Kamis, 14 Februari 2013

Valentine, Momen Meningkatkan Kecintaan pada Alam

JAKARTA, KOMPAS.com - Valentine selalu identik dengan warna merah jambu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kamis (14/2/2013), mengajak publik merayakan "Green Valentine".

Green Valentine menurut Walhi adalah upaya menjadikan hari kasih sayang sebagai momentum untuk mencintai alam. Walhi mengajak publik merefleksikan interaksinya dengan alam saat ini dan upaya perbaikannya di masa depan.

Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, mengatakan, perilaku manusia selama ini tak menunjukkan kecintaannya kepada alam.

"Menurut saya, saat ini kita bermusuhan terhadap alam, bukan karena alam tidak memiliki sesuatu tetapi justru karena alam memiliki banyak hal dan kita memusuhi untuk merampasnya," ungkap Pius dalam acara peluncuran buku "Ekologi Marx: Materialisme dan Alam", hari ini.

Pius mengungkapkan, hari kasih sayang bisa digunakan sebagai momentum perubahan. Manusia mesti menjadikan alam sebagai sahabat, bukan sebagai obyek eksploratif semata.

Kecintaan terhadap alam bisa ditingkatkan dengan memperdalam pengetahuan serta pemahaman terhadap alam itu sendiri. Buku yang diluncurkan Walhi, ditulis oleh John Bellamy Foster dan diterjemahkan oleh Pius Ginting, berupaya memberikan pemahaman lebih mendalam tentang manusia, alam dan interaksinya dalam dunia sekarang. (Fifi Dwi Pratiwi)

Editor: yunan

http://sains.kompas.com/read/2013/02/14/19335789/Valentine.Momen.Meningkatkan.Kecintaan.pada.Alam

Minggu, 10 Februari 2013

Terjemahan: Ekologi Marx, Materialisme dan Alam

Judul asli : Marx's Ecology: Materialism and Nature
Penulis : John Bellamy Foster
Penerjemah : Pius Ginting
Penerbit : Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Cetakan : 2013
Tebal : 284 halaman
Ukuran : 22.5 cm x 15.5 cm
ISBN : 978-602-18675-1-8

Diterjemahkan dan diterbitkan untuk tujuan pengetahuan sosial, bukan untuk koleksi pribadi.
Di samping menyiasati harga produksi, disarankan agar pembelian bukan secara individu, agar satu buku bisa dimiliki komunitas dan didiskusikan bersama di komunitas.

http://monthlyreview.org/product/marxs_ecology/
--------------
Selama bertahun-tahun, Marxisme selalu mendapat tuduhan sebagai ideologi antroposentris yang tidak peduli terhadap perlindungan lingkungan hidup.

Beberapa kalangan menganggap bahwa Marx adalah seorang Promothean, yang mengagung-agungkan kemampuan manusia untuk mendominasi dan menundukkan alam. Bellamy Foster, dalam Marx’s Ecology, membalikkan semua tuduhan ini.
Buku ini mampu memperlihatkan bahwa gagasan Marx tentang perlindungan lingkungan atau tentang pemanfaatan alam secara berkelanjutan adalah konsekuensi dari pandangan meaterialisme-nya Marx terhadap alam. Dengan pandangan inilah Marx beranjak dari pembahasan mengenai apakah manusia dan alam harus dipandang sebagai satu kesatuan atau tidak, ke arah penemuan tentang penyebab terjadinya keterasingan dan keterpisahan manusia dari alam.
Penerjemahan Marx’s Ecology ke dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah upaya yang patut dipuji, karena buku ini akan memberikan perspektif dan bahkan fondasi teoritis baru bagi gerakan sosial dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
- Andri G. Wibisana, dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum UI

Ekologi Marx adalah karya atau buku yang patut dan harus dibaca utamanya bagi para aktivis lingkungan dan para praktisi serta akademisi yang menaruh perhatian secara serius terhadap isu-isu ekologi, karena buku ini tidak hanya mengulas fakta-fakta empiris akan tetapi juga mengupas secara jelas pandangan-teoritik yg menjadi alas dalam melihat kontradiksi dan relasi berbagi problema ekologi, yg tidak umum digunakan dalam memandang berbagai permasalahan ekologi kontemporer, diantaranya memandang teologi natural dan kaitanya dengan ekonomi politik.
- Ridha Saleh, Komisioner Komisi HAM RI periode 2007-2012

Saat pertama kali membaca buku baru John Bellamy Foster, aku pikir, “Oh, tidak. Lagi-lagi buku besar, tebal, gemuk tentang Marx.” Tapi segera sesudah aku mulai baca, sulit sekali melepaskannya. Buku ini memberiku pengertian baru tentang totalitas materialisme Marx dan perkembangan dirinya akan dialektika masyarakat manusia dan alam.
- R.C. Lewontin, Universitas Harvard

--------------

John Bellamy Foster: Marx’s ecology in historical perspective

Brett Clark & John Bellamy Foster: Marx's Ecology in the 21st Century

Resensi/Kritik

Senin, 28 Januari 2013

Revolusi Ekologis Jakarta Atasi Banjir

Banjir 2013 di Jakarta kian cuatkan bahwa pengelolaan Jakarta tak bisa diatasi seperti sebagaimana biasanya. Saat krisis, manusia dituntut memberikan solusi mendasar. Budaya metropolitan ciptakan keterputusan semu manusia dan alam. Seakan semua hubungan manusia kota dan alam bisa dimediasi dengan sarana yang diberikan pasar. Masyarakat kota seakan kebal relatif terhadap perubahan musim, karena persediaan produk alam seperti pangan tersedia di pasar besar atau mall. Bagi kota, kala musim kemarau atau hujan parah menimpa sebuah daerah pemasok, persediaan relatif bisa digantikan dengan pasokan daerah lain. Bahkan mengimpor. Variabilitas musim dianggap hanya gangguan kecil.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Sementara bagi masyarakat pedesaan, seperti petani kecil dan nelayan, alam ibarat plasenta bagi kehidupan mereka. Siklus alam sangat mempengaruhi. Bila kemarau terjadi, bukan tak mungkin kelaparan menimpa petani. Bila air terlalu banyak, kegagalan penen jarang tergantikan produk impor. Dan, nelayan kita, umumnya menggunakan kapal kecil, sangat dipengaruhi besar ombak dalam membuat keputusan melaut atau tidak.

Banjir cuatkan kesadaran bahwa kota tidak bisa selamanya terlepas dari daya dukung alam. Banjir adalah ketidaknormalan pada siklus air pada akhirnya mengganggu manusia, dalam bentuk kerusakan properti bahkan menghilangkan nyawa. Sulit membayangkan konsep banjir bila tak terkait dengan gangguan yang dialami manusia. Sehingga persoalan ekologi dan manusia menjadi satu. Persoalan banjir ini umumnya diatasi dengan membangun infrastruktur agar siklus air tidak merugikan, bahkan mendukung kehidupan manusia.

Pertambahan penduduk kota sebabkan sarana alami seperti daya resap tanah, daya hambat akar tumbuhan, sungai, bentang alam berupa cekungan (situ) tak memadai menjaga siklus air agar tak mengganggu. Parahnya, fasilitas alami ini mengalami kerusakan dan kemusnahan saat kota kian membesar. Semua metropolitan dunia pernah alami persoalan siklus air ini dalam bentuk banjir parah. Seperti London (1828), New York (1972, 2012), Amsterdam (1953). Namun negara Utara ini mampu membangun fasilitas memadai, agar kejadian banjir tak berulang dalam waktu lama. Seperti anggaran pemulihan biaya Badai Katrina di AS sebesar 106 milyar dollar AS.

Infrastuktur ini menuntut pemutakhiran besar-besaran dan dalam jangka panjang (25 tahun). Bisa saja tak memadai seiring dengan memburuknya dampak perubahan iklim. Sementara itu, metropolitan negara Selatan seperti Jakarta menghadapi persoalan banjir dengan keterbatasan pendanaan dan teknologi agar persoalan banjir berulang (2002,2007,2013) tak terjadi. Banjir perkotaan adalah fenomena krisis ekologi. Krisis ini kian jelas bila dilihat pada siklus unsur nitrogen, dan fosfor dalam hubungan kota dan desa.


Krisis Ekologi Kota Dilihat dari Siklus Nitrogen dan Fosfor


Dalam relasinya, kian besar kota, kian membutuhkan pengorbanan desa sekitarnya dalam bentuk pasokan pangan dan kebutuhan produk alam lainnya. Metropolis dunia, seperti London, New York bahkan mengandalkan pengorbanan pedesaan di negeri lain.

Buah-buahan seperti pisang dan sayuran didatangkan dari negeri Asia dan Amerika Latin. Padahal nitrogen yang terkandung dalam bahan pangan ini sangat diperlukan tanah mendukung pertumbuhan generasi tanaman berikutnya. Nitrogen tidak kembali ke tanah desa, hingga terjadi perampokan asupan nitrogen tanah desa oleh masyarakat kota. Di kota pada akhirnya terbuang ke sungai-sungai dan teluk, sebabkan pertumbuhan alga yang luar biasa. Saat alga mati dan membusuk, oksigen perairan berkurang drastis, sebabkan kematian massal ikan.

Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI (2011) sebutkan nitrogen dan fosfor Teluk Jakarta diatas baku mutu. Telah terjadi beberapa kali peristiwa ledakan populasi alga berbahaya. Kematian massal ikan terjadi pada tahun 1992, 1994, 2004, 2005 dan 2006 (KKP, 2010). Salah satu faktor pemicu kematian massal ini kemungkinan karena pengkayaan nitrogen dan fosfor. Senyawa nitrogen dan fosfor di Teluk Jakarta telah jauh melampaui baku mutu air laut untuk biota laut.

Nitrogen dan fosfor dirampok dari tanah desa, dan dibuang dalam bentuk sisa membahayakan di sungai dan teluk sekitar metropolitan Jakarta. Sementara itu, kekurangan nitrogen dan fosfor alami di pedesaan sebabkan meningginya penggunaan pupuk kimia di kawasan pertanian. Hal ini juga menimbulkan ketidakamanan pangan manusia, baik di kota juga di desa.

Dari banjir (krisis siklus air), siklus nitrogen dan siklus fosfor ini bisa disimpulkan konsep kota metropolitan termasuk Jakarta sebenarnya tak sesuai dengan proses/siklus ekologi. Metropolitan harus direvolusi menjadi kota ukuran sedang.


Menuju kota berukuran sedang


Salah satu kota di dunia melakukan revolusi ekologi dalam hubungan desa-kota adalah Havana di Kuba. Pascarevolusi tahun 1959, populasi dan fasilitas di Havana didistribusikan ke kota-kota kecil lainnya, sehingga penduduk Havana berkurang. Tingkat pertumbuhan penduduk Havana terendah di Amerika Latin. Dan tak seperti kota lainnya, pertumbuhan penduduk justru terjadi di luar ibu kota. Porsi aktivitas ekonomi, sosial, dan pendidikan dikurangi secara signifikan dan disebarkan ke kota lainnya. (Isaac Saney, Cuba: Revolution in Motion). Lalu, lahan-lahan kosong dan pekarangan kota dijadikan lahan pangan (permaculture). Pangan tak harus didatangkan jauh dari desa, tentunya juga menambah emisi gas rumah kaca dalam proses transportasi.

Dari sisi ketahanan pangan, saat badai Katrina (2005) dan Isaac (2012) menerpa Kuba, Havana relatif tak menghadapi kekurangan pasokan, kendati sedang diembargo oleh banyak negara Barat. Mereka andalkan pangan hasil teritori kota itu sendiri. Laporan lembaga WWF (Living Planet Report 2006) sebutkan hanya Kuba mendekati standar pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu, Pemindahan Ibu Kota Jakarta harus dilihat dalam menciptakan keselarasan dengan proses ekologi, bisa terlihat dalam pemulihan siklus air, nitrogren dan fosfor. Penyebaran fasilitas, kelembagaan, dan penduduk dari metropolitan dilakukan dengan tak merugikan rakyat.

Pemindahan ibu kota bisa disertai dengan transmigrasi. Namun transmigrasi selama ini banyak tidak manusiawi. Belakangan, penetrasi kapital berbentuk perkebunan, pertambangan di sekitar lahan transmigrasi telah menimbulkan konflik agraria. Konflik ini mudah dibungkus dalam bentuk konflik SARA, antara pendatang dan penduduk asli, seperti di Mesuji, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Belum lagi biaya infrastruktur penunjang, seperti dana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya transmigrasi dikorupsi lembaga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pemerintah nasional tidak bisa abaikan persoalan migrasi ini dalam revolusi ekologis Kota Jakarta, agar banjir tak berulang. Revolusi ekologis ini menuntut perubahan Jakarta ke kota ukuran sedang dan perbaikan hubungan dengan pedesaan, agar selaras dengan siklus-siklus ekologi.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 2110-revolusi-ekologis-jakarta-atasi-banjir.html

Selasa, 08 Januari 2013

Catatan Kecil Advokasi Lingkungan Hidup Tahun 2012

Aturan lingkungan hidup di Indonesia lemah, dibandingkan dengan negara lain. Belum lagi penegakannya berat sebelah kala yang dihadapi korporasi atau rakyat kecil.

Contoh bukti lemahnya hukum lingkungan adalah penggunaan sianida yang sudah tak diperbolehkan di pertambangan Eropa, dan sulit ditetapkan di negeri Barat lainnya. Tapi di sini diperbolehkan. Perusahaan tambang emas Agincourt Resources di Sumatera Utara menggunakan sianida. Perusahaan tersebut berkonflik dengan warga Batang Toru sepanjang tahun 2012 yang menentang pembuangan limbah tambang ke sungai.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

AMDAL perusahaan menyatakan sungai tidak diminum warga, tapi kenyataannya sungai tersebut diminum warga, dan menjadi sumber utama penghasil ikan sale. Pemberian informasi palsu (tidak benar) dalam AMDAL tergolong pelanggaran serius, tapi hingga akhir tahun 2012, tak ada penegakan hukum bagi perusahaan. Perusahaan tambang terus berjalan didukung militansi Pjs Gubernur Sumatera Utara terbang dari Medan ke Batang Toru dan meminum air sungai sebagai pertunjukan air sungai tak berbahaya diminum. Beranikah meminumnya saat tambang beroperasi penuh dan kontinyu?

Penegakan aturan lingkungan hidup dan kehutanan yang berat sebelah ini juga terjadi di Sulawesi. Penambangan di kawasan hutan lindung, bahkan berkategori cagar alam berlangsung di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah. Off side terhadap regulasi dibiarkan manakala pelaku adalah korporasi. Selanjutnya, tinggal menunggu waktu terjadi pemutihan pelanggaran lingkungan atau alih fungsi kawasan cagar alam menjadi memungkinkan untuk ditambang atau perkebunan.

Investasi modal memang menimbulkan anomali. Ekspansi massif pertambangan nikel di Sulawesi Tengah, direstui oleh Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai koridor pertambangan nikel. Rencana ini pastilah berkontradiksi dengan program pencegahan pembabatan hutan dalam kerangka mitigasi perubahan iklim, khususnya UN REDD Programme Indonesia, Sulawesi Tengah. Tapi pada akhirnya, semuanya akan bisa diatur agar investasi bisa terus mereproduksi diri.

Padahal, investasi pertambangan adalah jenis kegiatan yang paling berdampak besar terhadap lingkungan: rusaknya siklus karbon, siklus air, siklus metabolisme rakyat-sumber daya alam pada komunitas yang sangat tergantung pada alam sebagai sumber pangan, air, kesehatan, dan lain-lain.

Kelemahan regulasi yang melindungi lingkungan juga tercermin dalam praktik pembuangan limbah tambang ke laut. Praktik ini tidak ada diterapkan di negara Australia, Selandia Baru, dan daratan utama Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, diterapkan dengan dilangsungkannya pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut di Teluk Senunu.

Apa dampaknya terhadap ekosistem? Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tidak terlalu peduli dengan statemen salah satu stafnya menyatakan mungkin hanya dedemit yang hidup di dalam laut tersebut. Sementara Oseanografi LIPI, sebagai institusi negara yang fasilitasnya dibiayai pajak rakyat, misalnya lewat pajak saat membeli ikan di pasar/supermarket, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik perusahaan tambang.

Kelemahan aturan lingkungan hidup yang ada disambung dengan pelemahan berikutnya. Rancanan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Dumping, sepanjang tahun 2012 masih dalam proses dalam forum yang tertutup bagi organisasi lingkungan kritis, hendak mengubah kategori limbah tambang ke laut bukan sebagai bahan berbahaya dan beracun.


Veto Korporasi dan Veto Rakyat


Industri Migas tahun 2010 lewat Kementerian ESDM melakukan veto agar aturan baku mutu temperatur air buangan migas tidak diturunkan dari 45 derajad celcius. Alasannya, batasan tersebut sulit dicapai, dan mengancam produksi minyak. Pemerintah tunduk terhadap veto ini.

Sisi lain, masyarakat tidak punya kedaulatan dalam memilih jenis kegiatan ekonomi di wilayah mereka, terlebih bila kawasan tersebut mengandung bahan pertambangan. UUD 1945 Amandemen mengakui hak milik warga dan hak atas lingkungan hidup. Tapi banyak pemerintah daerah secara sepihak menetapkan kawasan kelola rakyat sebagai kawasan pertambangan. Sehingga konflik pun terjadi antara masyarakat dan industri penambangan pada tahun 2012, diantaranya Balaesang, Kabupaten Donggala-Sulteng, Kulonprogo, Cileungsi, Lontar-Serang.

Harapan masyarakat sekitar tambang dan organisasi masyarakat sipil agar Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan veto rakyat atas wilayah pertambangan, agar proses penentuan pendapat masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan menjadi syarat mutlak, diterima setengah hati oleh MK.

MK menyatakan kekhawatiran masyarakat adalah beralasan atas hilangnya hak mereka dan ancaman atas hak lingkungan yang sehat dari penetapan wilayah pertambangan. Karenanya, MK berpendapat agar pemerintah memfasilitasi proses penentuan pendapat masyarakat secara riil. Namun, keputusannya menjadi tak bermanfaat langsung buat penyelesaian konflik di lapangan, karena MK menolak penetapan persetujuan masyarakat tersebut dilakukan secara tertulis.

Padahal, dalam praktek aktual yang telah dilakukan masyarakat, cara tertulis seperti pengumpulan tanda tangan penolakan telah menjadi kelajiman masyarakat, seperti masyarat Belitung mengumpulkan ribuan tanda tangan menolak tambang timah di laut karena mengancam tangkapan ikan nelayan. Apakah MK bisa setuju kalau penentuan pendapat masyarakat atas penetapan wilayah pertambangan bukan dilakukan secara tertulis, tapi lewat referendum lokal, seperti diterapkan di beberapa negara di Amerika Latin? Penulis tak optimis.


Penegakan Lingkungan yang Lemah VS Insentif PROPER


Hingga tahun 2012, penegakan hukum dalam bidang lingkungan hidup lemah, sehingga tidak banyak putusan pengadilan menjadi jurisprudensi yang mendorong perbaikan dan perlindungan lingkungan hidup. Saya berpendapat Indonesia tepat untuk kembali mendirikan badan pengawas lingkungan yang independen, seperti almahrum Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).

Lembaga terebut sebaiknya memiliki fungsi seperti KPK dalam penyidikan tindak korupsi. Dan untuk proses peradilannya, diperlukan pengadilan khusus tindak pidana lingkungan. Sertifikasi hakim yang telah mulai dijalankan beberapa tahun terakhir nyata-nyatanya belum berhasil mendorong prinsip kehati-hatian (prinsip bersumber dari hasil KTT Bumi 1992) dalam penerapan teknologi yang berpotensi merusak lingkungan. Alih-alih, KLH dan peraadilan lebih mementingkan kepastian usaha bagi korporasi.

Hal ini tampak dalam diperbolehkannya perusahaan membuang limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat, dan tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dll.

Di tengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup kembali pada tahun 2012 mengeluarkan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan).

Ibarat surat keterangan berkelakuan baik dikeluarkan kepolisian, perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat baik (emas, hijau, biru) karena memang aturan mengatur kejatahan lingkungan lembah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengrusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik.

Tahun 2012 diawali dengan penyerbuan aksi damai masyarakat menolak tambang di atas lahan pertanian dan hutan mereka di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Penghujung tahun 2012, diwarnai represi, sweeping, penahanan, kekerasan terhadap aksi masyarakat Batang Toru, Tapanuli Selatan, yang menolak sungai mereka dijadikan pembuangan limbah tambang (parahnya, menggunakan sianida).

Semoga perubahan ke arah lebih baik memang benar terjadi selama tahun 2012 tapi belum disadari, sehingga sulit menuliskannya. Berharap tahun 2013 lebih baik lagi.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 2080-catatan-kecil-advokasi-lingkungan-hidup-tahun-2012

Rabu, 26 September 2012

Ketika Warga Richmond Berhadapan dengan Chevron, Pelajaran Bagi Kepala Daerah Kita

Dia seorang perempuan, jadi Wali Kota Richmond, di negara bagian California, Amerika Serikat. Satu-satunya wali kota dari Partai Hijau di kota besar. Di Richmond terdapat kilang minyak besar milik Chevron. Minyak dari berbagai negara dunia dibawa ke kilang ini untuk didistribusikan ke Amerika Serikat, khususnya bagian Pantai Pasifik.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Dalam politik, sebelumnya Richmond selalu menjadi kota milik perusahaan. Seperti Timika bagi Freeport. Namun sejak tahun 2006, warga menolak kandidat yang didukung Chevron. Mereka memilih Gayle McLaughin dari Partai Hijau. Dia berkampanye menaikkan pajak korporasi besar. Juga berjanji mempekerjakan kembali pekerja yang di-PHK, dan penyediaan pekerjaan ramah lingkungan bagi pemuda lokal.

Karena kekritisannya terhadap korporasi besar, pesaing Gayle McLaughin dalam pemilihan menyatakan, “Dia [Gayle] benci Chevron. Dan kebencian itu membuat dia menolak bernegosiasi dengan entitas penting dalam komunitas [Chevron] atau bahkan menerima cek dari mereka untuk kepentingan komunitas.”

Untuk mendanai pemilihannya, Gayle McLaughin menerima uang dari serikat buruh, kelompok lingkungan, dan donor individual. “Aku tidak menerima sepeser pun dari korporat. Khususnya di Richmond, yang telah beberapa dekade dibawah telunjuk korporasi,” tegasnya.

Mengapa menerima dana dari serikat buruh? Jawabnya, “Saya melihat serikat buruh pada dasarnya bertentangan dengan korporasi. Serikat buruh adalah orang yang bersama-sama memperjuangkan hak mereka, orang biasa. Hal berbeda dengan korporasi yang tujuannya adalah mendapatkan keuntungan.”

Gayle McLaughin menyatakan, perjuangan dirinya bertarung berhadapan Chevron dimulai saat dia terpilih. Mereka punya sebuah gerakan progresif di Kota Richmond, bernama Richmond Progresive Alliance. Berkat gerakan ini dan anggota dewan kota progresif, Chevron tak lagi mendominasi pemerintahan kota Richmond.

Gayle menyatakan, pemerintahannya akan dapat mendudukkan Chevron bertanggung jawab dengan meregulasi mereka, tak memberikan izin bagi rencana-rencana baru jika tidak mendapatkan jaminan keselamatan paling tinggi.

Chevron tak dapat mengilang minyak mentah kotor, heavy crude yang dapat menimbulkan lagi ledakan dan mencederai komunitas kota Richmond dan sekitarnya, tegasnya dalam sebuah wawancaranya dengan www.democracy.now. Namun tragis, kesehatan warga terusik kesekian kalinya oleh kilang minyak Chevron yang mengalami kebakaran besar pada 6 Agustus 2012. Sebanyak 900 lebih orang mencari pertolongan ke rumah sakit.

Komunitas berpenghasilan rendahlah yang tinggal di sekitar kilang minyak Chevron. Mayoritas penduduk Richmond bukan berkulit putih. Sebanyak 40 persen berasal dari Amerika Latin, 30 persen Afrika-Amerika, Asia, dan penduduk asli Amerika.

Antonia Juhaz, penulis buku Tyranny of Oil sekaligus aktivis menyebutkan lebih 25.000 penduduk hanya terletak tiga mil dari kilang Chevron dan hampir 85% penduduk ini hidup di bawah garis kemiskinan standar Amerika Serikat.

Warga Richmond secara terbuka mengungkapkan protesnya terhadap Chevron. Bahkan mendatangi dan menghadiri setiap pertemuan tahunan pemegang saham Chevron. Tahun 2011, penulis menyaksikan seorang pendeta tua namun bersemangat bernama Davis, berbicara tentang dampak lingkungan kilang Chevron langsung ke Direktur Utama Chevron, Watson, dalam acara pertemuan pemegang saham.

Dia katakan, umatnya banyak sakit. Dia harus selalu pergi mengantar orang ke kuburan, sementara Chevron pergi ke bank. Chevron mengambil minyak dari banyak negara lain, menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan di banyak tempat, lalu membawanya ke Richmond. Dan di Richmond menimbulkan persoalan lingkungan dengan masyarakat sekitar.

Waktu dua menit yang disediakan bagi setiap orang yang bertanya dalam pertemuan pemegang saham adalah terlalu singkat. Watson mengancam menyudahi bagian tanya jawab bila pendeta itu tidak duduk.

Kembali ke Wali Kota Richmond, dia selalu berjuang bersama warganya, di jalanan maupun dalam ruangan, menuntut pertanggungjawaban Chevron.

Pada Hari Bumi 21 April 2012, di depan aksi massa diorganisir oleh Occupy Richmond, Gayle McLaughin menyatakan, “Ratusan tahun sudah, komunitas kalian dihujani polusi. Pada hari bumi ini, kita perlu fokus terhadap perusahaan-perusahaan besar. Mengagumkan melihat begitu banyak orang bangkit melawan Chevron. Ini adalah soal pemberdayaan.”

Pada “Aksi Jaga-jaga untuk Gelandangan”, Mei 2012, untuk menunjukkan perhatian bagi gelandangan, Gayle McLaughlin mendatangi kerumunan kecil orang-orang berjaket dan berselimut. Dia katakan, ketimpangan distribusi kekayaan tak menolong orang keluar dari jalanan.

“Bukan karena tidak cukup [uang] di dunia ini. Kita tahu bahwa korporasi besar seperti Chevron ciptakan miliaran dolar keuntungan, tapi kita malah mengalami jumlah gelandangan terbanyak di sekitar Teluk San Fransisko, yakni di Richmond. Ini adalah kenyataan memalukan, bahwa kita punya kesenjangan seperti itu di komunitas kita,” seperti dimuat dalam richmondconfidential.org.


Pertarungan di Pengadilan

Gayle McLaughlin juga menghadapi Chevron di persidangan. Chevron menggugat Pemerintah Daerah Contra Costa, ketika Richmond termasuk di dalamnya. Chevron menggugat klaim kelebihan pajak senilai 73 juta dollar.

Bagi Chevron, gugatan ini hanya sebesar 0,26 % keuntungannya tahun 2011. Bagi Gayle McLaughlin dan komunitas Contra Costa itu berarti besar. Jika kalah, pengembalian uang kepada Chevron akan berarti pemangkasan anggaran perpustakaan, sekolah, jasa pemadam kebakaran, perbaikan lingkungan dan anggaran sosial lainnya.

Chevron menuduh penilai pajak Pemerintah Daerah Contra Costa sengaja mengelambungkan nilai aset terkena pajak Chevron tahun 2007-2009.

Namun, alih-alih mendapatkan pengurangan pajak, pengadilan tingkat banding pada April 2012 menyatakan bahwa penilai pajak justru membuat nilai aset Chevron lebih rendah 10 hingga 23% dari seharusnya.

Pengadilan berpandangan nilai pasar kilang Chevron sebesar 3,7 miliar, 4,4 miliar dan 3,8 miliar dolar AS pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Karenanya, Chevron harus membayar pajak tambahan senilai 26,7 juta dolar AS. Gayle McLaughlin bersama pemerintahan daerah Contra Costa dan kota Richmond pun bernapas lega.

Perjuangan warga kelas bawah Richmond untuk dapatkan lingkungan yang sehat tentunya masih panjang karena keberadaan kilang minyak Chevron yang beberapa kali alami kebakaran. Tapi dibandingkan warga Indonesia yang tinggal di Kabupaten Bengkalis, Riau di sekitar ladang minyak Chevron, keadaan warga Richmond masih lebih baik. Mereka beruntung memiliki kepala daerah yang berjuang untuk kepentingan warga yang “tak masuk angin” berhadapan dengan korporasi besar bahan di negeri pusat kapital global. Khususnya menyangkut perjuangan hak warga atas lingkungan yang sehat.

Perjuangan warga dan pemerintah kota Richmond bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah agar tidak tunduk kepada pengaruh korporasi perusak lingkungan. Pemerintah daerah di Indonesia pun bisa!

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1903-ketika-warga-richmond-berhadapan-dengan-chevron

Senin, 18 Juni 2012

Rio +20: Gagalnya Reformasi Lingkungan Hidup Global

Wanda Hamidah, anggota DPRD DKI Jakarta akan pergi ke Olimpiade London 2012. Bersama tiga orang lainnya, wakili Indonesia sebagai pembawa Obor Olimpiade. Suatu kebanggaan tentunya terpilih di antara 230 juta penduduk Indonesia. Siapa yang tunjuk dirinya wakili Indonesia? PT. Samsung Electronics Indonesia. Bagi penulis ini suatu kejanggalan.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Kapital, dalam hal ini Samsung, ternyata yang lebih berperan menunjuk perwakilan Indonesia di ajang olahraga terbesar ini. Misalnya, usai Olimpiade London, terjadi perselisihan industrial antara pekerja dengan perusahaan PT. Samsung, dan pekerja ini mengadu ke Wanda Hamidah sebagai anggota Komisi E mengurusi bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat, bisakah dia netral? Mungkin saja.

Bila dia tetap teguh perjuangkan aspirasi rakyat. Tapi banyak kejadian tak begitu. Contohnya, seorang kepala desa yang kerap memimpin penyaluran bantuan beras dari perusahaan tambang dekat desanya, bersaksi untuk perusahaan di pengadilan bahwa tidak ada pencemaran. Sementara warga desa lainnya dalam survei yang dilakukan dinas perikanan setempat menyatakan tangkapan ikan nelayan berkurang. Kepala desa jadi tidak kritis terhadap dampak pembuangan limbah tambang terbesar ke laut di dunia di dekat kampung mereka. Padahal kerja sama dengan korporasi sebatas penyaluran beras ke desanya.

Tulisan ini bukan bermaksud membahas Olimpiade, melainkan pengaruh korporasi terhadap Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi, juga dikenal KTT Rio+20 yang dilangsungkan Juni ini di Rio de Jeneiro, Brazil. Penyelenggara KTT Rio ini adalah United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD), sebuah lembaga PBB. UNCSD dibentuk setelah KTT Bumi pertama yang dilangsungkan Rio de Janeiro 20 tahun lalu.


Ketergantungan Pendanaan pada Korporasi


Kelembagaan global seperti PBB kian mengandalkan pendanaan kerja sama korporasi. Tahun 1997 PBB mengalami defisit terbesar sepanjang sejarah karena banyak anggota tidak membayar iuran keanggotaan. Kongres Amerika Serikat tidak menyetujui kontribusi, merupakan 30 besar dari pendapatan PBB.

United Nation Foundations didirikan tahun yang sama dengan mengelola dana $1 miliar AS dari pengusaha Ted Turner. Ini adalah kontribusi privat terbesar. Setahun kemudian, Sekretariat Jenderal PBB membentuk United Nations Fund for International Partnership (UNFIP) mempromosikan dan mengelola kerja sama publik-privat, antara lembaga-lembaga PBB dengan aktor non-pemerintah (bisnis).

Lembaga PBB membidangi persoalan teknis seperti UNEP, UNICEF, UNDP, UNFPA, UNEP, dan UNESCO menggunakan 81 persen dana UNFIP. Antara tahun 1998- 2004, UNDP dan UNEP sebagai pemakai terbesar dana dana UNFIP, yakni 33 persen untuk program lingkungan.

Tak berbeda, World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg juga mengandalkan kerja sama dengan korporasi, serupa UNFIP untuk pendanaan kegiatannya. Negara-negara dunia menunjukkan dukungan yang kecil untuk kerja sama internasional jelang KTT Johannesburg. Amerika Serikat tidak mengirimkan delegasi setelah sebelumnya meninggalkan Protokol Kyoto tentang perubahan iklim.

Jelang Rio +20, pengaruh korporasi terus membesar. Friends of the Earth International, bersama La Via Campesina, Jubilee South/Americas, The Transnational Institute, Third World Network, Corporate Europe Observatory, World March of Women mengkritik Draf Awal Deklarasi Rio +20 yang menekankan peran bisnis sebagai promotor 'ekonomi hijau’ dan membela mekanisme pasar bebas yang tujuan utamanya menguntungkan bisnis; namun draft ini gagal membuat korporasi bertanggung jawab atas perannya menciptakan krisis finansial, iklim, pangan, dan lain-lain.

Paviliun Indonesia di Rio de Jeneiro 2012 akan menampilkan “cerita baik” pengelolaan lingkungan Indonesia, diisi oleh Freeport (pembuang limbah terbesar ke Daerah Aliran Sungai di Papua), Medco (menciptakan kemiskinan bagi nelayan tradisional di sekitar pulau buatan Tiaka-Sulawesi Tengah).


Pengaruh Korporasi pada Agenda KTT Bumi


Pembangunan dunia telah berlangsung tak berkelanjutan dan mengotori bumi yang hanya satu. Sejarawan Eric Hobsbawn menulis sejarah dunia, The Age of Revolution (1875-1848), The Age of Capital (1848-1875), The Age of Empire (1875-1914), The Age of Extremes (1914-1991) merasa perlu membahas banyak persoalan ekologi pada buku terakhir. Kendati tahun 1840-an persoalan lingkungan akibat pembakaran batubara telah timbul saat produksi batubara global baru capai 640 juta ton, pada tahun 2010 tercatat 3,2 miliar ton.

Kemenangan manusia atas alam punya sisi gelap. Hanya sedikit orang bisa menyangkal bahwa Revolusi Industri lewat kegiatan korporasi menciptakan dunia paling jelek yang pernah ditinggali manusia. Udara gelap dan bau, asap batasi pandangan di jalan-jalan Manchester. Namun daya dukung lingkungan global masih bisa berikan toleransi hingga tahun 1900. Sejak itu, mengambil gambaran tongkat hoki, suhu bumi menanjak drastis, beberapa bagian ekosistem mengalami gangguan parah, luas gurun bertambah.

Sisi lain, ekonomi pun bergerak cepat dari usaha pribadi kompetitif ke jenis korporasi besar (kartel, trust, monopoli). Zaman individualisme berakhir tahun 1870, keluh pengacara Inggris, A.V. Dicey (1835- 1922). Kini korporasi besar begitu berpengaruh di tingkat lokal hingga forum global.

Bahkan Maurice Strong, Sekretaris Jenderal United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) penyelenggara KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro mengundang Stephan Schmidheiny, pebisnis Swiss, mewakili Bussines Council for Sustainable Development sebagai penasihat utamanya tentang bisnis dan industri. Sekaligus diposisikan memimpin partisipasi bisnis pada KTT Bumi 1992.

Hasilnya, “Prinsip-prinsip Kehutanan” tidak pernah menyebutkan persoalan penggundulan hutan (deforestasi), tapi lebih kepada kedaulatan setiap negara menggunakan dan mengeksploitasi hutan sesuka mereka.

Sebanyak 41 bab Agenda 21, yang diharapkan menetapkan babak penting bagi gerakan lingkungan global abad 21, menampilkan komitmen terhadap lingkungan yang ditempatkan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dengan prinsip pasar besar sebagai tujuan utama.

Pratap Chatterjee dan Mathias Finger dalam The Earth Brokers, pengkritik utama KTT Bumi Rio menyatakan, satu-satunya penyebutan korporasi dalam Agenda 21 adalah untuk mempromosikan peran mereka dalam pembangunan berkelanjutan. Tidak ada penyebutan peran korporasi dalam melakukan pencemaran planet.

Pembangungan berkelanjutan kian indentik dengan promosi akumulasi keuntungan dalam sistem ekonomi neolibera/kapitalis. Reformasi lingkungan tak lagi dilihat sebagai kebijakan yang dibuat untuk mereformasi lingkungan, menempatkan korporasi berada di bawah (seperti konsep negara kesejahteraan klasik).

Ketakmaksimalan KTT Rio karena pengaruh kekuatan korporasi dari dalam dan luar. Lembaga lobi Bussines Council for Sustainable Development yang lalu berubah jadi World Business Council for Sustainable Development, memainkan peran lewat korporasi yang berasosiasi dengannya mendanai KTT Bumi 1992, dan turut dalam perencana inti.

World Business Council for Sustainable Development Lembaga adalah lembaga lobi koalisi dari 170 perusahaan besar, seperti Chevron, Mitsubishi, Du Pont, Dow Chemical, Shell, Rio Tinto.


Kemunduran di KTT Bumi


Dua KTT Bumi yang telah terselenggara terpisah dalam waktu 10 tahun. KTT Bumi I di Rio, diselenggarakan UNCED merepresentasikan harapan besar bahwa manusia secara bersama-sama dapat akhiri persoalan-persoalan ekologi yang kian parah.

Akhir tahun 1980 dan dan awal tahun 1990 sebuah periode krisis ekologi global merasuk kesadaran publik. Timbul kekhawatiran besar terhadap kehancuran lapisan ozon, pemanasan global, dan melajunya kehilangan spesies. Juni 1988, James Hansen, Direktur NASA Goddard Institute for Space Studies, bersaksi di depan Komisi Energi dan Sumber Daya Alam Senat Amerika Serikat, memaparkan bukti-bukti pemanasan global karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.

Pada tahun yang sama, PBB mendirikan badan baru, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pemberlakuan Protokol Montreal, pembatasan bahan kimian penipis ozon, menampakkan bahwa negeri ekonomi maju dapat melakukan aksi terpadu merespon ancaman lingkungan global.

Brazil yang dipilih sebagai tempat KTT Bumi adalah tempat terdapat hutan Amazon, menyimbolkan tujuan penghuni Planet Bumi untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati dunia. Dokumen utama yang dihasilkan KTT ini dikenal dengan Agenda 21.

KTT Bumi kedua dilakukan tahun 2002 di Johannesburg. Tampak dalam sepuluh tahun, lingkungan hidup global malah kian cepat rusak. Dunia mendekati kondisi bencana ekologi global. Tidak hanya pemanasan global, juga hilangnya spesies, hilang dan susutnya debit sungai, pencemaran di kota-kota besar dan daerah ekstraksi sumber daya alam, penggurunan, dan lain-lain.

Johannesburg dipilih sebagian untuk menyimbolkan akhir apartheid. Namun timbul kritik pada KTT Bumi kedua tersebut akan soal apartheid ekologi global, menekankan pada kehancuran lingkungan oleh negara Utara, namun yang paling menerima dampaknya adalah mereka yang tinggal di Selatan.

Imperialisme ekologi ekonomi pusat kapitalisme disimbolkan dengan penolakan Amerika Serikat untuk ratifikasi Protokol Kyoto membatasi gas rumah kaca yang timbulkan pemanasan global. Presiden AS, George W. Bush menolak menghadiri KTT Johannesburg. Pemerintahan Bush menyedot perhatian dunia dengan mengancam perang Irak. Keberadaan senjata pemusnah massal tak pernah terbukti pada akhirnya.

Kian jelas bahwa tujuan perang adalah minyak. Menyaksikan Amerika Serikat lakukan perang bagi negeri kaya minyak di saat planet kian memanas akibat pembakaran bahan bakar fosil, maka seluruh bumi tinggal tunggu waktu dalam hitungan dekade akan terbakar. Seberapa parahkah itu, menjadi kian sering dibahas.

Bila KTT Bumi berusaha mereformasi lingkungan, maka WTO didirikan tahun 1995 mempromosikan prinsip perdagangan bebas neoliberal, bahkan membuat reformasi lingkungan di masing-masing negara kian sulit.


Imperialisme Ekologi


Pembangunan berkelanjutan telah berubah menjadi keberlanjutan akumulasi kapital dengan seberapa pun ongkos ekologinya. Bila masa Revolusi Industri menciptakan ketaknyamanan di kota-kota Eropa, maka negara dunia ketigalah kini yang paling banyak menanggung dampak kerusakan lingkungan global.

Hampir setengah kejadian penggundulan hutan global terjadi di Indonesia, menyebabkan kehilangan dukungan alam bagi kehidupan masyarakat agraris: sungai susut, tercemar, hilangnya wilayah sumber kehutanan.

Namun sebagian besar kegiatan ekonomi pasca penebangan hutan diekspor ke negara utara. Laut dan sungai Indonesia jadi tempat pembuangan limbah tambang terbesar di dunia. Menyebabkan kehilangan sumber perikanan dan sumber makanan lainnya.

Bisakah kita berharap pemerintahan SBY akan berjuang bersama negeri progresif lain untuk membalikkan arus imperialisme ekologi ini? Tampaknya mustahil. Kita telah miliki dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, larang pembuangan limbah tambang ke laut. Nyatanya, pemerintah keluarkan izin pembuangan limbah tambang terbesar ke laut tambang pada tahun 2011 kepada Newmont Nusa Tenggara.

Pemerintah buat komitmen penghapusan emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen yang mensyaratkan ekspansi kawasan lindung. Nyatanya, setelah 13 perusahaan tambang besar internasional (di antaranya Newmont, Freeport, Weda Bay Nickel) diperbolehkan menambang di hutan lindung, maka dalam dua tahun terakhir empat taman nasional, yakni TN. Batang Gadis, TN. Lolobata, TN. Nani Wartabone, TN. Lai Wanggi-Wanggameti beralih fungsi untuk pertambangan.

Sementara itu, warga diadili karena mengambil sebatang pohon kayu dari hutan, seperti di Ruteng- Nusa Tenggara Timur, Dusun Pidik- Jawa Tengah.

Bila reformasi lingkungan global dan nasional telah gagal, bagaimana kita bersikap?

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1736-rio-20-gagalnya-reformasi-lingkungan-hidup-global

Jumat, 25 Mei 2012

Tambang Nikel dan Horor Ekologi di Morowali

Datanglah pada musim hujan ke Kolonodale, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Maka akan Anda jumpai Teluk Tomori berwarna merah. Fenomena itu bukan keunikan alam, namun kejadian kerusakan ekologi parah yang sedang menimpa kawasan tersebut.

Teluk Tomori sebenarnya adalah kawasan laut indah. Teluk sempit dikelilingi kawasan hutan membungkus tebing terjal yang mengingatkan kita pada tebing terjal pulau-pulau Raja Ampat di Papua atau fjord di negeri Skandinavia.

Pius Ginting
Aktivis Lingkungan

Kawasan ini kaya ikan pada awalnya. Tak jarang penghasilan nelayan selama satu malam melaut bisa mendapatkan empat juta rupiah. Kini tangkapan ikan menurun drastis seiring kehancuran ekologi di sekeliling teluk. Saat hujan ,warna biru laut berubah jadi hamparan merah. Hal ini terjadi akibat erosi parah dari pengupasan tanah di pertambangan nikel di sekitar.

Produksi keramba ikan nelayan di Teluk Tomori pun tak lagi produktif sejak 2011 karena erosi parah dari pertambangan, mengalir deras turun dari perbukitan ke wilayah teluk.

Kini, sebagian nelayan harus beralih pekerjaan menjadi buruh harian lepas di perusahaan tambang nikel dengan penghasilan Rp50.000-60.000 per hari. Suatu penurunan pendapatan drastis. Belum lagi biaya risiko kesehatan karena pertambangan nikel selalu timbulkan debu tebal.

Sebanyak 200 orang warga kota kecil Kolonodale, terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit gatal-gatal dan bercak benjol di kulit. Ahli toksikologi D.L. Eaton dan E.P. Gallagher dalam buku General Overview of Toxicology, Universitas Washington menyatakan bahwa dampak buruk terpapar debu nikel adalah kanker paru, kanker saluran hidung dan penyakit kulit (contact dermatitis).

Warga Kolonodale dan sekitarnya juga kesulitan mendapatkan minuman air bersih pada musim penghujan. Air didatangkan lewat pipa dari kawasan hutan yang ditambang jadi berlumpur tanah merah. Sementara saat musim kering tiba, debu dari aktivitas pertambangan di perbukitan turun mendatangi rumah-rumah penduduk atau menggelayut tebal di atap-atap.


MP3EI Tak Peka Daya Dukung Lingkungan Hidup


Kabupaten Morowali adalah salah satu dari empat kabupaten yang memiliki cadangan nikel yang besar di Pulau Sulawesi.

Pada 2011, Pemerintah SBY telah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Salah satu dari 22 Kegiatan Ekonomi Utama yang ditetapkan adalah pertambangan nikel. Kabupaten Morowali adalah salah satu lokasi penting.

Kabupaten Morowali dibentuk pada 1999. Seiring penetapan daerah administrasi baru, eksploitasi sumber daya alam kian laju. Sedikitnya 120 izin pertambangan nikel telah dikeluarkan.

Pada periode Anwar Hafid yang kini menjabat Bupati Morowali, izin bertambah menjadi kurang lebih 183 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dokumen MP3EI mencatat saat ini sebanyak 37,7 trilyun diinvestasikan untuk keseluruhan penambangan nikel di Morowali.

Banyaknya izin pertambangan di Kabupaten Morowali telah menciptakan kawasan horor ekologi di kawasan Teluk Tomori-Teluk Tolo, dan pemukiman penduduk di sekitarnya. MP3EI tidak memberikan arahan untuk perlindungan lingkungan hidup. Teluk Tomori dan penduduk sekitarnya jadi korban agenda percepatan pembangunan.


Ketidakadilan penerapan aturan kehutanan


Berdasarkan Undang-Undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Melihat kemiringan kawasan hutan sekitar Teluk Tomori di atas 45 derajat bahkan pada bagian tertentu mencapai 90 derajat, maka fungsinya sebagai penahan erosi penting. Dengan begitu, status kawasan hutan tersebut seharusnya adalah hutan lindung dan metode penambangan terbuka seharusnya tidak diperbolehkah, seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Kehutanan.

Namun, tidak kurang dari sembilan perusahaan tambang nikel sedang melakukan penambangan di sekitar lereng gunung tepi Teluk Tomori. Erosi dan sedimentasi mengancam kawasan Teluk Tomori.

Di sisi lain, di dalam Teluk Tomori, sebanyak 400 keluarga warga Kampung Matube terjepit oleh kebijakan pemerintah. Tahun 1978, akibat abrasi pantai, kampung mereka harus dipindahkan ke bagian hutan ke lokasi mereka sekarang berada.

Tahun 1983, kawasan hutan di bagian timur dan utara Teluk Tomori dijadikan kawasan Cagar Alam Morowali. Sejak itu, mereka mengalami ketidakpastian dalam ruang hidup yang mereka tempati.

Usaha tambak udang dan penanaman laut mereka dinilai berstatus ilegal kendati desa mereka diakui dalam peta Departemen Sosial. Setiap usaha ekonomi mereka dalam kawasan tersebut rentan dikriminalisasi.

Pengelolaan nikel di Teluk Tomori terkait erat dengan kepentingan pasar luar, namun berjarak jauh dengan penduduk sekitarnya. Kapal-kapal transnasional hilir mudik masuk Teluk Tomori. Sepeninggalnya, rakyat menghadapi keterpurukan ekologi dan ekonomi. Sungguh sebuah ironi.

Dokumen Nasional Stategi dan Rencana Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020 disusun oleh Kementerian Bappenas memuat banyak program penyelamatan lingkungan, namun tidak menjadi acuan dalam pembentukan MP3EI.

Oleh karena itu, untuk mengimbangi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, menjadi penting untuk juga membuat sebuah Masterplan Percepatan Keadilan Ekologi.

Jika tidak dan mengingat meluasnya daerah horor ekologi seperti di Sidoarjo, tambang timah Bangka, pembuangan limbah ke laut di Nusa Tenggara Barat, dan erosi parah di Teluk Tomori maka alih-alih percepatan pembangunan yang terjadi di Indonesia, tapi percepatan kematian ekologi. Sebuah babak baru menuju kemusnahan peradaban.

Pius Ginting adalah Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Friends of The Earth Indonesia

BeritaSatu.com: blog 1673-tambang-nikel-dan-horor-ekologi-di-morowali