Danau bekas galian tambang terlihat dari udara di Kalimantan Timur, 18 November 2015. ANTARA/ Wahyu Putro A |
TEMPO.CO, Jakarta - Potret buram sebagian bisnis tambang di Tanah Air tergambar dalam Indeks Kinerja Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Rencana Aksi Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Pertambangan.
"Salah satu temuan kami, lebih dari 90 persen tidak membayar biaya jaminan reklamasi," kata Pius Ginting, juru bicara Koalisi Anti-Mafia Tambang pada Selasa, 16 Februari 2016.
Indeks ini diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 6 Februari 2014 dan dilakukan oleh Koalisi Anti-Mafia Tambang di 12 provinsi. Koalisi terdiri dari Walhi, Jatam, Auriga, PWYP, Article 33, ICW, Sampan dan Jikalahari.
Pada Senin, 15 Februari 2016, KPK mengundang Gubernur dari 12 provinsi untuk mendengar hasil dari proses supervisi di wilayahnya dan membahas langkah-langkah aksi berikutnya. Mereka juga disajikan Indeks Kinerja, yang disusun Koalisi Anti-Mafia Tambang.
Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang menjelaskan bahaya kerusakan lingkungan jangka panjang dari usaha pertambangan.
Aturan ini mewajibkan bagi setiap orang/perusahaan yang melakukan penambangan untuk melakukan reklamasi. Perusahaan harus menyusun rencana reklamasi, menyimpan jaminan reklamasi, dan melakukan pelaporan secara berkala kepada pemerintah.
"Kenyataannya, banyak bekas lubang tambang hanya ditinggalkan begitu saja, dan mengakibatkan kecelakaan fatal dan bencana lingkungan. Di Kalimantan Timur, setidaknya 19 anak tenggelam dan tewas di lubang tambang yang ditinggalkan sejak tahun 2011," kata Pius yang jadi pengurus Walhi.
Temuan lain menyangkut tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) dengan kawasan hutan konservasi. Di Kalimantan Timur, ada 97.000 hektare (ha) konsesi tambang yang tumpang tindih. Di Kalimantan Selatan ada 12.000 ha, Maluku Utara ada 8.000 ha, dan Kalimantan Tengah ada 8.000 ha.
Lalu di Sumatera Selatan ada 6.000, Jambi ada 6.000 ha, Sulawesi Tengah ada 5.000 ha dan Sulawesi Selatan ada 5.000 ha. Berdasarkan temuan itu, Koalisi meminta aparat melakukan penegakan hukum terhadap seluruh pertambangan yang beroperasi di dalam kawasan hutan konservasi.
Koalisi juga menemukan banyak IUP yang statusnya non CNC (non clear and clear) atau legalitasnya secara administratif tidak dapat dipertanggungjawabkan atau bermasalah. Di Kalimantan Selatan ada 441 unit, Bangka Belitung (484), Kalimantan Tengah (298), Kalimantan Barat (292), Sulawesi Selatan (236), Sulawesi Tengah (134) dan Sulawesi Tenggara (110).
"Kami mendesak pemerintah daerah dan pusat segera mencabut seluruh IUP pertambangan yang non CNC," kata Pius Ginting. KPK memang mengumumkan bahwa selama dua tahun terakhir ada 721 izin pertambangan yang dicabut atau tidak diperpanjang di 12 provinsi, di mana 70% adalah untuk pertambangan batubara.
Koalisi Anti Mafia Tambang menyerukan kepada KPK untuk melanjutkan pengawasan terhadap sektor mineral dan batubara untuk memastikan reformasi tata kelola secara total. Karena hanya sebagian kecil yang tercakup dalam tahap pertama koordinasi dan supervisi mineral batubara oleh KPK.
"KPK harus menunjukkan keseriusannya dengan melanjutkan dan meningkatkan juga untuk Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mencapai lebih dari 70% dari produksi nasional," kata Pius Ginting.
UNTUNG WIDYANTO
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/16/206745399/potret-industri-tambang-izin-abal-abal-dan-tidak-reklamasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kesan dan pesan