Senin, 18 Juni 2012

Rio +20: Gagalnya Reformasi Lingkungan Hidup Global

Wanda Hamidah, anggota DPRD DKI Jakarta akan pergi ke Olimpiade London 2012. Bersama tiga orang lainnya, wakili Indonesia sebagai pembawa Obor Olimpiade. Suatu kebanggaan tentunya terpilih di antara 230 juta penduduk Indonesia. Siapa yang tunjuk dirinya wakili Indonesia? PT. Samsung Electronics Indonesia. Bagi penulis ini suatu kejanggalan.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Kapital, dalam hal ini Samsung, ternyata yang lebih berperan menunjuk perwakilan Indonesia di ajang olahraga terbesar ini. Misalnya, usai Olimpiade London, terjadi perselisihan industrial antara pekerja dengan perusahaan PT. Samsung, dan pekerja ini mengadu ke Wanda Hamidah sebagai anggota Komisi E mengurusi bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat, bisakah dia netral? Mungkin saja.

Bila dia tetap teguh perjuangkan aspirasi rakyat. Tapi banyak kejadian tak begitu. Contohnya, seorang kepala desa yang kerap memimpin penyaluran bantuan beras dari perusahaan tambang dekat desanya, bersaksi untuk perusahaan di pengadilan bahwa tidak ada pencemaran. Sementara warga desa lainnya dalam survei yang dilakukan dinas perikanan setempat menyatakan tangkapan ikan nelayan berkurang. Kepala desa jadi tidak kritis terhadap dampak pembuangan limbah tambang terbesar ke laut di dunia di dekat kampung mereka. Padahal kerja sama dengan korporasi sebatas penyaluran beras ke desanya.

Tulisan ini bukan bermaksud membahas Olimpiade, melainkan pengaruh korporasi terhadap Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi, juga dikenal KTT Rio+20 yang dilangsungkan Juni ini di Rio de Jeneiro, Brazil. Penyelenggara KTT Rio ini adalah United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD), sebuah lembaga PBB. UNCSD dibentuk setelah KTT Bumi pertama yang dilangsungkan Rio de Janeiro 20 tahun lalu.


Ketergantungan Pendanaan pada Korporasi


Kelembagaan global seperti PBB kian mengandalkan pendanaan kerja sama korporasi. Tahun 1997 PBB mengalami defisit terbesar sepanjang sejarah karena banyak anggota tidak membayar iuran keanggotaan. Kongres Amerika Serikat tidak menyetujui kontribusi, merupakan 30 besar dari pendapatan PBB.

United Nation Foundations didirikan tahun yang sama dengan mengelola dana $1 miliar AS dari pengusaha Ted Turner. Ini adalah kontribusi privat terbesar. Setahun kemudian, Sekretariat Jenderal PBB membentuk United Nations Fund for International Partnership (UNFIP) mempromosikan dan mengelola kerja sama publik-privat, antara lembaga-lembaga PBB dengan aktor non-pemerintah (bisnis).

Lembaga PBB membidangi persoalan teknis seperti UNEP, UNICEF, UNDP, UNFPA, UNEP, dan UNESCO menggunakan 81 persen dana UNFIP. Antara tahun 1998- 2004, UNDP dan UNEP sebagai pemakai terbesar dana dana UNFIP, yakni 33 persen untuk program lingkungan.

Tak berbeda, World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg juga mengandalkan kerja sama dengan korporasi, serupa UNFIP untuk pendanaan kegiatannya. Negara-negara dunia menunjukkan dukungan yang kecil untuk kerja sama internasional jelang KTT Johannesburg. Amerika Serikat tidak mengirimkan delegasi setelah sebelumnya meninggalkan Protokol Kyoto tentang perubahan iklim.

Jelang Rio +20, pengaruh korporasi terus membesar. Friends of the Earth International, bersama La Via Campesina, Jubilee South/Americas, The Transnational Institute, Third World Network, Corporate Europe Observatory, World March of Women mengkritik Draf Awal Deklarasi Rio +20 yang menekankan peran bisnis sebagai promotor 'ekonomi hijau’ dan membela mekanisme pasar bebas yang tujuan utamanya menguntungkan bisnis; namun draft ini gagal membuat korporasi bertanggung jawab atas perannya menciptakan krisis finansial, iklim, pangan, dan lain-lain.

Paviliun Indonesia di Rio de Jeneiro 2012 akan menampilkan “cerita baik” pengelolaan lingkungan Indonesia, diisi oleh Freeport (pembuang limbah terbesar ke Daerah Aliran Sungai di Papua), Medco (menciptakan kemiskinan bagi nelayan tradisional di sekitar pulau buatan Tiaka-Sulawesi Tengah).


Pengaruh Korporasi pada Agenda KTT Bumi


Pembangunan dunia telah berlangsung tak berkelanjutan dan mengotori bumi yang hanya satu. Sejarawan Eric Hobsbawn menulis sejarah dunia, The Age of Revolution (1875-1848), The Age of Capital (1848-1875), The Age of Empire (1875-1914), The Age of Extremes (1914-1991) merasa perlu membahas banyak persoalan ekologi pada buku terakhir. Kendati tahun 1840-an persoalan lingkungan akibat pembakaran batubara telah timbul saat produksi batubara global baru capai 640 juta ton, pada tahun 2010 tercatat 3,2 miliar ton.

Kemenangan manusia atas alam punya sisi gelap. Hanya sedikit orang bisa menyangkal bahwa Revolusi Industri lewat kegiatan korporasi menciptakan dunia paling jelek yang pernah ditinggali manusia. Udara gelap dan bau, asap batasi pandangan di jalan-jalan Manchester. Namun daya dukung lingkungan global masih bisa berikan toleransi hingga tahun 1900. Sejak itu, mengambil gambaran tongkat hoki, suhu bumi menanjak drastis, beberapa bagian ekosistem mengalami gangguan parah, luas gurun bertambah.

Sisi lain, ekonomi pun bergerak cepat dari usaha pribadi kompetitif ke jenis korporasi besar (kartel, trust, monopoli). Zaman individualisme berakhir tahun 1870, keluh pengacara Inggris, A.V. Dicey (1835- 1922). Kini korporasi besar begitu berpengaruh di tingkat lokal hingga forum global.

Bahkan Maurice Strong, Sekretaris Jenderal United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) penyelenggara KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro mengundang Stephan Schmidheiny, pebisnis Swiss, mewakili Bussines Council for Sustainable Development sebagai penasihat utamanya tentang bisnis dan industri. Sekaligus diposisikan memimpin partisipasi bisnis pada KTT Bumi 1992.

Hasilnya, “Prinsip-prinsip Kehutanan” tidak pernah menyebutkan persoalan penggundulan hutan (deforestasi), tapi lebih kepada kedaulatan setiap negara menggunakan dan mengeksploitasi hutan sesuka mereka.

Sebanyak 41 bab Agenda 21, yang diharapkan menetapkan babak penting bagi gerakan lingkungan global abad 21, menampilkan komitmen terhadap lingkungan yang ditempatkan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dengan prinsip pasar besar sebagai tujuan utama.

Pratap Chatterjee dan Mathias Finger dalam The Earth Brokers, pengkritik utama KTT Bumi Rio menyatakan, satu-satunya penyebutan korporasi dalam Agenda 21 adalah untuk mempromosikan peran mereka dalam pembangunan berkelanjutan. Tidak ada penyebutan peran korporasi dalam melakukan pencemaran planet.

Pembangungan berkelanjutan kian indentik dengan promosi akumulasi keuntungan dalam sistem ekonomi neolibera/kapitalis. Reformasi lingkungan tak lagi dilihat sebagai kebijakan yang dibuat untuk mereformasi lingkungan, menempatkan korporasi berada di bawah (seperti konsep negara kesejahteraan klasik).

Ketakmaksimalan KTT Rio karena pengaruh kekuatan korporasi dari dalam dan luar. Lembaga lobi Bussines Council for Sustainable Development yang lalu berubah jadi World Business Council for Sustainable Development, memainkan peran lewat korporasi yang berasosiasi dengannya mendanai KTT Bumi 1992, dan turut dalam perencana inti.

World Business Council for Sustainable Development Lembaga adalah lembaga lobi koalisi dari 170 perusahaan besar, seperti Chevron, Mitsubishi, Du Pont, Dow Chemical, Shell, Rio Tinto.


Kemunduran di KTT Bumi


Dua KTT Bumi yang telah terselenggara terpisah dalam waktu 10 tahun. KTT Bumi I di Rio, diselenggarakan UNCED merepresentasikan harapan besar bahwa manusia secara bersama-sama dapat akhiri persoalan-persoalan ekologi yang kian parah.

Akhir tahun 1980 dan dan awal tahun 1990 sebuah periode krisis ekologi global merasuk kesadaran publik. Timbul kekhawatiran besar terhadap kehancuran lapisan ozon, pemanasan global, dan melajunya kehilangan spesies. Juni 1988, James Hansen, Direktur NASA Goddard Institute for Space Studies, bersaksi di depan Komisi Energi dan Sumber Daya Alam Senat Amerika Serikat, memaparkan bukti-bukti pemanasan global karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.

Pada tahun yang sama, PBB mendirikan badan baru, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pemberlakuan Protokol Montreal, pembatasan bahan kimian penipis ozon, menampakkan bahwa negeri ekonomi maju dapat melakukan aksi terpadu merespon ancaman lingkungan global.

Brazil yang dipilih sebagai tempat KTT Bumi adalah tempat terdapat hutan Amazon, menyimbolkan tujuan penghuni Planet Bumi untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati dunia. Dokumen utama yang dihasilkan KTT ini dikenal dengan Agenda 21.

KTT Bumi kedua dilakukan tahun 2002 di Johannesburg. Tampak dalam sepuluh tahun, lingkungan hidup global malah kian cepat rusak. Dunia mendekati kondisi bencana ekologi global. Tidak hanya pemanasan global, juga hilangnya spesies, hilang dan susutnya debit sungai, pencemaran di kota-kota besar dan daerah ekstraksi sumber daya alam, penggurunan, dan lain-lain.

Johannesburg dipilih sebagian untuk menyimbolkan akhir apartheid. Namun timbul kritik pada KTT Bumi kedua tersebut akan soal apartheid ekologi global, menekankan pada kehancuran lingkungan oleh negara Utara, namun yang paling menerima dampaknya adalah mereka yang tinggal di Selatan.

Imperialisme ekologi ekonomi pusat kapitalisme disimbolkan dengan penolakan Amerika Serikat untuk ratifikasi Protokol Kyoto membatasi gas rumah kaca yang timbulkan pemanasan global. Presiden AS, George W. Bush menolak menghadiri KTT Johannesburg. Pemerintahan Bush menyedot perhatian dunia dengan mengancam perang Irak. Keberadaan senjata pemusnah massal tak pernah terbukti pada akhirnya.

Kian jelas bahwa tujuan perang adalah minyak. Menyaksikan Amerika Serikat lakukan perang bagi negeri kaya minyak di saat planet kian memanas akibat pembakaran bahan bakar fosil, maka seluruh bumi tinggal tunggu waktu dalam hitungan dekade akan terbakar. Seberapa parahkah itu, menjadi kian sering dibahas.

Bila KTT Bumi berusaha mereformasi lingkungan, maka WTO didirikan tahun 1995 mempromosikan prinsip perdagangan bebas neoliberal, bahkan membuat reformasi lingkungan di masing-masing negara kian sulit.


Imperialisme Ekologi


Pembangunan berkelanjutan telah berubah menjadi keberlanjutan akumulasi kapital dengan seberapa pun ongkos ekologinya. Bila masa Revolusi Industri menciptakan ketaknyamanan di kota-kota Eropa, maka negara dunia ketigalah kini yang paling banyak menanggung dampak kerusakan lingkungan global.

Hampir setengah kejadian penggundulan hutan global terjadi di Indonesia, menyebabkan kehilangan dukungan alam bagi kehidupan masyarakat agraris: sungai susut, tercemar, hilangnya wilayah sumber kehutanan.

Namun sebagian besar kegiatan ekonomi pasca penebangan hutan diekspor ke negara utara. Laut dan sungai Indonesia jadi tempat pembuangan limbah tambang terbesar di dunia. Menyebabkan kehilangan sumber perikanan dan sumber makanan lainnya.

Bisakah kita berharap pemerintahan SBY akan berjuang bersama negeri progresif lain untuk membalikkan arus imperialisme ekologi ini? Tampaknya mustahil. Kita telah miliki dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, larang pembuangan limbah tambang ke laut. Nyatanya, pemerintah keluarkan izin pembuangan limbah tambang terbesar ke laut tambang pada tahun 2011 kepada Newmont Nusa Tenggara.

Pemerintah buat komitmen penghapusan emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen yang mensyaratkan ekspansi kawasan lindung. Nyatanya, setelah 13 perusahaan tambang besar internasional (di antaranya Newmont, Freeport, Weda Bay Nickel) diperbolehkan menambang di hutan lindung, maka dalam dua tahun terakhir empat taman nasional, yakni TN. Batang Gadis, TN. Lolobata, TN. Nani Wartabone, TN. Lai Wanggi-Wanggameti beralih fungsi untuk pertambangan.

Sementara itu, warga diadili karena mengambil sebatang pohon kayu dari hutan, seperti di Ruteng- Nusa Tenggara Timur, Dusun Pidik- Jawa Tengah.

Bila reformasi lingkungan global dan nasional telah gagal, bagaimana kita bersikap?

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1736-rio-20-gagalnya-reformasi-lingkungan-hidup-global

Jumat, 25 Mei 2012

Tambang Nikel dan Horor Ekologi di Morowali

Datanglah pada musim hujan ke Kolonodale, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Maka akan Anda jumpai Teluk Tomori berwarna merah. Fenomena itu bukan keunikan alam, namun kejadian kerusakan ekologi parah yang sedang menimpa kawasan tersebut.

Teluk Tomori sebenarnya adalah kawasan laut indah. Teluk sempit dikelilingi kawasan hutan membungkus tebing terjal yang mengingatkan kita pada tebing terjal pulau-pulau Raja Ampat di Papua atau fjord di negeri Skandinavia.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Kawasan ini kaya ikan pada awalnya. Tak jarang penghasilan nelayan selama satu malam melaut bisa mendapatkan empat juta rupiah. Kini tangkapan ikan menurun drastis seiring kehancuran ekologi di sekeliling teluk. Saat hujan ,warna biru laut berubah jadi hamparan merah. Hal ini terjadi akibat erosi parah dari pengupasan tanah di pertambangan nikel di sekitar.

Produksi keramba ikan nelayan di Teluk Tomori pun tak lagi produktif sejak 2011 karena erosi parah dari pertambangan, mengalir deras turun dari perbukitan ke wilayah teluk.

Kini, sebagian nelayan harus beralih pekerjaan menjadi buruh harian lepas di perusahaan tambang nikel dengan penghasilan Rp50.000-60.000 per hari. Suatu penurunan pendapatan drastis. Belum lagi biaya risiko kesehatan karena pertambangan nikel selalu timbulkan debu tebal.

Sebanyak 200 orang warga kota kecil Kolonodale, terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit gatal-gatal dan bercak benjol di kulit. Ahli toksikologi D.L. Eaton dan E.P. Gallagher dalam buku General Overview of Toxicology, Universitas Washington menyatakan bahwa dampak buruk terpapar debu nikel adalah kanker paru, kanker saluran hidung dan penyakit kulit (contact dermatitis).

Warga Kolonodale dan sekitarnya juga kesulitan mendapatkan minuman air bersih pada musim penghujan. Air didatangkan lewat pipa dari kawasan hutan yang ditambang jadi berlumpur tanah merah. Sementara saat musim kering tiba, debu dari aktivitas pertambangan di perbukitan turun mendatangi rumah-rumah penduduk atau menggelayut tebal di atap-atap.


MP3EI Tak Peka Daya Dukung Lingkungan Hidup


Kabupaten Morowali adalah salah satu dari empat kabupaten yang memiliki cadangan nikel yang besar di Pulau Sulawesi.

Pada 2011, Pemerintah SBY telah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Salah satu dari 22 Kegiatan Ekonomi Utama yang ditetapkan adalah pertambangan nikel. Kabupaten Morowali adalah salah satu lokasi penting.

Kabupaten Morowali dibentuk pada 1999. Seiring penetapan daerah administrasi baru, eksploitasi sumber daya alam kian laju. Sedikitnya 120 izin pertambangan nikel telah dikeluarkan.

Pada periode Anwar Hafid yang kini menjabat Bupati Morowali, izin bertambah menjadi kurang lebih 183 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dokumen MP3EI mencatat saat ini sebanyak 37,7 trilyun diinvestasikan untuk keseluruhan penambangan nikel di Morowali.

Banyaknya izin pertambangan di Kabupaten Morowali telah menciptakan kawasan horor ekologi di kawasan Teluk Tomori-Teluk Tolo, dan pemukiman penduduk di sekitarnya. MP3EI tidak memberikan arahan untuk perlindungan lingkungan hidup. Teluk Tomori dan penduduk sekitarnya jadi korban agenda percepatan pembangunan.


Ketidakadilan penerapan aturan kehutanan


Berdasarkan Undang-Undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Melihat kemiringan kawasan hutan sekitar Teluk Tomori di atas 45 derajat bahkan pada bagian tertentu mencapai 90 derajat, maka fungsinya sebagai penahan erosi penting. Dengan begitu, status kawasan hutan tersebut seharusnya adalah hutan lindung dan metode penambangan terbuka seharusnya tidak diperbolehkah, seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Kehutanan.

Namun, tidak kurang dari sembilan perusahaan tambang nikel sedang melakukan penambangan di sekitar lereng gunung tepi Teluk Tomori. Erosi dan sedimentasi mengancam kawasan Teluk Tomori.

Di sisi lain, di dalam Teluk Tomori, sebanyak 400 keluarga warga Kampung Matube terjepit oleh kebijakan pemerintah. Tahun 1978, akibat abrasi pantai, kampung mereka harus dipindahkan ke bagian hutan ke lokasi mereka sekarang berada.

Tahun 1983, kawasan hutan di bagian timur dan utara Teluk Tomori dijadikan kawasan Cagar Alam Morowali. Sejak itu, mereka mengalami ketidakpastian dalam ruang hidup yang mereka tempati.

Usaha tambak udang dan penanaman laut mereka dinilai berstatus ilegal kendati desa mereka diakui dalam peta Departemen Sosial. Setiap usaha ekonomi mereka dalam kawasan tersebut rentan dikriminalisasi.

Pengelolaan nikel di Teluk Tomori terkait erat dengan kepentingan pasar luar, namun berjarak jauh dengan penduduk sekitarnya. Kapal-kapal transnasional hilir mudik masuk Teluk Tomori. Sepeninggalnya, rakyat menghadapi keterpurukan ekologi dan ekonomi. Sungguh sebuah ironi.

Dokumen Nasional Stategi dan Rencana Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020 disusun oleh Kementerian Bappenas memuat banyak program penyelamatan lingkungan, namun tidak menjadi acuan dalam pembentukan MP3EI.

Oleh karena itu, untuk mengimbangi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, menjadi penting untuk juga membuat sebuah Masterplan Percepatan Keadilan Ekologi.

Jika tidak dan mengingat meluasnya daerah horor ekologi seperti di Sidoarjo, tambang timah Bangka, pembuangan limbah ke laut di Nusa Tenggara Barat, dan erosi parah di Teluk Tomori maka alih-alih percepatan pembangunan yang terjadi di Indonesia, tapi percepatan kematian ekologi. Sebuah babak baru menuju kemusnahan peradaban.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1673-tambang-nikel-dan-horor-ekologi-di-morowali

Rabu, 15 Februari 2012

Perlawanan Rakyat di Bima, Pulau Padang Cuatkan Pentingnya Pemahaman Ekologi bagi Gerakan Progresif Indonesia

Pius Ginting*

Rakyat di Kecamatan Sape Bima membentuk Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) dalam perjuangan mereka pertahankan lingkungan hidup. Penamaan organisasi perlawanan ini dan tujuan yang hendak dicapai berbeda sekali dengan tuntutan yang biasa diusung oleh gerakan kiri di Indonesia.

Misalnya kita bandingkan dengan program PAPERNAS (partai persatuan nasional). Partai yang didirikan tahun 2007 oleh aktivis kelompok kiri ini mengusung program yang mereka sebut sebagai Tri Panji. Yakni, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi/ambil-alih industri pertambangan, dan bangun pabrik/industri nasional untuk kesejahteraan rakyat.

Jelas program yang kedua dan ketiga berbeda dengan semangat perlawanan rakyat Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, Bima. Rakyat di bagian paling timur pulau Sumbawa ini sama sekali tak menghendaki perusahaan tambang di ruang hidup mereka. Karena mereka peka akan persoalan yang ditimbulkan pertambangan di lingkungan mereka. Selain tanah pertanian yang mereka kelola terancam, yang lainnya adalah persoalan lingkungan, berupa hilangnya hutan, sumber mata air mereka. Demikian penuturan Muzakir (?), seorang pemuda Kecamatan Lambu yang tergabung dalam FRAT kepada penulis. Belum lagi potensi pencemaran di daerah pantai akibat erosi yang ditimbulkan perusahaan tambang.

Tuntutan rakyat Bima menolak tambang di ruang hidup mereka juga mengandung perbedaan jika bukan pertentangan dengan Gerakan Pasal 33 (bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat) yang kini diusung oleh partai kiri di Indonesia.

Gerakan kiri bisa mengklaim bahwa, pandangan rakyat yang selama ini hanya jadi penonton dan mendapatkan getah dari eksploitasi sumber daya alam akan berubah saat industri pertambangan dinasionalisasi. Seperti yang dituntut oleh Papernas. Dengan membandingkan dengan negara lain tempat kekuatan kiri sedang memimpin, klaim ini runtuh. Kita bandingkan dengan Peru dan Bolivia yang saat ini disebut dipimpin oleh kekuatan kiri. Media online yang dikelola aktivis kiri, Berdikari menyebut Ollanta Humala sebagai presiden kiri. Disebutkan “Ollanta Humala adalah bekas kolonel yang berpikiran maju dan anti-imperialisme. Humala menggambarkan politiknya sebagai anti-neoliberal dan mendukung integrasi Amerika Latin. Tekanan pokok kampanyenya adalah distribusi kekayaan yang lebih adil kepada seluruh rakyat. Selain itu, Humala menjanjikan akan menyusun konstitusi baru guna menjamin hak demokrasi rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis, peran negara yang lebih besar dalam perekonomian, dan kontrol negara terhadap sumber daya alam.”

Setelah Humala berkuasa, rakyat di Peru daerah Conga melakukan aksi besar-besaran menolak rencana masukknya tambang Newmont. Rakyat daerah Conga tak hendaki hutan, sumber air dan bagian lain dari lingkungan hidup mereka hancur karena pertambangan. Saking hebatnya aksi penolakan warga, Humala menetapkan daerah tersebut dalam keadaan darurat. Tentara dikerahkan, para pentolan penolakan tambang ditangkap. Seperti tekad rakyat Bima yang tak padam setelah pengepungan dan penembakan 24 Desember 2011, dalam tempo sebulan setelah represi di Conga, kembali ribuan rakyat di Peru melanjutkan aksi.

Dalam kasus Peru aktivis kiri masih bisa berkilah, bahwa Humala tak konsisten sebagai pemimpin kiri dengan program kontrol negara atas sumber daya alam. Karena masih perbolehkan tambang Newmont.

Kini kita bandingkan dengan Bolivia. Evo Morales membuat berbagai terobosan dahsyat dalam perspektif lingkungan. Konstitusi Bolivia adalah satu-satunya di dunia yang mengakui lingkungan sebagai subjek hukum. Dengan kata lain, sungai, gunung, hutan bisa menggugat siapa saja yang melanggar kepentingannya. Disetarakan dengan individu manusia atau badan hukum yang umum dikenal sebagai subjek hukum. Pemerintah Bolivia paling maju di pertemuan internasional seperti Konvensi Iklim menuntut tanggung jawab negara maju sebagai perusak terbesar lingkungan hidup demi kemajuan negara mereka. Bolivia juga mengusulkan adanya pengadilan kejahatan lingkungan internasional.

Namun pemerintahan Evo Morales tetap hadapi perlawanan hebat dalam negerinya saat memulai proyek jalan raya lewat sebuah kawasan hutan. Ribuan penduduk aksi yang peka akan dampak negatif masuknya proyek jalan ke ruang hidup mereka melakukan protes luas. Puluhan ribu rakyat terlibat. Kekerasan terjadi . Akhirnya, Morales harus mengalah dengan membatalkan proyek jalan tersebut.

Bolivia yang kiri dibawah Morales masih tergelincir dalam persoalan pembangunan yang dilakukan tanpa diawali terlebih dahulu lewat proses menanyakan persetujuan rakyat atau ketidaksetujuan rakyat yang terdampak (veto rakyat). Dan dalam kasus pembangunan jalan ini, rakyat yang umumnya penduduk pribumi memilih kelangsungan ekosistem mereka sebelumnya, dan menolak pembangunan jalan.


Arti Sosial Lingkungan


Persoalan lingkungan terkait dengan persoalan sosial atau kelas. Terlebih dahulu kita perlu menetapkan perspektif yang digunakan dalam melihat persoalan lingkungan.
Alan Schnaiberg, sosiolog eko-marxist dalam The Environment, From Surplus to Scarcity membagi dua pandangan tentang relevansi sosial lingkungan fisik. Pertama, lingkungan sebagai rumah manusia. Konteks ini mendasari isu-isu “perusakan tempat tinggal/sangkar” kita lewat berbagai polusi. Seperti halnya rumah, persoalan estetika lingkungan fisik menjadi perhatian pandangan ini. Orang ingin punya rumah bersih, menarik, beragam, tak monoton untuk ditinggali. Berbagai persoalan tentang ketidaknyamanan visual terhadap lingkungan fisik: kotor, rusak, monoton penuh sampah—berbagai kelompok sosial telah mengambil hal ini sebagai misi perbaikan terhadap rumah kolektif. Usaha tersebut tetap penting, tapi Allan Schaneberg mengkategorikannya sebagai perhatian “kosmetik”.

Konsep kedua, lingkungan sebagai basis keberlanjutan masyarakat. Dalam hal ini lingkungan dilihat sebagai tempat/locus bagi semua dukungan material bagi manusia. Kita perlu memahami stuktur produktif lingkungan fisik-biotik. Bumi tidak sekadar rumah yang dijaga, tapi condicio sine qua non kehidupan.

Berdasarkan pandangan kedua ini, kita perlu memahami evolusi kehidupan dan manusia, sebagaimana Marx dan Engels mengapresiasi karya Darwin bahwa kehidupan berkembang dalam proses lewat proses panjang, milyaran tahun. Bentuk kehidupan alami yang ada sekarang ini, tepatnya sebelum didistorsi secara masif oleh kepentingan kapital adalah dinamika alam yang perlu kita pahami hukum-hukumnya, agar memungkinkan adanya kehidupan yang berkelanjutan. Mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Tak mungkin ada pembangunan berkelanjutan dibawah kapital. Contoh paling nyata adalah Indonesia telah lampaui produksi puncak minyak. Tak ada lagi minyak di P.Brandan, Sumatera Utara karena telah disedot dari masa Belanda. Batubara Indonesia berdasarkan cadangan dibagi tingkat produksi maksimal hanya bertahan 20 tahun. Setelah itu? Alam telah rusak, dan tidak ada strategi/perencanaan peralihan ke energi dan lapangan pekerjaan lain tanpa PHK.

Apa yang diperjuangkan rakyat di Kecamatan Lambu dan Pulau Padang bukan sekadar konflik agraria. Lebih dari itu adalah perjuangan mereka akan dukungan lingkungan bagi kehidupan mereka, kini dan generasi seterusnya. Perjuangan lingkungan adalah bagian penting dari perjuangan sosial/kelas. Bahkan kian penting kini seiring dengan meluasnya caplokan kapitalis atas ruang hidup dan lingkungan fisik kita, seperti kelakukan Newmont dan Freeport melakukan pembuangan material fisik limbah tambang ke laut, pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut.

*Pengampanye Energi dan Tambang WALHI Indonesia

https://koranpembebasan.wordpress.com/2012/02/15/perlawanan-rakyat-di-bima-pulau-padang-cuatkan-pentingnya-pemahaman-ekologi-bagi-gerakan-progresif-indonesia/

Kamis, 05 Januari 2012

Laut Sumbawa, Pembuangan Limbah Tambang Terbesar Dunia



Liputan6.com, Jakarta: Laut Sumbawa bagian barat dan selatan jadi tempat pembuangan limbah tambang terbesar di dunia. Limbah berasal dari PT Newmont Nusa Tenggara sebanyak 148 ribu ton atau 21 kali berat harian sampah Jakarta dibuang setiap hari ke Laut Sumbawa.

Demikian disampaikan Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting di Kantor Walhi, Jakarta, Rabu (4/1). "Pulau Sumbawa jadi pembuangan limbah tambang terbesar di dunia yang dilakukan Newmont yang punya luas kontrak karya 400 km persegi atau 60 persen luas daratan Jakarta," ungkap Ginting.

Pembuangan limbah sudah pasti mengancam kehidupan ekosistem di laut. Terlebih pembuangan limbah telah dilakukan sejak 1999 dan akan berakhir 2027. Padahal, Laut Sumbawa masuk segitiga kawasan terumbu karang yang terkenal dengan kehidupan di bawah lautnya.

Sebanyak 75 persen spesies terumbu karang atau sekitar 600 spesies koral dan 3.000 jenis ikan hidup di bawah Laut Sumbawa. "Pembuangan limbah ini dilakukan di kawasan laut yang memiliki keragaman hayati yang tinggi. Kawasan tersebut masuk peta kawasan segi tiga terumbu karang," jelasnya.

Pemerintah telah meminta praktik pembuangan limbah ke laut dihentikan pada 2004. Ini berdasarkan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati Indonesia pada 2003-2020 yang dibuat Bappenas. Namun, himbauan tidak digubris. Jika terus dilanjutkan, pembuangan limbah ini akan merugikan petani dan merusak ekosistem laut Indonesia.

"Kita tahu pada Juni 2012 itu ada KTT Bumi di Rio De Janero Brasil. Jadi kita harapkan sebelum KTT ini berlangsung pemerintah mencabut izin pembuangan limbah ke laut. Maka kalau tidak kita akan tidak bermartabat di mata dunia," pungkas Ginting.(APY/JUM)



http://news.liputan6.com/read/370694/laut-sumbawa-pembuangan-limbah-tambang-terbesar-dunia

Minggu, 25 Desember 2011

Bima, Sudut Kecil Ruang Hidup Rakyat

Pius Ginting

Sekali masa, Marx menulis surat bahwa era kapital pada masa pertengahan abad 19 belum mendekati usai. Ruang luas untuk berkembang masih tersedia. Kapital baru berkembang di sudut kecil dunia (a little corner of the world), benua Eropa Barat. Banyak ruang benua belum dieksploitasi, jadi sumber bahan mentah dan lalu pasar tambahan. Tambang di Papua belum lagi dipetakan, bahkan riwayat panjang tambang timah di pulau Bangka oleh kapital Belanda baru dimulai tahun 1850.

Kini, awal abad 21. Kapital benar-benar menguasai semua ruang hidup. Sebaliknya, ruang hidup rakyatlah yang tersisa tinggal sudut-sudut kecil. Perusahaan perkebunan, pertambangan, industri kayu menempati sebagian besar ruang hidup di Indonesia dan negeri terbelakang lainnya. Tak hanya di darat, di laut pun ruang hidup rakyat terdesak ekspansi kapital. Sengketa rakyat dan kapital terjadi di lepas pantai Teluk Tolo, pulau Tiaka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah Agustus 2011 adalah salah satu contoh.

Kapital telah mengeksploitasi hampir sempurna semua benua, ruang hidup rakyat. Kapital telah hisap minyak Indonesia lewat beragam bendera korporasi, seperti Caltex (kini Chevron), Shell dan lainnya hingga Indonesia telah lewati puncak produksi minyaknya tahun 1977.

Di negeri terbelakang, salah satu prioritas kapital adalah memakan sumber daya alam, sektor yang perlu lahan luas. Ekspansi kapital terhadap sisa-sisa terakhir ruang hidup rakyat tak terelakkan menimbulkan konflik intens. Kapital yang menghidupi diri di sektor sumber daya alam membutuhkan ruang luas, dan bagaimanapun rakyat perlu ruang hidup. Penghujung tahun 2011 kembali terjadi konflik rakyat dengan kapital, yakni di Bima, pulau Sumbawa, NTB.

Luas Pulau Sumbawa adalah 14.386 km persegi. Di sebelah barat, telah terdapat tambang Newmont Nusa Tenggara. Kini menguasai ruang seluas 13,2 kilometer persegi untuk tambang Batu Hijau.[1] Newmont mengklaim memiliki tiga blok tambang lain ke arah timur, yakni Lunyuk Utara, Elang, Rinti, dan Teluk Panas. Keseluruhan blok baru ini akan membutuhkan lahan lebih luas dibanding tambang Batu Hijau. Belum lagi penggunaan ruang lautan yang terdampak limbah tambang, kini besarnya 140.000 ton per hari (21 kali harian sampah kota Jakarta) dibuang ke Teluk Senunu, sebelah barat daya Pulau Sumbawa. Sebelah timur Pulau Sumbawa adalah Kabupaten Bima.


Pilkada dan Izin Pertambangan


Tanggal 28 April 2010 adalah tanggal disahkannya paket 15 buah izin usaha pertambangan oleh Bupati Bima. Adalah janggal izin pertambangan dikeluarkan sebanyak itu sekaligus di tingkat Kabupaten, mengingat pertambangan membutuhkan ruang yang luas. PT. SMN dapatkan IUP bernomor 188/45/357/004/2010, seluas 24.980 Ha; dan PT. Indo Mineral Cipta Persada mendapatkan 3 Izin Usaha Pertambangan. Luas Izin Usaha Produksi mineral logam minimal 5.000 (lima ribu) hektare dan maksimal 100.000 (seratus ribu) hektar, menurut Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Luas ke-15 izin perusahaan tersebut jauh di atas luas minimum, seperti tambang SMN. Kelima belas izin ini dikeluarkan dua bulan jelang Pilkada Bima, 7 Juni 2010. Sudah sering dilaporkan aktivis dan media bahwa para kepala daerah yang ikut lagi dalam ajang pilkada obral izin untuk dapatkan dana pemenangan. Ridha Saleh, dari Komnas HAM menyatakan dana izin pertambangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumbent untuk menghimpun dana kampanye pilkada. Indikasinya, pemerintah daerah royal mengeluarkan izin pertambangan menjelang pemilihan kepala daerah.[2]

Pilkada Bima 2010 tergolong sengit, bahkan kantor partai kandidat yang menang pilkada dibakar warga yang kecewa calonnya kalah. Kesengitan tentu berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan. Sengketa pilkada ini pun berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, namun pengadilan tetap memenangkan kandidat incumbent yang keluarkan izin tambang tersebut.


Kian tumbuh, kian mendominasi ruang hidup rakyat


PT SMN beroperasi di kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape. Dalam mengerjakan proyek tambang di Bima, perusahaan ini mengajak Arch Exploration, perusahaan tambang terdaftar di Australia. PT.SMN tampaknya dipasang untuk mendapatkan izin-izin dari bupati. Di samping Bima, PT SMN juga koalisi dengan Arch Exploration untuk proyek tambang emas di Trenggalek, Jawa Timur.

Managing Director Arch Exploration Limited, John Carlile seorang geologis lebih dari 30 tahun bekerja di eksplorasi emas di perusahaan BHP dan Newcrest (perusahaan induk Nusa Halmahera Mineral, NHM) di Asia, Indonesia. Sebelumnya, sebagai manajer ekplorasi bagi tambang Newcrest Mining, John bertanggung jawab bagi pembangungan dan pengelolaan eksplorasi, akuisisi dan sejumlah aktivitas korporasi yang berujung pada penemuan jutaan ons emas di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara.

John Carlile bisa saja melihat dengan mata sendiri Rusdi Tungapi mati ditembak polisi pada tahun 2006 setelah aksi rakyat sekitar tambang menolak hutan dan tanah pertanian mereka dirusak operasi pertambangan di sekitar Teluk Kao, Halmahera. Berdasarkan penuturan, warga yang protes dikumpulkan, disuruh jongkok. Oleh komandan kepolisian, Rusdi Tungkapi disuruh berdiri dan maju ke depan. Ditembak di depan manajer dan staf perusahaan. Sayang, rekaman media tidak ada seperti kejadian di Pelabuhan Sape, di Bima. Tapi melihat kejadian penembakan di Bima terhadap rakyat dalam posisi yang tak menyerang sama sekali, tampaknya kekejaman kepolisian tersebut masuk akal terjadi.

John ditunjuk menjadi Managing Director Arc Exploration pada tahun 2008[3]. Sebagai eksekutif di perusahaan, dia memastikan budaya kerja perusahaan dan perwakilan ideologi perusahaannya dalam pelaksanaan misi perusahaan. Dia menerapkan perubahan di perusahaan untuk “meningkatkan efesiensi dan meningkatkan keuntungan bagi perusahaan”.

Arc Exploration mengeluhkan penolakan masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang di Bima pada bulan Febuari 2010. Rakyat yang akrab dengan tanah dan laut hidup sebagai petani dan nelayan tentu peka akan daya dukung lingkungan bagi kehidupan mereka. Bima sebelah timur berbatasan laut dengan Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Di Kabupaten ini penolakan masyarakat terhadap tambang membuat Bupati yang baru saja menang Pilkada tahun 2010 mengeluarkan surat menghentikan semua kegiatan izin pertambangan.

Untuk tetap menjalankan operasi tambangnya, Arch Exploration nyatakan dalam Quarter Activities Report Juni 2011 akan melakukan diskusi dan pertemuan intens dengan pejabat pemerintah. Lalu, 29 November 2011, perusahaan nyatakan memulai kembali operasinya.[4] Rakyat agraris yang sangat tergantung kepada alam dalam setiap hari kehidupannya tentu merasa terancam dengan kegiatan tambang yang membongkar lapisan tanah yang bisa dicocoktanami. Berlanjutnya kembali kegiatan tambang inilah yang mendorong warga melakukan aksi protes hingga melakukan aksi pendudukan di Pelabunan Sape, Kabupaten Bima.

Di jajaran direktur Arc Exploration, terdapat George Tahija. Sebagai direktur non eksekutif, dia terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan perusahaan, mengawasi mendorong kinerja direktur eksekutif dan manajemen. Pada saat yang sama dia juga sebagai seorang Komisaris Freeport Indonesia. George adalah anak Julius Tahija.

Julius pernah jadi sersan tentara KNIL, lalu menjadi Ketua Dewan Direksi PT Caltex Pacific Indonesia (kini Chevron) pada tahun 1966, saat Orde Baru membukakan pintu lebar bagi investasi asing di Indonesia. Julius bisa meraih jabatan tertinggi di Caltex tentunya tak terlepas dari jasanya menyelamatkan perusahaan tersebut dinasionalisasi pada tahun 1950-1965 karena kedekatan eratnya dengan Sukarno. Julius dan petinggi Caltex lainnya mendorong agar Freeport melakukan investasi di Indonesia pada tahun 1965[5]. Atas jasanya, Julius diberikan saham oleh Freeport. Padahal, pemerintah sendiri sebagai representasi kepentingan publik Indonesia tidak mendapatkan saham dari Freeport pada masa tersebut.

George adalah salah seorang personifikasi kapital yang terus berkembang, dari generasi bapaknya awal masa Orde Baru hingga awal abad 21, berusaha dapatkan ruang baru untuk berkembang. Kendati itu bertabrakan dengan ruang hidup rakyat.

William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik Universitas Ohio, tanggal 8 Desember 2011 dalam orasinya pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, didukung perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara menyebutkan “ekonomi kapitalis pasar sebagai sistem ekonomi yang paling baik.”[6] Anjuran dia, “kita perlu meninggalkan tradisi teoretisi sosial Karl Marx dan menggantikannya dengan pendekatan filsuf politik Niccolo Machiavelli. Pendekatan Marx terjerumus dalam perang antarkelas dan kurang peka pada cara-cara lain untuk menambah dan meratakan sumber daya politik. Sebaliknya, pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu selaku aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik demi pencapaian tujuannya. Sang individu ciptaan Machiavelli merupakan basis yang menjanjikan buat sebuah theory of action, teori tindakan.”

Sungguh, tindakan Brimob Polda NTB adalah sebuah tindakan Machiavellis. Moralitas pribadi dan publik harus dilepaskan dalam mengatur. Penguasa harus bisa bertindak tak sesuai moral, secara metodik lakukan kekerasan, penipuan dan sejenisnya.

Pilihan waktu penyerangan saat akhir pekan, jelang liburan Natal dan Tahun Baru, diharapkan kurangi perhatian publik. Mengulang kembali kesuksesan penembakan Yurifin dan rakyat Kolo Bawah diatas perahu kecil lepas Pantai Tolo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, usai protes atas ingkar janji kesejahteraan oleh Medco-Pertamina, di Pulau Tiaka. Serangan sukses. Komandan, Anggota Kepolisian, personel Perusahaan tidak ada yang diadili atas pelanggaran HAM atau pidana, atas hilangnya nyawa rakyat bersenjatakan semangat penyelamatan ruang hidup!

Tapi rakyat Bima, Kolo Bawah, Mesuji, sekitar Teluk Kao dll tidak akan bisa diam lama. Karena mereka sungguh terdesak di sudut kecil ruang hidup yang tersisa. Ke mana lagi mereka pergi? Atau bakar diri bersama, bapak, ibu, anak, depan kantor Bupati?


[1] http://www.infomine.com/minesite/minesite.asp?site=batuhijau

[2] http://www.vhrmedia.com/Obral-Izin-Tambang-Menjelang-Pilkada--berita4489.html

[3] http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1131-51684774/WiseOwlIndonesianGold

[4] http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1497-50502448/ExplorationRecommencesatBima

[5] Denise Leith, The Politics of Power, Freeport in Soeharto’s Indonesia, University Hawai’i Press 2003

[6] http://www.paramadina.or.id/2011/12/09/publikasi/artikel/marx-atau-machiavelli.html



***

Selasa, 31 Mei 2011

Rabu, 25 Mei 2011

True Cost of Chevron Around the Globe

IMG_7334

5/24/11 press event in San Francisco, where community leaders from Nigeria, Angola, Ecuador, Indonesia, Alaska, Texas, across California, and other communities that are negatively impacted by Chevron's operations gathered at a Chevron gas station to expose the harms Chevron causes in the communities where they and their members live, work and play.

https://www.flickr.com/photos/justiceinnigerianow/albums/72157626798205140


Days before oil giant’s annual shareholder meeting, local and international community leaders from Nigeria to Ecuador to Richmond reveal firsthand reality of Chevron’s operations are not what is seen on TV.
- Interview Available Now -

WHAT: Press Conference, Report Release, and Chevron Toxic Tour
WHEN: Tuesday, May 24 at 10am
WHERE:
Starts at Chevron Gas Station
1298 Howard Street (9th & Howard)
San Francisco, CA 94103-2712

WHY: On May 25, dozens of local, national, and international community leaders and advocates from and for communities harmed by Chevron’s operations from Angola, Ecuador, Indonesia, Nigeria, Alaska, Texas, and more will attend the company’s annual shareholder meeting in San Ramon, California while supporters rally outside to demand that Chevron agree to change its ways.

As oil and gasoline prices -- and public outrage at the generous government subsidies handed out daily to the oil industry – are on the rise, Fortune Magazine announced that for the fourth year in a row, Chevron -- California’s largest company -- is the nation’s third largest corporation and the world’s sixth largest. Chevron brought in nearly $20 billion in profits last year. What did it do with its vast wealth? According to its Annual Report and the actors in its “We Agree” Ad campaign, Chevron supported human rights, alternative energy, the environment, and local economies.

The reality is much different and the people who know best will expose the true cost of Chevron in three ways:

  1. With the release of The True Cost of Chevron: An Alternative Annual Report.

  2. Embargoed until May 24, the report includes accounts by more than 40 authors – led by those on the front lines of Chevron’s operations -- recording egregious corporate behavior in locations as diverse as California, Burma, Colombia, Ecuador, Kazakhstan, Nigeria, the Philippines and the U.S. Gulf Coast, including new sections detailing Chevron’s pursuit of ever-riskier and ever-deeper offshore projects in the South China Sea, the North Sea, and the Canadian Arctic and its role in the Deepwater Horizon disaster. The report also profiles the historic victory and ongoingbattle over Chevron's crimes in Ecuador.


  3. Many report authors have traveled to the Bay Area to be available to speak at the Press Conference, including:

  4. Humberto Piaguaje, Amazon Defense Coalition, Ecuador
    Emem Okon, Kebetkache Women Development and Resource Centre, Nigeria
    Elias Isaac, Open Society Initiative, Angola
    Jessica Tovar, Communities for a Better Environment, Oakland, CA
    Mardan Pius Ginting, WALHI - Friends of the Earth Indonesia, Indonesia
    Gitz Crazyboy (Ryan Deranger), First Nation Dene/Pikini (Blackfoot), Alberta, Canada
    Antonia Juhasz, Global Exchange, San Francisco, CA, co-editor of the True Cost of Chevron report.


  5. Following the press conference, a Toxic Tour of Chevron’s operations in Richmond will be led by local activists for the press and our national and international allies.

Extra info:
Contact: Antonia Juhasz True Cost of Chevron antonia@globalexchange.org 415-846-5447


http://www.globalexchange.org/news/truth-behind-big-oil-exposed

www.TrueCostofChevron.com