Selasa, 17 November 2015

Pemerintah Didesak Bentuk UU Persetujuan Masyarakat Pertambangan


Sejumlah penambang pasir beraktivitas di area pertambangan pasir Sungai Woro, Balerante, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (12/11). ANTARA FOTO

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan perubahan kewenangan izin perkebunan, pertambangan dari daerah ke provinsi belum memuaskan kepentingan masyarakat. Pasalnya, meski perubahan itu di provinsi, tetap saja hak masyarakat adat atau masyarakat terdampak tidak terlindungi oleh pemerintah.

“Perubahan izin dari daerah ke provinsi belum memberi perlindungan yang memuaskan kepada masyarakat. Begitu pula pusat. Jadi, solusinya adalah ada aturan yang menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat,” kata Manajer Kajian Walhi Pius Ginting di Jakarta, Selasa (17/11).

Keputusan itu, lanjut dia, mewajibkan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah (PP) yang memberi ruang dan melibatkan masyarakat adat dalam negosiasi kontrak di tempat tinggal mereka. Ini dilakukan karena selama ini kontrak karya antara pemerintah dan pengusaha tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Akibatnya, timbul konflik sosial.

“PP harus dibuat pemerintah. Lebih tegas lagi kalau pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang Persetujuan Masyarakat Terdampak Proyek Pertambangan di Wilayah Penetapan. RUU itu bisa menghambat terjadinya konflik di area pertambangan. Jika tidak ada persetujuan masyarakat, kasus konflik bertambah bahkan ada korban jiwa seperti Salim Kancil di Lumajang,” ujarnya.

Pius menjelaskan tidak adanya ruang terbuka dalam proses kontrak antara pemerintah dan daerah mengakibatkan klaim masyarakat adat atau masyarakat terdampak terhadap hutan adatnya tak bisa dilaksanakan dengan baik. Sebab, dilakukan secara sepihak.

Walhi mencatat, sejak pemberlakuan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara banyak izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan hak masyarakat di daerah tidak lebih baik. Kadang antara bupati dan gubernur saling bertentangan.

Misalnya, kata Pius, Bupati Sumbawa tidak memberi izin kepada investor pertambangan untuk membuang limbah ke laut pada tahun 2014. Akan tetapi keputusan itu berbeda dengan gubernur yang membolehkan investor pertambangan itu membuang limbah ke laut.

“Karena itu, ini menjadi kekhawatiran kita soal penyerdehanaan izin melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Di satu sisi memangkas izin, tapi disisi lain hak masyarakat tidak terlindungi. Jadi UU dan PP untuk perlindungan masyarakat adat segera dituntaskan,” kata Pius.


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/pemerintah-didesak-bentuk-uu-persetujuan-masyarakat-pertambangan/

Kamis, 12 November 2015

Walhi Desak Jepang Hentikan Investasi Batubara di Indonesia


Aktivitas bongkar muat batubara di Kawasan Marunda, Jakarta, Kamis (5/11).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah Jepang untuk segera menghentikan investasi pengembangan industri batubara dan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia. Pasalnya, adanya proyek-proyek tersebut akan berdampak pada lingkungan Indonesia yang semakin buruk seperti pencemaran udara, air, dan penggundulan hutan.

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Pius Ginting, mengatakan saat ini pemerintah Jepang melalui perusahaan-perusahaannya dan lembaga keuangannya tengah gencar berekspansi dan menanamkan modalnya di bidang pertambangan batu bara dan pembangkit listrik di Indonesia.

“Hadirnya investasi ini dapat mengakibatkan lingkungan di Indonesia akan semakin tercemar akibat aktivitas perusahaan tambang dan operasional PLTU batubara di sejumlah tempat. Jika terjadi demikian, artinya Jepang turut serta mencemari lingkungan di Indonesia,” kata Pius dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (13/11).

Dia merujuk pada perusahaan asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial, salah satu lembaga keuangan terbesar kedua di Indonesia setelah Citigroup milik Amerika Serikat, yang membiayai industri batubara di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, lembaga tersebut telah mengucurkan biaya US$ 53.337 juta untuk industri batubara di Indonesia.

“Pembiayaannya ini bahkan jauh melampaui pembiayaan yang dikucurkan Bank Mandiri dalam mendanai energi fossil yang jumlahnya sebesar US$ 915 juta,” tuturnya.

Desriko Malayu Putra, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa sejumlah proyek-proyek pembangunan PLTU batubara yang didukung Jepang kerap bermasalah dengan masyarakat setempat. Biasanya menyangkut pembebasan lahan. Warga dipaksa untuk melepaskan tanah mereka di bawah ancaman yang melibatkan preman-preman dan oknum-oknum dari pihak TNI dan Polri.

“Kasus pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, misalnya. Pembangunan yang didanai oleh Japan Bank for International Coorporation itu hingga kinii masih bermasalah. Anehnya, negara mendukung upaya pembebasan lahan secara paksa itu dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum,” tegasnya.

Karena itu, kata Desriko, jika ini tidak segera dihentikan, kejadian-kejadian seperti di Batang bukan tidak mungkin akan terus terulang di daerah lainnya. Terlebih sampai saat ini lembaga keuangan asal Jepang tersebut terus mendanai industri-industri batubara yang ada di Indonesia.

Selain berpotensi mencemari lingkungan, lanjutnya, aktivitas tambang bahkan telah menghancurkan ekonomi masyarakat. Seperti kasus yang dialami warga di sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat, yang didanai Marubeni. Warga mengeluh lantaran air yang mereka gunakan untuk tambak garam menghitam akibat aktivitas PLTU Batubara. Disekitar PLTU Paiton, Jawa Timur, pun demikian. Warga mengeluh karena produktivitas tanaman tembakau mereka menurun dan banyak pohon-pohon kelapa yang ditanam tiba-tiba mati.

Berdasarkan hasil penelitian Greenpeace Indonesia pada 2015, batubara yang dibakar di sejumlah PLTU-PLTU di Indonesia memancarkan sejumlah partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian dini. Saat ini angka kematian akibat penyebaran partikel berbahaya tersebut sudah mencapai 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.

“Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa per tahun seiiring rencana pembangunan PLTU batubara yang baru di Indonesia.”

Desriko mengingatkan, sebagai negara maju yang punya kemampuan finansial dan teknologi dan memiliki tanggung jawab historis lebih besar dalam menghasilkan gas rumah kaca, Jepang seharusnya menunjukkan kepemimpinannya untuk mengurangi pembiayaan energi fossil dan lebih mendorong pengembangan energi terbarukan.


Penulis: Toto Dirhantoro
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/walhi-desak-jepang-hentikan-investasi-batubara-di-indonesia/

Senin, 09 November 2015

Ketimpangan Teknologi PLTU Batang dan PLTU Jepang


Kendaraan melintas di samping kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (26/10). ANTARA FOTO

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan lembaga keuangan Jepang (Japan Bank for International Cooperation) membiayai proyek energi berbahan bakar fosil terbesar di Indonesia. Salah satunya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah. Dalam pembangunan itu, teknologi yang digunakan berasal dari Jepang.

Manajer Kajian Lingkungan Walhi Pius Ginting mengatakan, meski PLTU sama-sama menggunakan bahan bakar fosil, kualitas teknologinya berbeda. Hal itu bisa dilihat dari standar emisi yang akan dihasilkan dalam pembangunan proyek PLTU Batang.

“Ada ketidakadilan dari teknologi PLTU Batang dengan PLTU Isogo di Jepang,” kata Pius di Jakarta. “Buktinya, hasil gas belerang oksida (SOx) cukup jauh berbeda. Teknologi Jepang hanya mengeluarkan SOx 10%. Sedangkan PLTU Batang mencapai 105%. Ini berbahaya bagi kesehatan warga dan teknologi ini sangat buruk,” ujar Pius.

Pius menjelaskan, limbah partikel abu hasil pembakaran batubara telah membuat pencemaran udara yang menyebabkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia menurun. Berdasarkan catatan Greenpeace, 6.500 orang di Indonesia meninggal lebih awal karena terpapar polusi yang disebabkan pembakaran batubara.

Apalagi, lanjut Pius, rencana pemerintah Joko Widodo membangun 35 ribu megawatt (MW). Dengan demikian, pemerintahan Jokowi akan meningkatkan emisi CO2 pada tahun 2019 sebanyak 98.3 juta ton. Jumlah ini sama dengan 257% dari jumlah pengurangan emisi rencana aksi nasional nasional gas rumah kaca (RAN-GRK) 2010-2014 dari sektor energi dan transportasi.

Pihaknya menilai, pemerintah secara signifikan menambah konsumsi batubara domestik. Saat ini terdapat 50 buah PLT batubara, mayoritas berlokasi di Jawa dan Sumatera. Total kapasitas PLT batubara adalah 19.404 MW. Penggunaan batubara untuk pembangkit telah tumbuh 9.2% per tahun. “Penambahan PLT batubara akan meningkatkan emisi CO2 dan memperburuk kualitas udara lokal,” tegas Pius.

Tak hanya itu, menurut Pius, dampak pembangunan PLTU Batang cukup besar bagi masyarakat sekitar. Baik dari sektor perikanan, pertanian, dan pembudidaya. “Garam petani menjadi hitam, laut tercemar akibat tongkang batubara yang menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Bahkan petani tidak bisa menggarap lahannya,” ungkapnya.

Sementara itu, Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa, mengatakan 75 lembaga keuangan dunia tidak punya kebijakan terhadap mitigasi perubahan iklim. Hal itu dipertegas dengan lambatnya pembiayaan untuk energi terbarukan. Secara global, lanjutnya, lembaga keuangan hanya membiayai energi itu tidak melebihi 10%.

Pihaknya mendesak lembaga keuangan internasional berkomitmen langsung untuk tidak mendukung pengembangan pembangkit listrik dan proyek pertambangan berbahan bakar fosil. Kemudian, mempublikasikan jumlah dukungan tahunan mereka ke sektor energi. Sedangkan pemerintah Jokowi perlu mengadopsi tujuan untuk mengurangi emisi.


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/ketimpangan-teknologi-pltu-batang-dan-pltu-jepang/

Jumat, 06 November 2015

Perbankan Tak Punya Komitmen Investasi Berkelanjutan


Ilustrasi. ANTARA FOTO
Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat jadi US$ 119 miliar, dari lima tahun sebelumnya sebesar US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, naik hampir 10 kali lipat. Ini merupakan angka akumulasi pengeluaran dana seluruh negara di dunia.

“Bank tidak punya komitmen untuk mendorong investasi berkelanjutan. Bahkan investasi untuk energi terbarukan tidak melebihi 10%,” kata Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan penelitian Fair Finance Guide International (FFGI) terhadap 10 lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia seperti Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA dan Bank Panin. Dari 10 lembaga keuangan, 8 di antaranya membiayai bahan bakar fosil di atas 90%.

“Pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling polutif seperti batu bara dan minyak bumi jauh lebih tinggi. CIMB Niaga dan Bank Panin misalnya, mereka masih 100% investasi di bahan bakar fosil. Sedangkan Bank Mandiri 99% dan BRI serta BCA masih 98% untuk investasi energi fosil,” ujar Rotua.

Untuk energi terbarukan, lanjut dia, hanya UFJ Mitsubishi yang memiliki pembiayaan lebih dari 1 miliar dolar. Sedangkan, HSBC sebagai lembaga keuangan terbesar untuk sektor bahan bakar fosil, hanya memiliki investasi tahunan sebesar 99 juta dolar di sektor energi terbarukan, kata Rotua.

Pius Ginting, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, penggunaan bahan bakar fosil sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat semasa pemerintahan Barack Obama telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Bahkan ke depan, uang publik tidak boleh digunakan untuk pembiayaan PLTU. Ini kebijakan yang bagus.

Tiongkok juga demikian, sudah melarang pembangunan PLTU baru. Hal ini menyebabkan Indonesia sebagai incaran penjual teknologi batubara. Padahal, teknologinya adalah teknologi kotor.

“Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dalam dan luar negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batu bara,” kata Pius.

Karena itu, Walhi berharap lembaga keuangan jangan hanya membuat komitmen tanpa makna. Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi hijau dan produk berkelanjutan kepada konsumen. Namun, di sisi lain mereka juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. “Its’ green washing!” tegas Pius.[*]


Penulis: Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES

http://geotimes.co.id/perbankan-tak-punya-komitmen-investasi-berkelanjutan/