Minggu, 23 Mei 2010

Dilema Minyak

Mengamati sejarah perkembangan sumber energi manusia, maka terdapat urutan dari kayu, beralih ke batu bara, selanjutnya minyak dan gas menjadi sumber energi. Peralihan tersebut karena rangakaian energi yang terakhir lebih tidak merusak lingkungan. Penggunaan kayu sebagai sumber energi utama dan massal akan lebih buruk dari penggunaan batu-bara, dan batu bara lebih buruk dari minyak dan seterusnya.

Kini mayoritas dunia mengandalkan minyak sebagai sumber energi utama. Perebutan minyak telah menjadi sumber peperangan (yang terbaru di antaranya adalah invasi Amerika terhadap Irak dan Afganistan). Juga kerusakan lingkungan terjadi akibat eksploitasi minyak. Banyak kasus kerusakan lingkungan berkaitan dengan eksploitasi minyak ini, seperti pencemaran laut di daerah Balikpapan, Indramayu Jawa Barat. Dampak buruk ini juga terjadi di negara lain tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez sebanyak 40 juta liter pada tahun 1989 ke laut Alaska. Dan bila eksploitasi minyak berada di bawah pemerintahan militeristik dan otoriter, sebagaimana Pertamina pada masa pemerintahan Orde Baru, dia menjadi lahan korupsi bagi segelintir elite penguasa negeri.

Karena dampak energi fosil telah melampaui daya dukung alam, maka dewasa ini beberapa negara telah mau beranjak meninggalkan energi fosil (di antaranya minyak) sebagai sumber energi. Salah satu di antaranya, tawaran dari Pemerintahan Ekuador yang memilih tidak mengeksploitasi minyak mereka yang terdapat di kawasan hutan Yanusi, dengan pertimbangan resiko kerusakan lingkungan, pengusiran masyarakat adat/lokal.


Minyak dan Kerusakan Lingkungan


Minyak sebagai salah satu energi fosil juga berkontribusi mengeluarkan gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak tersebut mulai terasa saat ini, seperti peningkatan suhu hingga mencairnya es di daerah kutub, musim kemarau dan hujan yang makin ekstrem, energi badai dan puting beliung yang makin meningkat, dan lain-lain.

Konsensus para ilmuwan menyatakan emisi gas rumah kaca harus dikurangi 60-80 persen dari tingkat emisi tahun 1990 dalam beberapa dekade singkat ke depan. Sementara itu, Protokol Kyoto hanya membuat target pengurangan emisi sebanyak 5,2 persen di bawah tahun 1990 untuk masa tahun 2008-2012. Sebuah pengurangan sebenarnya tidak berarti, namun masih juga negera penghasil gas rumah kaca terbesar seperti AS menolak mengikuti Protokol Kyoto ini pada masa pemerintahan Bush.

Mengatasi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi konsumsi minyak melalui mekanisme penaikan harga (pencabutan subsidi) bukan jalan keluar yang adil. Akses rakyat, khususnya mayoritas kelompok miskin terhadap energi, secara moral dan prinsip keadilan dan demokrasi atas akses energi, tidak boleh dipersulit.


Privatisasi Minyak: Menguntungkan Korporasi, Merugikan Rakyat Miskin


Untuk itu, keluar dari energi fosil (salah satunya minyak) harus melalui jalan yang adil, tidak mengorbankan mayoritas rakyat miskin.

Perusahaan-perusahaan besar dan negara maju seperti Amerika Serikat mendorong agar negeri berkembang melakukan privatisasi (swastanisasi) pengelolaan minyak dan gas. Privatisasi perusahaan minyak dan gas juga bukan jalan keluar ketergantungan terhadap minyak. Hal tersebut hanya menyebabkan harga minyak semakin mahal dan menjadi konsumsi kalangan segelitir elite. Sebagaimana rekomendasi sebuah studi yang disponsori oleh James Baker III Institute for Public Policy of Rice University dan Council on Foreign Relation (sebuah lembaga kajian hubungan luar negeri di Amerika Serikat yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah AS) pada tahun 2001 menyatakan bahwa minyak mengalami ”pasokan yang sedikit” karena ”kurangnya investasi” dalam produksi baru dan ”negara-negara [penghasil minyak sering mengalami] goncangan [politik]”. Kelebihan kapasitas telah lenyap dan hampir tidak ada lagi karena negara produsen minyak sebagian memperuntukkan minyaknya untuk proyek-proyek sosial daripada investasi pengembangan produksi kapasitas baru. Dengan demikian pandangan lembaga studi yang dekat dengan kepentingan perusahaan minyak internasional ini bahwa keuntungan minyak tidak boleh digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, sebagaimana saat ini dilakukan negara seperti Venezuela.

Untuk itu, lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasinya pada tahun 2007 ”agar semua perusahaan minyak nasional [yang dimiliki negara] diprivatisasi, investor asing diperlakukan setara dengan perusahaan minyak lokal, dan OPEC sebaiknya dibubarkan, yang akan memungkinkan terwujudnya perdagangan bebas dan pasar yang kompetitif untuk menyediakan energi yang dibutuhkan dunia dengan harga yang ditentukan oleh pasar.”

Celakanya, kemauan kepentingan korporasi besar dari negeri maju untuk memprivatisasi/meliberalisasi minyak telah beresonansi di Indonesia. Hal tersebut tampak dengan dikeluarkannya UU Minyak dan Gas pada tahun 2001. UU Migas No. 22/2001 mendorong penghapusan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Proses pembuatan undang-undang tersebut dikendalikan oleh kekuatan yang berkaitan erat dengan kepentingan korporasi, yakni USAID (United States Agency for International Development), sebagaimana pengakuan mereka “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000”.


Solusi: Energi Terbarukan Berbasiskan Komunitas


Pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, geothermal skala kecil, mikro hidro adalah beberapa di antaranya yang mendorong pengelolaan energi menjadi lebih terdesentralisasi ke komunitas, dan tidak merusak lingkungan dan tidak terjadi penyingkiran terhadap masyarakat yang berada di sekitar sumber energi, sebagaimana terjadi dengan pertambangan minyak.

Beberapa inisiatif untuk pengembangan energi terbarukan telah ada ada di Indonesia, seperti mikro hidro di Lampung dan Kalimantan Timur di antaranya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Gunung Kidul. Kebijakan tersebut harus didukung dan dipermudah oleh pemerintah Indonesia. Dan negara maju sepantasnya memberikan hibah teknologi untuk pengembangan energi terbarukan ke negara dunia berkembang (bukan dalam bentuk pengalihan pembayaran hutang negara dunia). Hibah tersebut sebagai wujud pembayaran utang ekologi negara maju yang telah berkontribusi lebih besar dalam pengerusakan kerusakan lingkungan hidup dunia, juga kerusakan lingkungan negara berkembang. Tugas kita mendesak pemerintah mengembangkan energi terbarukan, dan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil dengan cara adil, tidak memberatkan negara miskin dan rakyat miskin. Privatisasi adalah kepentingan korporasi.

(tulisan ini dibuat untuk buku pengantar pementasan teater Ladang Perminus)
Agustus 2009

Sabtu, 01 Mei 2010

Chevron in Indonesia - An Alternative 2009 Annual Report

Hariansyah Usman and Pius Ginting, WALHI - Friends of the Earth Indonesia


“Let me die here. There is no use for me to stay alive. Chevron does not care about my land. The company is very cruel.”

- Words yelled by Mr Darmiadi in an attempted suicide
from a Chevron electricity tower, September 14, 2009.[333]


ON SEPTEMBER 14TH, 2009, MR. DARMIADI climbed atop a Chevron high voltage electricity tower in Pematang Pudu. Darmiadi, age 37, is a local sand miner and father of two. He was unable to work on his land because, he contended, it had been contaminated by Chevron’s oil. Two months earlier, Darmiadi sent a letter to Chevron asking the company to take responsibility. The company denied his request, denied responsibility, and further argued that because Chevron owned part of his land, Darmiadi should not be sand mining on the land anyway.[334] Twenty-one days later, Darmiadi sought to commit suicide from atop Chevron’s tower. Only the supportive words of neighbors brought him down safely.

Chevron has been in Indonesia for more than 85 years. It began exploring for oil here in 1924 as Standard Oil of California. Its oil production began in 1952. Chevron remained active in Indonesia throughout the infamously brutal and repressive decades of the Suharto dictatorship (1965-1998). The majority of Chevron’s oil production has, and continues to, take place in the Riau province in the center of the Sumatra Island, where it operates four onshore blocks, the largest of which, the Duri field, is one of the largest energy sources in the world.[335]

Today, Chevron, through its Chevron Pacific Indonesia (CPI) subsidiary (formerly Caltex Pacific Indonesia), is Indonesia’s largest oil producer, with daily oil production averaging around 243,000 barrels of oil a day, about half of Indonesia’s total oil output. Chevron’s Indonesian operations include oil, natural gas and geothermal power-generation.


History of Repression and Resistance


If the average price of the crude oil from 1952-2008 were $20 per barrel, it would mean that Chevron’s Riau production has yielded some $220 billion. The Riau Economic Observer has found that, “If oil and gas companies indeed brought a good impact on the economy for local inhabitants, it should have affected Riau inhabitants 30 years ago. However, statistical data show that Riau was categorized the second most disadvantaged province in Indonesia in the 1980s.”[336]

Instead of wealth generation, Chevron’s Riau production has been plagued by economic injustice, environmental destruction, and the dislocation and disenfranchisement of indigenous populations. As a result, citizen resistance to Chevron has been a constant of life in Riau, often taking the form of massive protests against the company, with protestors at times numbering in the tens of thousands.

Chevron has employed brutal measures to quiet protests, including utilizing Indonesia’s notorious security services, bringing charges of human rights abuse, violence and intimidation.[337] For example, on January 27, 2000, Chevron paid the special Indonesia security force BRIMOB to overcome a series of actions and protests over land disputes and employment.[338] The BRIMOB are well-known for extreme human rights violations, including kidnapping, rape, torture, indiscriminate violence and murder.[339] As a result of the brutality of BRIMOB, 15 people involved in the protests against Chevron were wounded and five were hospitalized.[340]


Sakai Tribe and Its River


Ditch to the Batang Pudu river. The surrounding land
is contaminated, but Chevron covered it with sand
so the land looks good.
“Our last fort defense is the Batang Pudu river. It is like a war, if our last fort defense is ruined, then it will become the end of the world for us. The remaining option is only death or never ending misery that we shall take.” - Bathin Musa, the head of Sakai Tribe at Petani Village, Bengkalis.[341]

The Sakai people are one of several Indigenous peoples in the Riau province. Other Indigenous communities include the Bonai, Talang Mamak, Laut, Akit and Hutan. The community life of the Sakai includes living on products of the forest, keeping livestock, fishing and planting gardens.[342]

The Sakai tribe was the original owner of the land on which Chevron’s oil and gas was found.[343] The Sakai owned the Minas, Belutu, Tingaran, Sinangan, Semunai, Panaso and Borumban areas of land. “Almost all the land at CPI was indeed our ulayat (customary) land, where we went for hunting and farming... The land acquisition by Caltex came from some Sakai people who sold their land, or came from land grabbing with very low compensation or even no compensation at all. From hundreds of thousands of hectare acres, we now only have five thousand hectare acres left.”[344]


Water and Land Contamination


The inhabitants of Riau have been plagued by contamination of their land and water by Chevron’s oil, making traditional methods of subsistence impossible and causing dire health effects.

In 1993, the villagers of Sungai Limau together with WALHI-Riau charged Chevron with contaminating the Siak and Limau Rivers. In a letter to the government and Caltex, they wrote:
The Sungai Limau villagers reported problems almost identical to those cited by the Mempura villagers. Oil is often visible in and around the rivers, and the rivers’ fish population has declined so much that they can no longer fish in them. A number of villagers have contracted rashes, diarrhea and other sicknesses as a result of the oil pollution.[345]
The abuse was so great that the citizens were willing to face the enormous risk of raising such complaints during the Suharto dictatorship, a time when protest, or resistance of any kind against the government or a corporation, brought substantial repression, even death. While Chevron ultimately agreed to give compensation to villagers, it was far below the villagers’ demands.[346]

Chevron's hazardous and poisonous waste disposal.
The study shown revealed destruction of the ecosystem
caused by ongoing contamination.
In 2007, people in Batang Pudu village found hidden pipes around Chevron’s Central Mud Treating Facility (CMTF) at Arak Field. They witnessesed and smelled black water coming out from the pipe to Batang Pudu river. At the upper edge of the river, there was also black mud sediment from Chevron’s oil drilling. In January 2008, Mr. Atin, a fisherman from the Sakai tribe in Bengkalis Riau died after coughing blood for several months. He was the second fisherman to die in the village with these symptoms. The suspicion grew at the community that the death was caused by the polluted river where the fishermen work everyday, a river they believe to be contaminated by toxic waste from Chevron.

In response, the Sakai people at Pematang Pudu, together with WALHI, called on the local government to fix the situation, cite Chevron for the environmental damage, and investigate the site. The subsequent investigation identified four illegal toxic waste disposals.[347] Based on the sample of waste tested by an expert from the Agriculture University in Bogor West Java (IPB), there was evidence of environmental pollution at Pematang Pudu, Mandau sub district. The concentration of chemical material in the ditch was above the acceptable levels, especially for the chlorine and sulfate.[348]

The agency of environmental impact analysis (Bapedal Riau) found Chevron guilty.[349] Furthermore, the environmental impact analysis report released by BPK RI (The Audit Board of The Republic Indonesia) also found and highlighted violations of the environmental quality standard stipulated by government.[350] However, no action has been taken by either the government or Chevron to right this situation.


What Chevron Says


Chevron has rejected the accusations from the Sakai community. It claims to be the most progressive company in terms of preserving the environment and public health. The Manager of Communications and Media Relations, Hanafi Kadir, says that Chevron handles its waste very carefully, contracting its waste management to another company (PT Karya Lestari Perkasa). Regarding the skin diseases suffered by the local community at Tonggak Delapan village, Hanafi Kadir also refuses the community’s allegation that the disease is caused by polluted air from Chevron.[351]

In 2009, the Indonesian government issued a new environmental protection and management regulation. Rather than comply with the regulation, Chevron fought back. Chevron Senior Vice President of Sumatra Operations Support, A. Hamid Batubara, expressed particular concern over the new regulation’s air and water pollution controls, saying that implementation would have a deleterious effect on Chevron’s production totals.”[352] In response to Chevron’s protests, the Minister of Energy and Mineral resources, Darwin Zahedy Saleh, seems prepared to weaken the law.[353] The government also proposed delaying the new law.[354]


The Struggle Continues


Chevron’s great influence over the Indonesian government continues to this day. Even including forcing it to “overlook” its own regulations, to the great detriment of local communities, and even local governments.

The Sakai tribe’s demand is simple. They want environmental restoration and compensation for their loss of income from the polluted river. They do not want money, they want land on which to earn their own living. But, to date, there has been no significant response by Chevron to the peoples’ demands.

WALHI, together with other networks and the local communities, will continue to end the environment, social and economic destruction in Riau, and in other provinces in Indonesia.


333 “Darmiadi Nekad Panjat Tower Listrik Chevron,” Tribun Pekanbaru, 14 Sept. 2009.
334 Ibid.
335 Chevron Corp., “Indonesia Fact Sheet,” Mar. 2010.
336 Umi Kalsum, “Chevron Produces 11 Billion Barrels of Oil,” RABU, February 18, 2009, VIVAnews.
337 Oil Watch. Chevron: the right hand of empire (2006) 80–81.
338 Ibid. at 81.
339 East Timor and Indonesian Action Network, “Background on Kopassus and Brimob,” 2008; Human Rights Watch, Indonesia: Out of Sight: Endemic Abuse and Impunity in Papua’s Central Highlands, Vol. 19, No. 10(C), July 2007.
340 Oil Watch (2006) at 80–81.
341 Derita Anak Sakai Interview with Bathin Musa, head of Sakai tribe.
342 Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia, (Yayasan Obor, 1995) 93.
343 Moszkowski, 1911.
344 Ahmad Arif and Agnes Rita Sulistywati, “Sayap Patah Para Sakai,” Kompas, 24 Apr. 2007.
345 Robert Weissman, “Caltex Corporate Colony: How an oil consortium pollutes Indonesia,” Multinational Monitor 1993, 15(11).
346 Ibid.
347 Riau Mandiri, “PT KLP Terbukti Cemari Lingkungan,” Posted on “Dari Atas” atau “Dari Bawah”: How an Oil Consortium Pollutes Indonesia Blog, 29 June 2007.
348 Ibid.
349 Radio Nederland Wereldomroep. “Chevron Dituduh Cemari Sungai di Riau,” 28 Feb. 2008.
350 BPK RI (The Audit Board of The Republic Indonesia). “The environmental impact analysis report”. August 2008.
351 “Chevron sangat komit dengan pencemaran lingkungan,” Riau Online, 3 June 2007.
352 Rudy Ariffianto, “UU lingkungan tekan produksi Chevron,” Bisnis Indonesia, 27 Feb. 2010.
353 Ibid.
354 “Government requests delay on new environment law,” Tempo Interaktif, 25 Feb. 2010.
***

Jumat, 12 Desember 2008

Penutupan Tambang (Mine Closure) dan Tanggung Gugat Korporasi

Penutupan tambang adalah suatu keadaan saat dilakukan penghentian operasi pertambangan untuk jangka waktu yang lama. Penyebab dari penghentian operasi ini sangat bervariasi, seperti akibat habisnya cadangan bijih/material berharga yang akan ditambang, perubahan-perubahan kondisi pasar yang menyebabkan operasi menjadi tidak ekonomis/menguntungkan, dan juga timbulnya dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan. Habisnya masa kontrak karya juga menjadi salah satu penyebab dilakukannya penghentian operasi pertambangan. Di Indonesia, pada umumnya, penutupan tambang diakibatkan oleh habisnya cadangan bijih berharga di daerah konsesi pertambangan.

Selama ini, banyak pihak di Indonesia yang tidak peduli terhadap proses penutupan tambang. Selain tidak diatur dalam peraturan yang spesifik, penutupan tambang seringkali disimplifikasi hanya sebatas pada upaya-upaya reklamasi atau penanaman pohon/penghijauan. Padahal kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran yang ditimbulkan oleh operasi pertambangan merupakan kerusakan yang bersifat tidak dapat berbalik (irreversible damages). Sekali suatu daerah dibuka untuk operasi pertambangan, maka daerah tersebut akan menjadi rusak selamanya. Biaya pemulihan (clean up) dari pencemaran yang ditimbulkan pun sangat besar.

Proses penutupan tambang sebenarnya meliputi berbagai aspek yang sangat luas dan kompleks, meliputi tidak hanya aspek lingkungan hidup, tapi juga aspek sosial, ekonomi lokal, tenaga kerja, budaya, dan lain-lain. Bukan rahasia lagi, di banyak tempat di seluruh dunia dan juga di Indonesia terjadi fenomena boom-and-bust, yakni ketika muncul operasi pertambangan di suatu kawasan maka kawasan tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam sementara ketika perusahaan tambang pergi terjadi pula penurunan kondisi ekonomi setempat yang sangat tajam pula. Pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam operasi pertambangan adalah suatu keniscayaan, karena tidak ada operasi pertambangan yang dapat beroperasi selamanya. Hal ini belum termasuk rusak dan hancurnya kondisi lingkungan hidup setempat.

Berbagai korporasi pertambangan, terutama korporasi multinasional, seringkali menerapkan standar ganda di dalam operasinya, termasuk dalam hal-hal yang menyangkut masalah lingkungan hidup. Lemahnya monitoring dan tersubordinasinya institusi pengawas lingkungan oleh instansi teknis/sektoral lebih lanjut melanggengkan terjadinya impunity di dalam pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan.

Menurut WALHI, perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia harus bertanggung jawab atas segala dampak dari operasinya (liable dan accountable). Di dalam prinsip liability (tanggung gugat) terkandung pula prinsip precautionary action dan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Prinsip precautionary action atau dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai prinsip pencegahan dini, yaitu suatu prinsip yang mengutamakan tindakan pencegahan pencemaran atas suatu kegiatan yang telah diketahui akan membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan hidup. Prinsip ini didasari atas suatu fakta bahwa ilmu pengetahuan memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga suatu tindakan pencegahan harus dilakukan sebelum jatuhnya korban.

Sementara itu, prinsip pencemar membayar didasari atas prinsip bahwa setiap pelaku pencemaran harus tetap dapat dituntut tanggung-gugatnya (to be held accountable) tanpa mempertimbangkan apakah pihak pencemar telah mematuhi peraturan atau pun mempunyai reputasi baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Karena tindak pencemaran, berdasarkan UU No.23/1997, merupakan suatu tindak kejahatan lingkungan, maka hal ini juga mengandung makna adanya tanggung-gugat dari penanggung jawab kegiatan (top management) untuk dapat dituntut secara pidana atas tindak pelanggaran kejahatan lingkungan tersebut.

Saat ini, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggung jawab, yang pelanggaran atasnya dapat mengakibatkan timbulnya konsekuensi hukum. Kontrak Karya Pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi yang seringkali diterjemahkan oleh pelaku industri ini sebagai penghijauan/penanaman pohon semata. Oleh karena itu, WALHI menyerukan bagi adanya suatu kebijakan pertambangan yang komprehensif yang dapat menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Pius Ginting. Officer Publikasi Eksekutif Nasional WALHI. Telepon kantor: +6221-7941673; Mobile:Fax: +6221-7941672; 79193363


Minggu, 23 November 2008

Krisis Finansial/Kapitalisme dan Indonesia (Catatan Awal)

Sistem Produksi Kapitalisme Mengalami Stagnasi


Krisis sistem finansial sedang terjadi secara global. Berpusat di Amerika Serikat, krisis tersebut mengguncang hampir seluruh bagian negara di dunia bersamaan dengan terjadinya krisis pangan, iklim dan energi. Kini makin banyak orang mempertanyakan legitimasi neoliberal, bahkan masa depan sistem kapitalisme itu sendiri kini sedang dipertanyakan. Pada masa sebelum krisis, korporasi dan negara pendukungnya selalu menganjurkan agar negara tidak campur tangan dan meregulasi korporasi. Namun, di saat krisis korporasi meminta bantuan negara untuk menyelematkan dirinya.

Krisis ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, pada tahun 1929 harga-harga saham di Amerika Serikat juga mengalami kejatuhan. Serentetan krisis yang terjadi adalah krisis yang inheren dalam sistem ekonomi sekarang (kapitalisme), yakni krisis akibat over-produksi dan over-capacity sistem kapitalisme.

Berkat sejarah panjang sistem kapitalisme yang motif dasarnya adalah mengakumulasi keuntungan, dan jalan mewujudkannya adalah mengupah buruh serendah mungkin, penjajahan, dan mengekspolitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan daya dukung alam itu sendiri, menerapkan teknologi yang meningkatkan produksi namun minim investasi tidak bagi teknologi keselamatan lingkungan karena bagi modal hal tersebut berarti biaya tambahan, maka kian hari modal kian terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Pendapatan 1% penduduk terkaya di dunia sama dengan pendapatan 60 persen penduduk dunia lainnya (2, 7 milyar orang). [1]

Sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm

Grafik 1. Pendapatan makin tidak merata antar lapisan penduduk
(Perbandingan tahun 1988 dan 1993)

Konsekuensi dari modal yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang sementa mayoritas lainnya berdaya beli rendah, bahkan tidak berdaya sama sekali akhirnya menjadi masalah bagi sistem kapitalisme itu sendiri. Akumulasi modal yang besarannya astronomikal makin hari makin mendapatkan sedikit ruang untuk berinvestasi yang menguntungkan bagi mereka. Tingkat keuntungan mereka di sektor riil mengalami stagnasi. Kini wajah kapitalisme itu adalah: Pertumbuhan yang lambat, Kelebihan Kapital, dan Utang yang menggunung.

Sumber: http://www.monthlyreview.org/docs/0402chrt2.pdf

Grafik 2. Persentase kapasitas produksi manufaktur AS

Dari grafik di atas, industri kapitalisme (manufaktur) tidak pernah beroperasi 100%, dan bahkan mengalami kecenderungan penurunan. Penyebabnya tak lain adalah daya beli masyarakat di dunia makin melemah, sehingga pasar buat produk industri makin menyempit, sehingga mereka harus membatasi produksi.

Sumber: http://www.monthlyreview.org/docs/0402chrt1.pdf

Grafik 3. Kecenderungan Penurunan GDP AS

Penurunan produksi tersebut juga tercermin dari perubahan GDP negara seperti AS, dimana angkanya tidak pernah kembali mencapai angka pertumbuhan tahun 1950-1970.
Tentu saja, banyak orang yang masih tidak berpakaian layak, tidak minum susu secara mencukupi, tidak memiliki akses terhadap komputer, namun mereka tidak bisa diharapkan oleh kapitalisme menggairahkan produksi karena mereka tidak berdaya beli.

Pembengkakan Utang Rumah Tangga dan Finansialisasi Jalan Keluar Korporasi dari Stagnasi Pendapatan rakyat di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara maju lainnya sejak tahun 1970-an tidak mengalami kenaikan dibanding masa sebelumnya. Hal tersebut dapat kita lihat dari Tabel 1. Perlambatan kenaikan upah yang mendorong yang menyebabkan ketidakadaan daya beli adalah buah simalakama bagi korporasi. Sudah menjadi hukum besi bagi akuntansi korporasi, untuk menghasilkan keuntungan besar, caranya adalah menahan laju kenaikan upah buruh, menerapkan teknologi yang bisa menambah output produksi per jam kerja, dan mengirit penerapan tekonologi yang tidak menambah output: keselamatan kerja dan lingkungan.

Tabel 1. Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan


Rentang Waktu OECD
(Eropa, AS, termasuk Jepang, Australia
dan Selandia Baru)
Negera Berkembang
(termasuk Cina,
Eropa Tengah dan Timur)
1960–1979
(3.4)
(2.5)
1980–1998
(1,8)
(0,0)


Jalan keluar yang ditempuh korporasi keluar dari stagnasi keuntungan di tengah daya beli mayoritas masyarakat yang rendah, sementara modal membutuhkan lapangan baru untuk berkembang, beranak-pinak, agar surplus sosial yang telah tercipta melalui proses penghisapan buruh dan pola produksi yang merusak lingkungan agar bisa terserap harus ditemukan. Harus tetap tumbuh jika tidak mati, demikianlah rumus sistem produksi kapitalisme, seperti naik sepeda yang harus tetap dikayuh jika tidak mau jatuh. Maka, stagnasi di sektor riil mendorong para korporate masuk ke sektor finansial dan ekspansi pemberian kredit/utang.

Perpaduan daya beli masyarakat yang rendah dan modal yang membutuhkan ladang investasi, inilah yang menjadi awal krisis finansial— setelah krisis industri informasi teknologi pada tahun 2000, kini pada pertengahan akhir tahun 2008 beralih ke kredit perumahan di Amerika Sekarang ini. Rakyat menyiasati persoalan hidup dengan upah yang tidak mengalami kenaikan dengan mengutang/membuka kredit.

Juga, untuk menaikkan harga saham, sebagian perusahaan besar meminjam uang untuk membeli kembali (buy back) saham mereka, dengan demikian harganya makin mengelembung. Bahkan perusahan-perusahan yang biasanya bergerak di sektor riil merestrukturisasi operasi mereka dan masuk ke sektor finansial, lalu menggunakan keuntungan dari sektor ini untuk membiayai pinjaman dan mencetak keuntungan. Kapitalisme menjadi semakin tergantung kepada sistem kredit untuk melepaskan diri dari efek terburuk stagnasi di ”ekonomi produktif riil”.[2] Para eksekutif korporate pun mendapatkan bonus pendapatan dari kenaikan harga saham sehingga mereka berkepentingan untuk meninggikan nilai saham. Sejak tahun 1990-an, nilai saham perusahaan menjadi lebih penting daripada prospek keuntungan aktual perusahaan.[3] Dengan skema ini, sektor finansial menjadi lebih dominan dibanding sektor produktif. Fidel Castro mencatat nilai transaksi harian di Wall Street sama dengan nilai perdagangan dan jasa dunia selama 14 hari. Sektor keuangan (finansial) dan riil menjadi relatif tidak berketerkaitan.[4] Artinya, nilai saham dan bond terbentuk sendiri lewat spekulasi dan tidak mewakili nilai dasar aset yang dijaminkan. Proses ini disebut sebagai proses finansialisasi.

Sumber: http://www.monthlyreview.org/080401foster.php

Grafik 4. Kontribusi Sektor Finansial Semakin Besar Bagi Keuntungan Korporasi


Dari grafik di atas, terlihat kontribusi sektor finansial terhadap keuntungan korporasi makin meningkat dari tahun ke tahun.

Negara membantu mereka dengan meregulasi sektor-sektor keuangan dan asuransi, bersamaan dengan meliberalisasi kontrol pertukuran mata uang antar negara. Setelah sektor finansial diregulasi di seluruh dunia pada tahun 1980-an (pertama kali di negeri Utara kemudian negeri Selatan melalui Structural Adjustment Programmes), perusahaan-perusahaan melakukan spekulasi di pasar saham, surat utang (bond), ataupun mata uang dunia.[5]

Krisis Terbaru


Setelah penggelembungan sektor finansial berbasis industri teknologi meletus tahun 2000 di Amerika Serikat, mereka mencari lahan baru. Maka, dalam perkembangan krisis terakhir ini, modal diinvestasikan dalam kredit perumahan. Demi penciptaan ruang investasi, maka syarat kredit untuk perumahan dipermudah. Kelas pekerja yang telah mengalami stagnasi upah sejak tahun 1970 diiming-imingi kredit dengan syarat yang dipermudah. Berharap harga rumah akan makin tinggi di masa depan, banyak pula yang berinvestasi di rumah dengan cara mengkredit rumah baru lagi. Kredit tersebut kemudian oleh perusahan pemberi kredit atau bank dikumpulkan dan dijual (sekuritas berbasis kredit perumahan, perkantoran) kepada perusahaan keuangan yang lebih besar. Perusahaan besar tersebut menikmati pembayaran cicilan kredit namun menanggung resiko jika terjadi gagal bayar. Perusahaan keuangan yang lebih besar sebagai penjamin maupun perusahaan pemberi kredit yang pertama kali memberi pinjaman tentunya berharap agar para pemilik rumah dapat terus membayar cicilan. Dengan sekuritas berbasis kredit perumahan dan perkantoran ini, baik peminjam maupun penyewa sama-sama mengandalkan terhadap nilai rumah yang akan makin tinggi.

Sistem ini akan jatuh jika harga rumah jatuh atau pendapatan peminjam kredit terancam tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka. Situasi ini mengalami keguncangan ketika Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunga, sehingga rakyat kelas bawah yang upahnya memang tidak mengalami kenaikan masuk ke status gagal bayar, dan karena bank terpaksa banyak menyita rumah dan harus menjualnya kembali menyebabkan harga perumahan menjadi jatuh. Inilah yang sekarang banyak terjadi di negara dunia, Amerika, Inggris, Spanyol, Australia atau Selandia Baru.

Kekacauan sisten finansial global telah menyebabkan negara-negara di Utara (dan juga rencananya negara kapitalistik di dunia ketiga, seperti Indonesia) telah melakukan tindakan yang sering diserukan oleh gerakan progresif, menasionalisasi bank-bank. Gerakan ini bagaimanapun mereka maksudkan hanyalah sebagai usaha penyelamatan dan stabilisasi, dan bila saja badai krisis berlalu, mereka akan menyerahkan kembali perbankan kepada sektor swasta: sebagaimana yang telah terjadi di Indonesia paska krisis tahun 1997 dengan BPPN.


Indonesia Rentan Krisis Kapitalisme


Indonesia selalu mengandalkan utang dan investasi asing dengan komoditas ekspor sebagai sumber pendapatannya, sementara itu industri yang berorientasi kepentingan rakyat dan ramah lingkungan tidak terjadi. Pola pembangunan seperti ini adalah tidak berkesinambungan dan rentan guncangan krisis. Hal tersebut diatarnya tampak paska kejatuhan harga minyak pertengahan tahun 1980-an. Dengan tergerusnya pendapatan dari sektor minyak, usaha kelompok penguasa Pemerintahan Orde Baru segera dibawah ancaman. Laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada November 1982 menyebutkan cadangan devisa Indonesia dari surplus hampir sebesar $AS 500 juta menjadi defisit lebih dari $AS 7 milyar dalam dua tahun. IMF, IBRD, dan negeri donor lainnya kembali dalam posisi yang kuat mengulangi kejadian di awal kekuasaan Orde Baru, sehingga pemerintahan Orde Baru harus mencabut berbagai macam proteksi dan dan memberikan akses yang luas terhadap sumber daya Indonesia, Bank Dunia berargumentasi bahwa sektor yang disubsidi dan ekonomi yang terproteksi adalah tidak efesien dan tidak kompetitif, dan Indonesia harus terintegrasi dengan “operasi bebas pembagian tenaga kerja Internasional”.[6]

Respon pemerintah terhadap hal tersebut adalah mendevaluasi nilai rupiah (27.6 persen) untuk memperluas ekspor non migas, dan mengesampingkan investasi untuk proyek-proyek publik.[7] Lebih jauh pemerintah menghapus monopoli import, dan membiarkan perusahaan sektor hilir secara bebas mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk produksi eskpor, merendahkan tarif, pemangkasan pajak korporasi.

Miranda S Gultom menyatakan struktur keuangan Indonesia mengalami perubahan yang cukup mendasar setelah deregulasi perbankan Juni 1983 akibat oil shock (kejatuhan harga minyak pada akhir tahun 1982), dan tidak salah untuk mengatakan bahwa reformasi perbankan yang dilakukan tahun 1983 merupakan titik awal ke arah sistem keuangan yang lebih berdasarkan mekanisme pasar.[8] Seiring perjalan waktu, sektor keuangan dan Industri Indonesia makin liberal.

Krisis finansial yang terjadi tahun 1997 adalah akibat dari kebijakan neoliberal. Sektor finansial dideregulasi, membuat modal leluasa begerak antar negara dalam bentuk produk-produk finansial (saham, surat utang, perdagangan mata uang asing, dll). Indonesia mengalami krisis hebat akibat spekulasi mata uang dan sektor finansial. Dan kini, ketika krisis kembali terjadi, mata uang Indonesia jatuh karena investor asing terus melepas aset dan portofolio investasinya di Indonesia seperti Surat Utang Negara, Sertifikat Bank Indonesia, termasuk saham.

Akibat nyata yang terjadi atas krisis saat ini adalah PHK massal atas industri komoditas ekspor karena penurunan daya beli negeri tujuan ekspor, serta melemahnya kemampuan daya beli akibat penurunan nilai mata uang. Hal tersebut misalnya mulai terasa dengan langkanya obat HIV/AIDS yang masih diiimpor makin mahal.


Tawaran Jalan Keluar dari Krisis


Sektor Finansial, Perdagangan dan Hubungan Internasional:
  1. Larang perdagangan produk derivatif di sektor finansial.
  2. Nasionalisasi penuh bank-bank yang ada dan diletakkan dibawah kontrol rakyat, tidak hanya menasionalisasi aset-aset yang buruk seperti utang.
  3. Ciptakan bank berbasis kepentingan masyarakat bukan korporasi dan perkuat bentuk pinjam-meminjam yang ada dan memperkuat solidaritas.
  4. Terapkan kriteria lingkungan dan sosial (termasuk buruh) terhadap semua pinjaman yang diberikan oleh bank.
  5. Bank Sentral harus berada dibawah kontrol pengawasan publik.
  6. Hapuskan utang negeri berkembang—utang mereka akan membengkak akibat penurunan nilai mata uang akibat krisisi.
  7. Hapus World Bank, International Monetary Fund dan World Trade Organisation.
  8. Demokratiskan PBB dengan melibatkan lebih luas peran negara berkembang.
  9. Hentikan kerja sama perdagangan bilateral (negeri dunia ketiga masing-masing saling berebut menawarkan produk dan pasar ke negeri dunia pertama). Bentuk kerja sama ekonomi seperti Bolivarian Alternative for the Americas (ALBA) yang mendorong pembangungan sejati dan mengakhiri kemiskinan, kebodohan dan penyakit.


Bidang Pertanian dan Industri:
  1. Indonesia harus membangun industri strategis untuk kepentingan dalam negeri. Penderitaan yang dialami kini oleh masyarakat penanam kelapa sawit adalah karena ekspansi luas perkebunan jenis komoditi tersebut adalah untuk kepentingan ekspor, dan kerap terjadi industri pengelohannya juga bukan di Indonesia. Ekspor besar-besaran terhadap batu bara harus dihentikan karena merusak lingkungan dan tujuannya bukan untuk kemajuan keseluruhan masyarakat Indonesia.
  2. Bentuk stragegi pertanian yang bertujuan untuk mencapai kedaulatan pangan dan pertanian yang berkelanjutan.
  3. Jalankan reformasi agraria dan kebijakan lainnya yang mendukung petani kecil dan komunitas masyarakat adat.
  4. Hentikan ekspansi perkebunan monokultur yang merusak lingkungan dan sosial.


Bidang Lingkungan:
  1. Negeri dunia pertama memberikan hibah untuk mereparasi negeri Selatan (membayar piutang ekologi) atas kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan oleh negeri Utara.
  2. Negeri Utara membantu negeri Selatan mengatasi ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya, tanpa mekanisme pengalihan seperti perdagangan karbon.
  3. Hentikan pinjaman bagi proyek-proyek dibawah “Clean Development Mechanism” Protocol Kyoto yang merusak lingkungan seperti perkebunan monokultur eucalyptus dan sawit.
  4. Stop usaha pengembangan perdagangan karbon dan pengembangan tekonologi kontraproduktif lainnya seperti agrofuel, tenaga nuklir, dan ‘clean coal’ technology.
  5. Terapkan strategi yang secara radikal mengurangi konsumsi orang kaya di negeri-negeri kaya, dan kesejahteraan rakyat miskin di negeri berkembang dan terbelakang.
  6. Bentuk manajemen demokratis dengan melibatkan partisipasi negeri dan masyarakat sipil negeri Selatan untuk mitigasi perubahan iklim.


Pius Ginting, Officer Publikasi dan Riset WALHI


Catatan Kaki

[1] http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm
[2] John Bellamy Foster, "The Financialization of Capital and the Crisis," Monthly Review 59.11 (April 2008).
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal. 5.
[5] William K. Tabb, "Four Crises of the Contemporary World Capitalist System," Monthly Review 60.5 (October 2008).
[6] Andrew Mack, Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation, Universitas Sydney, September 2001.
[7] Ibid, hal 223.
[8] Miranda S Gultom, “Perubahan Strukural Sektor Keuangan di Indonesia: Visi dan Tantangan”, dikutip dari Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, books.google.co.id/Pakto+Oktober+Bank


http://kprm-prd.blogspot.co.id/2008/11/krisis-finansial-kapitalisme-dan.html

Jumat, 08 Agustus 2008

Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup!!!

Oleh: Pius Ginting
Officer Publikasi Eksekutif Nasional WALHI


Pengelolaan Persampahan:
Menuju Indonesia Bebas Sampah (Zero Waste )


Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari.

Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.


Jenis Sampah


Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 (dua) yaitu, sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur dan lain-lain. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.


Alternatif Pengelolaan Sampah


Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.

Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.

Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.

Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.



Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah


Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktikkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.

Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.


Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)


Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.

Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.

Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.

Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.


Produksi Bersih dan Prinsip 4R


Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah:

Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:

Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.

Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.

Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.

Replace (Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.

http://pojokhse.blogspot.co.id/2008/08/mengelola-sampah-mengelola-gaya-hidup_28.html

http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/peng_sampah_info/?&printer_friendly=true

Kamis, 07 Agustus 2008

Warisan Orde Baru dalam Pertambangan: Mengundang Modal Memperkosa Alam

Palang-palang penghambat modal asing itu dihapuskan oleh pemerintahan Soeharto. Setelah menghilangkan kekuatan politik yang tidak bersahabat dengan modal, agenda selanjutnya adalah menghapus regulasi penghambat. Beberapa saat sebelum kejatuhannya, pemerintahan Sukarno mengeluarkan Undang-undang (UU) No.16 Tahun 1965, dalam salah satu pertimbangannya menyatakan “bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terus menerus penghisapan atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila”. Seperti siang berganti malam, regulasi ini digantikan dengan UU Penanaman Modal Asing No 1 Tahun 1967, yang membukakan pintu bagi masuknya modal asing kembali. Masih bertanda-tangan Soekarno, tertanggal 10 Januari 1967, namun penguasa Orde Baru secara riil telah mengendalikan arah kebijakan negara semenjak 11 Maret 1966. Undang-undang penarikan diri dari Dana Moneter Internasional (IMF) – salah satu pertimbangannya menyatakan IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) merupakan konsentrasi kapital dari kaum neo-kolonialis dan imperialis yang mengutamakan kepentingan golongannya dari pada anggota-anggotanya yang termasuk negara-negara yang baru merdeka dan belum berkembang ekonominya – digantikan dengan UU No 9 Tahun 1966 tentang masuknya kembali Indonesia menjadi anggota IMF dan IBRD.

Dalam bidang pertambangan, UU Prp 37 tahun 1960 yang menetapkan bidang tambang tertutup bagi modal asing, dinyatakan tidak berlaku lagi; digantikan oleh UU No 11 Tahun 1967 yang membukakan pertambangan bagi modal asing.

Segera setelah Suharto mengkonsolidasikan kekuataannya, sebuah delegasi dikirim menghadiri sebuah konferensi luar biasa di Jenewa, bernama “To Aid in the Rebuilding of A Nation”, November 1967. Delegasi pemerintah Orde Baru menghadap partisipan kapitalis yang paling berkuasa, dipimpin oleh David Rockefeller. Selama tiga hari, ekonomi Indonesia dibagi-bagi, sektor demi sektor. Sebuah konsorsium Amerika dan Jepang menguasai nikel Papua, perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, Perancis mendapatkan hutan. (John Pilger, 2002). Namun sebelum itu, yang terbesar di antaranya adalah sebuah pengunungan tembaga dan emas, telah jatuh kepada perusahaan pertambangan Amerika Serikat (AS), Freeport-Mc Moran, dimana Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, kemudian menjadi salah satu petingginya.


Pemberian terbesar bagi Investor


Lalu mulailah angan-angan mencapai kemakmuran lewat pembangunan itu dijalankan. Eksplorasi penambangan Ertsberg dimulai pada Desember 1967. Secara resmi dibuka oleh Soeharto pada Maret 1973. Kawasan Ertsberg selesai ditambang pada tahun 1980-an dengan mewariskan lubang sedalam 360 meter. Sejak tahun 1988, PT Freeport mulai mengeruk cadangan lainnya, Grasberg. Pada tahun 2005 telah menimbulkan lubang utama bergaris-tengah 2,4 km, meliputi daerah seluas 449 ha, dengan kedalaman 800m. Diperkirakan sebanyak 18 juta ton cadangan tembaga, 1.430 ton cadangan emas akan dikeruk hingga penutupan tambang 2041.

Namun hal itu disertai dengan konsekuensinya kerusakan lingkungan yang besar. Hingga tahun 2005, limbah batuan dan tailing (limbah tambang berbentuk lumpur dari proses pengolahan bijih) yang dibuang oleh PT.Freeport Indonesia mencapai 2 milyar ton. Sejak tahun 1995, limbah tailing sebanyak 100 ribu ton hingga 220 ribu ton dibuang setiap harinya.

Kehidupan masyarakat di sekitar lokasi yang sangat tergantung kepada kemurahan alam, menjadi terganggu. Ruang penghidupan suku-suku yang terdapat di pengunungan tengah Papua bertambah sempit. Muara Sungai Ajkwa yang memiliki nilai ekonomi penting bagi penduduk lokal hancur akibat timbunan tailing. Pengujian atas contoh-contoh tanaman lokal yang tumbuh kembali di atas tailing menunjukkan tingginya kadar beberapa racun logam seperti Selenium, Pb, Arsen, seng, mangan, dan tembaga.

Penduduk pun beralih dari pekerjaan semula ke pekerjaan beresiko tinggi, yakni mengais emas di lokasi pembuangan tailing PT FI. Konflik pun mewarnai hubungan antara PT FI dengan warga sekitar. Sebagian besar jalur penyelesaiannya adalah lewat pembunuhan dan kekerasan, bukan pengadilan. Sepanjang tahun 1994-1995 saja, tercatat terjadi pembunuhan terhadap 44 orang dalam beberapa kejadian.

Warisan Soeharto, menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan, terus terjadi setelah reformasi. Pada tahun 2006, aksi penertiban berhadapan perlawanan warga. PT FI terpaksa menghentikan operasinya; di pihak lain, sebanyak 20 hingga 36 warga meninggal karena terseret banjir dan tertimpa longsor, dalam upaya melarikan diri dari penertiban Brimob pengawal PT FI.

Bila Richard Nixon, Presiden AS, pernah mengungkapkan Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara, maka kekayaan mineral di kawasan Pegunungan Tengah Papua ini mungkin menjadi pemberian terbesar pemerintahan Orde Baru bagi investor asing. Sebaliknya, penduduk asli menilai kekayaan alam itu telah menjadi kutukan. Kantong-kantong kemiskinan berada di kawasan konsesi pertambangan PT.FI, mencapai angka di atas 35%. Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) Papua Barat menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia Papua (memuat kriteria angka kematian ibu hamil dan balita karena kekurangan gizi) berada di urutan 29, data tahun 2005, tidak kunjung membaik dibandingkan dengan peringkat tahun 27 pada tahun 1999.


Memanjakan investasi dengan lemahnya kebijakan lingkungan hidup


Kemurahan bagi investor juga tampak dalam perlakuan pemerintah terhadap PT. Newmont Minahasa Raya. Kontrak Karya (KK) PT NMR disetujui tanggal 6 November 1986, oleh Presiden Soeharto, bersamaan dengan 33 naskah kontrak karya lainnya. Wilayah konsensi dalam Konrak Karya meliputi 527.448 hektar di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Garapan PT.NMR menduduki peringkat ke 6 terbesar di Indonesia dengan total cadangan emas sekitar 65 ton. Setelah memperoleh emas, sebanyak 2.000 ton tailing disalurkan ke dasar perairan Teluk Buyat. Ameriksa Serikat, negeri asal perusahaan ini tidak mengizinkan pembuangan tailing ke laut. Toleransi pembuangan tailing ke laut dengan syarat ditimbun di bawah lapisan termoklin, sebuah karakteristik lapisan air laut pada kedalaman tertentu yang diharapkan bisa menahan massa tailing tidak menyebar, ternyata belum cukup. Akibatnya, limbah itu menyebar dan mencemari wilayah Teluk Buyat.

Jika saja pipa pembuangan tersebut dibuat beberapa mil lebih panjang, maka limbah akan tertumpuk di laut dalam, dan mengurangi secara drastis potensi pencemaran, kata Jim Kuiper, seorang konsultan teknik (www.motherjones.com). Metode tersebut menelan biaya setidaknya $15 juta, Dan, Newmont Minahasa Raya memilih untuk tidak melakukannya.

Pencemaran itu membuat lahan pencarian masyarakat terganggu. Ikan-ikan ekonomis bagi warga berhilangan, dan beberapa hasil tangkapan menampilkan ciri-ciri keracunan logam berat.

Hal kontroversial itu terjaga selama masa pemerintahan Soeharto dan tidak menjadi perhatian luas. Pada masa Orde Baru, persetujuan Amdal perusahaan tambang lebih ditentukan oleh Departemen Pertambangan dan Energi. Amdal sebagai palang pintu agar tidak terjadi pencemaran dengan mensyaratkan penerapan sistem dan teknologi yang ramah lingkungan, tidak bisa menjadi jaminan bagi operasi yang memperhatikan lingkungan. “Kami tidak bisa ngomong banyak soal Amdal dari kontrak karya perusahaan tahun 1980-an. Pada masa itu, boro-boro kami bisa intervensi," kata Imam Hendargo Abu Ismoyo, dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Keadaan berubah setelah Soeharto tidak berkuasa. Penetapan Komisi Amdal satu pintu di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut mensyaratkan penanggung jawab usaha yang melakukan pembuangan ke laut wajib harus mendapat izin Menteri Lingkungan Hidup. PT NMR pun tidak terkecuali. Hingga tambang NMR berhenti beroperasi tahun 2004, perusahaaan tersebut tidak kunjung memperoleh izin itu karena Ecological Risk Assessment (ERA) yang dibuat tidak memadai.

Di samping membuang tailing ke laut, Newmont Minahasa Raya juga melepas merkuri ke udara. Jumlahnya sekitar 17 ton sepanjang tahun 1996 hingga 2001 (NYT,22/12/04); atau setara dengan yang buangan 15 buah hingga 20 buah PLTU berbahan bakar batu bara, kata Glenn Miller, ahli merkuri dari University of Nevada. Kejadian tersebut terjadi di bawah pengawasan yang tidak efektif dari pemerintah. Petugas pengawas dari DESDM (sebelumnya Departemen Pertambangan dan Energi) bahkan tidak tahu menahu tentang pembuangan merkuri, sebagaimana dia ungkapkan di PN Jakarta Selatan.

Penambangan emas meninggalkan lubang-lubang, terluas di antaranya mencapai 5 kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman 135 m. Lubang paling besar itu tidak akan ditutup, karena tidak ada keharusan bagi perusahaan menutupnya, demikian pernyataan salah satu staf perusahaan (Kompas, 7/12/07).


Sejarah berulang di tengah lingkungan makin parah


Pemerintahan Soeharto mengundang modal dengan memberikan banyak kemudahan. Di awal kekuasaannya, demi membangun kekuatan ekonomi politiknya, Soeharto merelakan Freeport membuat kontrak setelah usulan kontrak dari pemerintah ditolak oleh perusahan tersebut. Paska reformasi, dengan krisis ekonomi yang masih terus terjadi, cadangan devisi negara yang banyak terkuras membayar hutang warisan Orde Baru, maka pemerintahan yang ada makin nekad dalam mengobral sumber daya alam bagi investasi.

Maka konflik perusahaan pertambangan dengan masyarakat yang terdesak ruang hidupnya terus terjadi. PT. Nusa Halmahera Mineral melakukan penebangan di hutan lindung Toguraci, konfliknya dengan warga berekses pada kematian Rusli Tungkapi (salah seorang warga) akibat ditembak Brimob; Warga Dayak Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco Jaya Agung; Aurora Gold dari Australia, mencemari lingkungan, melanggar HAM dan, merampas tanah dan tambang rakyat (suku Dayak Siang, Murung, Bakumpai di Kalimantan Tengah) adalah beberapa di antaranya.

Sungguh, dampak industri pertambangan terhadap lingkungan telah menimbulkan biaya mahal selama 32 tahun pembangunan Orde Baru. Sumber daya alam yang tercipta lewat proses alam jutaan tahun dikuras dalam waktu puluhan tahun menjadi keuntungan perusahaan tambang, meninggalkan persoalan lingkungan yang besar, kini dan masa yang akan datang. Ongkos yang timbul dari degradasi tanah, tercemarnya perairan, polusi udara tidak pernah menjadi biaya variabel bagi perusahaan.

Sejarah terulang, dan menimbulkan kecemasan dan penderitaan. Setelah pemerintahan Orde Baru, selanjutnya pemerintahan Megawati mengeluarkan Perppu No.1/2004, memperbolehkan 13 perusahaan tambang menambang di kawasan hutan lindung; kini Pemerintahan SBY mengeluarkan PP No.2 Tahun 2007, yang lebih ekstensif dari Perppu di atas.

Kita membutuhkan paradigma baru tentang tata pemerintahan serta sistem ekonomi baru yang tidak mengejar pertumbuhan, namun memperhatikan keberlangsungan kehidupan. Bisakah sumber daya alam dikelola secara demokratis melibatkan partisipasi masyarakat? Mengapa tidak melakukan penentuan pendapat (referendum) bagi masyarakat yang terkena dampak sebuah pertambangan yang bakal dibuka? (pius ginting)

***

Sabtu, 26 April 2008

NO VOLVERAN: Tayangan Pendakian Seperempat Menuju Puncak

Proses sosial politik di Venezuela, semenjak pemerintahan Chavez (tahun 1999), sudah cukup sering di muat dalam pemberitaan-pemberitaan media internasional, juga di Indonesia. Di samping berita tentang perang Irak, nuklir Iran, pengisolasian rakyat Palestina, kejadian-kejadian dalam panggung politik Venezuela sering mengetengahkan adegan yang bernilai penting secara politik, tidak hanya bagi negerinya, juga bagi dunia internasional. Kudeta pemerintahan terhadap Chavez (April 2002), pemogokan perusahaan minyak nasional, konflik Chavez dengan media swasta (khususnya RCTV), kegagalan referendum konstitusi (akhir 2007), pertarungan lewat arbritrase dengan salah satu perusahaan minyak internasional, adalah beberapa peristiwa yang mendapat sorotan secara internasional. Kejadian-kejadian tersebut tidak bisa dipungkiri akibat kebijakannya pemerintahan Chavez yang bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang berlaku umum saat ini.

Perkembangan yang terjadi di Venezuela adalah perkembangan yang makin progresif, kendati referendum konstitusi kedua kalinya pada akhir tahun 2007 yang diusulkan oleh kekuatan Chavez mengalami kekalahan. Terbukti dengan makin banyaknya perusahaan dan sektor usahanya dimana kepemilikan negara makin besar.

Sebuah film dokumenter berjudul “No Volveran”, dibuat menjelang dan saat pemilihan presiden Venezuela tahun 2006, dimana Chavez kemudian terpilih kembali sebagai presiden, menampilkan perkembangan gerakan rakyat yang telah beranjak lebih maju dibanding dari periode sebelumnya. Bila Chavez sebelumnya, sebagaimana diungkapkan dalam buku Martha Harnecker “Memahami Revolusi Venezuela”, harus berupaya kuat dan kesulitan dalam mengorganisir rakyat, maka film ini menyuguhkan kita sebuah bentuk kegigihan rakyat mengorganisir diri, dan memperjuangkan tuntutannya ke pemerintah. Jika pada tahun 2004, manajemen buruh, manajemen sendiri, ko-manajemen, dan produksi oleh asosiasi produser masih sebatas tuntutan dan impian, maka sejak tahun 2005 telah menjadi kenyataan.

Salah satunya, yang menjadi sentral dalam film ini, adalah perjuangan buruh Sanitarios Maracay, produksinya berupa jamban keramik. Jangan bandingkan dengan perjuangan/aspirasi buruh di pabrik tersebut dengan Indonesia. Bahkan di antara gerakan buruh lainnya di Venezuela, gerakan buruh tersebut merupakan paling maju. Mereka menuntut nasionalisasi 100% terhadap pabrik tempat mereka bekerja, yakni negara menguasai penuh namun operasional/manajemen di bawah kontrol buruh. Sementara itu bentuk kepemilikan lainnya atas perusahaan-perusahaan yang diambil alih masih pada tahap separuh dimiliki oleh buruh dan separuhnya oleh negara, seperti Invepal (kertas). Dalam bentuk kedua ini, maka peningkatan keuntungan usaha sebagian akan menjadi milik buruh yang bekerja di pabrik tersebut. Belajar dari sistem manajemen buruh Yugoslavia (Michael Lebowitz, 2006) bentuk seperti yang terakhir ini juga masih mengandung persoalan, ketika terjadi persaingan antar pabrik, atau masih berpeluangnya terjadi kontradiksi antara pencari pekerjaan, komunitas yang lebih luas dengan buruh yang langsung bekerja di pabrik tersebut. Bentuk manajemen/kepemilikan lainnya yang ditampilkan adalah kepemilikan saham antara koperasi dan pemerintah. Tentu, bentuk ini lebih mundur dibanding dengan dua bentuk yang di atas, terlebih lagi koperasi tersebut masih memperkerjakan buruh yang bukan menjadi pemilik/anggota koperasi.

Membandingkannya dengan Indonesia

Membandingkan dengan Indonesia, tentu akan banyak perbedaan. Selain perbedaan lokasi geografis dan demografisnya, perbedaan yang paling penting adalah perbedaan kemajuan/konteks gerakan dan karakter pemerintahan yang ada di Venezuela dan Indonesia. Sejak terjadi gerakan protes rakyat mengguncang struktur kelas mapan namun direpresi oleh pemerintah pada tahun 1989, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak, yang dikenal dengan peristiwa Caracazo, gerakan rakyat makin masuk ke tengah panggung politik, terutama setelah kemenangan Chavez sebagai presiden pada tahun 1998. Pemerintahan Chavez telah berhasil menulis ulang/memenangkan referendum konstitusi yang lebih pro-manusia (rakyat) tahun 1999, melaksanakan program-program ambisius yang meningkatkan indeks kualitas sumber daya manusia lewat bebagai misi, seperti Misi Barrio Adentro (kesehatan), Misi Robinson (melek huruf), perumahan, dan lain-lain.

Sementara di Indonesia, gerakan rakyat masih menjadi figuran dalam panggung politik nasional. Di luar keberhasilannya membukakan ruang yang lebih demokratis, membukakan panggung politik bagi para pemain baru untuk bersimbiosis-mutualisme dengan pemain sebelumnya, tidak banyak yang bisa dicatat atas prestasi gerakan rakyat di Indonesia, kalau tidak boleh dibilang mengalami kemunduran semenjak pemerintahan Megawati.

Apa yang disuguhkan dalam film No Volveran layaknya sebuah tayangan apa yang terjadi dalam jarak seperempat menuju pucak dalam sebuah pendakian. Di sisi lain, kita baru seperempat pendakian dari bawah kaki gunung. Tentunya, vegetasi gerakan, kesegaran cuaca bagi pemikiran rakyatnya dan keindahan yang tertampil akan mengalami perbedaan kualitas dari kedua ketinggian tersebut.

Kembali ke Realitas Kita

Dengan kondisi gerakan di Indonesia yang masih figuran dan lemah, maka tentu menjadi tugas adalah memperbesarnya. Saat ini, tentu gerakan di Indonesia tidak terilusi akan tercapainya kemenangan dengan segera. Sebagaimana dikatakan oleh Meyer (nama samaran seorang progresif Rusia), kita tidak terilusi kemenangan, kita tidak akan menang saat ini. Pekerjaan sekarang adalah menjatuhkan otokrasi. Tidak menjatuhkan otokrasi karena prospek kemenangan masih jauh adalah tindakan yang salah dan bukan karakter organisasi progresif (David Shubb). Kendati pendapat tersebut dia ungkapkan pada tahun 1905, relatif memiliki ketepatan dengan Indonesia saat ini.

Kelompok yang tidak terilusi jelas melihat bahwa Pemerintahan SBY-Kalla tidak saja bukanlah pemerintahan populis (yang melandaskan kekuasaannya dengan memberi sogokan-sogokan kepada rakyat tanpa upaya serius meningkatkan kapasitas rakyatnya), namun lebih ekstrim dari itu dia adalah pemerintahan pro-investor. Hal tersebut tampak di antaranya dalam kasus Lapindo dimana dana APBN diporot untuk membayar apa yang seharusnya menjadi tanggungan Lapindo Brantas Inc, atau pelajaran dari dihentikannya kasus BLBI.

Isu nasionalisasi bagus untuk diketahui, dan perlu untuk dipahami. Namun memprioritaskan isu nasionalisasi dengan konteks pemerintahan yang ada sekarang, bukanlah tindakan yang efektif, sesuai dengan ketinggian pendakian kita saat ini. Prioritas utama adalah memblejeti pemerintahan yang tidak pro rakyat, dan menarik rakyat luas untuk masuk dan mendukung kelompok gerakan. Dengan membesarnya kekuatan rakyat, (dan menghasilkan pemerintahan yang progresif), barulah tuntutan nasionalisasi menjadi realistis dan memiliki pijakan.

Apa yang disungguhkan oleh film No Volveran adalah gambaran gerakan yang akan terjadi di depan, jika saja kita berhasil melanjutkan pendakian, dengan keberhasilan membangun kekuatan yang lebih besar, dengan kerja-kerja yang terukur kemajuannya sepanjang rute pendakian.

Ditulis oleh: Pius Tumangger, anggota Aliansi Muda Progresif.