Sabtu, 26 April 2008

NO VOLVERAN: Tayangan Pendakian Seperempat Menuju Puncak

Proses sosial politik di Venezuela, semenjak pemerintahan Chavez (tahun 1999), sudah cukup sering di muat dalam pemberitaan-pemberitaan media internasional, juga di Indonesia. Di samping berita tentang perang Irak, nuklir Iran, pengisolasian rakyat Palestina, kejadian-kejadian dalam panggung politik Venezuela sering mengetengahkan adegan yang bernilai penting secara politik, tidak hanya bagi negerinya, juga bagi dunia internasional. Kudeta pemerintahan terhadap Chavez (April 2002), pemogokan perusahaan minyak nasional, konflik Chavez dengan media swasta (khususnya RCTV), kegagalan referendum konstitusi (akhir 2007), pertarungan lewat arbritrase dengan salah satu perusahaan minyak internasional, adalah beberapa peristiwa yang mendapat sorotan secara internasional. Kejadian-kejadian tersebut tidak bisa dipungkiri akibat kebijakannya pemerintahan Chavez yang bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang berlaku umum saat ini.

Perkembangan yang terjadi di Venezuela adalah perkembangan yang makin progresif, kendati referendum konstitusi kedua kalinya pada akhir tahun 2007 yang diusulkan oleh kekuatan Chavez mengalami kekalahan. Terbukti dengan makin banyaknya perusahaan dan sektor usahanya dimana kepemilikan negara makin besar.

Sebuah film dokumenter berjudul “No Volveran”, dibuat menjelang dan saat pemilihan presiden Venezuela tahun 2006, dimana Chavez kemudian terpilih kembali sebagai presiden, menampilkan perkembangan gerakan rakyat yang telah beranjak lebih maju dibanding dari periode sebelumnya. Bila Chavez sebelumnya, sebagaimana diungkapkan dalam buku Martha Harnecker “Memahami Revolusi Venezuela”, harus berupaya kuat dan kesulitan dalam mengorganisir rakyat, maka film ini menyuguhkan kita sebuah bentuk kegigihan rakyat mengorganisir diri, dan memperjuangkan tuntutannya ke pemerintah. Jika pada tahun 2004, manajemen buruh, manajemen sendiri, ko-manajemen, dan produksi oleh asosiasi produser masih sebatas tuntutan dan impian, maka sejak tahun 2005 telah menjadi kenyataan.

Salah satunya, yang menjadi sentral dalam film ini, adalah perjuangan buruh Sanitarios Maracay, produksinya berupa jamban keramik. Jangan bandingkan dengan perjuangan/aspirasi buruh di pabrik tersebut dengan Indonesia. Bahkan di antara gerakan buruh lainnya di Venezuela, gerakan buruh tersebut merupakan paling maju. Mereka menuntut nasionalisasi 100% terhadap pabrik tempat mereka bekerja, yakni negara menguasai penuh namun operasional/manajemen di bawah kontrol buruh. Sementara itu bentuk kepemilikan lainnya atas perusahaan-perusahaan yang diambil alih masih pada tahap separuh dimiliki oleh buruh dan separuhnya oleh negara, seperti Invepal (kertas). Dalam bentuk kedua ini, maka peningkatan keuntungan usaha sebagian akan menjadi milik buruh yang bekerja di pabrik tersebut. Belajar dari sistem manajemen buruh Yugoslavia (Michael Lebowitz, 2006) bentuk seperti yang terakhir ini juga masih mengandung persoalan, ketika terjadi persaingan antar pabrik, atau masih berpeluangnya terjadi kontradiksi antara pencari pekerjaan, komunitas yang lebih luas dengan buruh yang langsung bekerja di pabrik tersebut. Bentuk manajemen/kepemilikan lainnya yang ditampilkan adalah kepemilikan saham antara koperasi dan pemerintah. Tentu, bentuk ini lebih mundur dibanding dengan dua bentuk yang di atas, terlebih lagi koperasi tersebut masih memperkerjakan buruh yang bukan menjadi pemilik/anggota koperasi.

Membandingkannya dengan Indonesia

Membandingkan dengan Indonesia, tentu akan banyak perbedaan. Selain perbedaan lokasi geografis dan demografisnya, perbedaan yang paling penting adalah perbedaan kemajuan/konteks gerakan dan karakter pemerintahan yang ada di Venezuela dan Indonesia. Sejak terjadi gerakan protes rakyat mengguncang struktur kelas mapan namun direpresi oleh pemerintah pada tahun 1989, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak, yang dikenal dengan peristiwa Caracazo, gerakan rakyat makin masuk ke tengah panggung politik, terutama setelah kemenangan Chavez sebagai presiden pada tahun 1998. Pemerintahan Chavez telah berhasil menulis ulang/memenangkan referendum konstitusi yang lebih pro-manusia (rakyat) tahun 1999, melaksanakan program-program ambisius yang meningkatkan indeks kualitas sumber daya manusia lewat bebagai misi, seperti Misi Barrio Adentro (kesehatan), Misi Robinson (melek huruf), perumahan, dan lain-lain.

Sementara di Indonesia, gerakan rakyat masih menjadi figuran dalam panggung politik nasional. Di luar keberhasilannya membukakan ruang yang lebih demokratis, membukakan panggung politik bagi para pemain baru untuk bersimbiosis-mutualisme dengan pemain sebelumnya, tidak banyak yang bisa dicatat atas prestasi gerakan rakyat di Indonesia, kalau tidak boleh dibilang mengalami kemunduran semenjak pemerintahan Megawati.

Apa yang disuguhkan dalam film No Volveran layaknya sebuah tayangan apa yang terjadi dalam jarak seperempat menuju pucak dalam sebuah pendakian. Di sisi lain, kita baru seperempat pendakian dari bawah kaki gunung. Tentunya, vegetasi gerakan, kesegaran cuaca bagi pemikiran rakyatnya dan keindahan yang tertampil akan mengalami perbedaan kualitas dari kedua ketinggian tersebut.

Kembali ke Realitas Kita

Dengan kondisi gerakan di Indonesia yang masih figuran dan lemah, maka tentu menjadi tugas adalah memperbesarnya. Saat ini, tentu gerakan di Indonesia tidak terilusi akan tercapainya kemenangan dengan segera. Sebagaimana dikatakan oleh Meyer (nama samaran seorang progresif Rusia), kita tidak terilusi kemenangan, kita tidak akan menang saat ini. Pekerjaan sekarang adalah menjatuhkan otokrasi. Tidak menjatuhkan otokrasi karena prospek kemenangan masih jauh adalah tindakan yang salah dan bukan karakter organisasi progresif (David Shubb). Kendati pendapat tersebut dia ungkapkan pada tahun 1905, relatif memiliki ketepatan dengan Indonesia saat ini.

Kelompok yang tidak terilusi jelas melihat bahwa Pemerintahan SBY-Kalla tidak saja bukanlah pemerintahan populis (yang melandaskan kekuasaannya dengan memberi sogokan-sogokan kepada rakyat tanpa upaya serius meningkatkan kapasitas rakyatnya), namun lebih ekstrim dari itu dia adalah pemerintahan pro-investor. Hal tersebut tampak di antaranya dalam kasus Lapindo dimana dana APBN diporot untuk membayar apa yang seharusnya menjadi tanggungan Lapindo Brantas Inc, atau pelajaran dari dihentikannya kasus BLBI.

Isu nasionalisasi bagus untuk diketahui, dan perlu untuk dipahami. Namun memprioritaskan isu nasionalisasi dengan konteks pemerintahan yang ada sekarang, bukanlah tindakan yang efektif, sesuai dengan ketinggian pendakian kita saat ini. Prioritas utama adalah memblejeti pemerintahan yang tidak pro rakyat, dan menarik rakyat luas untuk masuk dan mendukung kelompok gerakan. Dengan membesarnya kekuatan rakyat, (dan menghasilkan pemerintahan yang progresif), barulah tuntutan nasionalisasi menjadi realistis dan memiliki pijakan.

Apa yang disungguhkan oleh film No Volveran adalah gambaran gerakan yang akan terjadi di depan, jika saja kita berhasil melanjutkan pendakian, dengan keberhasilan membangun kekuatan yang lebih besar, dengan kerja-kerja yang terukur kemajuannya sepanjang rute pendakian.

Ditulis oleh: Pius Tumangger, anggota Aliansi Muda Progresif.

Rabu, 23 Januari 2008

Maksimalisasi Kekuatan Masyarakat Sipil

Tak dapat lagi kita menutupi kenyataan, permasalahan sosial yang terus masih tetap memburuk menimpa kehidupan masyarakat bawah/miskin, yang sejatinya menjadi ruang hidup organisasi-organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi massa, yang kini sering juga disebut dengan Civil Society Organization (CSO). Permasalahan ekonomi dan sosial yang meluas bersamaan dengan struktur pemerintahan yang memastikan berjalannya mekanisme demokrasi yang juga belum berdiri kokoh. Berkaitan dengan agenda penguatan masyarakat sipil, tak dipungkiri, militerisme, yang terbangun selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, belum sepenuhnya berhasil terbersihkan dari jalan raya demokrasi.

Pemilu multipartai sudah berlangsung dua kali, pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung telah pula diselenggarakan. Namun, struktur militer sebagai penyokong utama militerisme di dalam wilayah masyarakat sipil masih merupakan hambatan untuk peningkatan kualitas demokrasi, keberadaan lembaga teritorial yang kokoh berdiri dan tak tersentuh oleh arus perubahan reformasi, membuat pengaruh kekuatan militer terhadap kekuasaan trias politika (ekskutif, legislatif dan yudikatif) dan juga ke dalam wilayah-wilayah masyarakat sipil masih dominan dan tidak bisa dipungkiri. Paling tidak, dengan struktur yang demikian, dia menjadi variabel yang harus diperhitungkan oleh pemerintahan yang sipil sekali pun dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, ditambah lagi dengan dampak sosiologis dan psikologi yang tercipta selama masa kekuasaan Orde Baru.

Kalau disepakati, di samping militerisme, problem pokok yang sekarang sangat dihadapi kehidupan mayoritas rakyat sipil adalah globalisasi berserta ekses-eksesnya, primodialisme/feodalisme yang kadang mencuat dalam bentuk konflik horizontal di dalam masyarakat, dan ketidakpatutan-ketidakpatutan lembaga negara (korupsi, mempermainkan hukum demi kepentingan penguasa). Kesemua ini memberi akibat yang merugikan bagi semua kelompok sosial—semua sektor, ras, dan gender.

Agar tidak menjadi ahistoris, proses ini tidak terlepas dari sejarah negara dunia ketiga pasca-pembebasan kolonial, yang secara secara internal, belum menghasilkan pemerintahan yang secara organik berasal dari rakyat, yang senapas dengan penderitaan rakyat, dan berupaya keras demi kemajuan rakyat dan demokrasi, dan secara eksternal belum sepenuhnya berhasil menempatkan relasi Selatan-Utara dalam posisi yang seimbang, bekerja sama demi kemajuan, keadilan sosial dan perdamaian dunia.

Proses yang belum selesai ini menghasilkan pemerintahan yang bertentangan dengan basis sosialnya. Indonesia yang pernah bisa melakukan relasi dan sikap politik yang independen pada tahun 1949-1965, kini menjadi menjadi tergantung, sehingga pemerintah berkali-kali melakukan kebijakan yang kontroversial, seperti privatisasi, pencabutan subsidi yang merupakan bagian kebijakan arus utama ekonomi neoliberal, di dalam penyelenggaraan negara yang belum sepenuhnya demokratis. Karena kontradiksi ini, tidak heran penerimaan rakyat terhadap pemerintahan yang baru naik tidak berlangsung lama. Dalam periode yang singkat sudah medapatkan resistensi-resistensi dari basisnya, dan tidak sedikit pemerintahan ini kemudian terjatuh oleh perlawanan rakyatnya akibat dampak-dampak kebijakan globaliasi dan neoliberal yang diterapkan, seperti banyak terjadi di negara Amerika Latin.

Semenjak tahun 1970-an muncul lah institusi yang kini dikenal sebagai Lembaga Sosial Masyarakat, yang melakukan advokasi, pengorganisiran dan penelitian-penelitan permasalahan sosial. Sepanjang tahun 1970-1990-an gerakan ini memainkan peran di dalam advokasi, mobilisasi meliputi berbagai sektor, ras, region terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyat, yang berbenturan langsung dengan modal bertaut dengan intrumen negara yang represif. Pembangunan organisasi massa di lapangan rakyat sipil dilakukan; namun, terdapat satu warna yang umum: menjaga jarak terhadap alternatif yang bersifat politis. Ilusi yang ditanamkan oleh penguasa Orde Baru secara sadar atau tidak sadar, dimamah biak oleh lembaga swadaya masyarakat. Walau kerap berhadapan dengan negara, watak perjuangannya tidak politis. Ketika permasalahan rakyat telah akut dan berlarut-larut tidak banyak yang memiliki agenda penggantian terhadap kekuasaan yang ada dan menawarkan solusi alternatifnya, termasuk sistem alternatif yang ditawarkan. Tentu dengan perjuangan seperti ini menghasilkan output perjuangan yang berbeda pula.

Dengan menjauhkan rakyat dari alternatif perjuangan dan organisasi yang bersifat politis, membuat basis pengorganisiran tidak membuahkan masyarakat sipil yang kuat. Perjuangan menjadi fragmentatif, mayoritas terjebak kepada pemenuhan tuntutan yang mendesak yang dihadapi (advokasi kasus), tidak berkemampuan membangun wadah organisasi yang mampu merespon berbagai permasalahan, dan juga memiliki visi ke alternatif pembangunan kekuatan masyarakat sipil dan demokrasi. Ini terlihat dari warisan massa mengambang yang diplot oleh Orde Baru, tidak berhasil diselesaikan. Maraknya pengaruh politik uang, mobilisasi pemilih lebih kepada pencitraan yang lewat media, bukan berdasarkan program dan pengamatan historis perjuangan partai yang dipilih, yang kini banyak dikeluhkan para intelektual, adalalah termasuk konsekuensi perjuangan yang diambil sebelumnya. Dengan metode pemberdayaan masyarakat sipil seperti ini, tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan basinya dan kualitas demokrasi yang diambil. Kualitas politik basis massa rakyat membentuk kualitas sistem demokrasi. Namun pengalaman di lapangan, sering pembicaraan tentang alternatif politik ini dihindarkan, dan sehingga mereproduksi gambaran politik yang mekanik dan vulgar: sebatas dukung-dukungan semata, wilayah pertarungan kepentingan yang sempit.

Kejatuhan Suharto, secara internal akibat gerakan mahasiswa yang kemudian meluas menjadi perlawanan seluruh rakyat, membuktikan kemampuan gerakan rakyat sipil yang sudah berwatak politis. Walaupun banyak mahasiswa berpuas diri menggambbarkan perjuangan mereka semata perjuangan moral semata, namun tidak bisa diingkari mereka telah memasuki wilayah pertarungan politis. Tujuan dan hasrat perjuangan bukan lagi advokasi dalam batas-batas domain kekuasaan Suharto, namun melihat Suharto itu sendiri sebagai sumber masalah yang memberati kehidupan rakyat. Gerakan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari resultan perlawanan masa-masa sebelumnya. Dari sini sudah terlihat empiris, hanya gerakan yang memiliki karakter perjuangan keluar dari domain kekuasaan dan sistem yang ada sanggup membawa perubahan, dan tentu juga menuntut syarat lainnya, seperti keikutsertaan massa rakyat yang luas dalam perubahan.

Dari penelitian yang beberapa waktu lalu dilakukan oleh Demos yang melibatkan responden 350 aktivis dari berbagai kota, terlihat baik organisasi masyarakat sipil maupun lembaga swadaya masyarakat, mengalami keberjarakan dengan massa rakyat, yang seharusnya menjadi basisnya. Sehingga mengutip istilah Gramsci, mereka tidak menjalankan peran sebagai intelektual organik.

Ini tentu membuat kelemahan bagi kedua-duanya, terhadap lembaga swadaya masyarakat dan massa rakyat. Bagi lembaga swadaya masyarakat, keberadaan seperti ini tidak mampu melakukan agenda perubahan dalam rangka memperkuat posisi masyarakat sipil dan peningkatan kualitas demokrasi. Bagi massa rakyat, dia kehilangan salah instrumen pembantu yang sebenarnya memiliki syarat-syarat yang modern.

Tantangan bagi kita yang berkutat dalam lembaga masyarakat sipil untuk melakukan perbaikan, apakah kita bisa melakukan perubahan di dalam sejarah. Tidak lagi terfragmentatif berdasarkan wilayah profesionalitas masing-masing, tidak terjebak dalam merespon isu-isu yang mendesak semata, namun juga memiliki visi alternatif kedepan, dan tidak terjebak dan mereproduksi gambaran politik yang vulgar dan mekanik. (pius tumangger)

Tulisan ini dibuat pada tahun 2004, namun kelihatannya masih relevan dengan situasi sekarang.

Selasa, 01 Mei 2007

Terjemahan: Memahami Revolusi Venezuela, Perbincangan Hugo Chávez dengan Marta Harnecker

Memahami Revolusi Venezuela,
Perbincangan Hugo Chávez dengan Marta Harnecker


Penulis : Hugo Chávez dan Marta Harnecker
Penerbit : Aliansi Muda Progresif (AMP) dan Institute Global Justice (IGJ)
Penerjemah : Aan Rusdianto, Astri Suryandari, Ayala Zikhra, Moch. Yusuf Supriyadi
Penyunting : Pius Tumangger
Cetakan : Pertama, Februari 2007
Tebal : 241 Halaman
ISBN : 978-979-16096-0-9

http://monthlyreview.org/product/understanding_the_venezuelan_revolution/
Buku ini membantu meperjelas tantangan-tantangan yang dihadapi oleh proses revolusi Venezuela yang tengah berlangsung. Peran Chávez yang menentukan dalam mengawali proses dan dukungan luas rakyat yang terus dia dapatkan membuat kita butuh untuk membaca buku ini agar memahami kekuatan-kekuatan dala, pekerjaan yang tampaknya menjadi sebuah tahap dalam transformasi sistem global jangka panjang. Pertanyaan-pertanyaan Martha Harnecker menggali dan menampakkan kecerdasan serta komitmen Hugo Chávez yang mendalam. Buku ini tidak bisa dilepaskan dalam memahami proses revolusioner di Venezuela. Buku wawancara ini juga memberikan gambaran tentang watak demokratik, kecerdasan dan kerendah-hatian Chávez sebagai pejuang revolusioner. Ia tampak tak pernah memendam rasa yang membuatnya dapat menjadi korban perasaan atau sakit hati di hadapan pejuang-pejuang lainnya. Situasi ini ditunjukkan ketika Marta menanyakan: Adakah dalam suatu masa dalam hidup Anda, Anda mengakui kepemimpinan orang lain di samping diri Anda sendiri?


Pengantar Penyunting


Buku ini diterjemahkan dengan maksud memberikan bahan referensi bagi aktivis dan kelompok-kelompok rakyat di Indonesia yang tengah bekerja mengusahakan tatanan kehidupan manusia yang lebih baik. Setelah himpitan kebijakan neoliberal yang diterapkan pemerintah makin terasa berat, sementara kekuatan politik penyelamat keluar dari krisis belum juga nyata terbangun, apa yang sedang berlangsung di kawasan Amerika Latin (salah satu yang terkemuka adalah Venezuela) adalah sebuah penyemangat dan menjadi contoh hidup bahwa kebijakan neoliberal bukanlah perangkat kebijakan yang tidak terelakkan dan tidak bisa dipukul mundur.

Dampak kebijakan neoliberal demikian nyata telah terlihat dan terasa luas oleh rakyat, sehingga intelektual pendukung kebijakan tersebut akan tampak seperti penipu kini. Orang-orang yang percaya dan mudah diyakinkan tidak akan sebanyak tahun 1990-an, ketika pemerintah dan intelektual pendukungnya menyatakan pencabutan subisidi produk dan jasa yang vital buat rakyat (BBM, listrik, kesehatan, pendidikan, air minum, dll) adalah demi peningkatkan efisiensi yang pada akhirnya akan meningkatkan pelayanan. Juga, lapisan masyarakat yang sebelumnya terbawa propaganda neoliberal dengan beragam komentar bernada justifikasi (atas kebijakan yang sebenarnya juga merugikan kepentingan mereka): “wajar BBM naik karena harganya lebih murah daripada sebotol air mineral”, “wajar perusahaan negara diprivatisasi agar terbebas dari korupsi”, “wajar subsidi BBM dicabut agar rakyat tidak dimanjakan dan sumber daya alam bisa dihemat” tidak akan seyakin sebelumnya atas pendapat mereka.

Apa yang terjadi dalam kehidupan sosial ekonomi Venezuela, tanpa bermaksud mengesampingkan kekhususan kedua negeri, juga memiliki kesamaan penting. Rakyat kedua negara mengalami kesulitan hidup akibat naiknya harga-harga kebutuhan. Jika di Indonesia terjadi aksi massa besar tahun 1998 menentang kediktatoran Orde Baru, dipicu oleh kenaikan harga kebutuhan akibat kebijakan ekonomi neoliberal, sembilan tahun lebih awal kejadian serupa juga dialami dan dilakukan rakyat Venezuela: Peristiwa El caracazo–protes kemarahan rakyat timbul saat terjadi kenaikan harga, terutama bahan bakar. Keduanya dihadapi dengan represi oleh pemerintah yang menyebabkan kematian di pihak rakyat.
Jika kelas penguasa di Indonesia secara luas relatif menerima pengunduran diri Soeharto dan menunjuk sendiri wakilnya sebagai pengganti, kelas penguasa di Venezuela memilih mengadili diktator Carlos Andréz Pérez sebagai katup pengaman politik (mempasifkan kembali aksi politik rakyat). Selanjutnya, kelas penguasa berharap kehidupan politik kembali “normal”, yakni urusan politik diserahkan kepada elit-elit politik dan partai yang mapan. Partai besar silih berganti secara periodik memerintah (lima tahunan di sini) lewat mekanisme pemilihan umum, namun struktur ekonomi, sosial tidak mengalami mengalami transformasi apa pun: dari tahun ke tahun rakyat tetap menjadi korban demi keberlangsungan hidup sistem yang menguntungkan minoritas dan meminggirkan mayoritas.
Tingkat kedemokratisan kehidupan negara hanya diukur dari kemulusan proses pemilihan (eksekutif, legislatif) dengan berbagai variasi prosedurnya. Pasca-pemberian suara, kehidupan ekonomi, sosial rakyat sehari-hari kembali diasingkan dari proses dan lembaga-lembaga politik. Pemahaman demokrasi yang kini disebarluaskan (lewat pendidikan pemilih yang diorganisasi banyak LSM, dipantau oleh banyak pengamat) bukanlah konsep demokrasi sebagaimana dinyatakan oleh pembebas lima negara Amerika Latin dari penjajahan, Simon Bolivar, sebagai sistem yang membawa kebahagiaan maksimal bagi rakyat.

Namun kini rakyat Venezuela tidak lagi menjadi korban terus-terus menerus dari sistem demokrasi tanpa partisipasi rakyat (selain memberikan suara saat pemilihan). Setiap perubahan penting yang dilakukan pemerintah Venezuela, rakyat harus ditanyakan dan menjadi penentu—salah satunya tercermin dalam referendum persyaratan perubahan/ amandemen. Pemerintahan Chávez tidak mengeramatkan konstitusi, sebagaimana dilakukan pemerintahan Orde Baru dan banyak politisi hingga sekarang, namun sesuai dengan hakikatnya (dalam sistem negara yang memiliki hukum tertulis), konstitusi adalah aturan-aturan formal mendasar yang rasional bagi mayoritas rakyat. Kini rakyat Venezuela menjalankan apa yang disebut sebagai demokrasi partisipatif. Sangat berbeda dengan proses amandemen Undang-undang Dasar di Indonesia yang tidak melibatkan rakyat.

Juga, pasal-pasal Undang-Undang Dasar Indonesia yang mendukung kepentingan ekonomi dan kesejahteraan rakyat (kekayaan alam digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, tanggung jawab pemerintah akan pekerjaan, pendidikan warga) jauh dari praktik. Di Venezuela, konstitusi hasil referendum rakyat pada masa pemerintahan Chávez digunakan rakyat sebagai basis mendapatkan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintahan Chávez melakukan sosialisasi dan pendidikan konstitusi bagi rakyat seperti apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru dengan P-4, tetapi dengan tujuan dan cara yang sangat berbeda tajam tentunya.

Terwujudnya praktik rakyat yang menjalankan dan menentukan kebijakan politik, ekonomi, sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepaskan dari adanya kekuatan politik yang progresif yang berhasil menguasai pemerintahan. Dalam kejadian Venezuela, adalah Chávez dengan partai MVR-nya.

Keberhasilan Chávez dan kekuatan politiknya sampai saat ini tentu berkat ketepatan dalam menentukan strategi perjuangan dan pembangunan organisasi perjuangan rakyat. Satu sisi, gerakannya tidak terjebak ke dalam pragmatisme, yang sering juga disebut beradaptasi dengan real politik (hal ini antara lain tampak dalam strategi tidak mengikuti pemilihan pada saat dia menilai kekuatan progresif dan rakyat tidak akan mendapatkan keuntungan dari proses tersebut pada saat pemerintahan transisi paska Carlos Andréz Pérez). Sisi lain, gerakannya juga tidak bergerak dengan konsep ideal di kepala tanpa memiliki hubungan dengan realitas (sebagaimana perdebatan dalam proses majelis konstituen).
Dalam pengertian yang dibuat Marta Harnecker, politik progresif adalah seni melakukan pekerjaan hari ini untuk membuat mungkin terjadi pada esok hari atas apa yang tidak mungkin terwujud hari ini. Ketepatan dalam menempatkan strategi ini selalu menjadi tantangan dalam setiap perjuangan termasuk bagi kekuatan progresif. Dengan tersedianya alat-alat modern—komputer, metode statistik, akuntansi, dan lain-lain—tentunya bisa digunakan sebagai alat bantuan dalam membuat dan memutuskan strategi yang rasional serta mengukur prospek-propek ke depan demi perkembangan gerakan rakyat, yang sedikit banyak juga diterapkan Chávez dalam perjuangannya (jajak pendapat, menghitung berbagai pilihan-pilihan politik dengan metode modern).

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak Monthly Review Press, secara khusus kepada Martin Paddio yang telah memberikan kemudahan dan solidaritasnya sehingga proses penerbitan buku ini dalam bahasa Indonesia menjadi mulus.
Kepada teman-teman yang telah membantu pembuatan buku ini dalam bahasa Indonesia (korespondensi, menerjemahkan, konsultan atas beberapa istilah, mengoreksi bahasa, menata-letak, produksi): apa yang kita kerjakan ini merupakan kontribusi terhadap pertumbuhan, kebangkitan kekuatan kolektif.



Cuplikan Perbincangan


Soal Korupsi:

Kami sedang berada di tengah-tengah pertempuran yang sulit, karena hal baru harus dibangun di atas reruntuhan yang lama, dan itulah dimana kebiasan buruk menyeret Anda ke belakang. Hingga kini, kami telah mengubah keseluruhan struktur politik-hukum, namun karena hakikat proses damai dan demokratik yang kuat, struktur ini masing ditandai dengan kebiasaan buruknya yang lama, disusupi oleh musuh, dan kadang-kadang jajaran kami sendiri melemah karena hilangnya kesadaran revolusioner. Itulah mengapa kami belum dapat menghilangkan marabahaya korupsi. (bab 2)

Awal Perjuangan:

Di samping itu, saya adalah seorang pemimpin tanpa sumber daya. Kadang-kadang bahkan tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan bakar, kami berjalan kaki ke sini dan ke sana dalam kelompok kecil, banyak dari kami yang ditangkap. Kadang-kadang— sekali atau dua kali dalam satu tahun —Jose Vicente Rangel mengundang saya untuk ikut acaranya di TV; kadang-kadang Alfredo Pena juga mengundang saya masuk ke programnya. Saya ingat saya mengadakan sebuah konferensi pers karena saya baru kembali dari sebuah perjalanan ke Kuba, dan hanya dua orang jurnalis yang menampakkan diri.

Perdebatan Soal Elektoral:

Kami berdebat secara mendalam mengenai arah yang akan diambil. Saat itu, terdapat cukup banyak kontradiksi; beberapa grup menolak jalur elektoral, dan mereka meninggalkan gerakan. Mereka menuduh kami telah mengabaikan revolusi karena tidak melanjutkan perjuangan bersenjata, tapi siapakah yang pernah berkata bahwa senjata menjamin arah revolusi? Sama seringnya, senjata telah menjadi alat kontra-revolusioner. Masih terdapat beberapa individu atau grup yang kritis terhadap proses pemilihan, namun yang lainnya telah kembali bersama kami.Kami tahu, bahwa dengan mengambil jalur elektoral, itu adalah sebuah keputusan strategis yang bisa menjadi sebuah bencana, yakni kami bisa terperangkap ke dalam jebakan yang dibuat oleh sistem kepada kami, menggiring kami ke dalam pasir hidup.


Soal Hubungan Internasional:

Marta, saya ingin Anda mengetahui bahwa kami tidak memiliki ketertarikan untuk memperumit atau merusak hubungan kami dengan AS, apalagi memutusnya. Namun demikian, untuk persoalan kedaulatan dan kemerdekaan kami selalu jelas dan tegas, dan kami telah menyatakan sikap ini bukan hanya kepada AS namun juga kepada semua negara lainnya di dunia.


Resensi:

Jumat, 01 Oktober 2004

Terjemahan: Militerisme dan Anti-Militerisme

Judul : Militerisme dan Anti-Militerisme
Penulis : Karl Liebknecht
Penerjemah

:

Pius Tumangger, Data Brainanta,
Tim Lembaga Pembebasan
Penerbit : IRE Press, Yogyakarta
Cetakan : pertama, Oktober 2004
Tebal : xii, 314 halaman
Ukuran : 19 cm
ISBN : 979-98181-3-3

https://www.marxists.org/archive/liebknecht-k/works/1907/militarism-antimilitarism/index.htm


Pidato Karl Liebknecht yang kemudian dibukukan seratus tahun lampau mengungkapkan keprihatinan akbat meluasnya kekuasaan militer masa menjelang perang dunia I di Jerman. Perubahan yang tidak pernah tuntas membuat kekuatan lama terus bercokol.

Tak ada topi Gessler yang pernah menemui kepatuhan yang memperbudak dan mempermalukan diri serupa topi milik sang termasyhur Kapten dari Kopenick. Tak ada jubah sakral Trier yang pernah disembah-sembah seperti seragam yang dikenakan tukang sepatu itu. 
Satir klasik ini, yang kehebatan pengaruhnya merongrong prinsip pendidikan militer hingga riwayatnya terancam, seharusnya dapat mengakhiri riwayat militerisme hingga jadi bahan tertawaan sedunia. Tapi masyarakat borjuis (yang tiba-tiba memainkan peran unik sebagai penyihir pemula, yang memanggil roh-roh tapi tidak bisa mengusirnya) begitu erat bergantung pada militerisme seperti halnya roti yang kita makan dan udara yang kita hirup. Konflik yang tragis! Kapitalisme dan kacung besarnya, militerisme, tak lagi saling mencintai; malah mereka saling takut dan benci satu sama lain, dan memang hal itu beralasan. Mereka memandangnya (sinis): begitu mandiri kacung ini jadinya. Dan berusaha bertoleransi: militerisme sebagai kejahatan yang dimaklumkan (necessary evil).