Visi & Misi

Visi dan Misi Pius Ginting
Kandidat Direktur WALHI 2016-2020


Pendahuluan



Kini, Ibu Bumi terluka dan masa depan kemanusiaan dalam bahaya.

Korporasi, pemerintah, dan komunitas ilmiah banyak mendiskusikan persoalan lingkungan tanpa menggali lebih dalam penyebabnya, bahkan berani menyelesaikannya secara mendasar, yakni sistem produksi kapitalis yang diperkenalkan di Indonesia sejak masa penjajahan (1500-an) yang menuntut harus terus meningkatkan keuntungan dan membesar, jika tidak akan runtuh. Sementara itu, alam membutuhkan proses evolusi yang panjang, jutaan tahun menyediakan kondisi yang cocok bagi kehidupan kemanusiaan saat ini.

Kita menghadapi krisis akhir sebuah model peradaban yang patriarkal dan patronase dan berdasarkan pada ketertundukan dan penghancuran manusia dan alam yang telah terus kian laju tanpa kenal batas.

Sistem kapitalisme telah mendesakkan pada kita logika kompetisi, kemajuan, dan pertumbuhan tanpa batas dan harmonis dengan ritme alam. Rezim produksi dan konsumsi memisahkan manusia dari alam, dan menerapkan logika dominasi terhadap alam, mentransformasi semuanya menjadi komoditas: air, bumi, gen manusia, budaya leluhur, keragaman hayati, ketidakadilan, hak-hak manusia dan kehidupan serta manusia itu sendiri.

Di bawah kapitalisme, Ibu Bumi diubah menjadi sumber bahan mentah, dan manusia menjadi konsumer dan alat produksi (buruh), yakni manusia dilihat hanya pada apa yang mereka miliki. Bukan pada perkembangannya sebagai homo sapiens, artinya orang bijak (berpengetahuan, berbudaya, hidup baik).

Tidak ada kondisi alam terlalu rentan untuk dieksploitasi, seperti pulau kecil bernama Pulau Gebe di Maluku Utara, tinggal tulang-tulang tanah tak berkulit humus. Bagi akumulasi kapital, tidak ada hutan yang terlalu terpencil untuk tak dibabat seperti di Maruwei, Kalimantan Tengah, tidak ada laut terlalu dalam untuk tak disedot seperti minyak laut dalam di Selat Makassar, tidak ada pulau dan pantai terlalu indah untuk tak ditimbun seperti Teluk Benoa, tidak ada gunung terlalu tinggi untuk tak dikeruk seperti Nemangkawi, tidak ada kawasan terlalu kering untuk tak dirusak sistem hidrologinya seperti di Flores, tidak ada lahan pertanian terlalu subur untuk tak dibongkar seperti sawah pantura Pulau Jawa untuk lokasi PLTU, tak ada kawasan terlalu bersejarah untuk tak dicungkil seperti kawasan karst di Maros, Sulawesi Selatan. Tidak ada gambut terlalu dalam untuk tak dibakar. Dan tidak ada kota terlalu padat untuk dijejali produk-produk untuk merealisasikan keuntungan.

Semua ini karena sistem ekonomi yang eksploitatif dan elitis, demi keuntungan segelintir orang yang disebut personifikasi kapital. Pertumbuhan yang tak kenal batas ini menyebabkan keretakan metabolisme (metabolic rift) antara mahluk alam dan alam. Perubahan wujud bumi, perubahan hubungan bumi dan manusia, dan hubungan manusia dan manusia menjadi tidak memungkinkannya hubungan koevolutif (berkembang bersama).


Persoalan organisasi lingkungan hidup



Menghadapi persoalan ini diperlukan organisasi lingkungan hidup, yang mampu mensinergikan perjuangannnya lintas sektoral. Bagaimana jawaban organisasi lingkungan hidup bagi mereka para pekerja di sektor ekstraktif yang harus dialihkan itu (seperti di PLTU Batubara, tambang, kebun sawit, dll)? Perlu pengelolaan organisasi perjuangan ekologis agar pergerakan sosial, ekonomi, perubahan kebijakan, dan pembangunan kekuatan mampu membuat gerakan rakyat dalam sektor perjuangan ekologis kian kuat. Pada akhirnya, organisasi lingkungan hidup tak cukup membawa beragam persoalan lingkungan dan rakyat kepada negara (DPR, Kepolisian, KPK, Ombudsman, Komisi Yudisial, KLHK, dll). Namun kekuatan alternatif dari massa rakyat, termasuk kelembagaannya-lah yang perlu diperbesar dan diperkuat.

Anggota organisasi WALHI yang banyak dan beragam adalah kekuatan awal kita untuk mewujudkan hal tersebut. Sekat-sekat struktural perlu diatasi dengan baik (di antaranya dengan demokratisasi akses informasi antarsemua lapisan organisasi), dengan kecukupan informasi bisa melakukan transformasi dengan baik. Kita memerlukan Revolusi Ekologi untuk mengatasi persoalan ekologi yang disebut di atas, dan semua revolusi membutuhkan partisipasi luas massa, dan hal tersebut hanya bisa terwujud dengan demokratisasi informasi ke semua lapisan organisasi.


Visi



Karenanya perlu visi gerakan ekologis untuk memulihkan “keretakan metabolisme” manusia dan alam ini dalam persoalan ekologi dan organisasi perjuangannya.

Visi tersebut adalah:

Demokratisasi dan Daulat Rakyat atas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ruang Hidup untuk Kehidupan yang Baik, Terwujudkan Hubungan Koevolutif Sesama Mahluk dan Alam



Visi ini akan diwujudkan dengan semangat Manifesto WALHI (2005) untuk memperbaharui gerakan lingkungan hidup Indonesia, agar gerakan perjuangan ekologi memperoleh dukungan luas, yang terukur dalam mobilisasi penting, menciptakan solidaritas di dalam dan antar komunitas.

Jalan keluar dari krisis ekologi, ekonomi, dan politik membutuhkan arah atau ideologi untuk melangkah ke depan. Kejelasan arah yang dikehendaki oleh semangat Manifesto WALHI tidaklah
menurunkan kualitas demokrasi di dalam WALHI, sehingga terjadi pembuahan beragam ide (dialektis konstruktif).

Visi akan ditempuh melalui misi:
  • Mewujudkan WALHI sebagai “fasilitator” dan katalisator untuk transformasi gerakan perjuangan keadilan ekologis, sosial, politik rakyat antar/lintar sektor gerakan rakyat.
  • Meningkatkan peran WALHI sebagai pembela dan pendukung komunitas garis depan berhadapan dengan ekpansi kapital tambang, kebun, kehutanan, reklamasi dan kegiatan eksploitatif lainnya.
  • Mewujudkan WALHI sebagai pusat pengetahuan dan informasi perjuangan ekologi yang dapat mendorong pengetahuan publik dan inspirasi untuk melakukan perubahan.
  • Mewujudkan WALHI berkemampuan membangun prototipe komunitas demokratis dalam pengelolaan sumber daya alam dan ruang hidup menggantikan rezim sistem produksi-konsumsi kapitalistik.
  • Mewujudkan WALHI sebagai rumah perjuangan yang nyaman bagi semua semua kelompok suku, budaya, agama, ras, ideologi gerakan, gender, orientasi seksual, antar generasi.
  • Meningkatkan peran kebudayaan dalam setiap aktivitas WALHI.
  • Pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Mendorong pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan rakyat terhadap risiko bencana ekologis dan dampak perubahan iklim


Agenda Utama



Misi ini diwujudkan dalam 16 Agenda Utama:

  1. Jaringan Gerakan

  2. Mendorong terbentuknya konsolidasi gerakan sosial antarsektor dan antarorganisasi.


  3. Hutan dan Kawasan Gambut

  4. Mendorong lebih banyak perhutanan sosial yang menjadi ruang hidup rakyat. Mendorong regulasi pencabutan ijin/rasionalisasi areal perkebunan dan kehutanan di kawasan gambut.

    Mendorong diterbitkannya regulasi induk sebagai dasar hukum dilakukannya peninjauan ulang izin yang diterbitkan di lahan gambut atau kawasan hutan yang seharusnya tidak dapat dikonversi;

    Mendorong penghentian penerbitan izin baru di kawasan hutan dan lahan gambut guna kepentingan investasi kehutanan dan perkebunan kelapa sawit, serta usaha monokultur lainnya;


  5. Ekstraktif

  6. Mendorong penghentian kegiatan ekstraktif yang dilakukan tanpa persetujuan rakyat yang terdampak.


  7. Air dan Pesisir

  8. Kampanye untuk peningkatan kualitas DAS penting dalam setiap region.

    Melakukan perjuangan melindungi kawasan pesisir dari kegiatan pembangunan yang tak berkelanjutan.


  9. Udara

  10. Mendorong pengetatan standar kualitas udara perkotaan, PLTU Batubara, dan kawasan eksploitasi sumber daya alam seperti pertambangan.



  11. Iklim

  12. Mendorong regulasi pajak karbon dikenakan bagi perusahaan penghasil karbon dalam kegiatannya, dan mendorong penggunaan pungutan pajak karbon untuk pengembangan energi terbarukan.


  13. Pencemaran Industri

  14. Meningkatkan kemampuan WALHI dalam mendesakkan penghentian pencemaran industri yang terparah.

    Menjalin kerja sama dengan jaringan lembaga pendidikan atau laboratorium, agar WALHI mendapat dukungan kajian ilmiah pencemeran udara, air, tanah dll. WALHI telah memulainya bersama jaringan untuk monitor air tambang batubara, dan ini perlu diluaskan.


  15. Pengurangan Risiko Bencana

  16. Meningkatkan kemampuan dan kesiapan WALHI dalam mereduksi risiko bencana ekologis.

    Mendorong regulasi agar bencana non alam sepenuhnya didanai oleh korporasi penyebab bencana non alam. Mempertegas regulasi dan penegakan hukum terhadap aktor dan institusi yang berkontribusi terhadap kejadian bencana.
    (Dan bencana alam pun ada yang harus bertanggung jawab. Salah satunya adalah early warning system, peningkatan kapasitas, akses informasi dll. Juga hak rakyat untuk mendapatkan kebutuhan dasar)


  17. Just Transition

  18. WALHI berkemampuan akan solusi peralihan bagi pekerja/buruh yang bergerak di sektor usaha yang merusak lingkungan.


  19. Pembelaan Hukum

  20. Mendorong terbentuknya peradilan lingkungan hidup.

    Meningkatkan kemampuan WALHI dalam memberikan pembelaan hukum bagi rakyat yang dikriminalisasi, bekerjasama dengan jaringan lembaga bantuan hukum dan jaringan daerah.

    Hal krusial dalam advokasi oleh komunitas adalah – jaminan penghidupan bagi keluarga -selain pembelaan hukum. WALHI perlu menggalang solidaritas -seperti yang dilakukan pada Salim Kancil. Tapi harus berkelanjutan. Tidak hanya respons.


  21. Jaringan Internasional

  22. Meningkatkan kualitas peran WALHI dalam jaringan internasional saat ini dalam solidaritas dan pendukungan serta memperluas jaringan internasional dari jaringan yang telah ada.



  23. Teknologi dan Pengembangan

  24. WALHI berkemampuan mengikuti perkembangan teknologi terbaru untuk memenuhi kebutuhan organisasi perjuangan lingkungan ekologi.

    Contoh di Pulau Bangka (Provinsi Bangka Belitung) indah diterapkan sebagai pola advokasi yang ditawarkan WALHI.


  25. Kelembagaan dan administrasi

  26. Peningkatan kuantitas dan kualitas kelembagaan agar dapat menunjang program-progam perjuangan WALHI, pertukaran informasi yang baik antar komponen WALHI.


  27. Penggalangan Sumber Daya Publik dan Budaya

  28. WALHI meningkatkan penggalangan sumber daya publik, berupa pendanaan, dan non pendanaan dari yang telah ada saat ini.

    Memperbanyak kegiatan budaya dalam perjuangan ekologi.


  29. Meningkatkan peran generasi yang lebih muda dalam kegiatan WALHI

  30. WALHI selalu perlu mengutamakan generasi yang lebih muda dalam perjuangan ekologi agar selalu dapat memperbaharui diri dan terjadi budaya transfer pengalaman yang baik.


  31. Produksi dan Distribusi

  32. WALHI mengeluarkan kemasan produksinya berupa poster, buku, film dalam kualitas baik dan terdistribusi dengan baik.

    Berdamai dengan Alam memerlukan Revolusi Ekologi!


    Salam Adil dan Lestari!!

WALHI: Visi-Misi Pius Ginting: Revolusi Ekologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kesan dan pesan