kasus hukum bagi perusahaan yang terindikasi membakar lahan yang menimbulkan asap dan menyengsarakan masyarakat.

Menurut Pius, keseriusan pemerintah untuk menghukum perusahaan yang membakar lahan masih dipertanyakan. Terutama di wilayah Provinsi Riau, dari 50 perusahaan yang terindikasi membakar hutan dan lahan, baru tiga perusahaan yang diproses.

Di sisi lain, dalam pelaksanaan KTT Iklim di Paris, ada persoalan yang memunculkan tanda tanya yakni kehadiran sejumlah perusahaan yang terindikasi membakar lahan, justru menjadi pendukung Anjungan atau Paviliun Indonesia.

"Seharusnya pemerintah memahami situasi dan psikologi masyarakat yang baru saja terpapar racun karena asap dari perusahaan pembakar hutan, ini sangat memprihatinkan," ucapnya.

Lebih tegas, Pius mengatakan bahwa kehadiran dua grup perusahaan bubur kertas dan kertas yakni APRIL dan APP di arena KTT Iklim dan menjadi pendukung kegiatan di paviliun adalah ajang "green wash" atau pembersihan diri.

Kondisi tersebut menurut dia dapat dibaca sebagai gejala pengabaian penegakan hukum. Pemerintah menurutnya harus tegas dan tidak terpengaruh dengan bujukan pihak perusahaan dan asosiasi perusahaan di mana mereka bernaung.

Aksi yang diikuti belasan aktivis itu berlangsung selama 15 menit dan sempat menjadi perhatian para peserta konferensi. Setelah menyampaikan aspirasi mereka, para aktivis tersebut membubarkan diri dengan tertib.

Kebakaran hutan Indonesia yang terjadi pada 2015 mengakibatkan seluas 2 juta hektare hutan dan lahan terbakar dan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah. Tidak hanya kerugian materi, kebakaran yang menimbulkan asap tersebut juga membuat masyarakat menghirup udara beracun.

Sebelumnya perwakilan grup perusahaan bubur kertas, APRIL di paviliun Indonesia menyampaikan komitmen dana sebesar 100 juta dolar Amerika untuk program restorasi ekosistem selama 10 tahun.

"Luasan restorasi gambut yang kami programkan meningkat dua kali lipat menjadi 150 ribu hektare sebagai dukungan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Managing Director APRIL Grup Indonesia Operations, Tony Wenas.

Selain itu, pihaknya juga meningkatkan luas area konservasi menjadi 400 ribu hektare melalui pengelolaan program Restorasi Ekosistem Gambut (RER) di Semenanjung Kampar Provinsi Riau.

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015

Ikuti berita dalam topik # Konferensi Perubahan Iklim ( COP21 )


http://www.antaranews.com/berita/533428/aktivis-walhi-berunjukrasa-di-arena-cop-paris

Jumat, 04 Desember 2015

Di Paris, Walhi Sindir Cara Indonesia "Layani" Perusak Lingkungan



Dalam pameran Konferensi Iklim, di Paris, Prancis, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pius Ginting, membandingkan tanggungjawab perusahaan tambang dan perkebunan sawit asal Indonesia dengan negara lain. Menurutnya, kebijakan dan sanksi hukum yang diberikan pemerintah masih belum ampuh menjerat perusahaan nakal perusak lingkungan yang beroperasi di Indonesia.

http://www.rakyatmerdeka.tv/view/2015/12/04/641/Konferensi-Perubahan-Iklim-Di-Paris,-Walhi-Kritik-Perusahaan-Perkebunan-Dan-Pertambangan-Indonesia-

Rabu, 02 Desember 2015

OECD TIDAK FAIR DALAM PENGHAPUSAN SUBSIDI BAHAN BAKAR FOSIL DI INDONESIA

Oleh: PIUS GINTING
ORGANISASI negara maju (OECD) bersikap ganda dan tak jujur dalam kebijakan mengenai subsidi bahan bakar fosil. Khususnya kebijakan dan praktek negara maju tersebut di Indonesia.

Dalam rangkaian pertemuan Perubahan Iklim di Paris, Prancis, organisasi negara maju (OECD) bersama organisasi Friends of Fossil Fuel Reform pada 30 November 2015 mengeluarkan komunike agar pemimpin negara dunia melakukan penghapusan subsidi terhadap bahan bakar fosil.

Dalam komunike tersebut Sekretaris Jenderal Angel Gurria menyatakan, "Negara-negara perlu menunjukkan aksi dan kebijakan konkret bahwa mereka serius mengatasi perubahan iklim, mereformasi dukungan bagi bahan bakar fosil adalah tempat yang bagus untuk memulai."

Dalam kenyataannya, negara maju tersebut di Indonesia menikmati keuntungan bisnis berkat subsidi dan dukungan dari pemerintah terhadap bahan bakar fosil. Khususnya dalam pembangkit listrik tenaga batubara. Proyek-proyek besar pembangkit listrik batubara milik negara maju (OECD) di Indonesia tidak akan berjalan tanpa dukungan dan subsidi dari pemerintah Indonesia.

Di antaranya adalah proyek listrik tenaga batubara Batang, di Jawa Tengah dengan kapasitas 2x1000 MW. Proyek tenaga listrik terbesar di Asia Tenggara ini dimiliki oleh Itochu, J Power dan didukung pendanaan oleh JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Proyek ini disubdisi pemerintah Indonesia lewat dana pembebasan lahan menggunakan dana publik, juga pengerahan langsung tenaga keamanan negara.

Juga proyek listrik batubara untuk ekspansi di Indramayu dan Cirebon yang didanai oleh negara OECD. Pembebasan lahan proyek ini juga disertai dengan pemaksaaan, kekerasan dan pemenjaraan terhadap warga. Saat ini warga Batang melakukan upaya perlawanan hukum dengan menggugat di Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya, pada pada 16 November 2015 organisasi negara maju OECD mengeluarkan kebijakan mendukung investasi teknologi batubara di luar negeri dengan jenis teknologi ultra super critical. Kebijakan ini ditentang oleh aktivis dan warga yang terdampak pembangkit listrik di Indonesia dengan mengadakan aksi protes ke Kantor Kedutaan besar pada 12 November 2015.

Pada akhirnya, emisi yang dihasilkan oleh investasi negara maju tersebut di Indonesia akan dihitung sebagai emisi gas rumah kaca dari Indonesia.

Indonesia seharusnya membuat pembangkit batubara sebagai daftar negatif investasi asing, khususnya dari negara maju (OECD).

Jalan keluar alternatif, Indonesia perlu berjuang dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris bersama dengan negara berkembang lainnya agar negara maju memberikan dukungan pendanaan dan transfer teknologi bagi negara berkembang, sebagai wujud pelaksanaan dari prinsip tanggung jawab bersama dengan tingkat yang berbeda (common but differentiated responsibilities).

Penulis adalah Kepala Unit Kajian WALHI. Artikel di atas merupakan catatan penulis dari Paris, Konferensi Perubahan Iklim.

RMOL: 226645 OECD Tidak Fair dalam Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Fosil di Indonesia